Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Jumat, 10 Oktober 2014

Pentingnya Analisis dan Penulisan Karya Melalui cara Kritik Seni (Bagian 2)

Hal.2

Peran Ilmu Filsafat bagi Para Penulis, Kurator dan Kritikus untuk menulis
Tulisan ini dilengkapi dan direvisi tgl.28-08-2015
Konsep tentang peran filsafat dan bagaimana proses pembelajaran filsafat untuk seni rupa  telah penulis tulis sejak tahun 2009 (lihat tulisan ini). Filsafat dipelajari dalam konteks "respon estetik".

Oleh Nasbahry Couto
FILSAFAT merupakan perbincangan mencari hakikat sesuatu gejala atau segala hal yang ada. Artinya, filsafat merupakan landasan dari sesuatu apapun, tumpuan segala hal. Apabila kehidupan berpengetahuan itu diibaratkan sebuah pohon maka filsafat adalah akarnya, yaitu bagian yang berhubungan langsung dengan sumber kehidupan pohon itu, sedangkan batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan buah menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan.
Jelas bahwa filsafat adalah wahana untuk melahirkan cara berpikir manusia untuk berbeda-beda dalam melihat dan memaknai realitas hidup, dan khususnya untuk memaknai seni oleh para penulis seni, kurator seni dan kritikus seni. Filsafat  itu sendiri mengandung aspek etika, estetika, kebenaran dan moralitas, yaitu mana yang dianggap baik, indah serta bermakna agung bagi manusia. Oleh karena itu timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya manusia berfilsafat dalam seni, dan apa saja perihal sebuah pemikiran atau tulisan dapat menjadi filosofis, atau filsafat seni. Banyak yang tidak menyangka bahwa berfilsafat itu adalah pekerjaan sehari-hari manusia, jadi berfilsafat bukanlah sesuatu yang luar biasa dan hanya filsafat yang berasal dari para pemikir dan filsuf.
KAJIAN filsafat itu sangat luas dan sudah banyak pula buku-buku yang membahas masalah ini maka penulis tidak lagi akan membahas teori dan sejarah filsafat seni secara mendalam pada laman ini. Silahkan Anda membaca buku filsafat itu.

Oleh karena itu tulisan ini bermaksud untuk mempermudah Anda dalam menulis. Setidaknya tulisan ini membantu memahami filsafat seni secara sederhana, yaitu bagaimana para penulis setelah dapat "membaca" karya seni yng dibahasnya secara deskriptif, analisis, kemudian masuk kewacana interpretatif dan evaluatif , khususnya yang bernuansa filsafati. 

Uraian ini  dimulai dengan memberikan beberapa contoh tulisan  yang bernuansa filsafat , kemudian dilanjutkan dengan konsep-konsep penulisan yang lebih sistematis.

Catatan:Tokoh-tokoh yang dianggap berpikir sebagai filsuf di Indonesia di lampirkan pada bagian akhir laman ini

Unsur Filsafat pada Pembahasan Seni

CONTOH  (1). CATATAN KURATORIAL

Pada awal tulisan, penulis mengkritik situasi mainstream seni, yang ada sebelum masuk ke perenungan filsafati (Catatan Kuratorial, http://blog.imamchb.com/?page_id=2)
"Pada masa kini, minat orang pada dimensi spiritualitas telah menjadi kecenderungan yang umum, bahkan pada sebagian kalangan telah menjadi semacam mode. Di toko-toko buku, berbagai jenis buku yang berkaitan dengan topik spiritualitas dapat ditemui di rak-rak, dari yang berkenaan dengan spiritualitas agama, spiritualitas “quotient” atau kecerdasan spiritualitas, penyembuhan spiritualitas, manajemen spiritualitas hingga gaya hidup spiritualitas. Meskipun demikian, di dunia seni, terutama dunia seni rupa kontemporer, isu tentang spiritualitas rupanya masih belum menjadi “arus utama” , karena hingga kini, arus utama seni rupa masih nampak didominasi oleh tema kerakyatan atau tema kritik sosial. Dalam kondisi seperti itu, gaya seni yang nampak sering muncul adalah gaya Realisme dan gaya figuratif dalam berbagai jenisnya, baik yang satire, parodi, karikatural maupun yang realistis. Di tengah situasi seperti itu, kehadiran karya lukisan Imam Choirul Basri dengan gaya yang abstrak dan tema spiritual nampak seperti menentang arus, sehingga memerlukan penjelasan tersendiri". 
Dan penulis menyimpulkan
"Masa kecil dari lingkungan pesantren juga berperan besar dalam penguasaan khat yang nampak dominan dalam sebagian besar lukisannya. Untaian ayat-ayat suci Al-Qur’an yang hadir dalam lukisan-lukisan Imam Ch. B. menambah bobot spiritualitas keislaman yang seperti mata air, memancar dan menyiram kita, para pengamat, dengan siraman dan celupan (shibgah) yang memberikan ketentraman, kesejukan, dan kedamaian di tengah kehidupan sehari-hari yang penuh dengan urusan duniawi".
(Catatan Kuratorial, http://blog.imamchb.com/?page_id=2)
CONTOH (2) AHMAD SADALI
"Ahmad Sadali menemukan gaya Abstrak Meditatif itu melalui proses pergulatan yang panjang. Karakteristik gaya ini terdapat pada penggunaan medium warna emas, teknik tektur, tema gunungan, batang-batang, dan kaligrafi Arab yang disusun sedemikian sehingga karya itu mengkonotasikan dan mengasosiasikan hakikat kefanaan, kesementaraan, dan kerapuhan dunia yang dihadapkan dengan keabadian, kesempurnaan dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Konotasi atau asosiasi itu diperoleh pengamat melalui bentuk-bentuk seperti retakan, lelehan, sisa-sisa emas, robekan, kelapukan, keusangan, kekunoan (archaic), kehancuran, warna-warna tanah, tanda-tanda silang, simbol-simbol geometris, gunungan, batang-batang, dan tekstur yang mengesankan kepadatan, kekunoan atau pun kelapukan".  
CONTOH (3) "KETEGANGAN DAN KELENTURAN"

"Lukisan “Human Eksistence”, mengingatkan saya pada sosok yang khusyuk. Ditegaskan dengan sangat nyata dalam lukisan Brekeley ini, sebentuk wajah yang tertunduk dengan mata terpejam; wajah-wajah yang pasrah. Warna merah dan jingga awan yang menaunginya, menciptakan kesan keterlemparan subjek dalam semesta cakawala yang tak terduga batasnya. Bahkan saya tak menemukan sensasi keceriaan dalam wajahnya. Fenomena visual ini tentu mengingatkan saya pada keadaan para jemaat di tempat peribadatan, tempat yang meluluhkan kecendrungan manusia untuk berkuasa, menuju dunia kehambaan dan kepasrahan. Wajah-wajah itu tenang, terlalu tenang. Tentu saja mereka tidak berdoa melalui lisan, karena bibir mereka terkatup rapat.
Namun dalam lukisan ini, adanya guratan otak yang bagi saya menciptakan kesan paradox, sekalipun ditampakkan samar. Otak yang menjadi tonggak kedigjayaan manusia, hadir sebagai bentuk yang berbeda. Saya pun curiga. Lantaran bentuknya yang cukup dominan, membuat saya tidak bisa lagi mengatakan bahwa sosok itu adalah sosok yang polos. Melainkan kepolosan yang digerakkan intrik. Ya, semacam spiritualitas yang pamrih". 

Dan akhirnya penulis menyimpulkan
"Dari dialog singkat dengan karya-karyanya, saya hanya bisa menduga, bahwa lukisan-lukisan Brekeley menampakkan imajinsi visual perupa tentang spiritualitas. Tentang dosa, doa, kengerian, dan sebagainya". 
Rifqi Muhammad, Ketegangan dan Kelenturan  09-2010 
https://rifqiblog.wordpress.com/2010/09/14/ketegangan-dan-kelenturan-lukisan/#more-580


Mempelajari Kalimat atau Kata yang Bersifat Filosofis

Dari contoh kutipan -kutipan atau tulisan di atas tentu terdapat paragraf atau kalimat-kalimat atau-kata-kata yang berkonotasi filosofis? Tetapi sebelum itu perlu untuk memahami derajat kesulitan filosofis yang terkandung dalam sebuah tulisan seperti (1) mengetahui, (2) mengindentifikasi, (3) mengkomparasi, dan (4) menilai pernyataan-pernyataan filosofis. Hal ini berguna untuk memahami  dan mengolah sumber-sumber pernyataan filosofis itu,

I. KEMAMPUAN MENGETAHUI: Menulis kata atau kalimat yang bersifat filosofis

Yaitu mengetahui bagaimana bentuk-bentuk tanggapan pernyataan filosofis tentang karya seni. Pernyataan yang bersifat filosofis umumnya dalam bentuk kalimat atau kata-kata pertanyaan tentang sesuatu, tetapi jawaban pertanyaan itu bukanlah sebuah jawaban tunggal, misalnya
  • Pernyataan atau kata baik, buruk. Apa kebaikan itu, apa keburukan itu? jawabannya relatif dan dapat dipertanyakan terus menerus, tidak ada habisnya, sehingga bisa masuk tataran filosofis
  • Indah, cantik, bagus, apa keindahan itu? Bagaimana keindahan menurut Agama, menurut budaya dan Anda dan seterusnya, dapat dipertanyakan dan jawabannya tidak tunggal
  • Benar, tidak benar, apa kebenaran itu? Apakah Moral dan Etika itu ?
  • Abadi, fana, apakah keabadian itu?
  • Dan banyak yang lainnya lagi, seperti perkataan yang berasal dari filsafat Pendidikan, Negara, dan seterusnya. 

1.a. Contoh pernyataan filosofis yang umum.
  • Saya percaya anak-anak adalah masa depan kita  dan ajari mereka dengan cara yang mudah
  • Tunjukkan semua kecantikan yang dimilikinya dan berikan mereka rasa harga diri
  • Biarkan tawa anak-anak  mengingatkan kita bagaimana kita menggunakannya untuk …..
1.b. Pelajari contoh pernyataan Filosofis Pendidikan (sample # 2  DISINI)

1.c Contoh pernyataan filosofis bidang Seni :
(a) "Keindahan sebuah lukisan tergantung dari si pelukisnya. Keindahan kisah cinta tergantung dari si pelakunya"
(b) "kaligrafi Arab yang disusun sedemikian sehingga karya itu mengkonotasikan dan mengasosiasikan hakikat kefanaan, kesementaraan, dan kerapuhan dunia yang dihadapkan dengan keabadian "
(c) "Namun dalam lukisan ini, adanya guratan otak yang bagi saya menciptakan kesan paradox, sekalipun ditampakkan samar. Otak yang menjadi tonggak kedigjayaan manusia, hadir sebagai bentuk yang berbeda. Saya pun curiga. Lantaran bentuknya yang cukup dominan, membuat saya tidak bisa lagi mengatakan bahwa sosok itu adalah sosok yang polos. Melainkan kepolosan yang digerakkan intrik. Ya, semacam spiritualitas yang pamrih"
(d) "Untaian ayat-ayat suci Al-Qur’an yang hadir dalam lukisan-lukisan Imam Ch. B. menambah bobot spiritualitas keislaman yang seperti mata air, memancar dan menyiram kita, para pengamat, dengan siraman dan celupan (shibgah) yang memberikan ketentraman, kesejukan, dan kedamaian di tengah kehidupan sehari-hari yang penuh dengan urusan duniawi".  
Kata-kata yang bersifat filosofis umumnya bersifat penafsiran, interpretatif, konotatif, misalnya kata
  • indah, kecantikan
  • kerapuhan dunia
  • keabadian
  • spiritual yang pamrih
  • kedamaian
  • selera (taste)
  • harga diri, 
  • dst.
1.d.Contoh pernyataan yang bukan bersifat filosofis dapat dilihat dari inti kalimat atau paragraf berikut ini yang sifatnya deskriptif dan analitis:
(a) "Fenomena visual ini tentu mengingatkan saya pada keadaan para jemaat di tempat peribadatan, tempat yang meluluhkan kecendrungan manusia untuk berkuasa, menuju dunia kehambaan dan kepasrahan".(gambaran keadaan)
(b) "Bidang keriput menggambarkan waktu yang panjangnya relatif, besarnya waktu adalah mulur-mungkret sesuai dengan filosofi Einstein. Waktu diukur berdasarkan bagaimana manusia merasakannya".(gambaran tentang waktu) 
(c)" Pameran Besar Seni Rupa Kontemporer, Desain dan Kria ini terpaksa menggunakan citra rancu, seolah-olah seni rupa kontemporer, desain dan kria, adalah tiga bidang terpisah. Namun hanya dengan cara ini, informasi pameran bisa dikomunikasikan". (gambaran tentang sebuah pameran)
Jadi filsafat seni sebenarnya muncul dari kemampuan penulis menuliskan kalimat-kalimat dan kata-kata yang bermakna filosofis dan dan atau perenungan manusia, dan pernyataan filosofis dari faham atau aliran pemikiran tertentu. Sebuah tulisan seni dapat terlihat filosofis jika mampu memperlihatkan hal-hal yang bermakna, bernilai dan menjadi pedoman dan pembelajaran bagi manusia yang membacanya.

Kemampuan yang dituntut dari penulis adalah, mampukan si penulis melihat, atau dapatkah karya seni  itu diungkapkan penulis menjadi hal-hal yang bersifat unik dan indah atau yang tidak indah, jelek, bagus, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Paling tidak, apakah karya seni itu pernah menjadi indah, bagi sipenulis.

II. KEMAMPUAN MENGINDENTIFIKASI FILOSOFI KARYA SENI DAN BUDAYA
Kemampuan mengindentifikasi yaitu pemakaian simbol-simbol ekspresi / ungkapan yang dapat menunjukkan makna filosofis  dari  karya  seni  dan  budaya, misalnya ungkapan yang terdapat pada lukisan budaya Jawa atau Bali di bandingkan dengan sebuah ungkapan yang berasal dari budaya etnis lainnya.

Makna filosofis yang berasal dari budaya, akan Anda ketahui, jika pernyataan filsafat atau pandangan hidup itu berasal dari budaya tertentu. Seperti contoh di bawah ini.
"Kain poleng dalam budaya Bali merupakan penghayatan konsep Rwa Bhineda, suatu konsep keseimbangan antara baik dan buruk yang menjadi ajaran tantrik (tantrayana). Diharapkan dengan menjaga keseimbangan antara kebaikan dan keburukan dapat menciptakan kesejahteraan dalam kehidupan. Setelah itu barulah muncul kain poleng Sudhamala dan Tridatu. Kehadiran kain poleng Sudhamala dan Tridatu berdasarkan perkembangannya warna ini juga mecerminkan tingkat pemikiran manusia, yakni dari tingkat sederhana menuju perkembangan yang lebih sempurna. Makna filosofis kain poleng Rwa bineda adalah rwahbineda itu sendiri. Menurut paham Hindu Rwa Bhineda itu adalah dua sifat yang bertolak belakang yakni hitam dan putih, baik dan buruk dan sebgainnya.
 "Pelukis" Ponco mengolah simbol-simbol magis dan gambar rerajahan mistis Bali, dikaitkan dengan corak kain poleng. Hal itu terlihat pada lukisan berjudul Deling, Manca Rupa, Mega Mendung,Sasuruh Ijo, dan Tumpal Poleng. Ponco menyesuaikan tekstur-tekstur lukisannya dengan filosofi dan energi dari simbol-simbol tersebut. Pada karya-karya mix media, Ponco menempelkan perca-perca kain poleng pada bidang kanvas, membentuk komposisi tertentu".
Sumber:http://jurnal-jengki.blogspot.com/2014/02/ponco-dan-poleng.html



III. KEMAMPUAN MEMBANDINGKAN  (COMPARING) FILSAFAT BUDAYA DAN FILSAFAT INDIVIDU
Kemampuan membandingkan dan membedakan makna filosofis kerja  seni dan  budaya  dari kelompok dan  individu yang berbeda. 

Misalnya, konsep kelompok atau gaya kelompok tentang teater musikal dibandingkan  konsep individu tentang teater musikal). Konsep seni dalam kebudayaan tertentu, yang dipakai seniman dalam berkarya, misalnya konsep seni budaya Jawa atau etnis lain yang ada di Indonesia ini.

Contoh: Latar Belakang Kelompok Filsafat Modern
"Dari sudut pandang sejarah Filsafat Barat melihat bahwa masa modern merupakan periode dimana berbagai aliran pemikiran baru mulai bermunculan dan beradu dalam kancah pemikiran filosofis Barat. Filsafat Barat menjadi penggung perdebatan antar filsuf terkemuka. Setiap filsuf tampil dengan gaya dan argumentasinya yang khas. Argumentasi mereka pun tidak jarang yang bersifat kasar dan sini, kadang tajam dan pragmatis, ada juga yang sentimental. Sejarah filsafat pada masa modern ini dibagi ke dalam tiga zaman atau periode, yaitu: zaman Renaissans (Renaissance), zaman Pencerahan Budi (Aufklarung), dan zaman Romantik, khususnya periode Idealisme Jerman. K. Sumber: Bertens.1976.Ringkasan Sejarah Filsafat. Jogjakarta: Kanisius.42-89.
Modernisme ialah konsep yang berhubungan dengan hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya pada zaman modern. Konsep modernisme ini meliputi banyak bidang ilmu (termasuk seni dan sastra) dan setiap bidang ilmu tersebut memiliki perdebatan mengenai apa itu 'modernisme'. Walaupun demikian, 'modernisme' pada umumnya dilihat sebagai reaksi individu dan kelompok terhadap dunia 'modern', dan dunia modern ini dianggap sebagai dunia yang dipengaruhi oleh praktik dan teori kapitalisme, industrialisme, dan negara-bangsa". (Wikipedia, 2015) 
Contoh konsep filsafat Individual dalam kelompok seni moderen
"Pada abad ke-18, filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804) memusatkan perhatiannya kepada masalah nilai selera (taste). Menurutnya, objek-objek yang dinilai bagus (beautiful), atau seni yang disukai oleh manusia karena  adanya unsur disinterested (tidak mengandung kepentingan/kegunaan): salah satunya adalah perbedaan antara kesenangan (personal interest) dengan  kebutuhan (needs). Gula misalnya, tidak estetik tetapi dibutuhkan. Teori ini berdasarkan kepada pemikiran bahwa objek-objek yang estetik  sebenarnya tidak memiliki kepentingan tertentu (seperti kebutuhan akan moral, kebaikan, dsb.,) dan bahwa penilaian terhadap keindahan tidaklah sangat personal sekali tetapi lebih bersifat universal jadi sifatnya objektif. Seseorang dapat mengakui sesuatu indah, bukan karena dia mengikuti pendapat orang lain karena seni itu sebenarnya sangat objektif. Dasar respon keindahan menurut Kant, sebenarnya terdapat pada struktur pikiran seseorang". (Sumber: Couto, Nasbahry, 2009, Seni Rupa Teori dan Aplikasi, Padang: UNP Press, 255-256)
Contoh Filsafat Kelompok Budaya, yang bersifat keIndonesiaan
"Istilah Gunungan muncul dari dunia pewayangan. Dari sekian banyak boneka dalam satu kotak wayang kulit purwa, kita mengenal gunungan atau kayon. Gunungan bentuknya meruncing mirip gunung. Gunungan juga disebut kayon karena salah satu unsur pokok yang terdapat di dalamnya berupa kayu (pohon). Gambar pohon dalam gunungan melambangkan pohon kehidupan atau sumber ilmu pengetahuan.
Bagi orang Jawa, Gunungan menjadi lambang hidup dan penghidupan. Di dalamnya berisi filsafat sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup), anasir makrokosmos dan mikrokosmos yakni jagad gede, alam semesta beserta isinya dan jagad cilik, pribadi manusia serta tatanan atau tingkatan kehidupan manusia.Filsafat pewayangan membuat orang merenungkan hakekat, asal dan tujuan hidup, manunggaling kawula Gusti (hubungan gaib antara dirinya dengan Tuhan), kedudukan manusia dalam alam semesta, dan sangkan paraning dumadi (kembali ke asal) yang dilambangkan dengan tancep kayon oleh sang dalang pada akhir pagelaran".
Sumber:  http://syakieb-sungkar.blogspot.com/2012/02/sadali_17.html

Contoh Filsafat Kelompok (dalam sejarah seni rupa Indonesia modern)

KEMBALI KE  SATU SENI RUPA 
"Sebenarnya, seni rupa adalah seni yang melibatkan proses pembuatan yang memberikan kepuasan, gugahan estetis melalui cerapan indera rupa. Meliputi, ungkapan ekspresi (seni murni), dan, gubahan rupa barang fungsional (desain dan kria).

Namun seni rupa Indonesia, sebuah wajah terpecah. Semua cabangnya seni murni, desain dan kria — berkembang secara sektoral, menyangkal ada satu prinsip estetika mendasari semuanya. Namun citra ini telah menancap lanjut, membagi-bagi, dan mengklasifikasi kadar nilainya. 

Pameran Besar Seni Rupa Kontemporer, Desain dan Kria ini terpaksa menggunakan citra rancu, seolah-olah seni rupa kontemporer, desain dan kria, adalah tiga bidang terpisah. Namun hanya dengan cara ini, informasi pameran bisa dikomunikasikan.

Tapi di balik judul rancu itu, kurasi pameran menyamakan semua cabang seni rupa (seni lukis, seni patung, seni grafis, seni serat, seni keramik, instalasi, desain interior, desain grafis, desain produk, desain tekstil, desain busana, desain aksesori, kria kayu, kria keramik, dan kria bambu) tanpa menempatkannya pada sebuah hirarki nilai. Kendati setiap cabang mempunyai tujuan yang mengikat kadar nilai yang dibawanya, semuanya sama indah".
Sumber: http://dgi-indonesia.com/jim-supangkat-kembali-ke-satu-seni-rupa/ 

Contoh konsep filsafat Individu seni moderen yang berakar dari kelompok budaya atau kelompok sosial, golongan (group)


(a) AHMAD SADALI (oleh:Syakieb Sungkar)
"Sadali menerjemahkan gunungan dalam kanvasnya yang disilang diagonal dari ujung satu ke sudut kanvas lainnya, membentuk  tanda “X” yang memisahkan 4 bidang dimana masing-masing bidang mempunyai arti yang tersendiri. Bidang bawah menggambarkan alam, bidang atas adalah Tuhan. Dua bidang disamping kiri dan kanan adalah manusia. Manusia harus hidup harmonis, karenanya diletakkan dalam bidang yang sejajar di kiri dan kanan.
Segitiga gunungan bisa juga mempunyai makna lain, Sadali kadang-kadang memaknai sebagai hubungan keluarga. Tuhan di puncak, Sadali di bawah, Atika istrinya dan Ravi putranya di kiri-kanan. Ravi adalah satu-satunya putra beliau. Posisi atas dalam kanvas-kanvas Sadali adalah porsi yang diberikan untuk Tuhan. Lihatlah karya “Lelehan emas pada bidang keriput” disamping ini. Horizon abu-abu pada bagian atas menggambarkan langit, dimana karunia Tuhan tercurah ke bumi dalam bentuk lelehan emas. Bidang keriput menggambarkan waktu yang panjangnya relatif, besarnya waktu adalah mulur-mungkret sesuai dengan filosofi Einstein. Waktu diukur berdasarkan bagaimana manusia merasakannya. Kalau dalam kondisi enak, manusia merasakannya sebagai sebentar sekali, sementara di dalam kondisi yang tidak nyaman, manusia merasakan waktu sebagai “lama sekali”. Tanda silang kecil dibagian kiri dan kanan atas adalah simbol dari persilangan hidup, tanda silang seperti itu akan banyak terdapat dalam karya-karya Sadali selanjutnya. Dan Ini merupakan jejak pengaruh dari seniman Spanyol Antoni Tapies".
Sumber:  http://syakieb-sungkar.blogspot.com/2012/02/sadali_17.html.
(b) "ANTARA-ESTETIKA-DAN-PROPAGANDA."
Seni grafis sebagai alat penyadaran kemudian identik dengan organisasi kebudayaan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), yang terbentuk pada 17 Agustus 1950. Beberapa seniman SIM kemudian bergabung dengan Lekra. Melalui media resminya, Zaman Baru, Lekra yang mengusung konsep “seni untuk rakyat” melanggengkan seni grafis. Misalnya dalam karya cukil kayu Arifin, “Ganyang Malaysia, Ganyang Film Imperialis AS” yang dimuat Zaman Baru tahun 1964. Karya ini merupakan refleksi dari suasana politik saat konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia dan semangat antineokolonialisme yang diterjemahkan ke dalam gerakan antifilm asing yang kebanyakan diimpor dari Amerika Serikat.
Darma Ismayanto, http://historia.id/budaya/antara-estetika-dan-propaganda

IV. KEMAMPUAN MENGEVALUASI PERNYATAAN FILOSOFIS INDIVIDU
Kemampuan terakhir yang diperlukan dalam sebuah ketrampilan penulisan yang berdasarkan kepada filsafat adalah kemampuan penulis untuk menilai (evaluasi) secara kritis pernyataan filsafat seniman atau penulis lainnya. 

Yaitu kemampuan Menilai atau mengevaluasi pernyataan filosofis  individu tentang karya  seni dan menghubungkannya dengan kehidupan berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya sendiri. (Yang umumnya berasal dari kajian filsafat) 

Kemampuan dalam mengevaluasi pernyataan filosofis dapat kita lihat pada tulisan atau karya-karya tulis Jim Supangkat.

Beberapa Contoh adalah berikut  ini.
  • "Filosofi Pelukis Sadali yang berfilsafat agama dalam berkarya, dapat dinilai sebagai bukan filosofi Agama" (Jim Supangkat, 2011)
  • "Abad ke-20, adalah kepercayaannya bahwa realitas tunduk pada takdir. Keyakinan ini menunjukkan pemahaman Affandi tentang realitas tidak kehilangan dimensi trensedensinya.  Pada wacana ekspresionisme Abad ke-20, tidak ada ruang untuk mempersoalkan keyakinan semacam ini".(Jim Supangkat, 2011)
  • "Dalam sejarah seni rupa lukisan landscape Abad ke 19 itu adalah ungkapan yang “representatif”.  Merupakan pengkopian relitas dalam upaya meyusun representasi—penggambaran realitas nyata—untuk mencari kebenaran pada kenyataan. Prinsip ini menunjukkan lukisan landscape masih berada pada tradisi realis.  Sementara itu visi dominan dalam sejarah seni rupa—bertumpu pada modernisme—mengubah sistem representasi pada tradisi realis ini karena dilihat merupakan upaya manusia mempertanyakan realitas dalam keterbatasan ilmu pengetahuan".(Jim Supangkat, 2011)
  • "Ada kesamaan di antara realitas yang dihadapi Andy Dewantoro dan Entang Wiharso dan realitas yang membangkitkan pemikiran William James walau keduanya berjarak tiga abad; posisi agama [Kristiani] dalam kehidupan di Eropa pada Abad ke 19 dan posisi agama [Islam] dalam kehidupan di Indonesia sekarang ini.  Namun ada juga kebedaannya. William James mencatat tanda-tanda kematian agama dan religiositas pada Abad ke-19 itu, sementara realitas yang dihadapi Andy Dewatoro dan Entang Wiharso sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ini".(Jim Supangkat, 2011)
Beberapa Kesimpulan
  • Untuk menjadi penulis Kritik Seni tidak selalu harus mempelajari filsafat. Sebab kritik bisa dilaksanakan pada tataran deskriptif saja.
  • Namun untuk menjadi kritkus seni yang handal, memang harus mampu mendalami filsafat sebagai akar bagi argumentasi-argumentasi berpikirnya.
Untuk memahami bagian kemampuan menilai atau mengevaluasi pernyataan filosofis ini penulis sengaja memasukkan salah satu tulisan Jim Supangkat  secara utuh dalam laman ini sebagai berikut ini.

Struktur tulisan Jim Supangkat adalah sebagai berikut.


Struktur tulisan: Penulis sengaja untuk menganalisis tulisan kuratorial Jim Supangkat dengan menggambarkannya dalam sebuah struktur, terutama untuk memahami  inti masalah filosofi dari tulisan ini (kritik terhadap kritikan Jim Supangkat). Masalahnya adalah bahwa  transedentalism dalam seni Indonesia menurut Jim Supangkat (dengan beberapa model karya seniman Indonesia sejak Raden Saleh sampai seniman kontemporer seperti Entang Wiharso), mundur ke persoalan seni abad ke 19 dalam konteks sejarah seni Barat,. Hal ini menurut Jim, menyebabkan, karya seni moderen Indonesia umumnya tidak mendapat tempat dalam kancah seni dunia. Sebab persoalan transedentalisme dalam sejarah modern Barat adalah  persoalan seni  pada masa lampau (abad ke-19 dan sebelumnya).
Kritik terhadap tulisan Jim adalah berikut ini.
  • Ada anggapan sementara bahwa pemikiran seni di Indoneia, menurut Jim Supangkat harus merupakan sambungan dari pemikiran dan filsafat filsuf  Barat, hal ini banyak keluar dari tulisan-tulisan Jim Supangkat.
  • Pemikiran serupa juga kita temukan dari pemikir Barat sendiri yang menilai bahwa seni Indonesia merupakan sambungan seni Barat (Seni post-colonial), baca buku tentang post kolonial ini , atau di internet lihat sastra post kolonial (wikipedia)
  • Apakah sebuah karya seni harus berasal dari pemikiran dan khususnya Barat? Bukankah seni harus dilihat sebagai tindakan reflektif (affordance) dan affect dari seniman Indonesia? Dan juga merupakan sambungan sejarah seni rupa Indonesia sendiri? (lihat teori-teori terbaru tentang seni, misalnya seni sebagai naluri manusia (Teori Dulton). Dan atau seni sebagai affordance di tulisan ini
  • Bukankah seni hanya semacam permainan (play in social living) dan diakhiri dengan pengukuhan "kelompok"-- kemudian dikukuhkan secara khusus sehingga menjadi "seni" (teori Disnayake). Buku karangan Disnayake  justru mengkritik  pendapat bahwa seni dunia harus berpedoman kepada perkembangan seni Barat abad ke-19 dan 20.
  • Bukankah seni menjadi seni dalam wilayah kekuasaan dan fenomena sosial yang ada yang pada hakekatnya berbeda di tiap sosial, dimana pelaku seni ada di dalamnya (Teori hegemony, teori area, dan teori institusional). Konflik atas hal ini memang memerlukan "re-negoisasi".
Catatan tentang seni pos kolonial
kolonialisme: Ekspansi imperialis Eropa ke seluruh dunia selama empat ratus tahun terakhir di mana dominasi imperium atau kekuatan terpusat dilaksanakan untuk mengontrol dan mempengaruhi dengan batasan tertentu kepada  koloninya. Hubungan ini cenderung meluas ke masalah sosial, pedagogik, ekonomi, politik, dan secara umumnya kepada budaya sering dalam bentuk hirarki  kelas sosial  antara orang Eropa dengan pribumi. Melalui orang berpendidikan, kelas elit membentuk lapisan antara orang Eropa sebagai "ibu" bangsa dan berbagai masyarakat adat yang dikontrolnya. Sistem seperti ini memungkinkan tumbuhnya gagasan rasialisme, rasa rendah diri dan sifat keberbedaan rasial yang eksotis.
post-kolonialisme: Secara umum adalah studi tentang efek kolonialisme pada budaya dan masyarakat tertentu. Hal ini berkaitan dengan hal yang kedua yaitu bagaimana pengendalian orang Eropa terhadap “Dunia Ketiga” dan bagaimana mereka menolak dan dan menangkis gangguan-gangguan itu. Pasca-kolonialisme, dapat dilihat baik sebagai teori dan studi tentang perubahan politik dan budaya, yang berkembang melalui  tiga tahap
  • Pada awalnya munculnya kesadaran tentang inferioritas sosial, psikologis, dan budaya yang berkembang saat terjajah
  • Timbulnya perjuangan otonomi etnis, budaya, dan politik
  • kesadaran tumpang tindihnya budaya dan hibriditas diantara keduanya
Isi keseluruhan tulisan kuratorial Jim Supangkat  adalah berikut ini.

Pameran Flight for Light: Seni Rupa Indonesia dan Religiositas (Oktober 2011)
Kuratorial oleh : Jim Supangkat
 MONDECOR STORE

AFFANDI
Affandi adalah perintis seni rupa modern Indonesia yang menyerap wacana seni rupa modern dengan berkeliling ke berbagai penjuru dunia. Melalui pergauIan ini ia bersentuhan dengan perkembangan seni rupa modern di Eropa dan Amerika. Pada tahun 1953, Affandi (lahir pada 1908) ikut Sao Paolo Biennale II. Lukisan-lukisannya yang ekspresif pada biennale ini menarik perhatian kurator Rudolfo Palluchini yang kemudian mengundangnya untuk ikut Venice Biennale 1954. Biennale bertajuk ''Expresiziono Internazionale Biennale d' Arte” ini tercatat mengangkat kembali wacana eskpresionisme yang pernah berkembang pada Abad ke 19.


Lukisan Affandi: "Ibuku"
Ekspresionisme yang diangkat Venice Biennale 1954 itu melepaskan hubungan dengan ekspresionisme Jerman (Van Gogh, Edvard Munch) yang dilihat mencerminkan insanity.  Biennale ini mencoba membingkai ekspresionisme Abad ke-20 dan menghubungkannya dengan abstrakisme—berpangkal pada pemikiran Vasily Kadinsky pada tahun 1910 yang mendambakan gambaran yang tidak diganggu subject matter (pictures not disturbed by subject matters). Karya-karya sejumlah pelukis Eropa seperti William de Kooning dan Jean Dubuffet memperlihatkan gejala ini. Distorsi yang lanjut membuat gambaran pada lukisan-lukisan mereka menjadi tidak jelas.  Ketika Rudolfo Palluchini mengajak Affandi ikut biennale ekspresionis ini sangat mungkin ia melihat tanda-tanda abstraksi pada lukisan-lukisan Affandi.
Pemikiran di balik ekspresionisme Abad ke-20 itu adalah  mengubah pemahaman tentang representasi yang ketika itu dipahami sebagai penggambaran realitas yang bersifat nyata (real)—obyek, manusia, landscape, peristiwa.  Representasi dalam pemikiran baru—membawa dasar-dasar modernisme—adalah interaksi pelukis dengan realitas yang membangkitkan “kesan yang bersifat abstrak” yang diyakini mencerminkan kesadaran lebih tinggi karena meninggalkan realitasnya yang [masih] bersifat material. Diyakini sebagai proses abstraksi pada pemikiran. Di sini pelukis diyakini menampilkankan “unrepresentable real”  (kebenaran pada realitas yang tidak bisa direpresentasikan). Pemikiran ini berkaitan dengan keyakinan pada keutamaan bahasa rupa; hanya bahasa rupa yang bisa menampilkan  “unrepresentable real” ini.  Pada ujungnya pemikiran ini memang melahirkan abstrak ekspresionisme pada 1960an.
Di permukaan lukisan-lukisan Affandi terbaca menunjukkan gejala itu. Subyect matter pada lukisan-lukisannya—gelombang laut, ayam adu yang sedang berlaga, pengemis, pemandangan di bawah terik matahari, hutan, potret diri, pohon beringin—memang tidak bisa dilihat lagi dengan jelas. Pada perkembangan selanjutnya gambaran-gambaran ini memang semakin hilang, banyak di antara lukisannya terkesan abastrak karena lebih menampilkan keriuhan arabesque kecil-kecil yang memperlihtakan ketegangan, kegelisahan, perasaan yang bergolak bahkan kemarahan.
Namun Affandi tidak masuk dalam jajaran pelukis-pelukis dunia yang mengantar ekspresionisme Abad ke-20 ke abstrak eskpresionisme. Mungkin karena ia hidup dan berkarya di Indonesia, jauh dari pusat percaturan seni rupa dunia. Mungkin juga karena perkembangan karya-karyanya tidak berada di “jalur” pemikiran ekspresionisme Abad ke-20 ini.  Affandi sendiri enggan menjelaskan gaya atau aliran karya-karyanya. Ia tidak menyangkal sebutan ekspresionis yang diberikan padanya, namun ia tidak membenarkannya juga.  Jawaban yang diberikannya biasanya hanya tertawa terkekeh-kekeh.
Baru pada 1987 Affandi tergerak membuat pernyataan yang menjelaskan pemikiran di balik karya-karyanya.  Ia mengemukakan, ''Saya ini sebetulnya seorang naturalis sejati, saya cinta pada semua yang natural ”.  Ia menjelaskan, ''Saya mau tangkap tanda-tanda natural ini, tanda-tanda kekuatan alam, tapi tidak pernah bisa komplit. Saya selalu coba tapi saya selalu gagal,'' katanya. ''Waktu melukis saya selalu mau menjadi satu dengan obyek yang saya lukis. Saya kehilangan diri saya, lalu ada perasaan seperti mau berkelahi.'' Ia membenarkan gejolak perasaan ini yang melahirkan lukisan-lukisannya yang ekspresif.
Affandi mengemukakan ia percaya bahwa kekuatan alam yang memancing reaksinya adalah kekuatan yang tidak nyata. Maka lukisan-lukisannya yang ekspresif sama sekalu bukan upaya menampilkan unrepresentable real pada realitas tapi gejala “unreal” (tidak nyata) pada realitas.  Berbagai pandangannya menunjukkan ia percaya bahwa realitas terdiri dari dunia nyata dan dunia tidak nyata—real dan unreal.  Seperti ekspresionisme Abad ke-20, Affandi melepaskan diri dari konsep representasi yang membangun gambaran dunia nyata—dunia real. Namun ia meninggalkan representasi karena tertarik pada gejala unreal pada realitas yang berinduk pada alam dan tidak bisa direpresentasikan dalam bentuk gambaran.
Renungan Affandi bukan hubungan manusia dengan kehidupan [sehari-hari] tapi hubungan manusia dengan alam. Affandi percaya bahwa realitas mengandung perimbangan dunia real dengan dunia unreal. Kondisi disorde bahkan khaos di dunia real yang dilihatnya tercermin pada takdir, bisa diterima karena punya imbangan di dunia unreal. Keseimbangan ini berubah terus secara dinamis membangkitkan spirit survival manusia yang membuat manusia bisa bertahan pada kondisi buruk—mencerminkan pengalaman hidup Affandi sendiri, khususnya di Zaman Kolonial.
Kendati lukisan-lukisan Affandi yang ekspresif membawa tanda-tanda ekspresionisme Abad ke-20, pandangan dan keyakinannya berada di luar wacana ini. “Ekspresionisme Affandi” ternyata punya landasan pemikiran yang berbeda. Ia, misalnya, tidak pernah peduli pada persoalan bahasa rupa yang utama pada pemikiran ekspresionisme Abad ke-20.  Perbedaan mendasar “ekspresionisme Affandi” dengan ekspresionisme Abad ke-20, adalah kepercayaannya bahwa realitas tunduk pada takdir. Keyakinan ini menunjukkan pemahaman Affandi tentang realitas tidak kehilangan dimensi trensedensinya.  Pada wacana ekspresionisme Abad ke-20, tidak ada ruang untuk mempersoalkan keyakinan semacam ini.
BUKAN AGAMA: AHMAD SADALI

Lukisan Ahmad Sadali: Gunungan"


Ahmad Sadali (lahir 1924) seorang pelukis modernis.  Ia tercatat sebagai perintis pendidikan seni rupa dan desian di Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada dekade 1970 Ahmad Sadali dipilih senat guru besar untuk ikut memimpin ITB sebagai anggota rektorium. Sebuah tanda yang menunjukkan  adanya kesadaran pada pendidikan teknologi  tertua di Indonesia ini—didirikan pada Zaman Kolonial—untuk menghubungkan pendidikan tinggi di bidang teknologi dengan dasar filosofisnya yaitu Modernisme (dengan “M” kapital).
Dalam perkembangan seni rupa Indonesia Ahmad Sadali dikenal sebagai pendukung modernisme [dalam perkembangan seni rupa] yang membuat ia harus menghadapi kritik sepanjang karirnya, dikecam kiritisi Indonesia sebagai pendiri “laboratoriun Barat”.  Lukisannya-lukisannya abstrak—Ahmad Sadali pengagum Mark Rothko.
Prinsip-prinsip modernisme bisa ditemukan pada karya-karya mau pun pandangan Ahmad Sadali. Ia, misalnya, percaya bahwa seni rupa modern berkaitan dengan kekiniaan, dan, punya jarak dengan perkembangan di masa lalu—dalam dikhotomi modernitas dan tradisi. Ia percaya juga pada ilmu pengetahuan dan penjelasan rasional tentang berbagai aspek pada realitas dan kebenaran yang didasarkan pembuktian material.
Melihat karya-karyanya pada perkembangan seni rupa modern Ahmad sadali meninggalkan tradisi realis yang masih bertanya-tanya tentang apakah realitas. Dekat dengan keyakinan ekspresionsime Abad ke-20, Ahmad Sadali percaya bahwa ungkapan seni bukan lagi representasi realitas dalam kehidupan, tapi representasi gejala immaterial (tidak bersifat material) pada realitas—unrepresentable real.  Seperti umumnya modernis, Ahmad Sadali percaya pada pencarian kebenaran immaterial ini melalui eksplorasi bahasa rupa.
Modernisme berkembang paralel dengan filsafat bahasa dan ilmu pengetahuan. Pencarian kebenaran dalam realitas dilakukan melalui pembuktian yang bertumpu pada commensurability yaitu sistem pengukuran kepastian pada pemikirian (dan penelitian) tentang realitas dan manusia. Pada filsafat bahasa upaya pencarian commensurability ini dilakukan dengan pengkajian bahasa (teks) berdasarkan logika yang tampil utuh, koheren dan tidak ambigu. Percaya pada sistem pengukuran kepastian, filsafat bahasa yakin bisa menemukan kebenaran pada bahasa (teks)—seperti halnya penemuan pada ilmu pengetahuan. Dalam perkembangan paling akhir, dengan berani filsafat bahasa menyatakan kebenaran-kebenaran intra-linguistik (intra-teks) yang ditemukannya berlaku sebagai kebenaran ekstra-linguistik (kebenaran umum)—di sini filsafat bahasa runtuh karena tidak bisa membendung arus kritik yang dibangkitkan teori dekonstruksi.  
Pada perkembangan seni rupa pencarian commensurability dilakukan melalui pengkajian sejarah seni rupa (di Eropa, Amerika Serikat) sejak awal Abad ke-20 (munculnya impresionisme) yang benang merahnya menunjukkan perkembangan bahasa rupa. Seperti filsafat bahasa dan ilmu pengetahuan, modernisme percaya bisa menemukan kebenaran pada bahasa rupa (sejajar dengan teks)—keyakinan ini tidak bisa dilepaskan dari occulocentric civilization [di Dunia Barat] yang mengutamakan penglihatan (mata) dalam menentukan “the real” (kebenaran pada realitas) sebagai basis memahami realitas.  Berdasarkan keyakinan ini tanda-tanda pada perkembangan bahasa rupa dianggap “ilmu dasar” memahami seni dan ungkapan seni rupa. Kendati harus menghadapi berbagai kritik di kemudian hari, keyakinan ini masih mendasari art discourses yang  berpengaruh sampai sekarang pada percaturan seni rupa global.
Pemikiran itu bertumpu pada epistemologi (logika ilmu pengetahuan).  Dalam epistemologi gejala immaterial dan gejala material dihubungkan—immateriality di luar ini adalah gejala unreal yang tak masuk akal. Dalam epistemologi pikiran manusia bersifat immaterial.  Memperl;ihatkan kesadaran lebih tinggi. Semua pemikiran yang dimulai dengan mendiskrispkan gejala material pada realitas, mengalami immaterialisasi pada proses pemikiran yang disebut abstraksi (penghilangan sifat material) untuk memasuk dunia pemikiran yang immaterial.
Puncak abstraksi itu adalah pemahaman, kesadaran, kesimpulan dan konsep yang berpusat pada  pikiran manusia. Bertumpu pada pada keyakinan Cartesian, logika ilmu pengetahuan itu percaya bahwa pikiran manusia adalah pusat kesadaran yang menentukan konsep gejala apa pun pada realitas—semua pemahahamannya harus “logis”.  Di sini sudah tidak ada ruang untuk gejala metafisis yang ada hubungannya dengan Tuhan yang diyakini berdasarkan kepercayaan (faith).  Dimasukkan ke kelompok gejala unreal yang doesn’t make sense.
Ahmad Sadali dibesarkan di lingkungan muslim yang taat. Ia dikenal sebagai pemuka agama yang membangun komunitas Islam di lingkungan ITB. Karena Ahmad Sadali tidak bisa menerima “ujung” epistemologi yang dipusatkan pada pikiram manusia itu, kendati ia percaya pada epistemologi sebagai logika ilmu pengetahuan. Ahmad Sadali masih percaya pada gejala metafisi pada realitas yang diyakini berdasarkan faith. Ia percaya kebenaran absolut di atas semua kebenaran berpusat pada Tuhan. Keyakinan ini mendasari semua ungkapannya.  
Seperti lazimnya pemikiran tentang gejala metafisis pemikiran Ahmad Sadali percaya pada totalitas kapasitas manusia. Bukan hanya kapasitas pikiran. Kapasitas manusia meliputi pula kepekaaan memilah-milah berbagai jenis pengalaman. Karena itu ia percaya pada konsep representasi namun dengn visi yang berbeda. Ahmad Sadali percaya bahwa karya seni adalah representasi realitas dunia luar (melibatkan kapasitas berpikir) dan realitas dunia dalam (melibatkan kepekaan).  Dasarnya adalah mind dan faith. Ahmad Sadali mengemukakan, dalam Al Quran manusia dengan kelengkapan ini, disebut ulil al bab.  
Dalam modernisme keyakinan Ahmad Sadali boleh jadi dianggap janggal, pemikirannya bahkan  menunjukkan gejala paradoksal karena pemikiran tentang gejala metafisis yang ada kaitannya dengan faith dianggap “sudah mati”.  Namun di sisi lain, pemikirannya bisa dilihat menunjukkan sikap selektif dalam mengadaptasi prinsip-prinsip modernisme. Pemikiran Ahmad Sadali menunjukkan modernisme yang berbeda atau modernisme yang lain.   
Sebagai modernis karya-karya Ahmad Sadali tidak menentang sekularisasi. Ia percaya pada dunia modern, perkembangan ilmu pengetahuan dan sistem demokrasi yang berhasil membangun keadilan dalam kehidupan masyarakat—manusia dalam pengertian universal. Namun sekularisasi yang diyakini Ahmad Sadali, seperti keyakinan Affandi tentang survival manusia dalam kehidupan, tidak memotong dimensi transendensinya—hubungan dengan Tuhan.  
Terpengaruh kedudukan Ahmad Sadali sebagai pemuka agama, hampir semua pengkajian yang ditulis tentang karya-karya Ahmad Sadali di Indonesia melihat karya-karyanya sebagai ungkapan yang mencoba mengajarkan kaidah-kaidah Islami.  Ahmad Sadali, sebagai pemuka agama, tidak bisa menyangkal persepsi ini. Namun para pengkaji tidak cermat  menimbang kenyataan bahwa karya-karya Ahmad Sadali yang abstrak, nyata-nyata tidak efektif untuk menyampaikan ajaran agama. Ungkapan Ahmad Sadali jauh dari khotbah.
Mengamati ayat-ayat  Al Quran yang tidak selalu muncul pada lukisan-lukisannya dan ketika muncul lebih terasa sebagai gumam yang personal, ungkapan Ahmad Sadali memperlihatkan religiositas  yang  menandakan dorongan mencari hubungan mistis dengan Tuhan. Religiositas  tidak selalu harus dihubungkan dengan agama.

RELIGIOSITAS: KAJIAN FILSAFAT


Y.B. Mangunwijaya


Pada 1980an, filosof  Indonesia, Y.B. Mangunwijaya melontarkan pemikiran tentang relogiositas itu. Almarhum Mangunwijaya dikenal juga sebagai seorang rohaniwan Katolik yang turun ke kalangan bawah. Ia menggerakkan masyarakat miskin yang hidup di kawasan slums  di tepi sungai—Kali Code—di Yogyakarta untuk membangun pemukiman yang tertib. Mangunwijaya hidup bersama mereka. Tidak hanya filosof dan rohaniwan, Mangunwijaya dikenal juga sebagai arsitek (penerima Aga Khan Award untuk arsitektur), sastrawan (menulis sejumlah esei dan novel) dan budayawan.
Pandangannya tentang religiositas tampil melalui bukunya, Sastra dan Religiositas.   Dalam buku yang mengkaji perkembangan sastra di Indonesia dari awal Abad ke-20 sampai dekade 1980—dari Hamka dan A.A.Navis sampai Iwan Simatupang, Putu Wijaya dan Danarto—Mangunwjaya melihat kuatnya hubungan ungkapan pada karya-karya sastra Indonesia dengan religiositas.
Pendapat Mangunwijaya itu bisa diluaskan di dunia kesenian (world of the arts) di Indonesia. Pameran Flight for Light. Seni rupa Indonesia dan Religiositas  membawa tanda peluasan ini dan dimaksudkan untuk menunjukkan kuatnya hubungan ungkapan pada karya-karya seni rupa Indonesia dengan religiositas, dari awal Abad ke-20 sampai sekarang.  
Religiositas dalam Bahasa Inggris, yaitu, “religiosity” terasa sudah “kehilangan” makna. Barangkali karena sudah jarang digunakan dalam pembicaraan apalagi pemikiran. Makna religiosity secara umum adalah kata benda yang menunjukkan gejala di balik kata sifat “religious”.  Baik religiosity mau pun religious selalu dikaitkan dengan agama.  Padahal ada wacana kompleks di balik religiosity yang bahkan bisa keluar dari persoalan agama. Mangunwijaya mengutip kata-kata sastrawan terkemuka Graham Greene yang mengontraskan religiositas dan agama, “There is far more religious  faith in [communist] Russia than in [Christian] England.”      
Dalam bukunya Mangunwijaya mengemukakan, agama kebih menunjuk kelembagaan,  Lembaga dalam berbakti kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi, yuridis, menyangkut aturan-aturan, dan, hukum-hukum organisasi.  Agama melingkupi juga segi-segi kemasyarakatan (gesellschaft). Sementara itu religiositas adalah sesuatu kualitas pada dorongan beragama. Berada di lubuk hati dan sering disebut hati nurani. Riak getarannya tidak jelas, personal, dan seringkali misterius bagi orang lain. Ketika dikaitkan dengan masyarakat religiositas tercermin pada keintiman dalam ikatan masyarakat (gemeinschaft).
Wacana di balik religiositas  tidak bisa dipahami tanpa mengkaji sejarah agama. Karena itu dalam bukunya Mangunwijaya menguraikan sejarah perkembangan ini. Inti uraiannya bisa disimpulkan, pada awalnya adalah kosmogoni—gejala universal yang ada pada semua kebudayaan pada semua zaman—yaitu kesadaran manusia tentang mikro kosmos dan makro kosmos.
Mikro kosmos adalah ruang di mana manusia hidup—ini dasar pemikiran tentang realitas. Makro kosmos adalah ruang yang muncul dalam kesadaran tentang jagat raya ketika manusia mendongak, melihat bintang-bintang di langit dan bertanya, “ada apa di sana ?” Ini pertanyaan yang membawa manusia ke agama dan sekalgus dasar semua pemikiran abstrak—yang diubah pada epistemologi—karena manusia berhadapan dengan sesuatu yang tidak nyata. Perkembangan kepercayaan manusia (agama) diwarnai pasang-surutnya tegangan pemikiran tentang mikro kosmos dan makro kosmos ini (selanjutnya disebut tegangan mikro-makro kosmos).
Sudah umum diketahui manusia pernah mempercayai adanya berbagai kekuasaan di langit yang secara spesifik menguasai kekuatan alam—matahari, angin, hujan, badai, kesuburan tanah dan manusia dan sebagainya. Dari sini muncul keyakinan adanya pemerintahan di langit yang berkuasa mengatur kehidupan di bumi. Persepsi ini membangkitkan kepercayaan pada dewa-dewa, dan,  hirarkhi pada pemerintahan para dewa di mana ada penguasa paling tinggi—semacam raja—di antara pemerintahan dewa-dewa ini.  Kepercayaan ini dikukuhkan mitos-mitos yang tidak selalu dituliskan.
Tegangan mikiro-makro kosmos pada kepercayaan itu tampil sebagai kontras di antara “kehidupan” di langit yang mewah, sensual, sejahtera dan bercahaya (good life), dan, kehidupan di bumi yang muram, susah, tidak sejahtera dan survival (bad life). Tegangan yang awalnya mitos ini ternyata menerus pada kehidupan umat manusia setelah menemukan bentuknya pada kehidupan manusia (mikro kosmos) walau tidak lagi bertumpu pada mitos.  
Tegangan mikro-makro kosmos itu menemukan bentuknya ketika manusia yang lebih berhasil dari yang lainnya dan menjadi “kaum atas”, yang bisa menjalani good life seperti dewa-dewa (raja,bangsawan, satria, tuan tanah, pemungut cukai) menggunakan (mengarang) mitos-mitos untuk menghubungkan mereka dengan para dewa dalam ikatan kekrabatan—paling umum, keturunan dewa. Tujuannya adalah mendapatkan kekuasaan absolut dalam kehidupan di bumi, Dengan kekuasaan ini “kaum atas” mengendalikan “kaum bawah” dan dengan leluasa melakukan eksploitasi.
Tegangan itu yang memunculkan perkembangan agama.  Muncul perubahan kepercayaan sejak Abad ke-10  Sebelum Masehi (SM), di mana manusia mulai merasakan tegangan mikro-makro kosmos mengganggu dan tidak menyenagkan. Terjadi penentangan mitos-mitos di hampir semua benua di dunia melalui kepercayaan yang berbeda-beda. Socrates yang hidup pada zaman Yunani kuno Abad ke-5  SM adalah contoh paling populer dan monumental. Socrates mencoba menggeser pemikirian (mitos-mitos) yang terpusat pada dewa-dewa ke pemikiran yang mempersoalkan manusia dan kehidupan di bumi. Socrates harus menanggung resiko. Namun bukan dewa-dewa yang menghukumnya tapi para penguasa yang melihat gagasannya tentang emansipasi manusia—dalam tegangan makro-mikro kosmos—bisa menganggu ketertiban dan stabilitas dalam kehidupan masyarakat. Ia dihukum minum racun.
Setelah berproses selama hampir 20 abad, terjadi perubahan besar. Manusia menyangkal mitos-mitos tentang kekuasaan langit dan tidak menggantikannya dengan mitos-mitos baru. Pemahaman tentang kekuasaan langit mengalami abstraksi dan sampai pada monotheisme di mana terjadi upaya menggantikan tegangan mikro-makro kosmos dengan hubungan harmonis manusia dengan “kekuasaan langit” yang jauh dari sifat penguasa. Pada Abad ke-6 monotheisme—kepercayaan pada Tuhan—muncul di semua benua di dunia melalui kepercayaan yang berbeda-beda.
Berdasarkan hubungan harmonis manusia dengan Tuhan gagasan emansipasi manusia Socrates berkembang.  Monotheisme tidak mencegahnya karena manusia memiliki kebebasan dan kedaulatan dalam menjalankan hidupnya di bumi—dalam lingkup mikro kosmos. Tercermin pada kitab-kitab agama besar Islam dan Nasrani di mana disebutkan, Tuhan tidak akan mengubah nasib manusia bila manusia tidak berusaha mengubah nasibnya sendiri.
Menggunakan kebebasan itu manusia semakin mengenal kehidupannya di bumi dan menemukan banyak aspek dalam kehidupan yang tidak ada hubungannya dengan kekuasaan langit. Melalui ilmu pengetahuan—berkembang pada Kebudayaan Yunani kuno—bisa ditemukan berbagai sebab-akibat dalam kehidupan yang semuanya ditemukan di bumi. Sementara itu Tuhan dikukuhkan dalam lingkup makro kosmos. Perkembangan Ilmu Falak pada bangsa-bangsa Arab yang sudah sangat lanjut ketika monotheisme terbentuk menganggap jagat raya (makro kosmos) sebagai misteri yang tidak sepenuhnya dicapai akal manusia.   
Pengembangan pemahaman dan penjelajahan berbagai aspek kehidupan di bumi memunculkan sekularisasi. Manusia semakin mengenal berbagai aspek kehidupan yang yang tadinya dianggap misteri dan dikira ada hubungannya dengan kekuasaan langit. Hubungan harmonis dengan Tuhan membuat sekularisasi (pada mulanya) tidak kehilangan dimensi transedensinya. Sekularisasi ini, yang membongkar kenyataan dalam kehidupan, masih mempunyai ruang untuk hal-hal yang tidak nyata dan tidak bisa dipahami akal; harapan, kekecewaan , gejala ecstasy dan agony, pertanyaan tentang takdir, dan, pertanyaan tentang kematian dan kehidupan sesudah kematian. Di ruang ini manusia mengandalkan hubungan intim dan harmonis dengan Tuhan. Mangunwijaya melihat inilah dasar-dasar religiositas pada perkembangan [semua] agama sesudah kemunculan monotheisme.
Namun sekularisasi ternyata tidak berhenti sampai di situ. Pada Abad ke-19 muncul pengutamaan kehidupan manusia dan daya pikirnya. Di sini tegangan mikro-makro kosmos muncul kembali namun dengan posisi terbalik, manusia menguji keutamaannya terhadap keutamaan Tuhan. Pengujian ini menyuruk ke perbedaan mendasar. Manusia menyadari adanya keabadian di ruang makro kosmos—langit dan bumi sebagai bagiannya, tidak berubah, paling tidak selama dua juta tahun peradaban manusia. Sementara itu, di ruang mikro kosmos, kehidupan manusia dibatasi waktu dan kematian. Perbedaan ini kemudian menjadi pusat pemikiran manusia dalam upaya menguji keutamaannya.
Mangunwijaya mengkaji inti pemikiran pemikiran filosof Martin Heidegger (1889-1976) yang merenungkan “ada” dan “waktu” (Sein und Zeit). Heidegger meyakininya sebagai struktur dasein (ada yang sejati). Karena landasan pemikiran ini adalah pertanyaan “siapakah aku” maka “ada” pada pemikiran Heidegger dipusatkan pada pemikiran tentang bagaimana  “aku menjadi ada”. Ini adalah kesadaran eksistensial di mana semua kesadaran berpusat pada “aku” secara absolut,  “Aku menjadi ada” dalam pemikiran Hidegger baru bisa dipahami bila “aku” menghadapi krisis—rasa gelisah, merasakan kehampaan, gamang ketika berada pada ecstasy dan agony, kecemasan pada  kehancuran dan ketakutan menghadapi kematian.
Heidegger tidak menjawab mengapa manusia tidak abadi karena dibatasi waktu dan kematian. Melalui struktur dasein Heidegger “menguasai” waktu dan kematian. Ia melihat ketakutan pada kematian berpangkal pada mitos tentang dosa, takdir, kehidupan sesudah kematian yang “tidak ada”, tidak nyata, unreal dan doesn’t make sense. Heidegger menyatakan tidak ada yang perlu ditakutkan pada kematian karena kematian merupakan bagian dari “ada” yaitu, “ada untuk mati” (sein zum tode).
Mangunwijaya melihat, eksistensialisme Heidegger menunjukkan pemahaman realitas yang kehilangan dimensi transendensinya karena melepaskan kematian dari takdir dan kehendak Tuhan. Mangunwijaya mengemukakan inilah perkembangan Dunia Barat. Pada Abad ke-19 pemikiran seperti ini berkembang paralel dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang mengukuhkan epistemologi sebagai dasar semua pemikiran.
Eksistensialisme dan perkembangan ilmu pengetahuan itu kemudian mempengaruhi pemikiran tentang seni bahkan mendasari perkembangan seni rupa modern Abad ke-20.  Dikenal sebagai modernism as institution keyakinan ini berpengaruh pada perkembangan seni rupa dunia. Di sini bisa dipahami mengapa ungkapan Affandi dan ungkapan sebagian besar seniman generasinya, juga ungkapan hampir semua seniman generasi Ahmad Sadali menjadi kejanggalan di forum seni rupa dunia dan dianggap tidak bisa dibaca. Kendati ungkapan  seniman-seniman Indonesia ini mencerminkan pemikiran modern dan menunjukkan persentuhan dengan berbagai gejala seni rupa modern di Eropa dan Amerika Serikat, pemahaman mereka tentang realitas tidak memotong dimensi transedensinya.  

TANDA-TANDA ABAD KE-19   

Andy Dewantoro (lahir 1974) adalah seniman yang muncul pada zaman yang disepakati kiritis di Indonesia sebagai “era seni rupa kontemporer”.  Kendati ungkapannya paling banyak muncul melalui lukisan, Andy Dewantoro seniman yang akrab juga dengan bahasa fotografi. Selain ini ia membuat juga karya tiga dimensional berupa maket (model).
Karya-karya Andy Dewantoro dalam semua media itu berada di antara landscape dan townscape. Lukisan-lukisan ini terkesan ingin menampilkan masalah kehidupan urban di Indonesia. Namun ia tidak memilih lorong-lorong kota, down-town, jembatan layang atau jalan raya di tengah kota. Ia  cenderung menampilkan perumahan di daerah-daerah sub-urban atau up-town yang relatif masih hijau. Karena itu lukisan, foto dan karya maket-nya, di satu sisi menampilkan townscape, namun di sisi lain memperlihatkan pula landscape.
Andy tidak menampilkan kehidupan up-town yang nyaman. Lukisan dan karya-karya maketnya menunjukkan ia membayangkan kawasan sub-urban yang sekarang ini dikenal sebagai hunian yang nyaman, ditinggalkan penghuninya. Tapil pada karya-karyanya gedung-gedung di up-town yang  tidak digunakan lagi, rumah tinggal dan jembatan yang terbengkalai, terpuruk di antara ilalang yang tumbuh liar di sekitarnya. Tidak ada manusia pada karya-karya ini.  Kekososngan ini mencekam karena dihadirkan pada suasana temaram sore hari menjelang malam. Andy Dewantoro tidak mempersoalkan down town yang menjadi “dead city”yang sering dipersoalkan pada masalah urban, tapi “death of up-town” yang sampai sekarang dikenal hunian nyaman.
Namun bukan masalah urban yang mendasari ungkapan Andy Dewantoro. Kecenderungan pada karya-karyanya itu ia kukuhkan setelah melakukan perjalanan ke Eropa pada tahun 2006 dengan maksud menjelajahi museum dan galeri untuk berhadapan langsung dengan karya-karya penting pada perkembangan seni rupa kontemporer.  Namun, cukup janggal, karya-karya yang paling menarik perhatiannya adalah lukisan-lukisan landscape yang berkembang di Inggris pada Abad ke 19, khususnya lukisan-lukisan William Turner (1775-1851), dan, John Constable (1776-1837).
Mulanya ia menganggumi aspek rupa pada lukisan-lukisan itu. Dari pelajaran sejarah seni rupa yang didapatnya semasa menjalani pendidikan seni rupa, ia memahami keistimewaan pengolahan gambaran awan dan langit pada karya-karya William Turner dan pengolahan warna hijau pada lukisan-lukisan John Constable. Namun Andy Dewantoro merasa pesona lukisan-lukisan ini tidak berhenti pada pengolahan bahasa rupa.  Ia merasakan susunan rupa dan tema pada lukisan-lukisan ini memunculkan drama yang membuatnya terpesona karena tadinya ia mengira lukisan landscape hanya menampilkan keindahan alam.
Andy Dewantoro merasakan badai yang dahsyat berwarna biru-hitam, langit musim dingin kelam yang berwarna abu-abu menakutkan, dan, bencana alam yang meruntuhkan gunung batu berwarna cokelat kusam pada lukisan-lukisan itu membangkitkan perasaan mengganggu. Andy Dewantoro tidak segera bisa menguraikan pengalaman perasaannya melihat lukisan-lukisan ini. Perasaan sentimental ini terbentur pengetahuannya tentang lukisan landscape yang bertumpu  pada sejarah seni rupa.  
Dalam sejarah seni rupa lukisan landscape Abad ke 19 itu adalah ungkapan yang “representatif”.  Merupakan pengkopian relitas dalam upaya meyusun representasi—penggambaran realitas nyata—untuk mencari kebenaran pada kenyataan. Prinsip ini menunjukkan lukisan landscape masih berada pada tradisi realis.  Sementara itu visi dominan dalam sejarah seni rupa—bertumpu pada modernisme—mengubah sistem representasi pada tradisi realis ini karena dilihat merupakan upaya manusia mempertanyakan realitas dalam keterbatasan ilmu pengetahuan. Dalam perubahan sistem representasi ini visi modernis melihat perkembangan bahasa rupa pada sejarah seni rupa sebagai dasar mencari kebenaran. Inilah tradisi modernis, yang dalam sejarah seni rupa berawal pada impresionisme (berkembang sesudah seni lukis landscape).
Dalam visi itu seni lukis landscape dianggap masih punya kontribusi dalam memunculkan trdisi modernis— ini yang kemudian menjadi pemahaman dominan dan mempengaruhi pemahama Andy Dewantoro.  Kontribusi ini adalah memunculkan kesadaran rupa yang tercermin pada pengembangan teknik melukis. Pelukis-pelukis yang dianggap menampilkan gejala ini, memang John Constable, William Turner, dan William Blake (1760-1830). Ketiganya dicatat sebagai pelukis-pelukis Inggris yang mengundang kekaguman di Eropa di tengah tanda-tanda perkembangan yang didominasi karya pelukis-pelukis Prancis.
Seperti pemahaman Andy Dewantoro, John Constable dicatat menemukan teknik warna hijau melalui percobaan yang dalam sejarah seni rupa disamakan dengan percobaan dalam ilmu pengetahuan. William Turner menemukan pencampuran warna-warna dengan warna abu-abu untuk menggambarkan perbedaan langit yang dipengaruhi cahaya empat musim sub-tropis—pada pengolahan warna ini ada masalah cahaya yang kemudian dikembangkan impresionisme. Sementara itu William Blake yang tidak menampilkan lukisan landscape dicatat menampilkan distorsi dan memperkenalkan pengolahan garis sebagai gejala rupa konkret.
Penemuan-penemuan John Constable dan William Turner itu diakui Royal Academy Inggris dan ditetapkan sebagai teknik dasar seni lukis—di kemudian hari dikenal sebagai akademisme yang diterapkan sebagai dasar pengajaran di semua akademi seni rupa di dunia. Penemuan-penemuan ini tercatat digunakan pelukis-pelukis romantisis Prancis seperti Théodore Géricault dan Eugène Delacroix.

Visi dominan dalam sejarah seni rupa itu tidak memperhatikan message pada lukisan-lukisan landscape,  padahal message ini membawa tanda-tanda penting pada perubahan dunia Barat di Abad ke-19. Message ini masih diamati pada pemikiran aesthetics—di kemudian hari berkembang ke philosophy of art—wacana yang kendati paralel tidak sama dengan wacana sejarah seni rupa.
Dalam kajian aesthetics Abad ke-19, lukisan-lukisan landscape Inggris itu memperlihatkan ungkapan yang transendental. George Santayana dalam buku Sense of Beauty—buku klasik pada philosophy of art—menyebut kebenaran pada ungkapan ini sebagai kebenaran metafisis yang berlaku “di bawah semua langit.” George Santayana mempersoalkan keabadian; langit di mana pun dan di semua zaman adalah langit yang sama, langit yang abadi. Dalam kajian aesthetics –cukup populer dalam pemahaman seni lukis landscape—dibaca sebagai ungkapan rasa betapa kecilnya manusia di hadapan kekuasaan Tuhan yang ditampilkan sebagai kedahsyatan kekuatan alam. Seperti ungkapan Affandi ungkapan-ungkapan ini memperlihatkan religiositas.
Lukisan-lukisan landscape Inggris itu memang membawa persoalan agama. Tercermin pada lukisan-lukisan William Blake yang mengangkat cerita-cerita  Alkitab Kristiani. Selain itu penggambaran langit empat musim pada lukisan-lukisan John Constable dan William Turner tidak sepenuhnya merupakan persoalan rupa (teknik melukis)—dalam seni lukis landscape, penggambaran langit merupakan keynote seluruh suasana lukisan. Ada perbedaan maknawi pada penggambaran langit musim semi dan musim panas yang cerah, dengan penggambaran langit musum dingin yang gelap dan menakutkan. Dalam realitas sosial di Eropa pada Abad ke-19, musim dingin adalah masa kesengsaraan kaum miskin yang selalu membawa tanda-tanda kematian.
Latar belakang kemuraman itu bisa ditemukan pada kehidupan Willaim Turner.  Ia lahir di tengah keluarga miskin. Ayahnya seorang tukang cukur. Ibunya mengalami melankolia akut dan harus menghabiskan masa hidupnya di rumah sakit jiwa. William Turner sendiri menjalani kehidupan eksentrik yang anti-sosial. Kendati harkat sosialnya terangkat karena mendapat penghargaan Royal Academy Inggris ia sama sekali tak mengenal kehidupan sosial. William Turner yang tidak menikah tidak punya kehidupan keluarga. Ia mengisi hidupnya dengan kegilaan melukis.  Ia meninggalkan 20.000 lukisan sebagai warisan tidak bertuan ketika meninggal.
Kemuraman yang mencerminkan realitas sosial itu merupakan tanda penting. Sesudah itu, masih pada Abad ke-19, terjadi perubahan besar pada perkembangan dunia Barat. Pemikiran yang merintis perubahan ini menolak takdir dan meyakini manusia sendiri yang harus mengubah nasib dan menentukan takdir. Di sini muncul sekularaisasi yang disebut Mangunwijaya menghilangkan dimensi transendensinya. Di sini juga muncul tradisi modernis pada perkembangan seni rupa yang menghilangkan ruang untuk mempersoalkan agama.
Sementara itu lukisan landscape yang berkembang di Indonesia pada saat yang bersamaan jauh dari mengungkapkan kemuraman. Di sebaliknya justru menampilkan kecerahan.  Seni lukis ini muncul di Indonesia pada Abad ke 19 juga melalui pelukis Belgia A.A.J Payen. Seperti lukisan landscape di Eropa, lukisan Payen mempersoalkan gambaran langit yang dipengaruhi cahaya matahari. Namun pemandangan alam yang ditampilkan pelukis ini memperlihatkan eksrepsi yang sangat berbeda.  Lukisan ini menampilkan keindahan alam tropis yang tidak mengenal musim dingin karena matahari bersinar sepanjang  tahun.
Pengungkapan keindahan itu mendasari seluruh perkembangan seni lukis landscape yang bertahan selama satu abad di Indonesia.  Melukis landscape masih menjadi mainstream pada perkembangan awal Abad ke 20. Lukisan-lukisan landscape pada perkembangan seni rupa Indonesia awal Abad ke- 20 ini merupakan ungkapan pengalaman transendetal yang merayakan kebesaran Tuhan melalui keindahan alam. Dibandingkan lukisan landscape Inggris, lukisan landscape Indonesia ini lebih  dekat ke pikiran George Santayana yang menghubungkan ungkapan transdental dengan keindahan.
Dalam pandangan sejarawan seni rupa Indonesia, Almarhum Sanento Yuliman lukisan-lukisan landscape itu memperlihatkan lirisisme yang mencerminkan pengalaman spiritual. Kedekatan dengan alam yang diyakini merupakan sumber kehidupan, membuat para pelukis menjelajah mencari tempat-tempat melukis yang sunyi di mana keindahan alam bisa dirasakan. Selain melukis mereka melakukan kontemplasi. Seperti mencari kemurnian alam mereka meniadakan manusia, tanda-tanda kehidupan sosial, dan, tanda-tanda kemajuan dunia modern pada lukisan-lukisan landscape mereka.        
Melintasi kurun waktu tiga abad lukisan landscape mengganggu perasaan Andy Dewantoro. Ia  kenal perkembangan lukisan landscape di Indonesia. Namun ia tidak tertarik. Tidak ada dorongan padanya untuk merayakan kebesaran Tuhan melalui keindahan.  Andy Dewantoro justru tertarik pada lukisan landscape Inggris Abad ke-19 yang menyajikan kemuraman dan drama. Renungan tentang ungkapan pada lukisan-lukisan ini yang membentuk kponsep berkarya Andy Dewantoro. Karya-karyanya yang muram juga memnperlihatkan religiositas yang senada.
Andy Dewantoro dibesarkan di lingkungan muslim yang taat menjalankan syariat agama di mana dogma-dogma agama diajarkan secara spartan. Ayahnya mengenyam pendidikan di Institut Agama Islam Negeri, Tanjung  Karang, Sumatera Selatan.  Namun Ibunya meluaskan pemahaman Andy Dewantoro tentang agama. Sebagai seorang guru kepala sekolah umum di Tanjung Karang, ibunya menghargai ilmu pengetahuan dan cenderung berpikir sekular.  Ibunya meninggal ketika ia masih remaja dan duduk di sekolah menengah. Andy Dewantoro meninggalkan rumah pada usia dini mengikuti anjuran ibunya agar mencari ilmu. Gabungan pendidikan agama yang ketat dan visi ibunya membangkitkan sikap kritis Andy Dewantoro pada kekakuan dogma-dogma agama. Di sini ia merasa harus mencari sendiri makna agama.
Karya-karyanya menunjukkan semacam kesimpulan pencarian itu. Gambaran up-town yang menjadi dead city bisa dibaca sebagai erosi religiositas pada kehidupan beragama. Terjadi pada kemajuan agama yang seharusnya menghadirkan rasa aman, seperti kawasan hunian di up-town yang seharusnya memberi kenyamanan hidup.  Andy Dewantara mengemukakan,”Hal paling utama dalam meyakini agama menurut saya adalah kebaikan dan kesadaran moral dalam kehidupan sesama manusia.”

FLIGHT FOR LIGHT
Entang Wiharso (lahir1967) seniman yang aktif di forum seni rupa global dan menampilkan ungkapannya melalui berbagai media—banyak di antaranya berskala besar. Pada tahun 2008 karya instalasinya disertakan pada pameran “A Transversal Collection” di Arte Contemporanea Arte Lavoro Territorio, Bergamo, Italia.  Sub-judul pameran ini “From Duchamp to Nino Calos, From Cattelan to Entang Wiharso”. 

Entang Wiharso
Identity for Fun Media (triptych)


Pameran yang disusun kurator Fabio Cavallucci itu menampilkan karya-karya “a-typical” yaitu karya-karya yang tidak mengikuti trend-trend pada zamannya . Sub judul, “From Duchamp to Nino Calos,” menunjuk karya-karya dalam perkembangan seni rupa modern yang tidak bisa dianalisa melalui kanon-kanon sejarah seni rupa, sementara sub judul, “From Cattelan to Entang Wiharso” menunjuk karya-karya dalam perkembangan seni rupa kontemporer yang dinilai tidak biasa.
Pada awal karirnya tahun 1990an karya-karya Entang Wiharso berkutat untuk menyesuaikan diri dengan dogma-dogma agama. Ia singgah pada abstrakisme karena menimbang pandangan dalam Islam yang tidak memperbolehkan penggambaran manusia. Namun tanpa bisa ia kendalikan gambaran manusia muncul juga pada karya-karyanya. Lukisan figuratif yang muncul masih memperlihatkan friksi agama. Pada lukisan-lukisan ini Entang tidak cuma menampilkan gambar manusia. Ia menampilkan pula gambar senjata yang biasa digunakan untuk membunuh orang, seperti pisau dan keris misalnya. Tanda ini digunakan Entang Wiharso untuk menampilkan tanda-tanda kematian. Tanda-tanda ini signifikan karena menunjukkan ia tidak menampilkan manusia (hidup) pada lukisan-lukisannya, tapi jazad orang-orang mati.
Namun pada perkembangan sekarang Entang Wiharso sudah melampaui keraguan menampilkan gambaran manusia yang justru menjadi sentral pada ungkapan-ungkapannya.  Namun selain manusia, tiga idiom yang sering muncul pada karya-karyanya adalah teks, pagar, dan, motif  kulit binatang.
Bagi Entang Wiharso teks mencerminkan konsep-konsep yang mendominasi pikiran manusia dan membentuk mind set yang seragam. Pagar pada karyanya merupakan metafor perangkap yang mengurung manusia.  Pagar ini simbol mentalitas yang memisahkan manusia dari manusia lain. Ia secara khusus melihat dampak fanatisme agama. Entang kembali melihat mind set yang seragam pada kelompok manusia yang berkumpul karena fanatisme dan membangun pagar pemisah dengan kelompok manusia lain.
Kesadaran tentang kekuatan teks muncul ketika Entang Wiharso tinggal di Amerika Serikat pada pertengahan 1990an. Ia mengumpulkan segala macam teks; dari koran, dari kampanye politik, iklan, lelucon, ucapan orang-orang penting, kata-kata para tokoh di televisi dan film untuk membuat karya. Pada mulanya teks-teks ini ia tampilkan apa adanya. Namun dalam perkembangan kemudian Entang Wiharso mengubah teks-teks ini supaya tidak menampilkan makna tunggal.
Sementara itu pagar dan motif kulit binatang muncul dari pengalaman Entang Wiharso hidup di Amerika Serikat mau pun di Indonesia. Ia menyaksikan bagaimana isu terorisme di Amerika Serikat maupun di Indonesia memunculkan permusahan yang melibatkan persoalan identitas, pemisahan, penyeragaman visi dan bahkan aggressive behavior.  Di Indonesia ia melihat menyatunya politik dogmatik agama dengan politik yang kemudian mengembangkan rasa agama menjadi identitas eksklusif dan komoditas politik.
Tentang kedua idiom itu Entang Wiharso mengemukakan, “Motif kulit binatang menujukkan identitas binatangnya karena binatang adalah makhluk instingtif yang perilakunya dipandu kebutuhan bertahan hidup pada tingkat dasar.  Ia menjelaskan, “Identitas manusia tidak tercermin pada kulitnya, walau warna kulit manusia memang berbeda.”  Entang Wiharso merasa banyak orang menggunakan warna kulit  sebagai identitas, bahkan untuk mencari-cari perbedaan dan  permusuhan.  “Pagar dalam pengamatan saya menunjukkan rasa tidak aman karena itu mudah memunculkan aggressive behavior yang lalu digunakan kekuatan-kekuatan politik untuk mencapai tujuan-tujuannya,” katanya .
Ketiga idiom itu pada dasarnya menunjukkan sikap kritis Entang Wiharso pada semua jenis penyeragaman sikap dan perilaku. Ia yakin penyeragaman ini hasil rekayasa. “Selalu ada kekuatan yang membentuknya,” katamya. Bisa kekuatan bisnis, yang dalam visual culture membombardir dunia penglihatan dan membuat masyarakat tidak punya kesempatan mengobservasi  gejala visual dan terpaku seperti terhipnotis. Bisa juga kekuatan politik yang punya kepentingan pada penyeragaman visi untuk membangkitkan gerakan massa.
Tentang pemikiran di balik karya-karyanya Entang Wiharso mengemukakan, “Identitas manusia dalam keyakinan saya sangat kompleks dan terbentuk dari memori pengalaman yang tersimpan di relung-relung dunia internal yang rumit dan halus.  Ia tidak menyangkal karya-karyanya memperlihatkan religiositas. “Ide-ide pada karya-karya saya, asalnya perasaan yang sangat personal dalam memahami agama.
Religiositas pada karya-karya Entang Wiharso menunjukkan ketegangan.  Hampir semua karyanya terasa radikal, provokatif dan sangat beropini. Religiositas ini tidak sepenuhnya bisa dijelaskan melalui pandangan Mangunwijaya tentang religiositas. Penjelasan tentang religiositas ini bisa ditemukan pada psikologi agama yang dikenalkan perintis pragmatisme, William  James (1842-1910) pada awal Abad ke-19 melalui buku The Vareities of Religious Experience.
Dalam pemikiran Willaim James pada buku itu, persepsi tentang realitas adalah kesadaran yang berpangkal pada pengalaman personal yang mempunyai dua wilayah yaitu, wilayah obyektif dan wilayah subyektif.  Kedua wilayah ini mempunyai karakter berbeda. Wilayah obyektif mempunyai lingkup sangat luas karena dibentuk secara kolektif dan melibatkan persepsi bersama. Wilayah obyektif ini dominan dalam  membangun pemahaman dan mind set karena berbagai pemikiran unggul tentang [obyektivitas] realitas memasuki wilayah obyektif  ini. Pemikiran yang membentuk kesadaran tentang realitas kebanyakan terolah di wilayah obyektif ini.
Sementara itu wilayah subyektif  berada pada apa kondisi perasaan yang tidak tetap. Kendati pemikiran melintasi juga wilayah ini perannya pada totalitas pimikiran tidak bisa dipastikan.  Namun William James menemukan wilayah  subyektif  pada pengalaman personal ini tidak bisa diabaikan karena wilayah subyektif  ini peka pada berbagai realitas yang tersembunyi. Ketika kepekaan ini menemukan realitas yang tersembunyi, getaran pada wilayah subyektif  ini bisa  bangkit dan dengan kuat mempengaruhi mind set.
Dalam buku itu William James melihat pengertian kata agama bersifat ambigu. Ia melihat agama bisa bersifat personal dan bisa bersifat institusional. Dari kajian sejarah agama William James berpendapat bahwa, semua agama berawal pada pengalaman religius yang  personal—di sini bentuknya adalah agama personal. Tuhan yang dipersaksikan memberi manfaat yang bersifat pribadi. Namun ketika manfaat ini mulai dirasakan orang lain, agama personal kemudian menarik simpatisan. Ketika lingkaran ini menjadi besar, “para simpatisan” berubah menjadi “pengikut” yang kemudian mengorganisasi diri dan membentuk lembaga-lembaga.  Di sini agama menjadi agama sebagai institusi.
Willian James melihat berkembangnya agama sebagai institusi tidak membuat agama personal mati. Sejarah agama menunjukkan agama personal selalu muncul kembali setelah agama sebagai institusi berkembang. William James mengemukakan ketika sudah menjadi institusi, agama tidak pernah bisa melepaskan diri dari ambisi kelembagaan, politik kekuasaan dogmatik, fanatisme, dan konspirasi dengan kekuasaan sekular untuk kekuasaan yang sangat besar. Ketika perkembangan agama sebagai institusi ini mencapai titik ekstrim agama personal muncul kembali.  Selalu terjadi, ketika sudah menjadi otoritas agama sebagai institusi ini tidak lagi menyadari pangkalnya, agama personal. Ketika agama personal muncul lagi agama sebagai institusi mengecamnya sebagai aliran sesat, penyimpangan agama atau bid’ah.
Dalam konflik itu William James melihat agama personal dipengaruhi getaran di wilayah subyektif  pada pengalaman personal yang bangkit karena merasakan kejanggalan yang tersembunyi pada agama sebagai institusi.  Kendati memperlihatkan keyakinan yang kukuh agama personal tidak memperlihatkan karakter yang kuat.  Para penganutnya memperlihatkan karakter pencari kekudusan yang menempatkan kebahagiaan pada pertemuan dengan Tuhan—inilah religiositas. Karater ini harus menghadapi karakter kepala suku yang dibawa semua pemuka agama pada perkembangan agama sebagai institusi. Karakter ini cenderung melihat kesejahteraan [umat] dan karena itu menempatkan kehidupan duniawi pada tempat utama.
William James melihat karakter pencari kekudusan sebagai karakter tidak menarik, tidak komunikatif dan tidak punya kharisma. Sementara itu karakter kepala suku adalah karakter kharistmatik yang mempesona. Ia percaya karakter kepala suku diperlukan masyarakat untuk menjaga stabilitas karena karakter ini peka merasakan ancaman yang dihadapi masyarakat. Namun di sisi lain karakater ini mambawa sifat predator yang selalu lemah menghadapi hasrat berkuasa. Karakter ini, dalam pandangan William James berpotensi menjadi Tiran.
William James menjelaskan, karater pencari kekudusan sama sekali bukan karakter ideal manusia, atau karakter istimewa yang dimiliki hanya orang-orang yang berpotensi menjadi Nabi. Karakter pencari kekudusan ada pada manusia dan bisa muncul pada orang-orang biasa. Buku The Vareities of Religious Experience William James mengkaji secara khusus keyakinan para pencari kekudusan ini.  Ia menemukan pada awal Abad ke-19 jumlah pencari kekudusan ini menjadi sangat besar di Eropa khususnya di kalangan masyarakat bawah.   
Dari kajian itu William James  mengembangkan pemikirannya yang mengidentifikasi konflik pada masyarakat [di dunia Barat] dalam menilai agama [Kristiani]. Pangkalnya adalah politik dogmatik yang menyatu kekuasaan sekuler menekan kehidupan masyarakat. Di tengah kesulitan menghadapi kemiskinan, masyarakat  mencemaskan kematian karena ketakutan pada hukuman di neraka, penderitaan dalam menjalani kekudusan, dan, perasaaan dihantui raasa berdosa ketika mersakan  kesenangan duniawi yang sebenarnya sudah sangat susah didapatkan. Di Eropa kondisi semacam ini berlangsung sudah berabad-abad—mencerminkan tegangan mikro-makro kosmos yang tidak lagi berpangkal pada mitos, tapi pada agama yang mengalami sekularisasi
Terkurung dalam kondisi yang sangat depresif ini, melankolia meluas. Di tengah keadaan seperti ini muncul pencari kekudusan. Mereka melarikan diri dari dogma-dogma agama yang mengikat dan mengikuti cahaya yang  tidak jelas— flight for light.  Mereka mencari sendiri hubungan dengan Tuhan dan menemukan jalan keluar. Religiositas pada keyakinan mereka menunjukkan rasa aman dan kedamaian. 
William James melihat gejala itu sebagai upaya mencari hubungan mistis dengan Tuhan. Kendati ia mengkaji cukup banyak pernyataan pencari kekudusan, mistisme ini ditemukannya tidak pernah jelas. Namun William James menemukan, mistisme ini baru bisa dikenali bila ditampilkan melalui motif estetik. William James menunjuk karya-karya Tolstoy dan  Henry James (adiknya, yang di kemudian hari tercatat sebagai perintis Sastra Amerika) di mana kesadaran mistis pada narasi karya sastra bisa secara dramatis memunculkan friksi di antara pengalaman religius dengan tanda-tanda duniawi. Kajian ini dengan segera menjelaskan religiositas yang muncul pada lukisan-lukisan landscape Inggris yang berkembang pada Abad-19 juga.
Masih dalam bukunya William James mencatatat reaksi lain yang lebih radikal pada agama sebagai institusi yaitu pemikiran yang menentangnya.  Pemikiran baru ini tidak hanya menyerang agama, Pemikiran yang memunculkan atheisme ini menyerang pula pencari kekudusan.  Friedrich Nietzche mengecam para pencari kekudusan sebagai manusia tanpa vitalitas, penyelinap yang cuma terkesan sophisticated tapi menunjukkan kemerosotan moral, orang-orang  yang tidak mewakili apa-apa dalam perkembangan pemikiran manusia—William James melihat Nietzche sebagai pembela karakter predator militeristik dan pemuja kesenangan duniawi.  Di samping itu berbagai kajian ilmu kedokteran membuktikan kelainan patologis pada pencari kekudusan.
Kendati berbeda konteks dan zaman, kajian William James bisa digunakan untuk memahami religiositas pada karya-karya Entang Wiharso yang memperlihatkan tegangan pada agama yang tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial.  Dalam pandangan Mangunwijaya, “Religiositas bukan hanya gejala abstrak-abstrakan, religiositas ini intuisi mengangkat mereka yang menderita dengan cara mendampingi mereka dan bukan dengan cara berkhotbah.”  
Ada kesamaan di antara realitas yang dihadapi Andy Dewantoro dan Entang Wiharso dan realitas yang membangkitkan pemikiran William James walau keduanya berjarak tiga abad; posisi agama [Kristiani] dalam kehidupan di Eropa pada Abad ke 19 dan posisi agama [Islam] dalam kehidupan di Indonesia sekarang ini.  Namun ada juga kebedaannya. William James mencatat tanda-tanda kematian agama dan religiositas pada Abad ke-19 itu, sementara realitas yang dihadapi Andy Dewatoro dan Entang Wiharso sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ini.
Pada tahun 2011 ini fisikawan, kosmolog terkemuka Stephen Hawkings memunculkan “kehebohan kecil” karena mengukuhkan kembali kematian agama yang sebenarnya sudah sejak lama diyakini. Dengan mengkaji sejarah fisika, ia menegakan kebenaran intra-fisika yang menunjukkkan semua aspek dalam kehidupan bisa ditemukan sebabnya melalui ilmu pengetahuan termasuk misteri makro kosmos. Ia kemudian mengklaim kebenaran intra-fisika ini membawa kebenaran ekstra-fisika, “Tuhan ternyata tidak ada”.    
Sementara itu di Indonesia kedudukan agama masih sentral. Terlihat nyata di dunia Islam karena mayoritas penduduk di Indonesia beragama Islam. Itensitas yang sama bisa ditemukan di lingkungan agama Kristiani. Candi Borobudur yang dibangun pada Abad ke-5 bukan cuma bangunan yang menunjukkan ancient history.  Sampai sekarang Candi Borobudur masih digunakan untuk upacara Waisak umat Budha. Kebudayaan Bali yang dikenal di dunia karena keunikaannya tidak bisa dipisahkan dari agama Hindu-Bali. Upacara-upacara yang menjadi popluer di kalangan turis adalah upacara agama yang sebenarnya.
Pameran Flight for Light. Seni Rupa Indonesia dan Religiositas ini—diselenggarakan pada Oktober 2011—mencerminkan realitas itu. Pameran ini ingin menunjukkan the end of faith pada art discourses yang mendasari perkembangan seni rupa global, tidak bisa mengabaikan gejala pada masyarakat  Indonesia itu, yang sangat mungkin bisa ditemukan juga pada banyak masyarakat lain di dunia. Gejala ini menunjukkan art discourses di forum seni rupa global memerlukan berbagai re-negosiasi untuk menemukan dasar-dasar penilaiannya.


SEJARAH BERBEDA


Raden Saleh (1801-1880) pelukis romantisis Jawa keturunan bangsawan yang diangkat menjadi pelukis Kerajaan Belanda karena keunggulannya. Pada tahun 1829, Raden Saleh pergi ke Belanda untuk mempelajari lukisan potret dari pelukis Belanda Cornellius Kruseman dan Andreas Schelfhout. Pada tahun 1839, pemerintah kolonial Belanda memintanya pergi ke Prancis untuk melanjutkan studi, namun, pada 18 Mei 1939, Raden Saleh malah pergi ke Jerman.
Setelah mengunjungi beberapa kota, Raden saleh memutuskan untuk menetap di Dresden, tempat ia tinggal sampai tahun 1844. Di sini, ia bertemu masyarakat bangsawan Jerman. Ia menjadi teman dekat Duchess of Kent (ibu Ratu Victoria), Duke of Sachen, Duke of Coburg, dan Duke of Gothe. Di Jerman, ia menemukan kebebasan untuk menyatakan pendapat karena orang-orang Jerman bukan atasannya.
Ketika tinggal di Dresden banyak pernyataan Raden Saleh yang menunjukkan, ia mempertanyakan identitasnya sebagai orang Jawa yang hidup di daerah koloni. Pengaruh perkembangan pemikiran di Eropa membuat Raden Saleh menyadari kondisi masyarakat bawah di tanah airnya. Kesadaran ini dibangkitkan berbagai pemikiran yang berkembang di Eropa saat itu. Pada perjalanannya kembali ke Jawa pada tahun 1851, ditemukan di antara barang-barangnya yang diperiksa di Makassar, Sulawesi Selatan, sebuah buku berjudul Revolution de 1848 (Revolusi Perancis Kedua).
Pada tahun 1847, Raden Saleh menulis, “Mereka (orang Jerman) membuatku sadar tentang perbedaan antara budaya sosial tinggi orang Eropa dan kesahajaan tingkah laku kaumku” (masyarakat Jawa dan muslim). Ketika Duchess of Kent mengajaknya ke gereja untuk mengenalkan agama Kristiani dan menanyakan mengapa ia tidak pindah agama, Raden Saleh mejawab, “Mengapa saya harus menjadi Kristen sementara begitu banyak hal buruk telah dilakukan atas nama agama ini ?”   
Pernyataan Raden Saleh itu jauh dari bisa dikaitkan dengan nasionalisme—dilontarkan Ernest Renan di Universitas Sorbone, Prancis baru pada  tahun 1882—yang membayangkan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan Raden Saleh menunjukkan kepedulian masyarakat bangsawan—pada Zaman Kolonial adalah kalangan atas yang terdidik—pada nasib masyarakat kebanyakan yang merupakan kalangan bawah.

Pada akhir Abad ke 19, kepedulian ini berkembang menjadi upaya mengangkat kehidupan kalangan bawah—kesejahteraan dan kemajuan melalui pendidikan.  Tanda yang populer dan monumental adalah surat-surat R. A. Kartini, yang diterbitkan sahabat-sahabatnya berkebangsaan Belanda, tujuh tahun setelah ia meninggal (1911) dengan judul, Door Duisternis tot Licht. Gedahten over en voor het Javaansche Volk van weijlen Raden Adjeng Kartini (Menembus Kegelapan Menuju Terang. Renungan Raden Adjeng Kartni tentang dan untuk Bangsa Jawa).
Upaya mengubah realitas sosial itu berkembang paralel dengan upaya yang sama di Eropa; menunjukkan kesadaran kaum terdidik di kalangan atas, untuk mengubah nasib masyarakat kalangan bawah.  Di Eropa upaya ini mempunyai sejarah sangat panjang dan merupakan proses yang maha sulit. Struktur masyarakat yang terbagi ke kaum bangsawan yang memiliki segalanya dan menjalani good life, dan, masyarakat bawah yang tidak memiliki apa-apa dan secara kontras menjalani bad life tidak terubah selama berabad-abad. Upaya ini melibatkan pemikiran filosofis yang mempertanyakan, apakah kebenaran di balik realitas (dalam hal ini the moral truth). Melibatkan juga pemikiran religius karena mempertanyakan takdir.
Pencarian the moral truth di Eropa ini sudah muncul di ujung Abad Kegelapan di sekitar Abad ke-12. Muncul ketika sejumlah rohaniwan Kristiani—tergolong kaum terpelajar—membela  masyarakat yang menghadapi penindasan kekuasaan totaliter.  Mendengarkan getaran religiositas di hati nurani para rohaniwan ini mengeritik kekuasaan totaliter yang merupakan persekutuan raja, tuan tanah, bangsawan, kstaria pemegang senjata, dan, pejabat-pejabat gereja yang mendekatkan politik dogmatik dengan politik kekuasaan.
Realitas yang  dihadapi para rohaniwan ini adalah realitas muram masyarakat bawah yang dieksploitasi untuk menghimpun harta. Mereka diperas, digantung bila menentang kekuasaan, dibakar hidup-hidup bila melanggar dogma-dogma aagma, dibantai seperti binatang, dan para perempuannya diperkosa. Menghadapi realitas seperti ini para rohaniwan membangkitkan kesadaran, bahwa manusia, siapa pun dia, sama di mata Tuhan.
Masih diperlukan lima abad  untuk kesadaran para rohaniwan itu menjadi pemikiran yang bisa masuk ke pusat sistem pemerintahan kekuasaan totaliter. Pada Abad ke-17 filsuf John Locke menyusun konsep-konsep tentang pemerintahan dengan menggali pemikiran filsuf-filsuf  Stoa Zaman Yunani kuno (500 SM) tentang doktrin hak-hak bawaan kodrat manusia berakal-budi, di antaranya isogoria (kesamaan hak berbicara) dan isonomia (kesamaan hak di hadapan hukum).
Pemikiran itu masuk Bill of Rights (rencana hukum hak-hak warganegara) Inggris pada tahun 1689 dan disahkan Parlemen pada tahun yang sama.  Namun sistem pemerintahan ini baru operatif satu abad kemudian, setelah 13 negara Amerika memasukkannya ke Declaration of Independence pada tahun 1776  dan merincinya dalam UUD Amerika Serikat  pada tahun 1789.     
Pada akhir Abad ke-18 para filsuf mengubah dasar hukum bawaan kodrat manusia berakal budi yang bertumpu pada hukum Tuhan.  Dasar baru ini adalah  “moralitas umat manusia yang berlaku universal “. Pengubahan ini di satu sisi bertujuan menghindari campur tangan politik dogmatik gereja (tanda-tanda menuju ke pemerintahan sekuler) namun di sisi lain secara tersamar tetap mempertahankan “sifat” Tuhan (moralitas yang berlaku universal).  Pengubahan dasar  ini diikuti doktrin:  tidak ada peraturan manusia (termasuk hukum positif ) yang sah bila bertentangan dengan hukum bawaan kodrat manusia yang berakal-budi.  Karena implisit adalah hukum Tuhan, hukum ini diterima baik oleh kaum bangsawan dan tentunya masyarakat.
Perkembangan itu umumnya dipahami sebagai tanda-tanda sudah berkembangnya sistem pemerintahan demokratis di dunia Barat pada Abad ke-18. Namun pada kenyataannya perkembangan pemikiran ini tidak sesungguhnya hadir dalam kehidupan sehari-hari. The moral truth tidak sebenarnya menjadi dasar sistem pemerintahan di Eropa. Kekuasaan totaliter yang sudah berlangsung berabad-abad tidak tergeser.
Revolusi Industri  yang  merupakan salah satu tanda kemunculan dunia modern pada Abad ke-19,   tidak mensejahterkan rakyat.  Masyarakat  bawah yang umumnya petani mengalir ke kota-kota untuk menyongsong modernisasi dan memburu harapan perubahan dengan menjadi buruh. Mimpi ini tidak menemukan kenyataan dan mereka kembali terperangkap kemiskinan, terutama karena kesenjangan pendidikan dengan kaum atas.  Eksploitasi menerus, dan kesejahteraan kaum buruh—resiko kematian,  pemenuhan kebutuhan primer, jaminan sosial—jauh dari terpenuhi. Di Abad ke19 ini kesadaran tentang kapitalisme memunculkan paham sosialisme yang dengan cepat meluas di kalangan bawah Eropa.
Kajian William James tentang besarnya jumlah pencari kekudusan dan meluasnya melankolia pada Abad ke-19 di Eropa merupakan tanda-tanda puncak kepahitan pada kehidupan masyarakat bawah di Eropa menghadapi kekuasaan totaliter yang tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan agama sebagai institusi.  Pada masa ini pula atheisme muncul. Secara masuk akal bisa dipahami kemarahan pada kekuasaan agama sebagai institusi yang kemudian berkembang menjadi kemarahan pada Tuhan.  Kebudayaan teks yang sudah berkembang waktu itu membuat penderitaan manusia (kalangan bawah) selama berabad-abad bisa dirangkaikan dan dikaji. Pembacaan realitas ini yang tentunya sangat dramatis digunakan untuk mencerca takdir.
Pada aklhir Abad ke 19 itu kalangan atas yang memegang kekuasaan totaliter masih mencoba mendapatkan kekuasaan lebih besar lagi. Kalangan ini melahirkan imperialisme. Idealisme di baliknya adalah membangun pusat kekuasaan di sesuatu wilayah metropolitan yang mempunyai kekuataan mengatur secara dominan kehidupan di wilayah teritorinya. Gagasannya, kembali ke kejayaan Imperium Romawi yang menguasai seluruh Eropa dan “berhasil” membentuk masyarakat homogen Kristen di Eropa, yang tunduk pada sesuatu pusat otoritas agama.
Percaya pada idealisme itu iindustri yang berkembang  kerena kemajuan teknologi digunakan untuk memproduksi senjata dan peralatan strategis—transportasi dan peralatan telekomunikasi jarak jauh. Di luar Eropa, hanya Jepang yang memasuki lingkaran pendukung imperialisme ini.
Imperalisme itu mendasari Perang Dunia I—menandakan nasib buruk kalangan bawah di Eropa belum berubah pada awal Abad ke-20. Di awali sengketa Serbia dan Austria pada tahun 1914, perang ini merebak dan melibatkan kerajaan-kerajaan besar Eropa; Rusia, Inggris, Jerman dan Prancis—Amerika Serikat terseret ke perang ini pada 1917. Perang itu masih mengikuti gaya perang  Zaman Romawi kendati pakai senjata api. Setiap negara mengerahkan pasukan infanteri dalam jumlah besar—dengan kekuatan sampai jutaan orang.  Karena tentara profesional cuma mencapai ratusan ribu, terjadi mobilsasi para petani, buruh pertambangan dan buruh industri yang bukan tentara profesional. Perang ini kemudian tercatat menelan 10 juta korban tentara tidak profesional dan merupakan pembantaian manusia terbesar dalam sejarah dunia Barat.
Perang yang mahal itu lalu menghancurkan perekonomian kerajaan-kerajaan di Eropa. Dampaknya paling terasa di kalangan bawah. Rakyat bukan lagi sengsara. Wabah kelaparan berlangsung selama bertahun-tahun dirasakan. Di Rusia, ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak perempuan mereka yang masih kecil menjajakan tubuh untuk sepotong roti.
Namun  catastrophe itu justru merupakan titik balik. Ketika perang masih berlangsung terjadi revolusi sosial di Rusia. Kaum Bolshevik yang perannya tidak besar di parleman, namun menguasai perserikatan buruh dan petani, memimpin revolusi. Anggota militer yang sebagian besar berasal dari kaum buruh dan petani dengan segera berbalik melawan Tsar dan kaum bangsawan. Rakyat yang sengasara merebut harta dan tanah-tanah milik mereka. Rusia, berubah menjadi negara sosialis.
Ketika Perang Dunia I berakhir pada 1918, kerajaan-kerajaan di Eropa mulai membentuk pemerintahan demokratis antara lain untuk mencegah meluasnya pengaruh kaum Bolshevik yang punya simpatisan luas di kalangan buruh di seantero Eropa. Namun upaya ini tidak mulus karena direcoki berbagai kepentingan para bangsawan.  Kondisi politik di negara-negara Eropa ini berpengaruh pada penyusunan pernjanjian perdamaian untuk mencegah berulangnya perang besar. Upaya menggariskan perdamaian gagal dan imperialisme muncul kembali dua puluh tahun kemudian dan mendasari munculnya Perang Dunia II.
Imperialisme itu mewarnai juga kolonialisme Gelombang Ketiga yang dimulai pada awal Abad ke-19.  (Gelombang Pertama “the age of discovery”muncul pada Abad ke-15,  Gelombang Kedua “the age of mercantilism” dimulai pada Abad ke-17).  Namun kolonialisme gagal menjalankan politik imperalis di daerah-daerah koloni karena meghadapi keragaman agama. Kegagalan ini menunjukkan, sebenarnya bukan kekuasaan Romawi yang mengkristenkan seluruh Eropa, tapi penderitaan rakyat.  
Di Indonesia, politik imperialis ini sudah gagal sejak awal diterapkan karena pemerintahan kolonial Belanda menghadapi masyarakat Islam. Seperti pemerintahan di kerajaan-kerajaan Eropa, pemerintah kolonial Belanda sampai awal Abad ke-20 belum menjalankan pemerintahan sekuler.  Sistem pemerintahan ini masih menempatkan agama (Kristen) dalam konstitusinya.  Di Indonesia konstitusi ini menghadapi kaum bangswan dan masyarakat  yang sama-sama memeluk agama Islam.  Ketika terjadi ketegangan akibat perbedaan agama, muncul  solidaritas di antara para bangsawan dan masyarakat  kebanyakan.
Kegagalan politik imperalis itu “berkembang” menjadi “kesalahan” ketika pendekatan agama diubah menjadi pendekatan budaya—pada 1883 pemerintah kolonial mendirikan, Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) dan Theosophical Society. Pendekatan ini mencerdaskan kaum bangsawan yang kemudian membentuk kelompok pribumi terididik. Pemikiran-pemikiran yang membela kalangan bawah di Eropa, mendasari kesadaran kaum bangsawan membela masyarakat bawah di Indonesia. Sejarawan terkemuka  Sartono Kartodirdjo melihat, inilah saatnya pemerintah kolonial Belanda membuka Kotak Pandora karena sesudah itu harus menghadapi “keluarnya” rentetan pemberontakan yang tidak bisa dikendalikan lagi.
Mulai dengan menghadapi persaingan di lingkungan perdagangan dengan upaya memperjuangkan hak-hak melalui organisasi, para bangawan mulai berjuang. Mula-mula dengan mendirikan Serikat Dagang Islam pada 1911.  Pada tahun 1912 perserikatan dagang ini diubah menjadi Serikat Islam, organisasi politik yang melawan politik kolonial Belanda.  Seorang bangsawan penentang feodalisme, Haji Oemar Said Tjokroaminoto mengembangkan organisasi ini menjadi gerakan nasional.
Ketika genderang Perang Dunia I mulai ditabuh di Eropa pada tahun 1913, seorang bangsawan Jawa, Soewardi Soerjaningrat  (Ki Hadjar Dewantara) melontarkan kritik  yang dibingkai sebagai “suara rakyat Kerajaan Belanda”.  Sekilas kritik ini mempersoalkan masyarakat bawah di seluruh Kerajaan Belanda. Namun persoalan yang sebenarnya diangkat Soewardi Soerjaningrat adalah masalah masyarakat bawah di Indonesia.
Kritik itu ditampilkan melalui esei “Als Ik een Nederlander Was.”  (Seandainya Aku Seorang Belanda) yang ditulis dalam rangka menyambut perayaan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina pada tahun 1913  itu—diselenggarakan besar-besaran di Belanda dan seluruh koloni Belanda. Esei ini disebarkan sebagai pamflet.  Isinya  yang mengandung parodi dan sinisme menyinggung kalangan atas masyarakat Belanda.  Soewardi Soerjaningrat  ditangkap pada tahun yang sama dan dibuang ke Belanda. Dalam Sejarah Indonesia peristiwa ini tercatat sebagai salah satu ketegangan awal yang memunculkan perjuangan menuntut kemerdekaan.
Catatan itu menujukkan perbedaan kontras kedudukan bangsawan dan agama [Kristiani] pada perkembangan masyarakat di Eropa, dan, kedudukan bangsawan dan agama [Islam] pada perkembangan masyarakat di Indonesia. Melihat solidaritas agama merupakan dasar para bangsawan membela kalangan bawah, bahkan mengantar masyarakat ke kemerdekaan, tidak ada alasan yang masuk akal bagi masyarakat di Indonesia untuk marah pada agama apalagi pada Tuhan, seperti terjadi pada masyarakat di Eropa.
Ada sejarah berbeda pada kedua masyarakat. Karena itu tidak ada konteks yang memungkinkan  atheisme pada Abad ke-19 dan perkembangan filsafat sesudahnya meluaskan pengaruhnya di Indonesia. Sebenarnya Theosophical Society yang mempunyai cabang dan perpustakaan di berbagai kota di Indonesia menyediakan informasi tentang perkembangan ini dan menyelenggarakan berbagai program untuk pembahasannya. Namun tidak ada tanda-tanda pemikiran-pemikiran ini digubris. Pada awal Abad ke-20, perpustakaan Theosophical Society digunakan sejumlah tokoh seperti Soekarno, Mohamad Hatta, Mohamad Yamin, Agus Salim, dan, pelukis  Soedjojono untuk menegaskan pemikiran mereka tentang konsep Indonesia.
Ketika pada awal Abad ke-20 pemikiran tentang modernisasi dunia berdasarkan universalisme, sangat percaya akan terujudnya modernitas yang homogen di seluruh dunia, Walter Benjamin sudah melihat kelemahan keyakinan ini. Walter Benjamin mengetengahkan pemikiran yang ia sebut, “homogeneous empty time of modernity”.  Pada pemikiran ini ia melihat faktor waktu pada proses homogenisasi dunia tidak bisa ditentukan. Bahkan tidak bisa dibayangkan.  Walter Benjamin berpendapat modernitas homogen adalah sebuah utopia yang teoretis bisa terjadi bila semua aspek  berbeda di seluruh penjuru dunia sudah selesai menjalani proses transgresif pada modernisasi.      
Sekarang ini, proses yang tidak bisa dibayangkan Walter Benjamin sudah bisa disimpulkan sebagai kemustahilan.  Di dunia pemikiran, sendi-sendi keyakinan tentang homogenitas dunia, sudah digoyahkan. Dalam kenyataan terlihat pada patahnya pemahaman globalisasi yang masih saja dibayangi keyakinan tentang akan terjadinya homogenisasi. Perubahan besar di China, berakhirnya Perang Dingin, membesarnya peran Asia dalam perekonomian dunia, membuat globalisasi harus dilihat sebagai globalizations. Pada globalisasi yang plural ini, globalisasi Islam yang terjadi pada dua dekade terakhir akibat meruyaknya ketegangan Timut-Tengah yang tidak selesai-selesai sampai sekarang, memunculkan clash of globalizations.  
Pandangan yang melihat the west secara prejuratif, melihat koflik itu sebagai bentrokan Dunia Kristiani dengan Dunia Islam. Clash of globalizations ini ditafsirkan juga sebagai clash of civilizations.  Pandangan yang memperhitungkan perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan akan melihatnya sebagai benturan “dunia ber-Tuhan dengan dunia tidak ber-Tuhan.” Semua identifikasi ini menunjukkan kesenjangan yang nyaris tidak mungkin dijembatani. Tercermin pada kegagalan demi kegagalan diplomasi global untuk mengatasi benturan ini.
Islam dalam konflik itu adalah agama sebagai institusi. Nyaris tidak ada kesadaraan pada identifikasi kolfik itu melihat agama sebagai institusi bukan satu-satunya bentuk agama. Tidak ada tanda-tanda pada identifikasi ini menoleh ke kajian Williaim James dalam The Vareities of Religious Experience karena gejala meningkatnya jumlah pencari kekudusan pada Abad ke-19 tidak menjadi catatan penting dalam sejarah. Ketika atheisme menghantam agama sebagai institusi, para pencari kekudusan ini kena bidas. Tanda-tandanya yang tercecer pada karya-karya sastra tidak sampai menurunkan risalah dalam sejarah yang bisa membangunkan kesadaran sekarang ini, bahwa semua agama membawa tanda-tanda perkembangan yang sama. Dalam totalitas anti-religious bias menjauhkan kemungkinan munculnya kesadaran bahwa pada perkembangan Islam ada juga  agama personal.
Ungkapan seniman-seniman muslim pada pameran Flight for Light. Seni rupa Indonesia dan Religiositas ini menunjukkan gejala yang overlooked itu. Ungkapan mereka menunjukkan internal dynamics pada agama Islam yang tak ada hubungannya dengan pengambilan posisi menghadapi ketegangan Timur-Tengah.  Internal dynamics ini celah pada kebuntuan mengidentifikasi clash of globalizations. Religiositas pada ungkapan seniman-seniman muslim ini, bersama religiositas pada ungkapan yang muncul berdasarkan agama-agama lain pada pameran ini menunjukkan watak pencari kekudusan; kembali ke kebaikan—sikap toleran, moralitas yang jauh dari permusuhan, sikap kritis pada kekerasaan—di tengah meruyaknya ketegangan sekular karena identitas agama. Di dasar ungkapan para seniman ini ada pemahaman realitas yang tidak kehilangan dimensi transendesinya.
Jim Supangkat / Kurator.

Sumber:http://mondecor.com/?q=kuratorial/curatorial-jim-supangkat-indonesia#sthash.QLXXK9ic.dpuf
Biodata Jim Supangkat
Jim Supangkat (b.1948) adalah kritikus seni dan kepala kurator CP Foundation di Jakarta. Dia adalah profesor Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung selama dua puluh tahun.Sebagai kurator terkemuka di Indonesia, ia memulai Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia di tahun 1970 dianggap sebagai awal dari wacana seni rupa kontemporer di Indonesia. Dia telah kurasi pameran seni kontemporer internasional di Indonesia termasuk Seni Kontemporer Negara-negara Non-Blok (1995), CP Biennale I (2003) dan CP Biennale II (2005), contemporaneity: Seni Kontemporer di Indonesia pada MOCA Shanghai (2010). Dia telah menulis beberapa buku dan banyak esai memperkenalkan seni kontemporer di Asia dan Indonesia ke dunia seni internasional.Pada tahun 1997, ia menerima Prince Claus Award untuk upaya ini.


Lampiran (1)


Belum ada karya “Indonesia “yang dapat pengakuan dunia"
Tanya jawab antara Ranang Aji SP (Koran Opini) dan Jim Supangkat,10 February 2015

Jim Supangkat merupakan kurator seni rupa Indonesia paling dihormati. Heri Dono bahkan menilainya sebagai kurator terbaik Indonesia dan internasional yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini. Gagasan dan pandangannya tentang seni rupa serta kebudayaan secara umum menjadi bagian penting dalam perjalanan dialektika kebudayaan Indonesia.
Dalam kesempatan wawancara ini, Jim Supangkat memberikan pandangan-pandanganya seputar isu pasar seni rupa dan eksistensi seni rupa Indonesia dalam kontestasi kebudayaan dunia.


T: Kami mendengar dari beberapa seniman, pasar seni rupa sejak booming 2007-2008 terasa sepi. Apakah itu lebih sebagai sesuatu yang subyektif atau memang reprensentatif ?

J: Ya, betul. Terlihat pada menurunnya secara drastis aktivitas pameran di galeri-galeri swasta, khususnya di Jakarta. Pameran-pameran ini kan yang tercatat meramaikan pasar seni rupa.

T: Adakah indikator atau apa yang menjadi parameternya?

J: Indikatornya ya menurunnya jumlah pameran yang saya kemukakan tadi. Dampaknya, penjualan karya otomatis turun juga dan pasar jadi sepi.

T: Menurut Heri Pemad, pasar tidak sepi. Tapi yang sepi karya yang benar-benar bagus? Anda sepakat ?

J:Kalau yang dimaksud Pemad kegiatan seni rupa tidak sepi saya setuju. Aktivitas seniman di Yogya dan di Bandung tidak menyurut. Berbagai art space masih aktif. Aktivitas ini tidak selalu berhubungan dengan pasar. Kalau pasar dalam arti aktivitas jual-beli ya sepi, menurut saya kenyataan ini tidak bisa disangkal.

Tapi mungkin  maksud Pemad, para pembeli (kolektor) sebenarnya  masih punya dorongan membeli, jadi pasar sebenarnya masih punya kemungkinan menjadi ramai, tapi para kolektor merasa tidak ada karya yang bagus. Nah kalau ini memang yang dimaksud Pemad, saya setuju. Masuk akal kan kalau boom karya seni memunculkan seniman-seniman yang berorientasi pada pasar. Kita tau kayak apa lah karya-karya mereka dan para kolektor lama-lama sadar mereka ketipu, kemudian jadi takut ketipu karena sangat sulit menemukan kejujuran di pasar seni rupa sekarang ini.

T: Boom tentu peristiwa yang luar biasa. Menurut Anda apakah peristiwa ini hanya semacam eforia kelas kolektor tertentu ? Atau ada sebuah desain tertentu dengan tujuan tertentu yang disengaja ?

J: Boom karya seni rupa, yang didahului boom lukisan pada 1980an adalah gejala tidak wajar. Rush pembelian karya itu seperti cornering di bursa saham. Para pembeli yang panik, tertipu. Sepengetahuan saya boom karya seni rupa di Indonesia terjadi bukan hasil rekayasa seseorang atau sekelompok orang. Boom,yang beberapa kali terjadi menurut saya karena ignorance atau para kolektor salah membaca pasar seni dunia.

T: Boom terakhir 2008 menyisakan kisah-kisah indah dan juga pilu. Beberapa perisitiwa menjadi hikmah dalam konteks tata kelola diri. Tetapi di sisi lain  membawa sebagian seniman muda berorientasi ke pasar. Anda melihat seperti apa seniman kita saat ini?

J: Boom karya seni nggak ada indahnya buat saya karena terlalu dominan urusan bisnisnya dan selalu diikuti dorongan spekulasi. Saya tidak pernah tertarik pada seniman yang sepenuhnya berorientasi ke pasar. Saya tidak terlalu peduli, apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka pelajari.

Dari dulu sampai sekarang seniman yang betul-betul membuat karya seni selalu ada, dan biasanya saya berurusan dengan mereka, walau jumlah seniman yang berorientasi ke pasar barangkali lebih banyak. Jadi kita tidak bisa mengeneralisasikan pada sesuatu masa semua seniman tiba-tiba berorientasi ke pasar. Sekarang masih banyak seniman yang sungguh-sungguh membuat karya, mereka terus berkarya dan setahu saya tidak ngomel apa pasar jadi sepi atau tidak.

T: Senirupa merupakan tradisi borjuasi dan aristokrat di Eropa pada masa lalu. Nilai ekonominya tidak sebanding dengan nilai guna. Untuk menjadi nilai lebih itu St. Sunardi, misalnya, mengatakan dibutuhkan demistifikasi karya seni agar menjadi nilai tinggi. Artinya dibutuhkan banyak aspek agar sampai pada nilai itu selain takdir. Menurut Anda apakah berarti di sini prosesnya menjadi seperti produk barang yang dikemas dalam sebuah rekayasa iklan agar diterima pasar?

J: Soal tradisi mengoleksi, ceritanya panjang, Gimana kalau Anda riset sedikit dan cari tulisan saya di berbagai media yang membahas munculnya komodifikasi karya seni rupa di Amerika pada 1980-an. Sesudah perkembangan ini pasar seni rupa di mana pun di dunia memang membawa tanda-tanda negatif bila diukur dari nilai-nilai budaya.

Saya setuju pada gagasan demistifikasi St. Sunardi. Di Indonesia, image bahwa karya seni rupa adalah barang mahal benar-benar sebuah mitos. Jadi perlu demistifikasi.

Di Indonesia menentukan apakah sesuatu karya betul-betul bernilai sangat sulit karena masih kaburnya patolakan-patokan, walau bukannya tidak bisa. Nah yang perlu diluruskan adalah kepercayaan bahwa nilai karya seni rupa paralel dengan nilai nominalnya di pasar dan ditentukan oleh mekanisme pasar yang bisa direkayasa. Ini bukan mitos lagi, ini sudah omong kosong.

T: Bisa Anda jelaskan bagaimana sebenarnya kedudukan senirupa kita dalam kebudayaan masyarakat dunia saat ini ?

J: Kalau yang Anda maksudkan ada kemajuan pada seni rupa Indonesia sehingga sekarang sudah mendapat pengakuan dunia, saya tidak melihat tanda-tanda ini. Belum ada karya-karya yang mendapat pengakuan dunia. Karya-karya yang beredar di pasar seni dunia, ya banyak.

Benar, aktivitas seni rupa kita sekarang ini dekat dengan aktivitas seni rupa dunia. Ini terjadi karena dunia sekarang ini berada pada era globalisasi, dan pada era ini terjadi banyak perubahan. Terlalu banyak kalau harus saya uraikan semuanya pada wawancara ini. Tapi beberapa hal bisa disebutkan.

Di bidang ekonomi negara-negara Barat tidak lagi dominan pada era globalisasi, selain itu prospek ekonomi di Asia menarik perhatian pada era ini. Gejala ini berpengaruh dalam hal memperhatikan berbagai perkembangan di Asia, tidak terkecuali di Indonesia. Yang dulu tidak kelihatan, sekarang kelihatan. Pasar seni rupa dunia mencerminkan perkembangan ini juga.

Sejak 1990 seniman-seniman Indonesia merasakan dampak globalisasi dan berbagai perubahannya itu. Ini pintu masuknya seniman-seniman Indonesia ke forum global. Namun di forum ini ada persaingan ketat. Dalam pengamatan saya posisi kita belum terlalu baik menghadapi persaingan ini.

T: Saya berpendapat, Abstrak-Ekspresionisme, misalnya, (Jackson Pollock) itu diposisikan sebagai panglima politik dalam medan perang kebudayaan oleh pemerintah Amerika Serikat di masa itu (1950-an). Pertanyaannya, apakah kita seharusnya berpikir seperti itu, menjadikan produk  senirupa kita panglima dalam perang kebudayaan global? Kalau iya, apakah kita siap?

J: Ya cerita itu sudah beredar luas, dan menjadi aib Amerika Serikat sampai sekarang. Harus dicatat ini bukan politik resmi. Ini politik gelap yang terungkap karena masyarakat membongkar kebusukan dinas rahasia (CIA dan FBI). Sampai 60-an dinas rahasia ini berkuasa. Dengan merekayasa phobia komunisme dan phobia perang dingin mereka memasuki ranah politik, ranah soisial, dan ranah budaya. Kebetulan CIA, FBI berstatus sama dengan Endownment for The Arts yang lembaga federal juga.

Kita jelas-jelas harus menghindari politik seperti itu yang lebih buruk dari korupsi. Anda tahu kan paranoia di mana-mana selalu memunculkan gagasan-gagasan tolol yang celakanya bisa dilaksanakan dengan menyalah-gunakan kekuasaan. Yang kita perlukan politik resmi yang tidak pat-gulipat.

Perlu kita catat bukan cuma kapasitas seniman dan kemajuan karya-karya mereka yang harus kita andalkan. Perlu diperhitungkan kondisi di mana karya-karya ini muncul. Karya seni berkaitan dengan nilai-nilai dan bukan dengan kehebatan senimannya. Nilai-nilai ini seharusnya terungkap melalui art discourses yang melibatkan pembacaan dan akhirnya pengakuan masyarakat. Proses ini memerlukan infrastruktur budaya.

Infrastruktur itu menurut saya tidak tertalu abstrak. Prakasa harus diambil pemerintah. Pemerintah, seperti pemerintahan di mana pun (di negara maju) harus menyusun National Cultural Policy (disusun para ahli dan bukan pejabat pemerintah atau DPR) untuk menjalankan lembaga-lembaga kebudayaan negara (museum nasional, galeri nasional, perpustakaan nasional, pusat-pusat arkheologi dan sejarah, taman-taman budaya di berbagai daerah dan sebagainya).Jelas kan, bagaimana mau menjalankan lembaga-lembaga kebudayaan negara kalau tidak punya policy.

Melalui program lembaga-lembaga itu—dilaksanakan pamong budaya, jangan asal pegawai negeri—bisa tumbuh infraktruktur yang percaturannya akan melibatkan lembaga lembaga kesenian swasta (perkumpulan seni, galeri-galeri seni rupa), media massa dan masyarakat. Kondisi ini akan membantu seniman membuat karya yang “baik dan benar.” Dengan karya-karya ini berikut art discourses yang menopangnya kita bisa mencoba bermain di forum dunia.

Sampai sekarang pemerintah kita tidak pernah punya National Cultural Policy. Depdikbud di semua pemerintahan tidak berani menyusunnya karena ditakut-takuti seniman, budayawan, dan, orang-orang sok pinter yang khawatir National Cultural Policy akan menjadi politik seperti politik di negara komunis yang menyusun definisi kebudayaan, kesenian dan mengharuskan semua seniman dan masyarakat mengikutinya. Orang-orang ini tidak sadar bahwa National Cultural Policy ini bukan cuma hak, tapi kewajiban pemerintah.

Yang sampai sekarang terjadi Depdikbud pada pemerintahan mana pun menyerahkan tugas dan kewajibannya itu pada seniman dan budayawan melalui Kongres Kebudayaan yang diselenggarakan reguler. Hasilnya kan kita tahu. Rekomendasi kongres sebagai hasil diskusi amatiran karena terlalu banyak kepala, tidak pernah jelas bahkan tidak masuk akal.

T: Sejauh ini, bagaimana perkembangan seni rupa kita? Adakah sesuatu yang muncul  sebagai representasi, ini lho karya seni Indonesia ?

J: Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini akan panjang banget untuk sesi wawacancara seperti ini dan akan menjadi terlalu teknis. Pada dasarnya saya optimistis representasi yang Anda bayangkan bisa ditegaskan suatu kali. Optimisme ini ditunjang kenyataan, tidak semua seniman berorientasi ke pasar.


Sumber: http://koranopini.com/tokoh/wawancara/item/3373-jim-supangkat-belum-ada-karya-yang-dapat-pengakuan-dunia


Lampiran (2)

Glosari Para Penulis Filsafat dan Filsafat Seni di Indonesia

Secara historis, Indonesia kini tak bisa berkelit dari proses pendefinisian diri oleh subjek-subjek kolonialis gaya baru, baik dalam ruang sosial, politik, dan ekonomi. Fenomena ini semakin tegas ketika pembedaan Negara Maju dan Negara Berkembang menjadi salah satu variabel penting (demi kepentingan ekonomi dan politik), di mana Barat, selalu diposisikan sebagai pusat.

Ini terjadi karena sebagian elite kita tidak mempunyai visi geopolitik dan kesadaran historis atas bangsanya sendiri. Kini menjadi jelas bahwa kita sebetulnya belum merdeka. Meminjam pandangan Karl Jaspers, kita hanya merdeka dalam arti "hidup" (to live), bukan dalam arti "ada" (to exist). "Hidup" di sini bermakna pasif dan menjadi objek, sedangkan "eksis" bermakna aktif dan menjadi subjek.

Dulu para bapak pendiri bangsa kita mempunyai visi geopolitik dan kesadaran sejarah yang kuat. Misalnya Mohammad Hatta dengan gagasan sosialnya, Sjahrir dengan sosialis liberal, dan Sukarno dengan nasionalis kiri. Mereka itu merancang zaman, dalam konteks masa di mana secara politik gagasan mereka terbentuk, karena mereka mempunyai dua kesadaran tersebut.

Merdeka, bukan sekedar dalam pengertian "hidup" (to live), tetapi dalam arti "ada" (to exist) yang bermakna aktif dan menjadi subjek.

M. Hatta

Mohammad Hatta, pengarang Alam Pikiran Yunani. M. Hatta dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda, bersama Sutan Syahrir dan aktivis pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya. Saat dibuang, Hatta menulis sebuah buku berjudul Alam Pikiran Yunani. Melalui studi terhadap para filsuf Yunani ini, Hatta memperkenalkan pendahuluan paling awal bagi pemikiran Barat jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan. Buku Alam Pikiran Yunani masih digunakan sebagai buku bacaan wajib bagi mahasiswa filsafat di Indonesia.

Dalam Alam Pikiran Yunani, Hatta menggali pula pandangan hidup asketisme yang bersumber dari filsuf Barat. Penggalian Hatta menjadi tonggak baru pemikir Indonesia, yang sebelumnya mengandalkan pencarian asketisme dari nabi, pahlawan, dan pemikir dari Timur (Asia).

Buku Alam Pikiran Yunani terdiri dari tiga bagian.Bagian pertama memaparkan paham-paham filosofi sebelum Sokrates. Bagian kedua mengurai filosofi Yunani Klasik, yaitu ajaran-ajaran Sokrates, Plato dan Aristoteles. Bagian ketiga menjelaskan filosofi Yunani yang telah berkembang setelah Aristoteles.

Tan Malaka

Tan Malaka adalah pengarang buku berjudul Madilog (Materialisme Dialektika Logika). Meski Tan Malaka menola menyebut Madilog sebagai sebuah falsafah, namun studi ini mengupas mengenai hukum berpikir dan rasionalisme pemikiran filosofis Barat dengan dengan luas dan mendalam.

Madilog adalah buku yang termasuk paling awal dan utuh mempertentangkan antara pemikiran filosofis Barat dan Timur. Tan Malaka menawarkan suatu hukum berpikir berdasarkan filosofis materialisme yang digagas oleh Karl Marx dan F. Engels.

Berbeda dengan polemik kebudayaan 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Soepomo, Ki Hajar Dewantara, dan lainnya, Madilog juga menolak pemikiran Barat yang dianggap sebagai paham idealisme berdasarkan keruhanian. Madilog lebih maju dengan membedakan kontradiksi di dalam sejarah pemikiran Barat dan Timur.

Tan Malaka, pengarang Madilog (Materialisme Dialektika Logika)

M. Nasroen

Buku M. Nasroen berjudul Falsafah Indonesia (1967), yang darinya kajian Filsafat Indonesia berasal mula. Tidak banyak yang mengetahui kapan dia lahir, akan tetapi puncak kariernya ialah ketika ia menjabat sebagai Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia. Karyanya yang membahas langsung Filsafat Indonesia ialah Falsafah Indonesia (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967), yang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dikategorikan sebagai ‘buku langka’ dengan Nomor Panggil (Call Number) 181.16 NAS f.

Dalam karyanya itu, Nasroen menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia dengan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) dan Filsafat Timur, lalu mencapai satu kesimpulan bahwa Filsafat Indonesia adalah suatu Filsafat khas yang ‘tidak Barat’ dan ‘tidak Timur’, yang amat jelas termanifestasi dalam ajaran filosofis mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan (hal.14, 24, 25, 33, dan 38).

Bukunya yang hanya setebal 90 halaman itu, sayangnya, hanya memberikan garis besar, penjelasan umum yang tidak detail, dan masih membutuhkan penjabaran dan penjelasan yang lebih luas. Kekurangannya itu kelak disempurnakan oleh generasi pengkaji Filsafat Indonesia berikutnya.

Soenoto

Dia lahir pada tahun 1929 dan merupakan pengkaji Filsafat Indonesia generasi kedua di era 1980-an. Pendidikan kefilsafatan pertamakali diperoleh dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Sarjana dan Magister Ilmu Sosial dan Politik), lalu Vrije Universiteit, Amsterdam (Doktor Ilmu Sosial dan Politik). Jabatan yang pernah dipegang ialah Dosen Tetap UGM (sejak 1958), Dekan Fakultas Filsafat UGM (1967-1979), Peneliti Filsafat Pancasila di Dephankam, Ketua Survei Pengamalan Pancasila di UGM dan Depdagri RI. Karya-karyanya yang langsung berhubungan dengan kajian Filsafat Indonesia ialah: Selayang Pandang tentang Filsafat Indonesia (Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1981), Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Lembaga Studi Filsafat Pancasila & Andi Offset, 1983), dan Menuju Filsafat Indonesia: Negara-Negara di Jawa sebelum Proklamasi Kemerdekaan (Yogyakarta: Hanindita Offset, 1987).


Buku Sunoto berjudul Menuju Filsafat Indonesia (1987), yang mencoba meluaskan cakupan dari karya rintisan Nasroen.
Dalam ketiga karyanya itu Sunoto menyempurnakan karya rintisan Nasroen dengan menelusuri tradisi kefilsafatan Jawa dan memberikan penjabaran yang amat detail tentang tradisi itu. Tentu saja, walaupun karya ini berhasil menyempurnakan Nasroen, tetapi tetap saja masih memiliki kekurangan, sesuatu yang sangat diakui Sunoto sendiri. R. Parmono, salah seorang dosen UGM pula, akan menyempurnakan kekurangannya tadi.

R. Parmono

Lahir pada tahun 1952, R. Parmono menempuh jenjang pendidikan kefilsafatan di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Sarjana Filsafat), lalu setelah lulus pada 1976, dia meneruskan pendidikan di Program Pasca-Sarjana Jurusan Filsafat Indonesia di UGM pula. Setelah memperoleh gelar Magister, ia diterima sebagai Dosen Filsafat di UGM, bahkan pernah menjadi Sekretaris Jurusan (Sekjur) pada Jurusan Filsafat Indonesia yang dirintisnya bersama-sama dengan Sunoto. Selain mengajar di UGM, dia juga salah seorang anggota Peneliti Filsafat Pancasila (1975-1979) di Dephankam. Karya-karyanya yang membahas Filsafat Indonesia ialah: Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia (Yogyakarta: Andi Offset, 1985), Penelitian Pustaka: Beberapa Cabang Filsafat di dalam Serat Wedhatama (1982/1983), dan Penelitian Pustaka: Gambaran Manusia Seutuhnya di dalam Serat Wedhatama (1983/1984).

Buku R. Parmono Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia (1985), yang menyempurnakan kajian Sunoto Dalam Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, R. Parmono menyempurnakan kekurangan kajian Sunoto yang mengkaji sebatas tradisi kefilsafatan Jawa dengan melebarkan lingkup kajian pada tradisi filsafat Batak, Minang, dan Bugis. Dalam buku itu pula Parmono mencoba mendefinisi-ulang istilah ‘Filsafat Indonesia’, sebagai ‘…pemikiran-pemikiran…yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah…’ (hal. iii). Jadi, Filsafat Indonesia berarti segala filsafat yang ditemukan dalam adat dan budaya etnik Indonesia. Definisi ini juga dianut oleh pelopor yang lain, Jakob Sumardjo.

Jakob Soemardjo
Nama aslinya Jakobus Soemardjo, dilahirkan di Klaten pada tahun 1939. Karier kefilsafatannya dimulai ketika ia menulis kolom di harian KOMPAS, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Suara Pembaruan dan majalah Prisma, Basis, dan Horison sejak tahun 1969. Sejak tahun 1962 mengajar di Fakultas Seni Rupa Desain di Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung dalam mata kuliah Filsafat Seni, Antropologi Seni, Sejarah Teater, daan Sosiologi Seni. Buku-bukunya yang khusus membahas Filsafat Indonesia ialah: Menjadi Manusia (2001), Arkeologi Budaya Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002, ISBN 979-9440-29-7), dan Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan (Yogyakarta: AK Group, 2003).

Dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, Jakob membahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yang secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia dari ‘era primordial’, ‘era kuno’, hingga ‘era madya’. Dengan berbekal hermeneutika yang sangat dikuasainya, Jakob menelusuri medan-medan makna dari budaya material (lukisan, alat musik, pakaian, tarian, dan lain-lain) hingga budaya intelektual (cerita lisan, pantun, legenda rakyat, teks-teks kuno, dan lain-lain) yang merupakan warisan filosofis agung masyarakat Indonesia. Dalam karyanya yang lain, Mencari Sukma Indonesia, Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yang secara radikal amat berbeda ontologi, epistemologi, dan aksiologinya dari ‘Filsafat Indonesia Lama’.

Definisinya tentang Filsafat Indonesia sama dengan pendahulu-pendahulunya, yakni, ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ dari suatu kelompok etnik di Indonesia. Maka, jika disebut ‘Filsafat Etnik Jawa’, artinya ‘…filsafat [yang] terbaca dalam cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk rumah Jawanya, dari buku-buku sejarah dan sastra yang ditulisnya…’ (Mencari Sukma Indonesia, hal. 116).

Selain itu dia juga membuat buku yang berjudul "filsafat seni" yang diterbitkan oleh ITB pada tahun 2000. semua tulisan di dalam buku ini berasal dari kumpulan artikel-artikel yang setiap minggu mengisi ruang budaya pada harian pikiran rakyat di bandung. pemikiran yang dituangkan pada buku ini hanya sebagai pengantar untuk menuju filsafat seni, walaupun demikian buku tersebut dapat menjadi sebuah referensi bagi pembacanya.

Analisis
Semua filsuf pelopor tadi mencapai kata sepakat bahwa definisi Filsafat Indonesia adalah ‘segala warisan pemikiran asli yang terdapat dalam adat-istiadat dan kebudayaan semua kelompok etnik Indonesia.’ Jadi, semua produk filosofis sebelum datangnya filsafat asing (Tiongkok, India, Persia, Arab, Eropa) ke Indonesia, dapat disebut sebagai Filsafat Indonesia. Mereka menekankan ‘keaslian’ bagi Filsafat Indonesia. Padahal, ‘Filsafat asli Indonesia’ hanya ada pada saat masyarakat Indonesia belum kedatangan penduduk asing. Jika Filsafat Indonesia hanya berisi ini saja, maka sungguh betul miskinlah tradisi filsafat kita.

Definisi yang sangat berkekurangan itu kelak mendorong lahirnya definisi baru yang digagas oleh Ferry Hidayat, seorang Dosen Bahasa Inggris di UPN ‘Veteran’ Jakarta, bahwa agar Filsafat Indonesia tidak seperti katak dalam tempurung, kebal terhadap pengaruh intelektual asing dan ‘suci’ dari unsur filosofis asing, maka scope Filsafat Indonesia harus diperluas, bukan hanya mengandung segala warisan pemikiran asli yang terdapat dalam adat-istiadat dan kebudayaan semua kelompok etnik Indonesia, tapi juga segala pemikiran Indonesia yang terpengaruh oleh antar-koneksi filsafat-filsafat sejagat.

Memang benar, sebagaimana sering ditunjukkan oleh penulis buku Filsafat Islam, Persia, Tiongkok, Jepang, Inggris, Jerman, Amerika, dan lain-lain, bahwa para filsuf menamai kajian mereka dengan sebutan ‘Filsafat Islam’, ‘Filsafat Tiongkok’, ‘Filsafat Jepang’, ‘Filsafat Jerman’, dst., di samping untuk menegaskan sumbangan komunal dari komunitas tempat mereka berasal terhadap tradisi filsafat sejagat, juga untuk menunjukkan kekhasan, otentisitas, identitas, atau fitur distingtif dari filsafat yang mereka kaji daripada tradisi filsafat lain. Tapi, para filsuf itu tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka kemudian juga mengakui, baik secara implisit maupun eksplisit, bahwa tradisi filsafat sejagat juga turut memberi warna-warni dalam struktur filsafat regional mereka.

Driyarkara

Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara SJ (lahir di Kedunggubah, Kaligesing, Purworejo, 13 Juni 1913 – meninggal di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah, 11 Februari 1967 pada umur 53 tahun.
Ajaran pokok Driyarkara yaitu "manusia adalah kawan bagi sesama". Manusia adalah rekan atau teman bagi sesamanya di dunia sosialitas ini (homo homini socius). Pikiran homo homini socius ini ditaruh untuk mengkritik, mengoreksi, dan memperbaiki sosialitas preman; sosialitas yang saling mengerkah, memangsa, dan saling membenci dalam homo homini lupus (sesama adalah serigala bagi manusia).

Sampai tahun 1951 nama Driyarkara tidak dikenal. Hampir seluruh waktunya dia gunakan untuk studi secara intensif. Catatan harian yang ditulisnya sejak 1 Januari 1941 sampai awal tahun 1950 tidak pernah lepas dari persoalan aktual-mendesak yang dihadapi manusia, khususnya rakyat Indonesia.

Karya publik awal tulisannya tidak langsung filosofis. Karya awalnya berupa catatan ringan dalam bahasa Jawa yang dimuat majalah Praba, sebuah mingguan berbahasa Jawa yang terbit di Yogyakarta. Disusul kemudian dengan Warung Podjok dengan nama samaran Pak Nala.
Terbitnya majalah Basis tahun 1951 membuka peluang Driyarkara memperkenalkan ide-idenya ke masyarakat. Mulanya dengan nama Puruhita, kemudian dengan nama lengkap Driyarkara. Cara penyajiannya bergaya percakapan, setapak demi setapak membawa pembaca ke permenungan filosofis.

Saat mengasuh Basis, Driyarkara diserahi tugas menjadi Dekan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Sanata Dharma, embrio IKIP Sanata Dharma. Pidato pertanggungjawabannya tentang kepentingan pendidikan guru memperoleh tanggapan luas, dan sejak saat itu (1955) selain dikenal sebagai filsuf juga seorang ahli pendidikan.

Lewat tulisan, pidato, ceramah, dan kuliah, Driyarkara memberikan pencerahan proses pencarian jati diri bangsa. Misalnya, ketika gerakan mahasiswa marak pada tahun 1966, dialah pembela pertama hak mahasiswa dan pelajar untuk demonstrasi. Di tengah keadaan kritis dan buntu-mentok, dia tampil dengan gagasan menerobos lewat pemberian makna.

Biografi

Pada tahun 1952, ia mendapat gelar Doktor bidang Filsafat di Universitas Gregoriana dengan disertasi mengenai Nicolas Malebrance.
1941-1942, ia sudah mengajar sebagai dosen di Girisonta.
1943-1946, menjadi pengajar filsafat di Seminari Tinggi Yogyakarta.
1952-1958, setelah PhD, N Driyarkara menjadi dosen filsafat di Yogyakarta.
1960-1967, Guru Besar Luar Biasa di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
1961-1967, dosen di Universitas Hasanudin, Ujung Pandang (Makassar)
1962-1967, anggota MPRS
1963-1964, dosen tamu di Universitas St Louis, Amerika Serikat
1965-1967, anggota DPA

Buku dan tulisan

Driyarkara memang tidak pernah menulis buku. Driyarkara tidak meninggalkan satu pun karya utuh komprehensif tentang satu persoalan.

Kalau mau disebut sebagai "buku", mungkin tulisan tentang filsafat Malebranche, disertasi untuk memperoleh gelar doktor ilmu filsafat dari Universitas Gregoriana, Roma, tahun 1952. Disertasi itu berupa manuskrip setebal 300 halaman ditulis dalam bahasa Latin klasik. Naskah asli disimpan di Roma, tetapi tahun 1954 terbit versi ringkasannya setebal 40 halaman.

Selain disertasi, hampir semua karya Driyarkara berupa tulisan-tulisan pendek. Isinya komentar tentang persoalan-persoalan hangat pada zamannya. Tulisan terpanjang berupa pidato pengukuhan gelar guru besar luar biasa dalam ilmu filsafat pada Fakultas Psikologi UI tahun 1962.

Dengan metode fenomenologi eksistensial, metode yang dikembangkan Malebranche, persoalan kemanusiaan ditempatkan dalam situasi bersama masyarakatnya. Driyarkara lewat perenungan kehidupan bangsa-negara Indonesia terlibat dalam jatuh-bangunnya menjadi Indonesia. Driyarkara mengamati, mempertanyakan, menggugat, memberi makna, dan menawarkan jalan keluar yang menerobos.

Beberapa buku kumpulan tulisan dan tentang Driyarkara


  • Jejak sebagai pemikir dibukukan dari siaran-siaran radio RRI dan renung filsafatnya dalam buku Pertjikan Filsafat (PT Pembangunan, Jakarta, 1962).
  • Kumpulan kuliah-kuliahnya disatukan dalam Filsafat Manusia, Kanisius, Yogyakarta 1969 Cet I dan 1975 Cet II.
  • Driyarkara tentang Pendidikan, Driyarkara tentang Manusia, Driyarkara tentang Negara dan Bangsa, Yayasan Kanisius, Yogyakarta 1980.

Sekolah Tinggi

Pada tanggal 2 Februari 1969 (tepat 2 tahun setelah Driyarkara meninggal), di sebuah ruang tamu di Susteran Theresia Jalan H Agus Salim, Jakarta, jejak perintisan Sekolah Tinggi Filsafat bernama Driyarkara dimulai.
Proses pembidanan sebuah sekolah filsafat dilakukan bersama oleh rekan-rekan almarhum, yaitu Prof. Dr. Fuad Hassan, Prof. Dr. Slamet Iman Santosa yang mendambakan didirikannya sebuah institut filsafat di Indonesia yang terbuka untuk umum, berdiri sendiri, dan merupakan pusat yang mampu menarik dosen untuk lebih memantapkan usaha pengembangan filsafat di Jakarta. Inilah dies natalis pertama Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di tahun 1969.

Pendapat Soe Hok Gie, adik Arief Budiman—salah satu pengagumnya—menyebut Driyarkara sebagai "filsuf dalam arti sebenarnya". "Dia selalu meragukan postulat, bertanya, menggugat segala bidang, termasuk tentang dirinya sendiri. Tetapi, dari segala keraguan itu dia susun kembali satu-satu dan sederhana, sampai tercipta kepastian-kepastian kecil."
Fuad Hassan menggolongkannya sebagai pemikir yang selalu risau atas realitas masyarakat, "seorang pekerja keras" kata Slamet Iman Santoso, filsuf yang tidak memburu popularitas tulis Daoed Joesoef. Franz Magnis-Suseno SJ, Soerjanto Poespowardoyo, Mudji Sutrisno, Toeti Heraty—sekadar menyebut beberapa nama—menyatakan Driyarkara bukan hanya guru besar yang berhasil merangsang minat berfilsafat di Indonesia, tetapi juga filsuf pertama Indonesia yang menulis filsafat sistematik, tidak hanya sosok yang menempatkan filsafat sebagai philosophia (cinta kebijaksanaan), tetapi juga filsafat sebagai kegiatan yang inheren dalam kehidupan sehari-hari.
Pemikir besar Indonesia lainnya, Soedjatmoko, menyebut Driyarkara pembawa pemikiran filsafat modern. Driyarkara pemberi makna atas perjalanan kehidupan bangsa Indonesia.

Mudji Sutrisno

BIOGRAFI
Nama Mudji Sutrisno dalam dunia kepenulisan mungkin sudah tidak asing lagi didengar. Kiprahnya dalam dunia tulis menulis memang sudah dimulai sejak tahun 1983. Selanjutnya, seolah rutin setiap tahunnya ia selalu menerbitkan buku. Biasanya buku yang ia terbitkan bergenre non-fiksi jenis buku filsafat, kritikan-kritikan pada negara dan pemimpinnya.

Pria kelahiran 12 Agustus 1954 ini sempat menjabat sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum periode 2000-2007. Namun, jabatan yang banyak diinginkan orang tersebut kemudian dilepas karena ia tak bisa mengajar dan melakukan kegiatan sosial lain yang selama ini menjadi dunianya di samping dunia menulis. Doktor Filsafat lulusan Universitas Gregoriana ini tak hanya piawai di bidang tulis menulis, pendidikan, dan sosial. Namun, ia juga peduli dengan persoalan kebangsaan yang selama ini dianggap "semrawut" oleh masyarakat awam. Biasanya, ia memberikan analogi mengenai sesuatu hal yang dianggap sulit dicerna menjadi hal yang mudah dipahami.

Bagi dosen pascasarjana Universitas Indonesia ini, KPU bukanlah sesuatu hal yang baru bagi dunianya. Sebelum terpilih menjadi anggota KPU, ia sempat menjabat sebagai Panitia Pengawas Pemilihan Umum pada tahun 1999. Berkecimpung (sedikit?) di dunia politik, Pria yang dikenal sederhana dan apa adanya ini sempat mengatakan bahwa presiden SBY hanyalah seorang pendusta. Ia bertutur bahwa gembar-gembor yang dilakukan oleh presiden tak lain hanyalah sebuah janji palsu. Sebagai budayawan, pengajar, sosialis, dan penulis, ia mencontohkan beberapa janji yang sempat dilontarkan oleh presiden, sebagai contoh pembangunan irigasi di daerah Cikeas serta penanganan konflik Papua yang hingga kini tak kunjung usai. Pria yang juga dikenal dengan sebutan Romo ini menambahkan kesangsiannya pada negara dan pemimpinnya sebagai contoh dengan adanya penambahan posisi wakil menteri yang bertujuan untuk efektifitas kinerja bangsa. Tak hanya itu, janji-janji yang dilontarkan presiden SBY sebagai bentuk upaya pengentasan kemiskinan dan pengangguran serta kesejahteraan ekonomi rakyat nyatanya hingga kini tak segera direalisasikan.

PENDIDIKAN
  • Summer Course Religion and Art Ichigaya Sophia University of Tokyo, Jepang (1990).
  • Universitas Gregoriana (1986).
  • Sekolah Tinggi Driyarkara Jakarta (1977).
  • Seminari Mertoyudan (1972).
  • KARIR
  • Dosen Filsafat Sekolah Filsafat Driyarkara
  • Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia
  • Wakil Press dan Anggota PEN (Perhimpunan Penulis, Novelis, Esais, Penyair Indonesia)
  • Lembaga Sensor Film
  • Anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan (2005-2006).
  • SC kongres Kebudayaan (2003).
  • Anggota Komite Pemilihan Umum (2001-2003).
PENGHARGAAN

Karya:

  • Rumah Filsafat & Kunci Kebudayaan (2010)
  • Ranah-ranah Kebudayaan (Dalam Esai) (2009)
  • Cultural Studies (2007)
  • Driyarkara: Filsuf yang Mengubah Indonesia (2006).
  • Oase Estetis, Estetika dalam Kata dan Sketza (2006).
  • Teks-teks Kunci Estetika (2005).
  • Sejarah Filsafat Nusantara: Alam Pikiran Indonesia (2005).
  • Teori-teori Kebudayaan (2005).
  • Hermeneutika Pascakolonian, Soal Identitas (2004).
  • Sunya (2004).
  • Ide-ide Pencerahan (2004).
  • Humanisme, Krisis, Humanisasi, (2001).
  • Demokrasi, Semudah Ucapankah? (2000)
  • Kebenaran dan Keindahan dalam Perjuangan Mencari Makna (2000)
  • Driyarkara, Dialog Panjang bersama Penulis (2000)
  • Kisi-kisi Estetika (1999)
  • Sari-sari Pencerahan (1997)
  • Agama Wajah Cerah dan Wajah Pecah (1996)
  • Pendidikan Pemerdekaan (1995)
  • Filsafat, Sastra, dan Budaya (1995)
  • Ziarah Peradaban (1995)
  • Langkah-langkah Peradaban (1994)
  • Getar-Getar Peradaban (1994)
  • Nuansa-nuansa Peradaban (1993)
  • Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (1993)
  • Estetika; Filsafat dan Keindahan (1993)
  • Kata Jadi Sapa (1990)
  • Zen dan Fransiskus (1983)


Tidak ada komentar:

Sering dilihat, yang lain mungkin penting