Atmazaki
Universitas Negeri Padang
Abstract
This article explains the ways how to improve the ability to teach in competency based teaching. The focus of the activities were on improving students’ ability in mastering meaningful learning. In order to acchieve the meaningful learning, it was needed effective learning which could be seen on purposes, processes, and products. In order to control the processes, monitoring and evaluation toward the learning are certainly needed.
PENDAHULUAN
Ditinjau dari segi perkuliahan yang dialami/dilalui, dosen-dosen lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) lebih menguasai metode pembelajaran, sedangkan dosen non-LPTK lebih menguasai substansi keilmuan. Di LPTK dipelajari sejumlah perkuliahan yang berkaitan pendidikan dan pembelajaran, sedangkan di non-LPTK tidak diajarkan kedua hal itu, tetapi difokuskan pada penguasaan substansi keilmuan. Namun, apakah realitssnya menunjukkan bahwa dosen LPTK lebih pandai mengajar dibandingkan dosen non-LPTK?
Ditinjau dari segi penguasaan pasif tentu lebih mungkin dosen LPTK lebih menguasai teknik-teknik mengajar, tetapi secara aktif (realitas mengajar sehari-hari) belum tentu demikian. Masih banyak diungkapkan bahwa guru/dosen itu dilahirkan, bakat mendidikan/mengajar sudah dibawa sejak lahir. Pengalaman belajar di LPTK hanya memperjelas kemunculan bakat tersebut. Meskipun tidak belajar di LPTK, seseorang yang berbakat menjadi dosen/guru tetap akan pandai mengajar asal dalam dirinya ada kemauan untuk belajar sendiri bagaimana cara mengajar. Hal itulah yang menyebabkan bahwa dosen-dosen di perguruan tinggi non-LPTK juga banyak yang kompeten dalam mengajar.
Sebuah buku lama yang berjudul A Teacher is Many Thing karya Earl V. Pullis dan James D. Young (1968) memuat penjelasan lengkap (21 ciri) tentang siapakah seorang guru, mulai dari sebagai seorang pembimbing, jembatan generasi, model, peneliti, konselor, dan kreator sampai kepada pelajar, emansipator, kulminator, diakhiri dengan guru juga seorang manusia. Dari semua ciri itu tak satu pun yang mengharuskan seseorang sebelum menjadi guru dan dosen belajar di LPTK. Hal ini menunjukkan bahwa menjadi guru/dosen tidak ditentukan oleh lembaga, tetapi karakter seseorang. Namun bagaimana mungkin sekolah dan perguruan tinggi hanya dengan mengandalkan karakter, saat siswa dan mahasiswa semakin banyak, saat teknologi komunikasi dan informasi (ICT) semakin canggih, saat sekolah dan perguruan tinggi dipersepsi secara berlain-lain?
Dalam kaitan perkembangan teknologi inilah bermunculannya teori-teori dan model-model pembelajaran, baik yang bersifat umum maupun yang khas bidang ilmu. Teori dan model yang umum, misalnya belajar kelompok (cooperative learning), belajar kolaboratif (collaborative learning), pembelajran kontekstual (contextua teaching and learning), dan belajar berbasis kompetensi (competence-based learning). Ada juga yang bersifat khas bidang studi seperti dalam pembelajaran bahasa, misalnya, pendekatan komunikatif, (communicative approach), dengar dan ucap (audiolingual), pemberian sugesti (suggestopedia), dan model diam (silent way). Dapat diprediksi betapa hebatnya pembelajaran yang dilaksanakan oleh seorang yang berkarakter sebagai guru/dosen diperkuat dengan model-model pembelajaran terbaru dan didukung pula dengan ICT.
Realitas sehari-hari di ruang kelas, sebagian mahasiswa belum belajar ketika dosen mengajar. Beberapa mahasiswa belum belajar sampai pada tingkat pemahaman. Kebanyakan mereka baru mampu menghafal fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan gagasan pada tingkat ingatan; mereka belum mampu menggunakan dan menerapkannya secara efektif dalam pemecahan masalah sehari-hari yang kontekstual. Apabila ditanya, mereka diam, ketika diminta untuk bertanya atau berkomentar, mereka juga diam. Apabila ditanya apakah mereka memahami materi pelajaran yang baru disampaikan, mereka juga diam. ”Kelas diam” merupakan pemandangan sehari-hari yang terjadi pada banyak lembaga pendidikan. Oleh sebab itu diperlukan upaya membuat kelas tidak diam, yaitu kelas yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Disadari bahwa mahasiswa (S-1) adalah pribadi yang baru lepas dari remaja dan menuju dewasa awal. Hal itu berarti bahwa mereka belum matang baik secara personal, emosional, sosial, maupun intelektual. Dosen tidak bisa melepaskan diri dari mempertimbangkan kondisi mahasiwa yang belum matang itu. Bimbingan dan arahan bagaimana cara belajar, cara membaca buku, cara membuat catatan, dan cara menginternalisasi materi perkuliahan sangat mereka perlukan.
Prinsip penting dalam pembelajaran adalah, ”Tidak ada yang rahasia antara dosen dan mahasiswa berkenaan dengan apa materi yang akan dipelajari dan bagaimana pembelajarannya akan berlangsung.” Apabila masih ada dosen yang “menutup-nutupi” kedua hal itu agar terlihat lebih gagah di depan mahasiswa karena semua hanya dosen yang tahu, sedangkan mahasiswa tercengang-cengang melihat yang serba baru itu maka kedosenannya perlu dipertanyakan: dia pembimbing atau tukang sulap?
Di dalam artikel ini dibahas tentang pembelajaran yang bermutu dan upaya mengefektifkan pembelajaran melalui monitoring dan evaluasi pembelajaran, yang nanti disebut dengan pembelajaran berbasis kompetensi (PBK). Asumsinya adalah bahwa pembelajaran yang bermutu dan efektif dilandasi dengan kompetensi baik pada dosen maupun pada mahasiswa. Fokus pembahasan diarahkan pada pertanyaan berikut, yaitu (1) Bagaimanakah mengembangkan pembelajaran yang berbasis kompetensi; (2) Bagaimanakah langkah-langkah pelaksanaan monitoring dan evaluasi pembelajaran? Sebelum membahas kedua hal itu dikemukakan hakikat mutu dan mutu pembelajaran.
Dengan mengemukakan prinsip-prinsip serta contoh-contoh tentang keduanya, diharapkan artikel ini menjadi inspirasi bagi para dosen dalam memperbaiki kinerja (performance) mengajarnya atau membimbing mahasiswa menguasai materi pembelajaran atau perkuliahan. Selain itu, artikel ini juga diharapkan bermanfaat bagi dosen dalam memonitor dan mengevaluasi pembelajaran/perkuliahan yang diberikannya.
Sudut pandang yang digunakan di dalam membahas masalah ini adalah dosen (yang berkarakter) sebagai unsur terpenting dalam pembelajaran. Segala sesuatu dibahas dari keberadaan dosen karena dosenlah kunci utama pembelajaran yang sukses atau efektif.
PEMBAHASAN
Mutu dan Standar Pembelajaran
Mutu merupakan konsep relatif yang dapat diartikan secara berbeda oleh orang yang berbeda sesuai dengan konteks masing-masing. Namun, setidaknya ada dua pandangan tentang mutu: karakteristik dan nilai. Dari segi karakteristik, mutu mencerminkan karakteristik yang dimiliki oleh sesuatu yang bernilai, sesuatu yang bermutu dipandang sebagai yang excellence/valuable. Dari segi nilai, sesuatu yang bermutu adalah yang berguna dalam kehidupan sehari-hari. Apabila tidak banyak manfaatnya maka dianggap tidak bermutu. Oleh karena mutu dipandang sebagai sesuatu yang dapat diukur maka ukuran dijadikan sebagai dasar untuk menentukan bermutu tidaknya sesuatu. Dalam kedua sudut pandang ini, bisa saja terjadi bahwa sesuatu yang tinggi mutunya dari segi pengukuran dapat saja kurang beguna dalam kehidupan sehari-hari, sebaliknya sesuatu yang rendah mutunya dapat saja sangat beguna bagi kehidupan sehari-hari bergantung pada konteksnya (Ekroman, 2005).
Mutu juga dapat diukur dengan perbandingan eskternal (benchmarking), yaitu suatu kontinuitas, proses yang sistematis untuk membandingkan efisiensi dalam pengertian produktivitas, kualitas, dan praktik dengan lembaga yang merepresentasikan keunggulan. Apa yang dilakukan dibandingkan dengan apa yang dilakukan orang lain yang lebih sukses. Kualitas, dengan demikian, mengacu pada kesuksesan pihak eksternal (Ashcroft, 1995:13). Ada tiga kategori benchmarking: (1) internal benchmarking, mengacu pada perbandingan yang dibuat dalam organisasi yang sama, misalnya dengan jurusan lain; (2) external benchmarking, mengacu pada perbandingan dengan jurusan yang mirip (competitor) yang terdapat di luar negeri; (3) functional benchmarking, mengacu pada perbandingan yang dibuat antara fungsi dan proses dengan lembaga yang berbeda, misalnya dunia bisnis. Idealnya adalah melihat keunggulan di mana saja keunggulan itu dapat ditemukan (Karlof & Ostblom, 1993:viii).
Dalam konteks pendidikan tinggi, mutu juga dapat didefinisikan dengan pengalaman transformasi yang dialami mahasiswa. Dalam model ini, tujuannya adalah menciptakan kondisi yang memungkinkan mahasiswa mengalami perubahan kualitatif yang dapat meningkatkan dan memberdayakan mereka sebagai partisipan dalam pendidikan. Hal ini kompatibel dengan pandangan bahwa pendidikan adalah proses penambahan nilai (adding-value), yang berkaitan dengan jumlah pencapaian mahasiswa yang menimbulkan perubahan, penambahan sebagai hasil program pendidikan ( Karlof & Ostblom, 1993:viii).
Kualitas dalam proses belajar mengajar merupakan istilah yang bermuatan nilai yang mengacu pada tujuan, proses, dan standar pendidikan. Pembelajaran yang berkualitas sepatutnya mempunyai tujuan dan proses yang dapat menjaga dan menjangkau standar yang tinggi menurut kriteria yang terdefinisi secara moral, epistimolgis, dan edukatif. Jadi, mutu tidak cukup hanya dikaitkan dengan efektivitas, efisiensi, dan kecocokan dengan tujuan apabila tujuan itu tidak bermoral. Pendidikan yang bersifat indoktrinasi, misalnya, dianggap tidak bermoral dan tidak edukatif meskipun tujuannya tercapai.
Untuk mencapai kualitas-kualitas itulah diperlukan standar-standar sebagai acuan. Standar, sesungguhnya, merupakan aspek mutu, tetapi mutu mesti juga mencakup aspek-aspek yang berada di balik pertimbangan standar. Mutu merupakan konsep superordinat karena di dalamnya juga tercakup pengertian standar. Standar dapat berkaitan dengan kepatutan/kelayakan level yang dicapai dan standardisasi ideal norma referensi atau suatu pencapaian ambang minimum. Perbicangan tentang standar berkaitan dengan validitas dan reliabilitas pengukuran sehingga diperlukan kriteria yang jelas.
Kriteria-kriteria itu mungkin dibuat oleh pemegang otoritas, apakah bernama ketua jurusan, dekan, atau rektor; mungkin juga dibuat oleh dosen karena ia penanggung jawab mata kuliah. Mereka semua mempengaruhi mutu pengalaman belajar mahasiswa. Pertanyaannya, ”Sudahkan dosen membuat standar perkuliahan, baik standar hasil maupun standar proses? Apa sesungguhnya yang dimaksudkan dosen dengan mahasiswa lulus dalam suatu mata kuliah? Sebagai otoritas, pekerjaan dosen sering tidak dimonitor pihak lain karena mereka ahlinya. Oleh sebab itu, sehubungan dengan perkuliahan maka personalitas, mentalitas, dan moralitas kedosenan yang dipertaruhkan.
Pembelajaran Berbasis Kompetensi
Keunggulan mengajar merupakan “pelatuk” keunggulan belajar, yaitu yang dapat membantu mahasiswa memperoleh (1) isi pengetahuan yang diperlukan, (2) kemampuan menerapkan pengetahuan untuk masalah-masalah dan situasi kelas secara standar, masalah dan situasi baru yang tidak terpecahkan di dalam skenario buku teks, dan (3) kemampuan untuk belajar dan berpikir secara bebas, yaitu kemampuan untuk menemukan/mengonstruksi pengetahuan dan secara kritis menilai apa yang disebut sebagai pengetahuan. Pengertian mengajar yang luas itu menghendaki suatu orientasi dam perencanaan yang matang, tidak hanya terkait dengan materi, proses yang dilakukan, alat dan sumber, tetapi juga cara mengetahui bahwa pembelajaran itu berhasil.
Pada dasarnya, dosen ingin mengajar secara efektif, yaitu kondisi positif yang menyertai hasil melalui proses pencapaian tujuan. Suatu kegiatan dikatakan efektif apabila di dalamnya terdapat kapabilitas untuk menghasilkan efek (capability of producing an effect). Efek itu adalah hasil, tetapi hasil harus dsesuaikan dengan tujuan dan proses untuk mencapai hasil itu. Dengan demikian, efektivitas memperlihatkan tiga dimensi, yaitu tujuan, proses, dan hasil (bdk. Prayitno, 2006). Tujuan yang baik hendaklah dirumuskan secara konkrit atau spesifik, teramati atau terukur, dan sesuai dengan konteks waktu dan tempat. Di luar ketiga persyaratan itu, rumusan tujuan menjadi kurang baik.
Proses dapat terlaksana dengan baik apabila didukung oleh perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan perangkat manusia (personware). Dari ketiga hal itu, perangkat manusia jauh lebih penting daripada kedua prangkat yang lain karena perangkat keras dan lunak yang canggih dapat saja kurang berguna apabila manusia yang memakainya kurang ”canggih”. Manusia yang ”canggih” bisa mengajar tanpa perangkat keras dan lunak karena seperti Chuck Norris, dirinya sendiri adalah senjatanya. Senjata diri yang sudah kuat itu, apabila didukung oleh peralatan dan program yang kuat pula maka hasilnya dapat semakin baik.
Hasil ditunjukkan oleh nilai tambah dan moralitas-sosial. Nilai tambah ditentukan oleh kemampuan mahasiswa menginternalisasi setiap konsep/informasi yang diterimanya. Pada akhirnya hasil yang baik itu memungkinkan mahasiswa berinovasi, berimajinasi, dan fitrah bermasyarakat dan ber-Tuhan. ”Salah satu hal terpenting yang bisa dilakukan seorang guru/dosen,” kata Ernest Melby, “adalah mengirim pulang seorang murid di siang hari dalam keadaan sedikit lebih menyukai dirinya sendiri daripada ketika ia datang di pagi hari.” “Begitulah pendidik yang hebat, ia mampu memimpin murid-muridnya menjelajahi tempat-tempat baru yang bahkan belum pernah ia datangi,” kata Thomas Groome (Canfield, Jack & Mark Victor Hansen, 2004).
Untuk mencapai pembelajaran yang efektif itulah diperlukan kompetensi yang kemudian disebut belajar mengajar berbasis kompetensi, baik kompetensi dosen (sebab) maupun kompetensi mahasiswa (akibat). Kompetensi adalah mutu yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki kemampuan dan atau kecocokan yang dapat segera diwujudkan untuk keperluan tertentu; suatu kemampuan yang dikuasai berdasarkan standar khusus di bawah kondisi tertentu (Sullivan, 1995).
Baik pada dosen maupun pada mahasiswa, kompetensi ditunjukkan oleh penguasaan, penampilan, dan kesadaran. Dosen harus menguasai substansi mata kuliah yang diajarkannya. Penguasaan itu terlihat dari kemampuan menjelaskan (1) hakikat (definisi, kategori, konsep, prinsip, dan fungsi), (2) metode (langkah-langkah, kegiatan, kriteria, dan perkiraan hasil) dan (3) contoh (operasional, bukti, dan pengujian) di dalam bidang ilmu yang diajarkan. Penampilan terlihat ketika ia membimbing dan menemani mahasiswa memformulasi dan menerapkan ketiga hal itu. Mahasiswa percaya padanya bahwa ia adalah orang yang dapat dijadikan tempat bertanya dan mengeluh. Kesadaran terlihat ketika ia menyiapkan, melaksanakan, dan menilai hasil kerja mahasiswa. ”Jangan beritahu mereka cara melakukannya, tunjukkan kepada mereka cara melakukannya, dan jangan katakan apa pun. Jika Anda memberitahu mereka, mereka akan melihat bibirmu bergerak. Jika Anda menunjukkan kepada mereka, mereka akan ingin melakukannya sendiri,” kata Maria Montessori. Pada mahasiswa yang benar-benar belajar, hal yang sama hendaknya juga terlihat. Mereka mampu mengaitkan pengetahuan yang baru dengan yang sudah dikuasainya dan dengan pengalaman hidupnya sehari-hari.
Belajar tidak hanya menerima informasi dari pengajar, tetapi juga proses membangun makna/pemahaman terhadap informasi dan/atau pengalaman. Belajar bukanlah proses menyerap pengetahuan bentukan dosen yang sudah-jadi, melainkan pemahaman dan internalisasi materi sehingga memunculkan kebermaknaan. Kebermaknaan itu terlihat dari balikan yang disampaikan mahasiswa baik dalam konteks proses belajar, dalam ujian, maupun dalam kehidupan nyata. Apabila mahasiswa memberikan respon terhadap teori di dalam kelas, misalnya, maka proses belajar bermakna telah dimulai. Apabila mahasiswa mampu menjawab soal-soal ujian dengan tepat, kebermaknaan lanjutan juga telah terjadi. Apabila mahasiswa menulis artikel di surat kabar tentang penerapan teori itu, kebermaknaan semakin sempurna.
Kegiatan belajar mengajar tidak selalu harus terjadi di dalam ruangan, tetapi juga di dapat terjadi luar ruangan. Mungkin itu sebabnya di dalam bahasa Inggris, kelas bukanlah ruangan, tetapi orang yang belajar. Tugas dosen adalah menyediakan pengalaman belajar yang beragam pada kedua tempat itu agar mahasiswa memeroleh pengalaman belajar yang bermakna, yaitu yang tingkat pencapaiannya 90%—100% seperti pada gambar 1. Proses mencapai kebermaknaan itu hendaklah menjadi tanggung jawab mahasiswa, sedangkan dosen membantu agar mahasiswa mampu bertanggung jawab terhadap proses belajarnya.
Gambar 1: Tingkat kebermaknaan pembelajaran (St- Hyacinthe, www.qesnrecit.qc.ca/reform/pd/docs/lemay/Competency_Based_Teaching.ppt_22/9/05)
Penempatan mahasiswa sebagai subjek dalam proses belajar mengajar dapat dilakukan dengan berbagai cara atau model, antara lain, curah pendapat, peta konsep, peta akibat, diskusi kelompok, kuliah, bertanya jawab, dan bermain peran/simulasi. Di samping itu, belajar yang efektif juga dapat dilakukan melalui penyediaan pengalaman belajar dengan mengalami (melihat, meraba, mendengar, mencicipi, dan mencium) dengan menyediakan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari atau dunia kerja. Kegiatan belajar mengajar perlu mempertimbangkan rasa ingin tahu, imajinasi, berpikir kritis, problem possing (meminta mahasiswa mengajukan masalah) dan problem solving (meminta mahasiswa menyelesaikan masalah/kasus). Masing-masing model pembelajaran itu memerlukan persiapan dan pengelolaan yang efektif pula, baik berkenaan dengan tempat dan waktu, keadaan mahasiswa sesuai dengan karakteristik masing-masing (minat/bakat, kecepatan, dan kemampuan), kegiatan pembelajarn itu sendiri agar mahasiswa mampu unjuk kemampuan, isi/materi pembelajaran, dan sumber belajar.
Belajar lebih dari sekadar proses mental. Apa yang dipelajari mahasiswa dan bagaimana mereka memelajarinya tidak dapat dipahami semata-mata dalam pengertian proses kognitif yang terjadi di dalam pikiran mereka. Belajar terjadi secara efektif dan alami dalam situasi ketika mahasiswa dibatasi dan secara aktif diajak dan disibukkan. Agar hal ini tercapai, dosen perlu memahami dan mengapliksikan lima unsur esensial PBK, yaitu (1) kompetensi yang akan dicapai perlu diidentifikasi dan diverifikasi dengan baik dan hati-hati serta terdapat dalam masyarakat secara menonjol; (2) kriteria yang digunakan untuk menilai pencapaian dan kondisi pencapaiannya harus dinyatakan secara eksplisit; (3) program pengajaran disediakan untuk perkembangan individu dan evaluasi dilakukan untuk setiap kompetensi yang spesifik; (4) penilaian kompetensi menuntut pengetahuan dan sikap partisipan (mahasiswa) dapat diukur, tetapi lebih mengutamakan performasi (kinerja) dalam kompetensi itu sebagai sumber data (bukti) utama; (5) kemajuan mahasiswa melalui program pengajaran ditentukannya sendiri dengan mendemonstrasikan pencapaian kompetensi yang spesifik (Sullivan, 1995).
Disamping lima elemen itu, untuk memastikan bahwa proses yang dilaksanakan telah dapat dikatakan berbasis kompetensi maka dosen dan mahasiswa dapat mengidentifikasi karakteristik PBK berikut ini (adaptasi dari Sullivan, 1995).
- Kompetensi diseleksi dengan hati-hati-hati
- Teori pendukung terintegrasi dengan praktik keterampilan; pengetahuan yang esensial dipelajari untuk mendukung kinerja keterampilan.
- Material pembelajaran yang detail merupakan kunci kompetensi yang akan dicapai dan dirancang untuk mendukung pemerolehan pengetahuan dan keterampilan
- Metode pembelajaran mencakup belajar tuntas, dengan premis bahwa setiap mahasiswa dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dengan menyediakan waktu yang cukup dan metode pembelajaran yang memadai.
- Pengetahuan dan keterampilan mahasiswa dinilai sejak mereka masuk di awal semester sampai mereka menyelesaikannya di akhir semester.
- Belajar harus menjadi tanggung jawab mahasiswa sendiri.
- Pendekatan pembelajaran yang fleksibel, temasuk metode kelompok besar, kegiatan kelompok kecil, dan kegiatan individu merupakan komponen yang esensial.
- Dukungan materi yang bervariasi yang mencakup bahan cetakan, audiovisual, dan simulasi (model) untuk menguasai keterampilan harus digunakan
- Pencapaian akhir pembelajaran didasarkan atas penguasaan kompetensi secara spesifik.
Apabila kesembilan karakteristik itu terlihat dan terjadi di dalam kelas maka berarti PBK telah terlaksana dengan baik. Dengan demikian, doen juga dapat membedakan apakah mereka mengajar berbasis kompetensi atau tidak. Untuk memastikan apakah hal itu telah tercapai maka diperlukan monitoring dan evaluasi terhadap praktik pembelajaran.
Monitoring dan Evaluasi/Asesmen Pembelajaran
Monitoring dan evaluasi/asesmen kadang-kadang diartikan sama. Seseorang dapat memonitor sesuatu karena ingin mengevaluasinya atau mengevaluasi sesuatu melalui monitoring. Namun para ahli membedakannya melalui beberapa pengertian/definisi. Dalam pengertian sehari-hari, monitoring merupakan suatu penilaian yang dilaksanakan secara terus-menerus dalam suatu kegiatan untuk meningkatkan mutu hasil program; mencatat keadaan yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan yang sedang berlangsung; melihat perkembangan suatu kegiatan yang sedang berjalan. Monitoring merupakan bagian penting dari praktek manajemen yang baik dan merupakan bagian yang integral dari manajemen sehari-hari. Oleh sebab itu, hasilnya perlu dikomunikasikan untuk membantu pengambilan keputusan manajemen. Dengan monitoring, dapat dipastikan bahwa semua kegiatan berjalan sesuai dengan rencana dan dapat diperbaiki dan disesuaikan secara metodologis. Ringkasnya, monitoring adalah penilaian yang sistematis dan terus menerus terhadap kemajuan suatu pekerjaan.
Pada sisi lain, evaluasi/asesmen diartikan sebagai proses melihat sejauh mana dampak keberhasilan yang dicapai dalam suatu kegiatan/program; penilaian berkala terhadap relevansi, penampilan, efisiensi, dan dampak kegiatan berdasarkan tujuan yang sudah ditetapkan. Evaluasi/asesmen merupakan penilaian pada waktu tertentu terhadap dampak sebuah pekerjaan dan sejauh mana tujuan yang sudah ditetapkan telah dicapai (http://www.deliveri.org/guidelines/training).
Dari kedua pengertian itu terlihat bahwa antara monitoring dan evaluasi/asesmen dapat diartikan secara sama dalam konteks yang lebih luas dan juga dapat berbeda dalam konteks yang lebih sempit. Dalam kaitan dengan pembahasan ini, monitoring dan evaluasi sebaiknya dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu suatu proses untuk mengetahui kemajuan, tingkat pencapaian, hambatan, dan kemungkinan perbaikan suatu program, yaitu program pembelajaran yang dilakukan oleh dosen.
Mengapa monitoring dan evaluasi/asesmen diperlukan? Dosen selalu ingin melakukan kegiatan lebih baik dari sebelumnya. Mereka ingin agar kegiatan pembelajaran/perkuliahan yang dilakukannya berjalan dengan baik sesuai dengan rencana-rencana dan standar-standar yang dibuat sendiri. Mereka perlu mempertanggungjawabkan kegiatannya kepada atasan, kepada penyandang dana, dan kepada masyarakat untuk meningkatkan partisipasi. Kenyataan yang sering terlihat adalah bahwa kebanyakan dosen belum bekerja berdasarkan prosedur operasional standar (SOP) yang baku. Belum semua dosen mengetahui dan menyadari atas dasar apa mereka bekerja. Hampir tidak ada pengembangan, perubahan ke arah yang lebih baik.
Dalam melakukan monitoring dan evaluasi/asesmen, hendaknya dianut prinsip partisipasi, negosiasi, pembelajaran, dan fleksibilitas. Semua dosen hendaknya berpartisipasi (paling kurang bersedia) dalam memonitor dan mengaevaluasi kegiatan perkuliahannya. Setiap dosen melakukan negosiasi dengan ketua jurusan dan mahasiswa bagaimana sebaiknya monitoring dan evaluasi dilakukan. Monitoring hendaknya dilakukan untuk pebaikan (dalam pengertian hasilnya dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi dosen sendiri—mengajar adalah terus belajar). Selanjutnya, monitoring hendaknya dilakukan secara fleksibel baik dalam kaitan dengan waktu, fasilitas, tempat, dan sebagainya.
Agar monitoring dan evaluasi pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik, diperlukan perencanaan yang baik pula. Tahap-tahap seperti: perencanaan, penyusunan instrumen, pengumpulan data, pengolahan data, interpretasi data, dan pengambilan kesimpulan untuk keperluan refleksi dan perbaikan perlu dibuat. Kesalahan umum yang sering terjadi dalam memonitor pelaksanaan pembelajaran/perkuliahan adalah anggapan bahwa semua dosen sudah memahami maksud dan tujuan monitoring; ketua jurusan yakin bahwa semua dosen bersedia dimonitor dan dievaluasi sehingga diam-diam dibuat instrumen kemudian dibagikan kepada mahasiswa; alat yang digunakan diyakini begitu saja telah valid/standar; memulai dengan sesuatu yang besar dan terlalu dini; tidak terdefinisi apa yang akan dilakukan setelah mengetahui hasil monitoring dan evaluasi. Setelah itu beberapa orang dosen “mencak-mencak” karena hasil monitoring tentang perkulihannya ternyata jelek sehingga memunculkan tudingan-tudingan dan akhirnya tidak yakin bahwa monitoring perkuliahan akan berguna.
Untuk mengatasi hal itu semua maka prinsip negosiasi dan fleksibilitas perlu diterapkan. Kepada dosen perlu dijelaskan bahwa tujuan monitoring dan evaluasi adalah untuk perbaikan unjuk kerja mengajar secara bertahap. Apabila dosen mengetahui kelemahan dalam mengajar, mudah-mudahan mereka berupaya memperbaikinya. Kadang-kadang kelemahan yang dilakukan bukan karena tidak tahu atau tidak pandai, tetapi karena kurang hati-hati. Dengan adanya hasil monitoring, tingkat kehati-hatian diharapkan meningkat. Ketika memulai, sebaiknya dilakukan secara bertahap: mulai dari beberapa perkuliahan saja, dosen tertentu saja, tidak langsung sekaligus dan total karena situasi itu dapat menimbulkan keresahan dan kecurigaan. Keterlibatan semua dosen akan sangat menentukan hasil monitoring dan evaluasi. Oleh sebab itu, perlu diketahui faktor-faktor yang mungkin menyebabkan dosen tidak mau berpartisipasi dalam monitoring.
1. Aspek-Aspek yang Dimonitor/ Dievaluasi
a. Isi Perkuliahan
Isi perkuliahan merupakan topik-topik yang ditetapkan berdasarkan referensi bidang ilmu terkait. Apakah topik-topik itu relevan dengan apa yang seharusnya dipelajari mahasiswa sesuai dengan tujuan perkuliahan? Apakah topik-topik itu dikembangkan dari referensi standar dalam bidang ilmu?
Isi perkuliahan juga merupakan sesuatu yang krusial. Sering terjadi, perkuliahan diisi dengan pembahasan-pembahasan dan pengalaman belajar yang kurang relevan dengan apa yang seharus dipelajari mahasiswa dalam mata kuliah itu. Hal seperti ini sering terjadi pada mata kuliah baru (baru ditambahkan ke dalam struktur kurikulum). Sering juga terjadi, dua atau tiga mata kuliah yang berbeda namanya (yang seharusnya isinya juga berbeda) diisi dengan topik-topik yang sama. Seandainya topiknya berbeda, tetapi pengalaman belajar yang diperoleh mahasiswa sama. Sebaliknya, mata kuliah yang sama dapat saja berisi materi yang berbeda pada dua universitas. Seharusnya sama, andai ada yang berbeda, hal itu hanya pada penekanannya atau penerapannya sesuai dengan konteks tertentu.
Ketidakrelevanan itu dapat terjadi karena berbagai sebab, misalnya karena dosen belum menguasai bidang itu sehingga kurang memahami ke arah mana seharusnya dikembangkan perkulihan tertentu. Dalam kaitan inilah diperlukan tim pengajar dan tim pengembang silabus. Dengan adanya saling koreksi dan saling cek, diharapkan kasus seperti itu tidak terjadi.
b. Proses Perkuliahan
Proses perkuliahan tercermin dari penjadwalan, penggunaan waktu, interaksi dengan mahasiswa, dan tugas-tugas yang harus dikerjakan mahasiswa. Beragam metode dan beragam media tentu sudah diketahui, tetapi apakah semuanya dimanfaatkan dalam memacu aktivitas mahasiswa? Proses perkuliahan hendaknya diisi dengan pemberian motivasi, membangkitkan harga diri, dan memunculkan inisiatif/kreativitas.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah sikap sebagai dosen. Apabila dianggap kedosenan itu sekadar sebagai pekerjaan, sekadar “numpang hidup”, proses perkuliahan cenderung kurang berbobot. Oleh karena hanya “pekerjaan” maka setelah bekerja sebagai dosen maka mereka juga bekerja sebagai pedagang, sebagai sopir, sebagai calo, sebagai “sebagai”, dan sebagainya. Tidak jarang terlihat, dosen membawa barang dagangan ke kampus, menjual barang-barang tertentu yang tidak ada hubungannya dengan kedosenannya.
Seharusnya kedosenan itu dimaknai sebagai profesi sehingga dosen tampil sebagai profesional. Tentu dosen sudah tahu karakteristik profesional, menekuni profesi dari bangun tidur sampai tidur kembali. Apabila tidak sedang mengajar, maka kegiatan yang dilakukan adalah mengembangkan profesi itu (membaca, meneliti, dan menulis). Idealis kedengarannya, tetapi, kembali pada bidang lain, pengusaha sukses, politisi sukses, aktor dan penyanyi sukses pada umumnya mengakui bahwa mereka terus belajar karena kalau tidak mereka akan ditinggalkan oleh audien atau langganan mereka. Dunia yang penuh kompetisi ini menghendaki agar setiap profesi ditekuni sepenuh hati. Satu dari tujuh nasehat Steven Covey bagi orang-orang yang ingin sukses dan profesional adalah terus belajar: membaca, meskipun besok dunia ini akan ditelan tsunami.
c. Penilaian Perkuliahan
Penilaian perkuliahan tercermin dari alat yang digunakan (bagaimana dikembangkan, bagaimana diadministrasikan, dan bagaimana diputuskan hasilnya). Apabila aspek ini ditanyakan kepada mahasiswa, tentulah aspek-aspek itu terkait dengan kesesuaian materi perkuliaan dengan soal-soal yang dibuat dosen, waktu yang digunakan, sistem penilaian, dan harapan mahasiswa terhadap perkuliahan itu. Apabila ditanyakan kepada dosen, aspek-aspek yang perlu diketahui yaitu: alat tes apa yang mereka gunakan, kapan mereka melakukan, bagaimana mereka memutuskan perolehan mahasiswa.
Ketiga hal itu (a, b, dan c), sebenarnya, tercermin dalam silabus yang dikembangkan dosen karena, paling kurang, silabus mencakup tujuan perkuliahan, topik-topik perkuliahan, sistem penilaian, referensi yang digunakan, dan metode perkuliahan. Di samping itu, perkuliahan yang baik ditandai, paling kurang, oleh beberapa karakteristik, yaitu (1) terognisasi dengan baik, (2) ketertarikan pada subjek, (3) bersahabat, (4) fleksibel, (5) bermanfaat, (6) memunculkan kreatif, (7) jelas baik teori, metodologi, maupun prosedurnya, (8) menimbulkan semangat, (9) menarik bagi mahasiswa, (10) terbuka, (11) sistematis, dan (12) committed. Perkuliahan yang menarik itu diperkirakan menghasilkan (1) kompetensi dalam subjek matter, (2) keterampilan komunikasi, (3) komitmen untuk memfasilitasi belajar mahasiswa, dan (4) perhatian terhadap mahasiswa secara individual. Karakteristik-karakteristik itu, meskipun dihasratkan dan perlu, sesungguhnya, belum cukup untuk menandai atau mendeskripsikan perkuliahan yang baik, tetapi paling kurang, hal itu sudah dapat dijadikan indikator apabila dikembangkan instrumen untuk monitoring perkuliahan.
2. Bentuk Monitoring/ Evaluasi Pembelajaran
Secara umum dapat disepakati bahwa tujuan monitoring dan evaluasi adalah untuk mendapatkan umpan balik dari para mahasiswa. Umpan balik itu tidak hanya berguna bagi dosen, tetapi juga bagi mahasiswa. Bagi mahasiswa, umpan balik diperlukan untuk belajar, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik tentang apa yang sedang mereka lakukan. Bagi dosen, umpan balik berguna untuk mengetahui apakah yang mereka lakukan di dalam kelas benar atau salah. Apabila diduga terjadi kesalahan/kekurangan, dosen mengharapkan mahasiswa menyampaikan apa kesalahan/kekurangan itu.
Lantas bagaimana melakukannya? Apakah langsung meminta mahasiwa menceritakan kekurangan-kekurangan dosen dalam mengajar? Mungkin tidak, karena belum tentu dosen siap menerima kekurangannya secara langsung. Oleh sebab itu, mungkin diperlukan alat-alat untuk menjaring pendapat mahasiswa melalui angket.
Secara teoretis dapat disarankan tiga macam bentuk upaya mendapatkan umpan balik (memperoleh, memproses, dan menggunakan hasilnya) proses pembelajaran (http://www.brookes.ac.uk/services/ocsd/firstwords).
a. Umpan balik pada saat pembelajaran berlangsung
Sebelum pembelajaran berakhir, katakan kepada mahasiswa: “Saya senang apabila Anda menyampaikan beberapa hal tentang presentasi yang baru saja saya lakukan. Saya memerlukan informasi itu untuk mengecek apakah saya telah melakukannya dengan tepat. Tolong Anda sampaikan 2, 3, atau 5 hal yang menurut Anda penting yang Anda peroleh dari isi presentasi tadi.” Apa yang disampaikan mahasiswa perlu dicatat. Dengan mengajukan permintaan seperti itu, mahasiswa tidak sedang meras diuji, tetapi sedang memonitor presentasi yang dilakukan dosen.
Cara lain adalah dengan menulis beberapa pernyataan berkaitan dengan presentasi yang dilampirkan pada handout, misalnya (a) Saya mengerti isi perkuliahan ini; (b) Saya memerlukan tambahan contoh untuk memahami perkuliahan ini; (c) Jalannya perkuliahan ini sedikit lambat; (d) Saya masih mempunyai beberapa pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban; (e) Memberikan perhatian terhadap perkuliahan ini benar-benar suatu perjuangan; (f) Gaya perkuliahan kali ini lebih hidup daripada minggu sebelumnya. Kemudian, berikan kemungkinan (skala) respon untuk setiap pernyataan: (1) sangat setuju, (2) setuju, (3) ragu-ragu, (4) tidak setuju, dan (5) sangat tidak setuju. Minta mahasiswa untuk mengisi/merespon pernyataan itu, kemudian minta kembali isian mereka. Mungkin diperlukan beberapa menit untuk menganalisisnya. Minggu berikutnya, dapat ditayangkan ringkasan respon mereka. Dosen juga dapat menyampaikan kepada mahassiwa bagaimana presentasi akan diubah minggu-minggu berikutnya untuk kembali meminta respon mereka.
Selain dengan daftar pernyataan yang perlu disrespon tertulis itu, juga dapat diminta langsung kepada mahasiswa untuk memberi respon dengan meminta mereka tunjuk-tangan. Misalnya, diajukan pertanyaan:
a. Apakah Anda memerlukan contoh lain tentang metode ini? Silakan tunjuk tangan!
b. Dapatkan saya menjelaskan lebih cepat sekarang agar materi perkuliahan lebih cepat selesai? Tolong tunjuk tangan siapa yang setuju!
c. Siapa yang merasa perlu untuk beristirahat?
Pertayaan-pertanyaan itu akan memberikan kesan kepada dosen bagaimana mahasiswa merespon perkuliahan yang dilaksanakan.
Sebelum melakukan ini, dosen perlu bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya termasuk dosen yang expose position, yang suka menanya mahasiswa tentang pikiran/pendapat mereka terhadap perkuliahan yang saya berikan? Bagaimana kalau mereka menyampaikan sesuatu yang kritis tentang saya? Misalnya, ‘Perkuliahan Ibu/Bapak sulit dipahami; metode yang Ibu/Bapak gunakan tidak menarik?’ Bagaimana saya meresponnya?”
Sesuatu yang pasti, setiap mahasiswa mempunyai opini tentang perkuliahan dosen, apakah mereka menyampaikannya atau tidak. Dosen harus siap dengan segala kemungkinan. Sesuatu yang pasti pula, pada umumnya mahasiswa akan meresponnya dengan ungkapan “Baik!” Tentu dosen tidak selalu setuju dengan respon seperti itu. Dosen pun tidak harus mengikuti semua saran mahasisswa. Akan tetapi, mereka juga mempunyai ide-ide yang baik yang dapat dipraktikkan. Hubungan yang baik antara dosen dan mahasiswa akan menimbulkan sesuatu yang produktif, bagi dosen dan bagi mahasiswa.
b. Umpan balik di luar kelas
Meminta respon di dalam kelas seperti di atas sangat bermanfaat untuk mendapatkan umpan balik langsung tentang perkuliahan. Namun, mahasiswa tidak mempunyai cukup waktu untuk berpikir sebelum menyampaikannya. Mahasiswa juga cenderung tidak memberikan umpan balik yang cukup panjang yang dapat digunakan untuk membangun gambaran bagaimana persepsi mereka tentang perkuliahan yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengubah gaya perkuliahan. Mereka tidak menyediakan data yang cukup untuk mengevaluasi perkuliahan. Mungkin diperlukan cara lain.
Cara kedua adalah dengan memberikan angket yang lebih terstruktur. Buatlah sebuah perencanaan dengan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri:
a. Aspek utama apa dari perkuliahan saya yang memerlukan umpan balik? Buatlah sebuah daftar yang berisi, misalnya: “Dapatkah suara saya didengar dari belakang; dapatkah mahasiswa memahami presentasi/perkuliahan saya; apakah tugas-tugas yang saya berikan kepada mereka sudah jelas (petunjuknya)?” Pastikan untuk mendaftarkan aspek utama yang menjadi kepedulian Anda.
b. Aspek apa saja dari perkuliahan saya yang mungkin mahasiswa ingin memberikan beberapa umpan balik? Tempatkan diri Anda pada posisi sebagai seorang mahasiswa. Bayangkan/ pikirkan tentang salah satu kelas yang baru saja Anda bimbing. Apa yang mungkin mereka inginkan untuk disampaikan (umpan balik) kepada Anda? Mungkinkah mereka diberi waktu untuk berpikir selama perkuliahan? Dijadikan apa handout yang Anda berikan kepada mereka setelah kelas berlangsung? Anda mungkin mendapat beberapa clue tentang perhatian dan semangat mahasiswa dengan mengingat pertanyaan yang mereka ajukan atau alasan yang menyebabkan mereka terlihat senang atau bingung. Anda akan mendapat beberapa bantuan dengan memperhatikan catatan-catatan yang Anda buat ketika melakukan cara pertama. Catatan itu dapat membantu Anda untuk menambah daftar yang perlu ditanyakan kepada mahasiswa.
c. Berapa lama saya menyiapkan angket? Apakah angket yang akan dibuat ini untuk digunakan berulang-ulang atau sekali pakai? Apakah angket itu akan diisi dengan menggunakan ABO atau lembar jawab biasa?
d. Berapa lama saya (harus) menyediakan waktu untuk menganalisis angket ini? Perkiraan ini penting karena perkuliahan terus berjalan. Anda tidak mempunyai banyak waktu untuk mengolah, mengambil kesimpuan, dan menyampaikan hasilnya kepada mahasiswa.
e. Bagaimana saya menggunakan hasil angket ini? Tidak ada gunanya Anda mengajukan pertanyaan tentang isi, struktur, dan asesmen perkuliahan apabila tidak mengontrolnya, atau apabila Anda merasa tidak dapat mempengaruhi mereka dengan cara apapun. Ajukan sejumlah pertanyaan dalam lingkungan pengaruh Anda.
Dosen dapat menggunakan angket terbuka atau tertutup, bergantung pada jawaban yang diperlukan. Jika diperlukan jawaban yang panjang, gunakan angket terbuka (“Apa yang harus saya lakukan untuk membuat kelas ini lebih menarik?”); sebaliknya apabila cukup jawaban singkat, gunakan saja angket tertutup, misalnya:
No.
|
Pernyataan
|
SS
|
S
|
N
|
TS
|
STS
|
1.
|
Contoh-contoh sangat menarik.
| |||||
2.
|
Saya memahami konsep utama.
| |||||
Dst.
|
Mahasiswa akan sangat menghargai ketika terlibat dalam membantu dosen untuk mengevaluasi perkuliahan yang dilaksanakan. Mereka akan memberikan rasional secara langsung tentang dosen di dalam jawaban mereka. Semangat kelas akan meningkat.
c. Umpan balik dari sejawat
Sejawat (kolega sesama dosen), apakah mereka dosen baru atau dosen berpengalamanan dapat memberikan umpan balik yang bermanfaat tentang perkuliahan. Bahkan, umpan balik dapat dilaksanakan bersama-sama dengan mereka. Pilih sejawat yang dipercayai untuk memberi umpan balik yang bermanfaat. Sepakati aspek-aspek yang akan dimintai umpan baliknya. Sepakati juga siapa saja orang lain yang boleh melihat atau mendengar umpan balik yang saling disampaikan. Umpan balik yang disampaikan dpat langsung didiskusikan. Misalnya, “Tadi Anda bilang saya mengabaikan pertanyaan mahasiswa, kapan secara pasti saya mengabaikan pertanyaan mahasiswa? Apa alasan Anda bahwa saya mengabaikan pertanyaan mahasiswa? Menurut Anda apa yang menyebabkan hal itu terjadi? Bagaimana sebaiknya saya memperbaiki sikap itu?”
Kegiatan meminta umpan balik sejawat ini dapat dilakukan sesering yang disepakati. Di samping itu, penerima umpan balik beruntung karena mereka menerima dukungan perhatian kritis secara terbuka tentang pelaksanaan perkuliahan dari seorang kolega. Pemberi umpan balik juga beruntung karena memberikan perhatian kritis secara terbuka kepada pelaksanaan perkuliahan sejawat lain, mengajukan pertanyaan sendiri tentang hal itu. Pertanyaan-pertanyaan itu akan berpengaruh kepada diri sendiri apabila juga diajukan kepada (perkuliahan) sendiri (apa yang patut dipelajari dari diskusi ini dan apa yang patut dihindari dari hasil diskusi ini).
Umpan balik sejawat ini dapat direncakan dengan (a) menentukan sejawat/kolega, dianjurkan, tetapi tidak harus, sejawat yang sebidang. Mereka haruslah seseorang yang dipercayai dan respek terhadapnya; (b) bujuklah mereka untuk melaksanakan umpan balik sejawat; (c) dalam pelaksanaan obserbvasi di kelas, sampaikan kepada mahasiswa siapa orang misterius yang duduk di belakang dan apa yang mereka kerjakan di sana; (d) kapan waktu waktu diskusi, buatlah kesepakatan. Misalnya:
· Apa saja cakupan umpan balik yang diharapkan? Buatlah daftar masing-masing, tetapi untuk sekadar memulai, misalnya: kejelasan organisasi dan struktur perkuliahan, kejelasan pernyataan tujuan perkuliahan, keterdengaran presentasi, penggunaan alat peraga, tingkat kedekatan dan respon terhadap mahasiswa, kepantasan dan kebermanfaatan hand out, menggunakakan aktivitas di dalam kelas secara memadai, kejelasan dan kerasionalan tugas-tugas perkuliahan (PR).
· Tanggal dan waktu perkuliahan yang akan diobservasi.
· Cara mengobservasi dikelas (misalnya, ikut berpartisipasi atau cukup dengan diam mengamati).
· Rancangan umpan balik—tertulis (sepanjang apa, apa bentuknya, kapan dikembalikan), atau lisan (sepanjang apa dan kapan),
Berdamailah dengan diri sendiri. Jika Anda mengevaluasi perkuliahan karena merasa mesti, tetapi tidak benar-benar siap untuk melakukan perubahan dalam praktek, kemudian tidak menyediakan waktu untuk berlatih, Anda hanya membuang-buang waktu mahasiswa dan waktu Anda sendiri. Namun, jika Anda bersedia untuk mengubah perkuliahan, permintaan umpan balik dapat menjadi sangat bernilai/bermanfaat. Proses mendapatkan umpan balik ini hendaknya dilakukan secara konstruktif. Kegiatan ini diharapkan akan meningkatkan mutu perkuliahan/pembelajaran. Orang-orang yang bertanya untuk dan menerima umpan balik mesti siap untuk berubah apabila memang disadari kelemahan-kelemahan yang disarankan.
KESIMPULAN
Kemampuan mengajar yang disebut berbasis kompetensi, pertama-tama ditentukan oleh kompetensi dosen, baik kompetensi dalam pengusaan bidang ilmu maupun kompetensi mengelola proses pembelajaran. Selain dosen, seperti alat-alat, media, sumber, materi, dan ruang juga penting, tetapi kedosenan/keguruan jauh lebih penting.
Perkuliahan/pembelajaran baru dapat dikatakan sukses apabila mahasiswa mampu menguasai pengetahuan, menerapkan pengetahuan baik untuk keperluan tugas di kelas maupun situasi baru di luar kelas serta kemampuan mahasiswa untuk berpikir bebas. Untuk berbagai pengalaman belajar mesti diberikan kepada mahasiswa.
Kualitas pendidikan dan pembelajaran yang dilaksanakan setiap hari merupakan gambaran dari upaya dosen dalam memaknai tugas-tugas sebagai dosen. Apabila dosen berorientasi pada mutu maka mereka akan berupaya bagaimana caranya agar mutu itu meningkat. Peningkatan mutu, pada dasarnya, tidak cukup dilaksanakan sendiri-sendiri sebagai dosen, tetapi hendaknya dilakukan secara bersama-sama. Kegiatan monitoring dan evaluasi merupakan salah satu cara untuk mengetahui mutu perkuliahan/ pembelajaran yang dilaksanakan. Monitoring perkuliahan sekurangnya diarahkan pada isi, proses, dan penilaian hasil.
RUJUKAN
Anon. “A guide to the first words on teaching and learning,” (http://www.brookes.ac.uk/services/ocsd/firstwords). (01/10/05)
Anon. “Monitoring dan Evaluasi Partisipatif,” (http://www.deliveri.org/guidelines/training) (01/10/05)
Ashcroft, Kate. 1995. The Lecturer’s Guide to Quality and Standars in Colleges and Univesities. London: The Falmer Press.
Canfield, Jack & Mark Victor Hansen. 2004. Chiken Soup for the Teacher’s Soul. Jakarta: Gramedia.
Ekroman, Sri Soejatminah, Quality Assurance dalam Sistim Pendidikan Tinggi, http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/34/quality_assurance_dalam_sistim_dikti.htm. (01/10/05)
Karlof, Bengt & Ostblom, Svante. 1993. Benchmarking, A Singpost to Excellence in Quality and Productivity. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Prayitno. 2006. Sekolah Efektif (Power point). Padang: UNP.
Pullis, Earl V. dan Young, James D. 1968. A Teacher is Many Thing. Bloomington: Indiana University Press.
St- Hyacinthe, www.qesnrecit.qc.ca/reform/pd/docs/lemay/Competency_ Based_Teaching.ppt_22/9/05)
Sullivan, Rick. 1995. “The Competency-Based Approach to Training”. http://www.reproline.jhu.edu/english/6read/6training/cbt.html (12/08/06).