Hal.2
Dan akhirnya penulis menyimpulkan
II. KEMAMPUAN MENGINDENTIFIKASI FILOSOFI KARYA SENI DAN BUDAYA
Makna filosofis yang berasal dari budaya, akan Anda ketahui, jika pernyataan filsafat atau pandangan hidup itu berasal dari budaya tertentu. Seperti contoh di bawah ini.
Contoh Filsafat Kelompok (dalam sejarah seni rupa Indonesia modern)
IV. KEMAMPUAN MENGEVALUASI PERNYATAAN FILOSOFIS INDIVIDU
Kemampuan dalam mengevaluasi pernyataan filosofis dapat kita lihat pada tulisan atau karya-karya tulis Jim Supangkat.
Beberapa Contoh adalah berikut ini.
Struktur tulisan Jim Supangkat adalah sebagai berikut.
Lukisan Ahmad Sadali: Gunungan"
Ahmad Sadali (lahir 1924) seorang pelukis
modernis. Ia tercatat sebagai perintis pendidikan seni rupa dan desian di
Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada dekade 1970 Ahmad Sadali dipilih senat
guru besar untuk ikut memimpin ITB sebagai anggota rektorium. Sebuah tanda yang
menunjukkan adanya kesadaran pada pendidikan teknologi tertua di
Indonesia ini—didirikan pada Zaman Kolonial—untuk menghubungkan pendidikan
tinggi di bidang teknologi dengan dasar filosofisnya yaitu Modernisme (dengan
“M” kapital).
Andy Dewantoro (lahir 1974) adalah seniman yang muncul pada zaman yang disepakati kiritis di Indonesia sebagai “era seni rupa kontemporer”. Kendati ungkapannya paling banyak muncul melalui lukisan, Andy Dewantoro seniman yang akrab juga dengan bahasa fotografi. Selain ini ia membuat juga karya tiga dimensional berupa maket (model).
Lampiran (1)
Lampiran (2)
Peran Ilmu Filsafat bagi Para Penulis, Kurator dan Kritikus untuk menulis
Tulisan ini dilengkapi dan direvisi tgl.28-08-2015
Konsep tentang peran filsafat dan bagaimana proses pembelajaran filsafat untuk seni rupa telah penulis tulis sejak tahun 2009 (lihat tulisan ini). Filsafat dipelajari dalam konteks "respon estetik".
Konsep tentang peran filsafat dan bagaimana proses pembelajaran filsafat untuk seni rupa telah penulis tulis sejak tahun 2009 (lihat tulisan ini). Filsafat dipelajari dalam konteks "respon estetik".
Oleh Nasbahry Couto
FILSAFAT merupakan perbincangan mencari hakikat sesuatu gejala atau segala hal yang ada. Artinya, filsafat merupakan landasan dari sesuatu apapun, tumpuan segala hal. Apabila kehidupan berpengetahuan itu diibaratkan sebuah pohon maka filsafat adalah akarnya, yaitu bagian yang berhubungan langsung dengan sumber kehidupan pohon itu, sedangkan batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan buah menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan.
Jelas bahwa filsafat adalah wahana untuk melahirkan cara berpikir manusia untuk berbeda-beda dalam melihat dan memaknai realitas hidup, dan khususnya untuk memaknai seni oleh para penulis seni, kurator seni dan kritikus seni. Filsafat itu sendiri mengandung aspek etika, estetika, kebenaran dan moralitas, yaitu mana yang dianggap baik, indah serta bermakna agung bagi manusia. Oleh karena itu timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya manusia berfilsafat dalam seni, dan apa saja perihal sebuah pemikiran atau tulisan dapat menjadi filosofis, atau filsafat seni. Banyak yang tidak menyangka bahwa berfilsafat itu adalah pekerjaan sehari-hari manusia, jadi berfilsafat bukanlah sesuatu yang luar biasa dan hanya filsafat yang berasal dari para pemikir dan filsuf.
KAJIAN filsafat itu sangat luas dan sudah banyak pula buku-buku yang membahas masalah ini maka penulis tidak lagi akan membahas teori dan sejarah filsafat seni secara mendalam pada laman ini. Silahkan Anda membaca buku filsafat itu.
Oleh karena itu tulisan ini bermaksud untuk mempermudah Anda dalam menulis. Setidaknya tulisan ini membantu memahami filsafat seni secara sederhana, yaitu bagaimana para penulis setelah dapat "membaca" karya seni yng dibahasnya secara deskriptif, analisis, kemudian masuk kewacana interpretatif dan evaluatif , khususnya yang bernuansa filsafati.
Uraian ini dimulai dengan memberikan beberapa contoh tulisan yang bernuansa filsafat , kemudian dilanjutkan dengan konsep-konsep penulisan yang lebih sistematis.
Catatan:Tokoh-tokoh yang dianggap berpikir sebagai filsuf di Indonesia di lampirkan pada bagian akhir laman ini.
Oleh karena itu tulisan ini bermaksud untuk mempermudah Anda dalam menulis. Setidaknya tulisan ini membantu memahami filsafat seni secara sederhana, yaitu bagaimana para penulis setelah dapat "membaca" karya seni yng dibahasnya secara deskriptif, analisis, kemudian masuk kewacana interpretatif dan evaluatif , khususnya yang bernuansa filsafati.
Uraian ini dimulai dengan memberikan beberapa contoh tulisan yang bernuansa filsafat , kemudian dilanjutkan dengan konsep-konsep penulisan yang lebih sistematis.
Catatan:Tokoh-tokoh yang dianggap berpikir sebagai filsuf di Indonesia di lampirkan pada bagian akhir laman ini.
CONTOH (1). CATATAN KURATORIAL
Pada awal tulisan, penulis mengkritik situasi mainstream seni, yang ada sebelum masuk ke perenungan filsafati (Catatan Kuratorial, http://blog.imamchb.com/?page_id=2)
"Pada masa kini, minat orang pada dimensi spiritualitas telah menjadi kecenderungan yang umum, bahkan pada sebagian kalangan telah menjadi semacam mode. Di toko-toko buku, berbagai jenis buku yang berkaitan dengan topik spiritualitas dapat ditemui di rak-rak, dari yang berkenaan dengan spiritualitas agama, spiritualitas “quotient” atau kecerdasan spiritualitas, penyembuhan spiritualitas, manajemen spiritualitas hingga gaya hidup spiritualitas. Meskipun demikian, di dunia seni, terutama dunia seni rupa kontemporer, isu tentang spiritualitas rupanya masih belum menjadi “arus utama” , karena hingga kini, arus utama seni rupa masih nampak didominasi oleh tema kerakyatan atau tema kritik sosial. Dalam kondisi seperti itu, gaya seni yang nampak sering muncul adalah gaya Realisme dan gaya figuratif dalam berbagai jenisnya, baik yang satire, parodi, karikatural maupun yang realistis. Di tengah situasi seperti itu, kehadiran karya lukisan Imam Choirul Basri dengan gaya yang abstrak dan tema spiritual nampak seperti menentang arus, sehingga memerlukan penjelasan tersendiri".Dan penulis menyimpulkan
"Masa kecil dari lingkungan pesantren juga berperan besar dalam penguasaan khat yang nampak dominan dalam sebagian besar lukisannya. Untaian ayat-ayat suci Al-Qur’an yang hadir dalam lukisan-lukisan Imam Ch. B. menambah bobot spiritualitas keislaman yang seperti mata air, memancar dan menyiram kita, para pengamat, dengan siraman dan celupan (shibgah) yang memberikan ketentraman, kesejukan, dan kedamaian di tengah kehidupan sehari-hari yang penuh dengan urusan duniawi".
(Catatan Kuratorial, http://blog.imamchb.com/?page_id=2)
CONTOH (2) AHMAD SADALI
"Ahmad Sadali menemukan gaya Abstrak Meditatif itu melalui proses pergulatan yang panjang. Karakteristik gaya ini terdapat pada penggunaan medium warna emas, teknik tektur, tema gunungan, batang-batang, dan kaligrafi Arab yang disusun sedemikian sehingga karya itu mengkonotasikan dan mengasosiasikan hakikat kefanaan, kesementaraan, dan kerapuhan dunia yang dihadapkan dengan keabadian, kesempurnaan dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Konotasi atau asosiasi itu diperoleh pengamat melalui bentuk-bentuk seperti retakan, lelehan, sisa-sisa emas, robekan, kelapukan, keusangan, kekunoan (archaic), kehancuran, warna-warna tanah, tanda-tanda silang, simbol-simbol geometris, gunungan, batang-batang, dan tekstur yang mengesankan kepadatan, kekunoan atau pun kelapukan".
CONTOH (3) "KETEGANGAN DAN KELENTURAN"
"Lukisan “Human Eksistence”, mengingatkan saya pada sosok yang khusyuk. Ditegaskan dengan sangat nyata dalam lukisan Brekeley ini, sebentuk wajah yang tertunduk dengan mata terpejam; wajah-wajah yang pasrah. Warna merah dan jingga awan yang menaunginya, menciptakan kesan keterlemparan subjek dalam semesta cakawala yang tak terduga batasnya. Bahkan saya tak menemukan sensasi keceriaan dalam wajahnya. Fenomena visual ini tentu mengingatkan saya pada keadaan para jemaat di tempat peribadatan, tempat yang meluluhkan kecendrungan manusia untuk berkuasa, menuju dunia kehambaan dan kepasrahan. Wajah-wajah itu tenang, terlalu tenang. Tentu saja mereka tidak berdoa melalui lisan, karena bibir mereka terkatup rapat.
Namun dalam lukisan ini, adanya guratan otak yang bagi saya menciptakan kesan paradox, sekalipun ditampakkan samar. Otak yang menjadi tonggak kedigjayaan manusia, hadir sebagai bentuk yang berbeda. Saya pun curiga. Lantaran bentuknya yang cukup dominan, membuat saya tidak bisa lagi mengatakan bahwa sosok itu adalah sosok yang polos. Melainkan kepolosan yang digerakkan intrik. Ya, semacam spiritualitas yang pamrih".
Dan akhirnya penulis menyimpulkan
"Dari dialog singkat dengan karya-karyanya, saya hanya bisa menduga, bahwa lukisan-lukisan Brekeley menampakkan imajinsi visual perupa tentang spiritualitas. Tentang dosa, doa, kengerian, dan sebagainya".
Rifqi Muhammad, Ketegangan dan Kelenturan 09-2010
https://rifqiblog.wordpress.com/2010/09/14/ketegangan-dan-kelenturan-lukisan/#more-580
Mempelajari Kalimat atau Kata yang Bersifat Filosofis
Dari contoh kutipan -kutipan atau tulisan di atas tentu terdapat paragraf atau kalimat-kalimat atau-kata-kata yang berkonotasi filosofis? Tetapi sebelum itu perlu untuk memahami derajat kesulitan filosofis yang terkandung dalam sebuah tulisan seperti (1) mengetahui, (2) mengindentifikasi, (3) mengkomparasi, dan (4) menilai pernyataan-pernyataan filosofis. Hal ini berguna untuk memahami dan mengolah sumber-sumber pernyataan filosofis itu,
I. KEMAMPUAN MENGETAHUI: Menulis kata atau kalimat yang bersifat filosofis
Yaitu mengetahui bagaimana bentuk-bentuk tanggapan
pernyataan filosofis tentang karya seni. Pernyataan yang bersifat filosofis umumnya dalam bentuk kalimat atau
kata-kata pertanyaan tentang sesuatu, tetapi jawaban pertanyaan itu bukanlah
sebuah jawaban tunggal, misalnya
- Pernyataan atau kata baik, buruk. Apa kebaikan itu, apa keburukan itu? jawabannya relatif dan dapat dipertanyakan terus menerus, tidak ada habisnya, sehingga bisa masuk tataran filosofis
- Indah, cantik, bagus, apa keindahan itu? Bagaimana keindahan menurut Agama, menurut budaya dan Anda dan seterusnya, dapat dipertanyakan dan jawabannya tidak tunggal
- Benar, tidak benar, apa kebenaran itu? Apakah Moral dan Etika itu ?
- Abadi, fana, apakah keabadian itu?
- Dan banyak yang lainnya lagi, seperti perkataan yang berasal dari filsafat Pendidikan, Negara, dan seterusnya.
1.a. Contoh pernyataan filosofis yang umum.
- Saya percaya anak-anak adalah masa depan kita dan ajari mereka dengan cara yang mudah
- Tunjukkan semua kecantikan yang dimilikinya dan berikan mereka rasa harga diri
- Biarkan tawa anak-anak mengingatkan kita bagaimana kita menggunakannya untuk …..
1.b. Pelajari contoh pernyataan Filosofis Pendidikan (sample # 2 DISINI)
1.c Contoh pernyataan filosofis bidang Seni :
(a) "Keindahan sebuah lukisan tergantung dari si pelukisnya. Keindahan kisah cinta tergantung dari si pelakunya"
(b) "kaligrafi Arab yang disusun sedemikian sehingga karya itu mengkonotasikan dan mengasosiasikan hakikat kefanaan, kesementaraan, dan kerapuhan dunia yang dihadapkan dengan keabadian "
(c) "Namun dalam lukisan ini, adanya guratan otak yang bagi saya menciptakan kesan paradox, sekalipun ditampakkan samar. Otak yang menjadi tonggak kedigjayaan manusia, hadir sebagai bentuk yang berbeda. Saya pun curiga. Lantaran bentuknya yang cukup dominan, membuat saya tidak bisa lagi mengatakan bahwa sosok itu adalah sosok yang polos. Melainkan kepolosan yang digerakkan intrik. Ya, semacam spiritualitas yang pamrih".
(d) "Untaian ayat-ayat suci Al-Qur’an yang hadir dalam lukisan-lukisan Imam Ch. B. menambah bobot spiritualitas keislaman yang seperti mata air, memancar dan menyiram kita, para pengamat, dengan siraman dan celupan (shibgah) yang memberikan ketentraman, kesejukan, dan kedamaian di tengah kehidupan sehari-hari yang penuh dengan urusan duniawi".Kata-kata yang bersifat filosofis umumnya bersifat penafsiran, interpretatif, konotatif, misalnya kata
- indah, kecantikan
- kerapuhan dunia
- keabadian
- spiritual yang pamrih
- kedamaian
- selera (taste)
- harga diri,
- dst.
(a) "Fenomena visual ini tentu mengingatkan saya pada keadaan para jemaat di tempat peribadatan, tempat yang meluluhkan kecendrungan manusia untuk berkuasa, menuju dunia kehambaan dan kepasrahan".(gambaran keadaan)
(b) "Bidang keriput menggambarkan waktu yang panjangnya relatif, besarnya waktu adalah mulur-mungkret sesuai dengan filosofi Einstein. Waktu diukur berdasarkan bagaimana manusia merasakannya".(gambaran tentang waktu)
(c)" Pameran Besar Seni Rupa Kontemporer, Desain dan Kria ini terpaksa menggunakan citra rancu, seolah-olah seni rupa kontemporer, desain dan kria, adalah tiga bidang terpisah. Namun hanya dengan cara ini, informasi pameran bisa dikomunikasikan". (gambaran tentang sebuah pameran)
Jadi filsafat seni sebenarnya muncul dari kemampuan penulis menuliskan kalimat-kalimat dan kata-kata yang bermakna filosofis dan dan atau perenungan manusia, dan pernyataan filosofis dari faham atau aliran pemikiran tertentu. Sebuah tulisan seni dapat terlihat filosofis jika mampu memperlihatkan hal-hal yang bermakna, bernilai dan menjadi pedoman dan pembelajaran bagi manusia yang membacanya.
Kemampuan yang dituntut dari penulis adalah, mampukan si penulis melihat, atau dapatkah karya seni itu diungkapkan penulis menjadi hal-hal yang bersifat unik dan indah atau yang tidak indah, jelek, bagus, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Paling tidak, apakah karya seni itu pernah menjadi indah, bagi sipenulis.
Kemampuan
mengindentifikasi yaitu pemakaian simbol-simbol ekspresi / ungkapan yang
dapat menunjukkan makna filosofis dari karya seni dan
budaya, misalnya ungkapan
yang terdapat pada lukisan budaya Jawa atau Bali di bandingkan dengan sebuah
ungkapan yang berasal dari budaya etnis lainnya.
Makna filosofis yang berasal dari budaya, akan Anda ketahui, jika pernyataan filsafat atau pandangan hidup itu berasal dari budaya tertentu. Seperti contoh di bawah ini.
"Kain poleng dalam budaya Bali merupakan penghayatan konsep Rwa Bhineda, suatu konsep keseimbangan antara baik dan buruk yang menjadi ajaran tantrik (tantrayana). Diharapkan dengan menjaga keseimbangan antara kebaikan dan keburukan dapat menciptakan kesejahteraan dalam kehidupan. Setelah itu barulah muncul kain poleng Sudhamala dan Tridatu. Kehadiran kain poleng Sudhamala dan Tridatu berdasarkan perkembangannya warna ini juga mecerminkan tingkat pemikiran manusia, yakni dari tingkat sederhana menuju perkembangan yang lebih sempurna. Makna filosofis kain poleng Rwa bineda adalah rwahbineda itu sendiri. Menurut paham Hindu Rwa Bhineda itu adalah dua sifat yang bertolak belakang yakni hitam dan putih, baik dan buruk dan sebgainnya.
Sumber:http://jurnal-jengki.blogspot.com/2014/02/ponco-dan-poleng.html"Pelukis" Ponco mengolah simbol-simbol magis dan gambar rerajahan mistis Bali, dikaitkan dengan corak kain poleng. Hal itu terlihat pada lukisan berjudul Deling, Manca Rupa, Mega Mendung,Sasuruh Ijo, dan Tumpal Poleng. Ponco menyesuaikan tekstur-tekstur lukisannya dengan filosofi dan energi dari simbol-simbol tersebut. Pada karya-karya mix media, Ponco menempelkan perca-perca kain poleng pada bidang kanvas, membentuk komposisi tertentu".
III. KEMAMPUAN MEMBANDINGKAN (COMPARING) FILSAFAT BUDAYA DAN FILSAFAT INDIVIDU
Kemampuan membandingkan dan
membedakan makna filosofis kerja seni dan budaya dari kelompok dan individu yang berbeda.
Misalnya, konsep kelompok atau gaya
kelompok tentang teater musikal dibandingkan konsep individu tentang
teater musikal). Konsep seni dalam kebudayaan tertentu, yang dipakai seniman
dalam berkarya, misalnya konsep seni budaya Jawa atau etnis lain yang ada di
Indonesia ini.
Contoh: Latar Belakang Kelompok Filsafat Modern
"Dari sudut pandang sejarah Filsafat Barat melihat bahwa masa modern merupakan periode dimana berbagai aliran pemikiran baru mulai bermunculan dan beradu dalam kancah pemikiran filosofis Barat. Filsafat Barat menjadi penggung perdebatan antar filsuf terkemuka. Setiap filsuf tampil dengan gaya dan argumentasinya yang khas. Argumentasi mereka pun tidak jarang yang bersifat kasar dan sini, kadang tajam dan pragmatis, ada juga yang sentimental. Sejarah filsafat pada masa modern ini dibagi ke dalam tiga zaman atau periode, yaitu: zaman Renaissans (Renaissance), zaman Pencerahan Budi (Aufklarung), dan zaman Romantik, khususnya periode Idealisme Jerman. K. Sumber: Bertens.1976.Ringkasan Sejarah Filsafat. Jogjakarta: Kanisius.42-89.
Modernisme ialah konsep yang berhubungan dengan hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya pada zaman modern. Konsep modernisme ini meliputi banyak bidang ilmu (termasuk seni dan sastra) dan setiap bidang ilmu tersebut memiliki perdebatan mengenai apa itu 'modernisme'. Walaupun demikian, 'modernisme' pada umumnya dilihat sebagai reaksi individu dan kelompok terhadap dunia 'modern', dan dunia modern ini dianggap sebagai dunia yang dipengaruhi oleh praktik dan teori kapitalisme, industrialisme, dan negara-bangsa". (Wikipedia, 2015)Contoh konsep filsafat Individual dalam kelompok seni moderen
"Pada abad ke-18, filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804) memusatkan perhatiannya kepada masalah nilai selera (taste). Menurutnya, objek-objek yang dinilai bagus (beautiful), atau seni yang disukai oleh manusia karena adanya unsur disinterested (tidak mengandung kepentingan/kegunaan): salah satunya adalah perbedaan antara kesenangan (personal interest) dengan kebutuhan (needs). Gula misalnya, tidak estetik tetapi dibutuhkan. Teori ini berdasarkan kepada pemikiran bahwa objek-objek yang estetik sebenarnya tidak memiliki kepentingan tertentu (seperti kebutuhan akan moral, kebaikan, dsb.,) dan bahwa penilaian terhadap keindahan tidaklah sangat personal sekali tetapi lebih bersifat universal jadi sifatnya objektif. Seseorang dapat mengakui sesuatu indah, bukan karena dia mengikuti pendapat orang lain karena seni itu sebenarnya sangat objektif. Dasar respon keindahan menurut Kant, sebenarnya terdapat pada struktur pikiran seseorang". (Sumber: Couto, Nasbahry, 2009, Seni Rupa Teori dan Aplikasi, Padang: UNP Press, 255-256)Contoh Filsafat Kelompok Budaya, yang bersifat keIndonesiaan
"Istilah Gunungan muncul dari dunia pewayangan. Dari sekian banyak boneka dalam satu kotak wayang kulit purwa, kita mengenal gunungan atau kayon. Gunungan bentuknya meruncing mirip gunung. Gunungan juga disebut kayon karena salah satu unsur pokok yang terdapat di dalamnya berupa kayu (pohon). Gambar pohon dalam gunungan melambangkan pohon kehidupan atau sumber ilmu pengetahuan.Bagi orang Jawa, Gunungan menjadi lambang hidup dan penghidupan. Di dalamnya berisi filsafat sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup), anasir makrokosmos dan mikrokosmos yakni jagad gede, alam semesta beserta isinya dan jagad cilik, pribadi manusia serta tatanan atau tingkatan kehidupan manusia.Filsafat pewayangan membuat orang merenungkan hakekat, asal dan tujuan hidup, manunggaling kawula Gusti (hubungan gaib antara dirinya dengan Tuhan), kedudukan manusia dalam alam semesta, dan sangkan paraning dumadi (kembali ke asal) yang dilambangkan dengan tancep kayon oleh sang dalang pada akhir pagelaran".
Sumber: http://syakieb-sungkar.blogspot.com/2012/02/sadali_17.html
Contoh Filsafat Kelompok (dalam sejarah seni rupa Indonesia modern)
KEMBALI KE SATU SENI RUPA
"Sebenarnya, seni rupa adalah seni yang melibatkan proses pembuatan yang memberikan kepuasan, gugahan estetis melalui cerapan indera rupa. Meliputi, ungkapan ekspresi (seni murni), dan, gubahan rupa barang fungsional (desain dan kria).
Namun seni rupa Indonesia, sebuah wajah terpecah. Semua cabangnya seni murni, desain dan kria — berkembang secara sektoral, menyangkal ada satu prinsip estetika mendasari semuanya. Namun citra ini telah menancap lanjut, membagi-bagi, dan mengklasifikasi kadar nilainya.
Pameran Besar Seni Rupa Kontemporer, Desain dan Kria ini terpaksa menggunakan citra rancu, seolah-olah seni rupa kontemporer, desain dan kria, adalah tiga bidang terpisah. Namun hanya dengan cara ini, informasi pameran bisa dikomunikasikan.
Tapi di balik judul rancu itu, kurasi pameran menyamakan semua cabang seni rupa (seni lukis, seni patung, seni grafis, seni serat, seni keramik, instalasi, desain interior, desain grafis, desain produk, desain tekstil, desain busana, desain aksesori, kria kayu, kria keramik, dan kria bambu) tanpa menempatkannya pada sebuah hirarki nilai. Kendati setiap cabang mempunyai tujuan yang mengikat kadar nilai yang dibawanya, semuanya sama indah".
Sumber: http://dgi-indonesia.com/jim-supangkat-kembali-ke-satu-seni-rupa/
Contoh konsep filsafat Individu seni moderen yang berakar dari kelompok budaya atau kelompok sosial, golongan (group)
(a) AHMAD SADALI (oleh:Syakieb Sungkar)
"Sadali menerjemahkan gunungan dalam kanvasnya yang disilang diagonal dari ujung satu ke sudut kanvas lainnya, membentuk tanda “X” yang memisahkan 4 bidang dimana masing-masing bidang mempunyai arti yang tersendiri. Bidang bawah menggambarkan alam, bidang atas adalah Tuhan. Dua bidang disamping kiri dan kanan adalah manusia. Manusia harus hidup harmonis, karenanya diletakkan dalam bidang yang sejajar di kiri dan kanan.
Segitiga gunungan bisa juga mempunyai makna lain, Sadali kadang-kadang memaknai sebagai hubungan keluarga. Tuhan di puncak, Sadali di bawah, Atika istrinya dan Ravi putranya di kiri-kanan. Ravi adalah satu-satunya putra beliau. Posisi atas dalam kanvas-kanvas Sadali adalah porsi yang diberikan untuk Tuhan. Lihatlah karya “Lelehan emas pada bidang keriput” disamping ini. Horizon abu-abu pada bagian atas menggambarkan langit, dimana karunia Tuhan tercurah ke bumi dalam bentuk lelehan emas. Bidang keriput menggambarkan waktu yang panjangnya relatif, besarnya waktu adalah mulur-mungkret sesuai dengan filosofi Einstein. Waktu diukur berdasarkan bagaimana manusia merasakannya. Kalau dalam kondisi enak, manusia merasakannya sebagai sebentar sekali, sementara di dalam kondisi yang tidak nyaman, manusia merasakan waktu sebagai “lama sekali”. Tanda silang kecil dibagian kiri dan kanan atas adalah simbol dari persilangan hidup, tanda silang seperti itu akan banyak terdapat dalam karya-karya Sadali selanjutnya. Dan Ini merupakan jejak pengaruh dari seniman Spanyol Antoni Tapies".
Sumber: http://syakieb-sungkar.blogspot.com/2012/02/sadali_17.html.
(b) "ANTARA-ESTETIKA-DAN-PROPAGANDA."
Seni grafis sebagai alat penyadaran kemudian identik dengan organisasi kebudayaan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), yang terbentuk pada 17 Agustus 1950. Beberapa seniman SIM kemudian bergabung dengan Lekra. Melalui media resminya, Zaman Baru, Lekra yang mengusung konsep “seni untuk rakyat” melanggengkan seni grafis. Misalnya dalam karya cukil kayu Arifin, “Ganyang Malaysia, Ganyang Film Imperialis AS” yang dimuat Zaman Baru tahun 1964. Karya ini merupakan refleksi dari suasana politik saat konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia dan semangat antineokolonialisme yang diterjemahkan ke dalam gerakan antifilm asing yang kebanyakan diimpor dari Amerika Serikat.
Darma Ismayanto, http://historia.id/budaya/antara-estetika-dan-propaganda
Kemampuan terakhir yang diperlukan dalam sebuah ketrampilan penulisan yang berdasarkan kepada filsafat adalah kemampuan penulis untuk menilai (evaluasi) secara kritis pernyataan filsafat seniman atau penulis lainnya.
Yaitu kemampuan Menilai atau mengevaluasi pernyataan filosofis individu tentang karya seni dan menghubungkannya dengan kehidupan berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya sendiri. (Yang umumnya berasal dari kajian filsafat)
Yaitu kemampuan Menilai atau mengevaluasi pernyataan filosofis individu tentang karya seni dan menghubungkannya dengan kehidupan berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya sendiri. (Yang umumnya berasal dari kajian filsafat)
Kemampuan dalam mengevaluasi pernyataan filosofis dapat kita lihat pada tulisan atau karya-karya tulis Jim Supangkat.
Beberapa Contoh adalah berikut ini.
- "Filosofi Pelukis Sadali yang berfilsafat agama dalam berkarya, dapat dinilai sebagai bukan filosofi Agama" (Jim Supangkat, 2011)
- "Abad ke-20, adalah kepercayaannya bahwa realitas tunduk pada takdir. Keyakinan ini menunjukkan pemahaman Affandi tentang realitas tidak kehilangan dimensi trensedensinya. Pada wacana ekspresionisme Abad ke-20, tidak ada ruang untuk mempersoalkan keyakinan semacam ini".(Jim Supangkat, 2011)
- "Dalam sejarah seni rupa lukisan landscape Abad ke 19 itu adalah ungkapan yang “representatif”. Merupakan pengkopian relitas dalam upaya meyusun representasi—penggambaran realitas nyata—untuk mencari kebenaran pada kenyataan. Prinsip ini menunjukkan lukisan landscape masih berada pada tradisi realis. Sementara itu visi dominan dalam sejarah seni rupa—bertumpu pada modernisme—mengubah sistem representasi pada tradisi realis ini karena dilihat merupakan upaya manusia mempertanyakan realitas dalam keterbatasan ilmu pengetahuan".(Jim Supangkat, 2011)
- "Ada kesamaan di antara realitas yang dihadapi Andy Dewantoro dan Entang Wiharso dan realitas yang membangkitkan pemikiran William James walau keduanya berjarak tiga abad; posisi agama [Kristiani] dalam kehidupan di Eropa pada Abad ke 19 dan posisi agama [Islam] dalam kehidupan di Indonesia sekarang ini. Namun ada juga kebedaannya. William James mencatat tanda-tanda kematian agama dan religiositas pada Abad ke-19 itu, sementara realitas yang dihadapi Andy Dewatoro dan Entang Wiharso sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ini".(Jim Supangkat, 2011)
- Untuk menjadi penulis Kritik Seni tidak selalu harus mempelajari filsafat. Sebab kritik bisa dilaksanakan pada tataran deskriptif saja.
- Namun untuk menjadi kritkus seni yang handal, memang harus mampu mendalami filsafat sebagai akar bagi argumentasi-argumentasi berpikirnya.
Struktur tulisan Jim Supangkat adalah sebagai berikut.
Struktur tulisan: Penulis sengaja untuk menganalisis tulisan kuratorial Jim Supangkat dengan menggambarkannya dalam sebuah struktur, terutama untuk memahami inti masalah filosofi dari tulisan ini (kritik terhadap kritikan Jim Supangkat). Masalahnya adalah bahwa transedentalism dalam seni Indonesia menurut Jim Supangkat (dengan beberapa model karya seniman Indonesia sejak Raden Saleh sampai seniman kontemporer seperti Entang Wiharso), mundur ke persoalan seni abad ke 19 dalam konteks sejarah seni Barat,. Hal ini menurut Jim, menyebabkan, karya seni moderen Indonesia umumnya tidak mendapat tempat dalam kancah seni dunia. Sebab persoalan transedentalisme dalam sejarah modern Barat adalah persoalan seni pada masa lampau (abad ke-19 dan sebelumnya).
Kritik terhadap tulisan Jim adalah berikut ini.
- Ada anggapan sementara bahwa pemikiran seni di Indoneia, menurut Jim Supangkat harus merupakan sambungan dari pemikiran dan filsafat filsuf Barat, hal ini banyak keluar dari tulisan-tulisan Jim Supangkat.
- Pemikiran serupa juga kita temukan dari pemikir Barat sendiri yang menilai bahwa seni Indonesia merupakan sambungan seni Barat (Seni post-colonial), baca buku tentang post kolonial ini , atau di internet lihat sastra post kolonial (wikipedia)
- Apakah sebuah karya seni harus berasal dari pemikiran dan khususnya Barat? Bukankah seni harus dilihat sebagai tindakan reflektif (affordance) dan affect dari seniman Indonesia? Dan juga merupakan sambungan sejarah seni rupa Indonesia sendiri? (lihat teori-teori terbaru tentang seni, misalnya seni sebagai naluri manusia (Teori Dulton). Dan atau seni sebagai affordance di tulisan ini
- Bukankah seni hanya semacam permainan (play in social living) dan diakhiri dengan pengukuhan "kelompok"-- kemudian dikukuhkan secara khusus sehingga menjadi "seni" (teori Disnayake). Buku karangan Disnayake justru mengkritik pendapat bahwa seni dunia harus berpedoman kepada perkembangan seni Barat abad ke-19 dan 20.
- Bukankah seni menjadi seni dalam wilayah kekuasaan dan fenomena sosial yang ada yang pada hakekatnya berbeda di tiap sosial, dimana pelaku seni ada di dalamnya (Teori hegemony, teori area, dan teori institusional). Konflik atas hal ini memang memerlukan "re-negoisasi".
Catatan tentang seni pos kolonial
kolonialisme: Ekspansi imperialis Eropa ke seluruh dunia selama empat ratus tahun terakhir di mana dominasi imperium atau kekuatan terpusat dilaksanakan untuk mengontrol dan mempengaruhi dengan batasan tertentu kepada koloninya. Hubungan ini cenderung meluas ke masalah sosial, pedagogik, ekonomi, politik, dan secara umumnya kepada budaya sering dalam bentuk hirarki kelas sosial antara orang Eropa dengan pribumi. Melalui orang berpendidikan, kelas elit membentuk lapisan antara orang Eropa sebagai "ibu" bangsa dan berbagai masyarakat adat yang dikontrolnya. Sistem seperti ini memungkinkan tumbuhnya gagasan rasialisme, rasa rendah diri dan sifat keberbedaan rasial yang eksotis.Isi keseluruhan tulisan kuratorial Jim Supangkat adalah berikut ini.
post-kolonialisme: Secara umum adalah studi tentang efek kolonialisme pada budaya dan masyarakat tertentu. Hal ini berkaitan dengan hal yang kedua yaitu bagaimana pengendalian orang Eropa terhadap “Dunia Ketiga” dan bagaimana mereka menolak dan dan menangkis gangguan-gangguan itu. Pasca-kolonialisme, dapat dilihat baik sebagai teori dan studi tentang perubahan politik dan budaya, yang berkembang melalui tiga tahap
- Pada awalnya munculnya kesadaran tentang inferioritas sosial, psikologis, dan budaya yang berkembang saat terjajah
- Timbulnya perjuangan otonomi etnis, budaya, dan politik
- kesadaran tumpang tindihnya budaya dan hibriditas diantara keduanya
Pameran
Flight for Light: Seni Rupa Indonesia dan Religiositas (Oktober 2011)
Kuratorial oleh : Jim Supangkat
MONDECOR STORE
AFFANDI
Affandi adalah perintis seni rupa modern Indonesia
yang menyerap wacana seni rupa modern dengan berkeliling ke berbagai penjuru
dunia. Melalui pergauIan ini ia bersentuhan dengan perkembangan seni rupa
modern di Eropa dan Amerika. Pada tahun 1953, Affandi (lahir pada 1908) ikut
Sao Paolo Biennale II. Lukisan-lukisannya yang ekspresif pada biennale ini
menarik perhatian kurator Rudolfo Palluchini yang kemudian mengundangnya untuk
ikut Venice Biennale 1954. Biennale bertajuk ''Expresiziono Internazionale Biennale
d' Arte” ini tercatat mengangkat kembali wacana eskpresionisme yang pernah
berkembang pada Abad ke 19.
Lukisan Affandi: "Ibuku"
Ekspresionisme yang diangkat Venice Biennale 1954
itu melepaskan hubungan dengan ekspresionisme Jerman (Van Gogh, Edvard Munch)
yang dilihat mencerminkan insanity. Biennale ini mencoba membingkai
ekspresionisme Abad ke-20 dan menghubungkannya dengan abstrakisme—berpangkal
pada pemikiran Vasily Kadinsky pada tahun 1910 yang mendambakan gambaran yang
tidak diganggu subject matter (pictures not disturbed by subject matters).
Karya-karya sejumlah pelukis Eropa seperti William de Kooning dan Jean Dubuffet
memperlihatkan gejala ini. Distorsi yang lanjut membuat gambaran pada
lukisan-lukisan mereka menjadi tidak jelas. Ketika Rudolfo Palluchini
mengajak Affandi ikut biennale ekspresionis ini sangat mungkin ia melihat
tanda-tanda abstraksi pada lukisan-lukisan Affandi.
Pemikiran di balik ekspresionisme Abad ke-20 itu
adalah mengubah pemahaman tentang representasi yang ketika itu dipahami
sebagai penggambaran realitas yang bersifat nyata (real)—obyek, manusia,
landscape, peristiwa. Representasi dalam pemikiran baru—membawa
dasar-dasar modernisme—adalah interaksi pelukis dengan realitas yang
membangkitkan “kesan yang bersifat abstrak” yang diyakini mencerminkan
kesadaran lebih tinggi karena meninggalkan realitasnya yang [masih] bersifat
material. Diyakini sebagai proses abstraksi pada pemikiran. Di sini pelukis
diyakini menampilkankan “unrepresentable real” (kebenaran pada realitas
yang tidak bisa direpresentasikan). Pemikiran ini berkaitan dengan keyakinan
pada keutamaan bahasa rupa; hanya bahasa rupa yang bisa menampilkan
“unrepresentable real” ini. Pada ujungnya pemikiran ini memang melahirkan
abstrak ekspresionisme pada 1960an.
Di permukaan lukisan-lukisan Affandi terbaca
menunjukkan gejala itu. Subyect matter pada lukisan-lukisannya—gelombang laut,
ayam adu yang sedang berlaga, pengemis, pemandangan di bawah terik matahari,
hutan, potret diri, pohon beringin—memang tidak bisa dilihat lagi dengan jelas.
Pada perkembangan selanjutnya gambaran-gambaran ini memang semakin hilang,
banyak di antara lukisannya terkesan abastrak karena lebih menampilkan keriuhan
arabesque kecil-kecil yang memperlihtakan ketegangan, kegelisahan, perasaan
yang bergolak bahkan kemarahan.
Namun Affandi tidak masuk dalam jajaran
pelukis-pelukis dunia yang mengantar ekspresionisme Abad ke-20 ke abstrak
eskpresionisme. Mungkin karena ia hidup dan berkarya di Indonesia, jauh dari
pusat percaturan seni rupa dunia. Mungkin juga karena perkembangan
karya-karyanya tidak berada di “jalur” pemikiran ekspresionisme Abad ke-20
ini. Affandi sendiri enggan menjelaskan gaya atau aliran karya-karyanya.
Ia tidak menyangkal sebutan ekspresionis yang diberikan padanya, namun ia tidak
membenarkannya juga. Jawaban yang diberikannya biasanya hanya tertawa
terkekeh-kekeh.
Baru pada 1987 Affandi tergerak membuat pernyataan
yang menjelaskan pemikiran di balik karya-karyanya. Ia mengemukakan,
''Saya ini sebetulnya seorang naturalis sejati, saya cinta pada semua yang
natural ”. Ia menjelaskan, ''Saya mau tangkap tanda-tanda natural ini,
tanda-tanda kekuatan alam, tapi tidak pernah bisa komplit. Saya selalu coba
tapi saya selalu gagal,'' katanya. ''Waktu melukis saya selalu mau menjadi satu
dengan obyek yang saya lukis. Saya kehilangan diri saya, lalu ada perasaan
seperti mau berkelahi.'' Ia membenarkan gejolak perasaan ini yang melahirkan
lukisan-lukisannya yang ekspresif.
Affandi mengemukakan ia percaya bahwa kekuatan
alam yang memancing reaksinya adalah kekuatan yang tidak nyata. Maka
lukisan-lukisannya yang ekspresif sama sekalu bukan upaya menampilkan
unrepresentable real pada realitas tapi gejala “unreal” (tidak nyata) pada
realitas. Berbagai pandangannya menunjukkan ia percaya bahwa realitas
terdiri dari dunia nyata dan dunia tidak nyata—real dan unreal. Seperti
ekspresionisme Abad ke-20, Affandi melepaskan diri dari konsep representasi
yang membangun gambaran dunia nyata—dunia real. Namun ia meninggalkan
representasi karena tertarik pada gejala unreal pada realitas yang berinduk
pada alam dan tidak bisa direpresentasikan dalam bentuk gambaran.
Renungan Affandi bukan hubungan manusia dengan
kehidupan [sehari-hari] tapi hubungan manusia dengan alam. Affandi percaya
bahwa realitas mengandung perimbangan dunia real dengan dunia unreal. Kondisi
disorde bahkan khaos di dunia real yang dilihatnya tercermin pada takdir, bisa
diterima karena punya imbangan di dunia unreal. Keseimbangan ini berubah terus
secara dinamis membangkitkan spirit survival manusia yang membuat manusia bisa
bertahan pada kondisi buruk—mencerminkan pengalaman hidup Affandi sendiri,
khususnya di Zaman Kolonial.
Kendati lukisan-lukisan Affandi yang ekspresif
membawa tanda-tanda ekspresionisme Abad ke-20, pandangan dan keyakinannya
berada di luar wacana ini. “Ekspresionisme Affandi” ternyata punya landasan
pemikiran yang berbeda. Ia, misalnya, tidak pernah peduli pada persoalan bahasa
rupa yang utama pada pemikiran ekspresionisme Abad ke-20. Perbedaan
mendasar “ekspresionisme Affandi” dengan ekspresionisme Abad ke-20, adalah
kepercayaannya bahwa realitas tunduk pada takdir. Keyakinan ini menunjukkan
pemahaman Affandi tentang realitas tidak kehilangan dimensi
trensedensinya. Pada wacana ekspresionisme Abad ke-20, tidak ada ruang
untuk mempersoalkan keyakinan semacam ini.
BUKAN AGAMA: AHMAD SADALI
Lukisan Ahmad Sadali: Gunungan"
Dalam perkembangan seni rupa Indonesia Ahmad
Sadali dikenal sebagai pendukung modernisme [dalam perkembangan seni rupa] yang
membuat ia harus menghadapi kritik sepanjang karirnya, dikecam kiritisi
Indonesia sebagai pendiri “laboratoriun Barat”. Lukisannya-lukisannya
abstrak—Ahmad Sadali pengagum Mark Rothko.
Prinsip-prinsip modernisme bisa ditemukan pada
karya-karya mau pun pandangan Ahmad Sadali. Ia, misalnya, percaya bahwa seni
rupa modern berkaitan dengan kekiniaan, dan, punya jarak dengan perkembangan di
masa lalu—dalam dikhotomi modernitas dan tradisi. Ia percaya juga pada ilmu
pengetahuan dan penjelasan rasional tentang berbagai aspek pada realitas dan
kebenaran yang didasarkan pembuktian material.
Melihat karya-karyanya pada perkembangan seni rupa
modern Ahmad sadali meninggalkan tradisi realis yang masih bertanya-tanya
tentang apakah realitas. Dekat dengan keyakinan ekspresionsime Abad ke-20,
Ahmad Sadali percaya bahwa ungkapan seni bukan lagi representasi realitas dalam
kehidupan, tapi representasi gejala immaterial (tidak bersifat material) pada
realitas—unrepresentable real. Seperti umumnya modernis, Ahmad Sadali
percaya pada pencarian kebenaran immaterial ini melalui eksplorasi bahasa rupa.
Modernisme berkembang paralel dengan filsafat
bahasa dan ilmu pengetahuan. Pencarian kebenaran dalam realitas dilakukan
melalui pembuktian yang bertumpu pada commensurability yaitu sistem pengukuran
kepastian pada pemikirian (dan penelitian) tentang realitas dan manusia. Pada
filsafat bahasa upaya pencarian commensurability ini dilakukan dengan
pengkajian bahasa (teks) berdasarkan logika yang tampil utuh, koheren dan tidak
ambigu. Percaya pada sistem pengukuran kepastian, filsafat bahasa yakin bisa
menemukan kebenaran pada bahasa (teks)—seperti halnya penemuan pada ilmu
pengetahuan. Dalam perkembangan paling akhir, dengan berani filsafat bahasa
menyatakan kebenaran-kebenaran intra-linguistik (intra-teks) yang ditemukannya
berlaku sebagai kebenaran ekstra-linguistik (kebenaran umum)—di sini filsafat
bahasa runtuh karena tidak bisa membendung arus kritik yang dibangkitkan teori
dekonstruksi.
Pada perkembangan seni rupa pencarian
commensurability dilakukan melalui pengkajian sejarah seni rupa (di Eropa,
Amerika Serikat) sejak awal Abad ke-20 (munculnya impresionisme) yang benang
merahnya menunjukkan perkembangan bahasa rupa. Seperti filsafat bahasa dan ilmu
pengetahuan, modernisme percaya bisa menemukan kebenaran pada bahasa rupa
(sejajar dengan teks)—keyakinan ini tidak bisa dilepaskan dari occulocentric
civilization [di Dunia Barat] yang mengutamakan penglihatan (mata) dalam
menentukan “the real” (kebenaran pada realitas) sebagai basis memahami
realitas. Berdasarkan keyakinan ini tanda-tanda pada perkembangan bahasa
rupa dianggap “ilmu dasar” memahami seni dan ungkapan seni rupa. Kendati harus
menghadapi berbagai kritik di kemudian hari, keyakinan ini masih mendasari art
discourses yang berpengaruh sampai sekarang pada percaturan seni rupa
global.
Pemikiran itu bertumpu pada epistemologi (logika
ilmu pengetahuan). Dalam epistemologi gejala immaterial dan gejala
material dihubungkan—immateriality di luar ini adalah gejala unreal yang tak
masuk akal. Dalam epistemologi pikiran manusia bersifat immaterial. Memperl;ihatkan
kesadaran lebih tinggi. Semua pemikiran yang dimulai dengan mendiskrispkan
gejala material pada realitas, mengalami immaterialisasi pada proses pemikiran
yang disebut abstraksi (penghilangan sifat material) untuk memasuk dunia
pemikiran yang immaterial.
Puncak abstraksi itu adalah pemahaman, kesadaran,
kesimpulan dan konsep yang berpusat pada pikiran manusia. Bertumpu pada
pada keyakinan Cartesian, logika ilmu pengetahuan itu percaya bahwa pikiran
manusia adalah pusat kesadaran yang menentukan konsep gejala apa pun pada
realitas—semua pemahahamannya harus “logis”. Di sini sudah tidak ada
ruang untuk gejala metafisis yang ada hubungannya dengan Tuhan yang diyakini
berdasarkan kepercayaan (faith). Dimasukkan ke kelompok gejala unreal
yang doesn’t make sense.
Ahmad Sadali dibesarkan di lingkungan muslim yang
taat. Ia dikenal sebagai pemuka agama yang membangun komunitas Islam di
lingkungan ITB. Karena Ahmad Sadali tidak bisa menerima “ujung” epistemologi
yang dipusatkan pada pikiram manusia itu, kendati ia percaya pada epistemologi
sebagai logika ilmu pengetahuan. Ahmad Sadali masih percaya pada gejala
metafisi pada realitas yang diyakini berdasarkan faith. Ia percaya kebenaran
absolut di atas semua kebenaran berpusat pada Tuhan. Keyakinan ini mendasari
semua ungkapannya.
Seperti lazimnya pemikiran tentang gejala
metafisis pemikiran Ahmad Sadali percaya pada totalitas kapasitas manusia.
Bukan hanya kapasitas pikiran. Kapasitas manusia meliputi pula kepekaaan
memilah-milah berbagai jenis pengalaman. Karena itu ia percaya pada konsep
representasi namun dengn visi yang berbeda. Ahmad Sadali percaya bahwa karya
seni adalah representasi realitas dunia luar (melibatkan kapasitas berpikir)
dan realitas dunia dalam (melibatkan kepekaan). Dasarnya adalah mind dan
faith. Ahmad Sadali mengemukakan, dalam Al Quran manusia dengan kelengkapan
ini, disebut ulil al bab.
Dalam modernisme keyakinan Ahmad Sadali boleh jadi
dianggap janggal, pemikirannya bahkan menunjukkan gejala paradoksal
karena pemikiran tentang gejala metafisis yang ada kaitannya dengan faith
dianggap “sudah mati”. Namun di sisi lain, pemikirannya bisa dilihat
menunjukkan sikap selektif dalam mengadaptasi prinsip-prinsip modernisme.
Pemikiran Ahmad Sadali menunjukkan modernisme yang berbeda atau modernisme yang
lain.
Sebagai modernis karya-karya Ahmad Sadali tidak
menentang sekularisasi. Ia percaya pada dunia modern, perkembangan ilmu
pengetahuan dan sistem demokrasi yang berhasil membangun keadilan dalam
kehidupan masyarakat—manusia dalam pengertian universal. Namun sekularisasi
yang diyakini Ahmad Sadali, seperti keyakinan Affandi tentang survival manusia
dalam kehidupan, tidak memotong dimensi transendensinya—hubungan dengan Tuhan.
Terpengaruh kedudukan Ahmad Sadali sebagai pemuka
agama, hampir semua pengkajian yang ditulis tentang karya-karya Ahmad Sadali di
Indonesia melihat karya-karyanya sebagai ungkapan yang mencoba mengajarkan
kaidah-kaidah Islami. Ahmad Sadali, sebagai pemuka agama, tidak bisa
menyangkal persepsi ini. Namun para pengkaji tidak cermat menimbang
kenyataan bahwa karya-karya Ahmad Sadali yang abstrak, nyata-nyata tidak
efektif untuk menyampaikan ajaran agama. Ungkapan Ahmad Sadali jauh dari
khotbah.
Mengamati ayat-ayat Al Quran yang tidak
selalu muncul pada lukisan-lukisannya dan ketika muncul lebih terasa sebagai
gumam yang personal, ungkapan Ahmad Sadali memperlihatkan religiositas
yang menandakan dorongan mencari hubungan mistis dengan Tuhan.
Religiositas tidak selalu harus dihubungkan dengan agama.
RELIGIOSITAS: KAJIAN FILSAFAT
Y.B. Mangunwijaya
Pada 1980an, filosof Indonesia, Y.B.
Mangunwijaya melontarkan pemikiran tentang relogiositas itu. Almarhum
Mangunwijaya dikenal juga sebagai seorang rohaniwan Katolik yang turun ke
kalangan bawah. Ia menggerakkan masyarakat miskin yang hidup di kawasan slums
di tepi sungai—Kali Code—di Yogyakarta untuk membangun pemukiman yang tertib.
Mangunwijaya hidup bersama mereka. Tidak hanya filosof dan rohaniwan,
Mangunwijaya dikenal juga sebagai arsitek (penerima Aga Khan Award untuk
arsitektur), sastrawan (menulis sejumlah esei dan novel) dan budayawan.
Pandangannya tentang religiositas tampil melalui
bukunya, Sastra dan Religiositas. Dalam buku yang mengkaji
perkembangan sastra di Indonesia dari awal Abad ke-20 sampai dekade 1980—dari
Hamka dan A.A.Navis sampai Iwan Simatupang, Putu Wijaya dan Danarto—Mangunwjaya
melihat kuatnya hubungan ungkapan pada karya-karya sastra Indonesia dengan
religiositas.
Pendapat Mangunwijaya itu bisa diluaskan di dunia
kesenian (world of the arts) di Indonesia. Pameran Flight for Light. Seni rupa
Indonesia dan Religiositas membawa tanda peluasan ini dan dimaksudkan
untuk menunjukkan kuatnya hubungan ungkapan pada karya-karya seni rupa
Indonesia dengan religiositas, dari awal Abad ke-20 sampai sekarang.
Religiositas dalam Bahasa Inggris, yaitu,
“religiosity” terasa sudah “kehilangan” makna. Barangkali karena sudah jarang
digunakan dalam pembicaraan apalagi pemikiran. Makna religiosity secara umum
adalah kata benda yang menunjukkan gejala di balik kata sifat
“religious”. Baik religiosity mau pun religious selalu dikaitkan dengan
agama. Padahal ada wacana kompleks di balik religiosity yang bahkan bisa
keluar dari persoalan agama. Mangunwijaya mengutip kata-kata sastrawan
terkemuka Graham Greene yang mengontraskan religiositas dan agama, “There is
far more religious faith in [communist] Russia than in [Christian]
England.”
Dalam bukunya Mangunwijaya mengemukakan, agama
kebih menunjuk kelembagaan, Lembaga dalam berbakti kepada Tuhan dalam
aspeknya yang resmi, yuridis, menyangkut aturan-aturan, dan, hukum-hukum
organisasi. Agama melingkupi juga segi-segi kemasyarakatan
(gesellschaft). Sementara itu religiositas adalah sesuatu kualitas pada
dorongan beragama. Berada di lubuk hati dan sering disebut hati nurani. Riak
getarannya tidak jelas, personal, dan seringkali misterius bagi orang lain.
Ketika dikaitkan dengan masyarakat religiositas tercermin pada keintiman dalam
ikatan masyarakat (gemeinschaft).
Wacana di balik religiositas tidak bisa
dipahami tanpa mengkaji sejarah agama. Karena itu dalam bukunya Mangunwijaya
menguraikan sejarah perkembangan ini. Inti uraiannya bisa disimpulkan, pada
awalnya adalah kosmogoni—gejala universal yang ada pada semua kebudayaan pada
semua zaman—yaitu kesadaran manusia tentang mikro kosmos dan makro kosmos.
Mikro kosmos adalah ruang di mana manusia
hidup—ini dasar pemikiran tentang realitas. Makro kosmos adalah ruang yang
muncul dalam kesadaran tentang jagat raya ketika manusia mendongak, melihat
bintang-bintang di langit dan bertanya, “ada apa di sana ?” Ini pertanyaan yang
membawa manusia ke agama dan sekalgus dasar semua pemikiran abstrak—yang diubah
pada epistemologi—karena manusia berhadapan dengan sesuatu yang tidak nyata.
Perkembangan kepercayaan manusia (agama) diwarnai pasang-surutnya tegangan
pemikiran tentang mikro kosmos dan makro kosmos ini (selanjutnya disebut
tegangan mikro-makro kosmos).
Sudah umum diketahui manusia pernah mempercayai
adanya berbagai kekuasaan di langit yang secara spesifik menguasai kekuatan
alam—matahari, angin, hujan, badai, kesuburan tanah dan manusia dan sebagainya.
Dari sini muncul keyakinan adanya pemerintahan di langit yang berkuasa mengatur
kehidupan di bumi. Persepsi ini membangkitkan kepercayaan pada dewa-dewa,
dan, hirarkhi pada pemerintahan para dewa di mana ada penguasa paling
tinggi—semacam raja—di antara pemerintahan dewa-dewa ini. Kepercayaan ini
dikukuhkan mitos-mitos yang tidak selalu dituliskan.
Tegangan mikiro-makro kosmos pada kepercayaan itu
tampil sebagai kontras di antara “kehidupan” di langit yang mewah, sensual,
sejahtera dan bercahaya (good life), dan, kehidupan di bumi yang muram, susah,
tidak sejahtera dan survival (bad life). Tegangan yang awalnya mitos ini
ternyata menerus pada kehidupan umat manusia setelah menemukan bentuknya pada kehidupan
manusia (mikro kosmos) walau tidak lagi bertumpu pada mitos.
Tegangan mikro-makro kosmos itu menemukan
bentuknya ketika manusia yang lebih berhasil dari yang lainnya dan menjadi
“kaum atas”, yang bisa menjalani good life seperti dewa-dewa (raja,bangsawan,
satria, tuan tanah, pemungut cukai) menggunakan (mengarang) mitos-mitos untuk
menghubungkan mereka dengan para dewa dalam ikatan kekrabatan—paling umum,
keturunan dewa. Tujuannya adalah mendapatkan kekuasaan absolut dalam kehidupan
di bumi, Dengan kekuasaan ini “kaum atas” mengendalikan “kaum bawah” dan dengan
leluasa melakukan eksploitasi.
Tegangan itu yang memunculkan perkembangan
agama. Muncul perubahan kepercayaan sejak Abad ke-10 Sebelum Masehi
(SM), di mana manusia mulai merasakan tegangan mikro-makro kosmos mengganggu
dan tidak menyenagkan. Terjadi penentangan mitos-mitos di hampir semua benua di
dunia melalui kepercayaan yang berbeda-beda. Socrates yang hidup pada zaman
Yunani kuno Abad ke-5 SM adalah contoh paling populer dan monumental.
Socrates mencoba menggeser pemikirian (mitos-mitos) yang terpusat pada
dewa-dewa ke pemikiran yang mempersoalkan manusia dan kehidupan di bumi.
Socrates harus menanggung resiko. Namun bukan dewa-dewa yang menghukumnya tapi
para penguasa yang melihat gagasannya tentang emansipasi manusia—dalam tegangan
makro-mikro kosmos—bisa menganggu ketertiban dan stabilitas dalam kehidupan
masyarakat. Ia dihukum minum racun.
Setelah berproses selama hampir 20 abad, terjadi
perubahan besar. Manusia menyangkal mitos-mitos tentang kekuasaan langit dan
tidak menggantikannya dengan mitos-mitos baru. Pemahaman tentang kekuasaan
langit mengalami abstraksi dan sampai pada monotheisme di mana terjadi upaya
menggantikan tegangan mikro-makro kosmos dengan hubungan harmonis manusia
dengan “kekuasaan langit” yang jauh dari sifat penguasa. Pada Abad ke-6
monotheisme—kepercayaan pada Tuhan—muncul di semua benua di dunia melalui
kepercayaan yang berbeda-beda.
Berdasarkan hubungan harmonis manusia dengan Tuhan
gagasan emansipasi manusia Socrates berkembang. Monotheisme tidak
mencegahnya karena manusia memiliki kebebasan dan kedaulatan dalam menjalankan
hidupnya di bumi—dalam lingkup mikro kosmos. Tercermin pada kitab-kitab agama
besar Islam dan Nasrani di mana disebutkan, Tuhan tidak akan mengubah nasib
manusia bila manusia tidak berusaha mengubah nasibnya sendiri.
Menggunakan kebebasan itu manusia semakin mengenal
kehidupannya di bumi dan menemukan banyak aspek dalam kehidupan yang tidak ada
hubungannya dengan kekuasaan langit. Melalui ilmu pengetahuan—berkembang pada
Kebudayaan Yunani kuno—bisa ditemukan berbagai sebab-akibat dalam kehidupan
yang semuanya ditemukan di bumi. Sementara itu Tuhan dikukuhkan dalam lingkup
makro kosmos. Perkembangan Ilmu Falak pada bangsa-bangsa Arab yang sudah sangat
lanjut ketika monotheisme terbentuk menganggap jagat raya (makro kosmos)
sebagai misteri yang tidak sepenuhnya dicapai akal manusia.
Pengembangan pemahaman dan penjelajahan berbagai
aspek kehidupan di bumi memunculkan sekularisasi. Manusia semakin mengenal
berbagai aspek kehidupan yang yang tadinya dianggap misteri dan dikira ada
hubungannya dengan kekuasaan langit. Hubungan harmonis dengan Tuhan membuat
sekularisasi (pada mulanya) tidak kehilangan dimensi transedensinya.
Sekularisasi ini, yang membongkar kenyataan dalam kehidupan, masih mempunyai
ruang untuk hal-hal yang tidak nyata dan tidak bisa dipahami akal; harapan,
kekecewaan , gejala ecstasy dan agony, pertanyaan tentang takdir, dan,
pertanyaan tentang kematian dan kehidupan sesudah kematian. Di ruang ini
manusia mengandalkan hubungan intim dan harmonis dengan Tuhan. Mangunwijaya
melihat inilah dasar-dasar religiositas pada perkembangan [semua] agama sesudah
kemunculan monotheisme.
Namun sekularisasi ternyata tidak berhenti sampai
di situ. Pada Abad ke-19 muncul pengutamaan kehidupan manusia dan daya
pikirnya. Di sini tegangan mikro-makro kosmos muncul kembali namun dengan
posisi terbalik, manusia menguji keutamaannya terhadap keutamaan Tuhan.
Pengujian ini menyuruk ke perbedaan mendasar. Manusia menyadari adanya
keabadian di ruang makro kosmos—langit dan bumi sebagai bagiannya, tidak
berubah, paling tidak selama dua juta tahun peradaban manusia. Sementara itu,
di ruang mikro kosmos, kehidupan manusia dibatasi waktu dan kematian. Perbedaan
ini kemudian menjadi pusat pemikiran manusia dalam upaya menguji keutamaannya.
Mangunwijaya mengkaji inti pemikiran pemikiran
filosof Martin Heidegger (1889-1976) yang merenungkan “ada” dan “waktu” (Sein
und Zeit). Heidegger meyakininya sebagai struktur dasein (ada yang sejati).
Karena landasan pemikiran ini adalah pertanyaan “siapakah aku” maka “ada” pada
pemikiran Heidegger dipusatkan pada pemikiran tentang bagaimana “aku
menjadi ada”. Ini adalah kesadaran eksistensial di mana semua kesadaran
berpusat pada “aku” secara absolut, “Aku menjadi ada” dalam pemikiran
Hidegger baru bisa dipahami bila “aku” menghadapi krisis—rasa gelisah,
merasakan kehampaan, gamang ketika berada pada ecstasy dan agony, kecemasan
pada kehancuran dan ketakutan menghadapi kematian.
Heidegger tidak menjawab mengapa manusia tidak
abadi karena dibatasi waktu dan kematian. Melalui struktur dasein Heidegger
“menguasai” waktu dan kematian. Ia melihat ketakutan pada kematian berpangkal
pada mitos tentang dosa, takdir, kehidupan sesudah kematian yang “tidak ada”,
tidak nyata, unreal dan doesn’t make sense. Heidegger menyatakan tidak ada yang
perlu ditakutkan pada kematian karena kematian merupakan bagian dari “ada”
yaitu, “ada untuk mati” (sein zum tode).
Mangunwijaya melihat, eksistensialisme Heidegger
menunjukkan pemahaman realitas yang kehilangan dimensi transendensinya karena
melepaskan kematian dari takdir dan kehendak Tuhan. Mangunwijaya mengemukakan
inilah perkembangan Dunia Barat. Pada Abad ke-19 pemikiran seperti ini
berkembang paralel dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang mengukuhkan
epistemologi sebagai dasar semua pemikiran.
Eksistensialisme dan perkembangan ilmu pengetahuan
itu kemudian mempengaruhi pemikiran tentang seni bahkan mendasari perkembangan
seni rupa modern Abad ke-20. Dikenal sebagai modernism as institution
keyakinan ini berpengaruh pada perkembangan seni rupa dunia. Di sini bisa
dipahami mengapa ungkapan Affandi dan ungkapan sebagian besar seniman
generasinya, juga ungkapan hampir semua seniman generasi Ahmad Sadali menjadi
kejanggalan di forum seni rupa dunia dan dianggap tidak bisa dibaca. Kendati
ungkapan seniman-seniman Indonesia ini mencerminkan pemikiran modern dan
menunjukkan persentuhan dengan berbagai gejala seni rupa modern di Eropa dan
Amerika Serikat, pemahaman mereka tentang realitas tidak memotong dimensi
transedensinya.
TANDA-TANDA ABAD KE-19
Andy Dewantoro (lahir 1974) adalah seniman yang muncul pada zaman yang disepakati kiritis di Indonesia sebagai “era seni rupa kontemporer”. Kendati ungkapannya paling banyak muncul melalui lukisan, Andy Dewantoro seniman yang akrab juga dengan bahasa fotografi. Selain ini ia membuat juga karya tiga dimensional berupa maket (model).
Karya-karya Andy Dewantoro dalam semua
media itu berada di antara landscape dan townscape. Lukisan-lukisan ini
terkesan ingin menampilkan masalah kehidupan urban di Indonesia. Namun ia tidak
memilih lorong-lorong kota, down-town, jembatan layang atau jalan raya di
tengah kota. Ia cenderung menampilkan perumahan di daerah-daerah
sub-urban atau up-town yang relatif masih hijau. Karena itu lukisan, foto dan
karya maket-nya, di satu sisi menampilkan townscape, namun di sisi lain
memperlihatkan pula landscape.
Andy tidak menampilkan kehidupan up-town
yang nyaman. Lukisan dan karya-karya maketnya menunjukkan ia membayangkan
kawasan sub-urban yang sekarang ini dikenal sebagai hunian yang nyaman,
ditinggalkan penghuninya. Tapil pada karya-karyanya gedung-gedung di up-town
yang tidak digunakan lagi, rumah tinggal dan jembatan yang terbengkalai,
terpuruk di antara ilalang yang tumbuh liar di sekitarnya. Tidak ada manusia
pada karya-karya ini. Kekososngan ini mencekam karena dihadirkan pada
suasana temaram sore hari menjelang malam. Andy Dewantoro tidak mempersoalkan
down town yang menjadi “dead city”yang sering dipersoalkan pada masalah urban,
tapi “death of up-town” yang sampai sekarang dikenal hunian nyaman.
Namun bukan masalah urban yang mendasari
ungkapan Andy Dewantoro. Kecenderungan pada karya-karyanya itu ia kukuhkan
setelah melakukan perjalanan ke Eropa pada tahun 2006 dengan maksud menjelajahi
museum dan galeri untuk berhadapan langsung dengan karya-karya penting pada
perkembangan seni rupa kontemporer. Namun, cukup janggal, karya-karya
yang paling menarik perhatiannya adalah lukisan-lukisan landscape yang
berkembang di Inggris pada Abad ke 19, khususnya lukisan-lukisan William Turner
(1775-1851), dan, John Constable (1776-1837).
Mulanya ia menganggumi aspek rupa pada
lukisan-lukisan itu. Dari pelajaran sejarah seni rupa yang didapatnya semasa
menjalani pendidikan seni rupa, ia memahami keistimewaan pengolahan gambaran
awan dan langit pada karya-karya William Turner dan pengolahan warna hijau pada
lukisan-lukisan John Constable. Namun Andy Dewantoro merasa pesona
lukisan-lukisan ini tidak berhenti pada pengolahan bahasa rupa. Ia
merasakan susunan rupa dan tema pada lukisan-lukisan ini memunculkan drama yang
membuatnya terpesona karena tadinya ia mengira lukisan landscape hanya
menampilkan keindahan alam.
Andy Dewantoro merasakan badai yang dahsyat
berwarna biru-hitam, langit musim dingin kelam yang berwarna abu-abu
menakutkan, dan, bencana alam yang meruntuhkan gunung batu berwarna cokelat
kusam pada lukisan-lukisan itu membangkitkan perasaan mengganggu. Andy
Dewantoro tidak segera bisa menguraikan pengalaman perasaannya melihat
lukisan-lukisan ini. Perasaan sentimental ini terbentur pengetahuannya tentang
lukisan landscape yang bertumpu pada sejarah seni rupa.
Dalam sejarah seni rupa lukisan landscape Abad
ke 19 itu adalah ungkapan yang “representatif”. Merupakan pengkopian
relitas dalam upaya meyusun representasi—penggambaran realitas nyata—untuk
mencari kebenaran pada kenyataan. Prinsip ini menunjukkan lukisan landscape
masih berada pada tradisi realis. Sementara itu visi dominan dalam
sejarah seni rupa—bertumpu pada modernisme—mengubah sistem representasi pada
tradisi realis ini karena dilihat merupakan upaya manusia mempertanyakan
realitas dalam keterbatasan ilmu pengetahuan. Dalam perubahan sistem representasi
ini visi modernis melihat perkembangan bahasa rupa pada sejarah seni rupa
sebagai dasar mencari kebenaran. Inilah tradisi modernis, yang dalam sejarah
seni rupa berawal pada impresionisme (berkembang sesudah seni lukis landscape).
Dalam visi itu seni lukis landscape
dianggap masih punya kontribusi dalam memunculkan trdisi modernis— ini yang
kemudian menjadi pemahaman dominan dan mempengaruhi pemahama Andy
Dewantoro. Kontribusi ini adalah memunculkan kesadaran rupa yang
tercermin pada pengembangan teknik melukis. Pelukis-pelukis yang dianggap
menampilkan gejala ini, memang John Constable, William Turner, dan William
Blake (1760-1830). Ketiganya dicatat sebagai pelukis-pelukis Inggris yang
mengundang kekaguman di Eropa di tengah tanda-tanda perkembangan yang
didominasi karya pelukis-pelukis Prancis.
Seperti pemahaman Andy Dewantoro, John
Constable dicatat menemukan teknik warna hijau melalui percobaan yang dalam
sejarah seni rupa disamakan dengan percobaan dalam ilmu pengetahuan. William
Turner menemukan pencampuran warna-warna dengan warna abu-abu untuk
menggambarkan perbedaan langit yang dipengaruhi cahaya empat musim
sub-tropis—pada pengolahan warna ini ada masalah cahaya yang kemudian
dikembangkan impresionisme. Sementara itu William Blake yang tidak menampilkan
lukisan landscape dicatat menampilkan distorsi dan memperkenalkan pengolahan
garis sebagai gejala rupa konkret.
Penemuan-penemuan John Constable dan
William Turner itu diakui Royal Academy Inggris dan ditetapkan sebagai teknik
dasar seni lukis—di kemudian hari dikenal sebagai akademisme yang diterapkan
sebagai dasar pengajaran di semua akademi seni rupa di dunia. Penemuan-penemuan
ini tercatat digunakan pelukis-pelukis romantisis Prancis seperti Théodore
Géricault dan Eugène Delacroix.
Visi dominan dalam sejarah seni rupa itu tidak memperhatikan message pada lukisan-lukisan landscape, padahal message ini membawa tanda-tanda penting pada perubahan dunia Barat di Abad ke-19. Message ini masih diamati pada pemikiran aesthetics—di kemudian hari berkembang ke philosophy of art—wacana yang kendati paralel tidak sama dengan wacana sejarah seni rupa.
Visi dominan dalam sejarah seni rupa itu tidak memperhatikan message pada lukisan-lukisan landscape, padahal message ini membawa tanda-tanda penting pada perubahan dunia Barat di Abad ke-19. Message ini masih diamati pada pemikiran aesthetics—di kemudian hari berkembang ke philosophy of art—wacana yang kendati paralel tidak sama dengan wacana sejarah seni rupa.
Dalam kajian aesthetics Abad ke-19,
lukisan-lukisan landscape Inggris itu memperlihatkan ungkapan yang
transendental. George Santayana dalam buku Sense of Beauty—buku klasik pada
philosophy of art—menyebut kebenaran pada ungkapan ini sebagai kebenaran
metafisis yang berlaku “di bawah semua langit.” George Santayana mempersoalkan
keabadian; langit di mana pun dan di semua zaman adalah langit yang sama,
langit yang abadi. Dalam kajian aesthetics –cukup populer dalam pemahaman seni
lukis landscape—dibaca sebagai ungkapan rasa betapa kecilnya manusia di hadapan
kekuasaan Tuhan yang ditampilkan sebagai kedahsyatan kekuatan alam. Seperti
ungkapan Affandi ungkapan-ungkapan ini memperlihatkan religiositas.
Lukisan-lukisan landscape Inggris itu
memang membawa persoalan agama. Tercermin pada lukisan-lukisan William Blake
yang mengangkat cerita-cerita Alkitab Kristiani. Selain itu penggambaran
langit empat musim pada lukisan-lukisan John Constable dan William Turner tidak
sepenuhnya merupakan persoalan rupa (teknik melukis)—dalam seni lukis
landscape, penggambaran langit merupakan keynote seluruh suasana lukisan. Ada
perbedaan maknawi pada penggambaran langit musim semi dan musim panas yang
cerah, dengan penggambaran langit musum dingin yang gelap dan menakutkan. Dalam
realitas sosial di Eropa pada Abad ke-19, musim dingin adalah masa kesengsaraan
kaum miskin yang selalu membawa tanda-tanda kematian.
Latar belakang kemuraman itu bisa ditemukan
pada kehidupan Willaim Turner. Ia lahir di tengah keluarga miskin.
Ayahnya seorang tukang cukur. Ibunya mengalami melankolia akut dan harus
menghabiskan masa hidupnya di rumah sakit jiwa. William Turner sendiri menjalani
kehidupan eksentrik yang anti-sosial. Kendati harkat sosialnya terangkat karena
mendapat penghargaan Royal Academy Inggris ia sama sekali tak mengenal
kehidupan sosial. William Turner yang tidak menikah tidak punya kehidupan
keluarga. Ia mengisi hidupnya dengan kegilaan melukis. Ia meninggalkan
20.000 lukisan sebagai warisan tidak bertuan ketika meninggal.
Kemuraman yang mencerminkan realitas sosial
itu merupakan tanda penting. Sesudah itu, masih pada Abad ke-19, terjadi
perubahan besar pada perkembangan dunia Barat. Pemikiran yang merintis
perubahan ini menolak takdir dan meyakini manusia sendiri yang harus mengubah
nasib dan menentukan takdir. Di sini muncul sekularaisasi yang disebut
Mangunwijaya menghilangkan dimensi transendensinya. Di sini juga muncul tradisi
modernis pada perkembangan seni rupa yang menghilangkan ruang untuk
mempersoalkan agama.
Sementara itu lukisan landscape yang
berkembang di Indonesia pada saat yang bersamaan jauh dari mengungkapkan
kemuraman. Di sebaliknya justru menampilkan kecerahan. Seni lukis ini
muncul di Indonesia pada Abad ke 19 juga melalui pelukis Belgia A.A.J Payen.
Seperti lukisan landscape di Eropa, lukisan Payen mempersoalkan gambaran langit
yang dipengaruhi cahaya matahari. Namun pemandangan alam yang ditampilkan pelukis
ini memperlihatkan eksrepsi yang sangat berbeda. Lukisan ini menampilkan
keindahan alam tropis yang tidak mengenal musim dingin karena matahari bersinar
sepanjang tahun.
Pengungkapan keindahan itu mendasari
seluruh perkembangan seni lukis landscape yang bertahan selama satu abad di
Indonesia. Melukis landscape masih menjadi mainstream pada perkembangan
awal Abad ke 20. Lukisan-lukisan landscape pada perkembangan seni rupa
Indonesia awal Abad ke- 20 ini merupakan ungkapan pengalaman transendetal yang
merayakan kebesaran Tuhan melalui keindahan alam. Dibandingkan lukisan
landscape Inggris, lukisan landscape Indonesia ini lebih dekat ke pikiran
George Santayana yang menghubungkan ungkapan transdental dengan keindahan.
Dalam pandangan sejarawan seni rupa Indonesia,
Almarhum Sanento Yuliman lukisan-lukisan landscape itu memperlihatkan lirisisme
yang mencerminkan pengalaman spiritual. Kedekatan dengan alam yang diyakini
merupakan sumber kehidupan, membuat para pelukis menjelajah mencari
tempat-tempat melukis yang sunyi di mana keindahan alam bisa dirasakan. Selain
melukis mereka melakukan kontemplasi. Seperti mencari kemurnian alam mereka
meniadakan manusia, tanda-tanda kehidupan sosial, dan, tanda-tanda kemajuan
dunia modern pada lukisan-lukisan landscape mereka.
Melintasi kurun waktu tiga abad lukisan
landscape mengganggu perasaan Andy Dewantoro. Ia kenal perkembangan
lukisan landscape di Indonesia. Namun ia tidak tertarik. Tidak ada dorongan
padanya untuk merayakan kebesaran Tuhan melalui keindahan. Andy Dewantoro
justru tertarik pada lukisan landscape Inggris Abad ke-19 yang menyajikan
kemuraman dan drama. Renungan tentang ungkapan pada lukisan-lukisan ini yang
membentuk kponsep berkarya Andy Dewantoro. Karya-karyanya yang muram juga
memnperlihatkan religiositas yang senada.
Andy Dewantoro dibesarkan di lingkungan
muslim yang taat menjalankan syariat agama di mana dogma-dogma agama diajarkan
secara spartan. Ayahnya mengenyam pendidikan di Institut Agama Islam Negeri,
Tanjung Karang, Sumatera Selatan. Namun Ibunya meluaskan pemahaman
Andy Dewantoro tentang agama. Sebagai seorang guru kepala sekolah umum di
Tanjung Karang, ibunya menghargai ilmu pengetahuan dan cenderung berpikir
sekular. Ibunya meninggal ketika ia masih remaja dan duduk di sekolah menengah.
Andy Dewantoro meninggalkan rumah pada usia dini mengikuti anjuran ibunya agar
mencari ilmu. Gabungan pendidikan agama yang ketat dan visi ibunya
membangkitkan sikap kritis Andy Dewantoro pada kekakuan dogma-dogma agama. Di
sini ia merasa harus mencari sendiri makna agama.
Karya-karyanya menunjukkan semacam
kesimpulan pencarian itu. Gambaran up-town yang menjadi dead city bisa dibaca
sebagai erosi religiositas pada kehidupan beragama. Terjadi pada kemajuan agama
yang seharusnya menghadirkan rasa aman, seperti kawasan hunian di up-town yang
seharusnya memberi kenyamanan hidup. Andy Dewantara mengemukakan,”Hal
paling utama dalam meyakini agama menurut saya adalah kebaikan dan kesadaran
moral dalam kehidupan sesama manusia.”
FLIGHT FOR LIGHT
Entang Wiharso (lahir1967) seniman yang
aktif di forum seni rupa global dan menampilkan ungkapannya melalui berbagai
media—banyak di antaranya berskala besar. Pada tahun 2008 karya instalasinya
disertakan pada pameran “A Transversal Collection” di Arte Contemporanea Arte
Lavoro Territorio, Bergamo, Italia. Sub-judul pameran ini “From Duchamp
to Nino Calos, From Cattelan to Entang Wiharso”.
Entang Wiharso
Pameran yang disusun kurator Fabio Cavallucci itu menampilkan karya-karya
“a-typical” yaitu karya-karya yang tidak mengikuti trend-trend pada zamannya .
Sub judul, “From Duchamp to Nino Calos,” menunjuk karya-karya dalam
perkembangan seni rupa modern yang tidak bisa dianalisa melalui kanon-kanon
sejarah seni rupa, sementara sub judul, “From Cattelan to Entang Wiharso” menunjuk
karya-karya dalam perkembangan seni rupa kontemporer yang dinilai tidak biasa.
Identity for Fun Media (triptych)
Pada awal karirnya tahun 1990an karya-karya
Entang Wiharso berkutat untuk menyesuaikan diri dengan dogma-dogma agama. Ia
singgah pada abstrakisme karena menimbang pandangan dalam Islam yang tidak
memperbolehkan penggambaran manusia. Namun tanpa bisa ia kendalikan gambaran
manusia muncul juga pada karya-karyanya. Lukisan figuratif yang muncul masih
memperlihatkan friksi agama. Pada lukisan-lukisan ini Entang tidak cuma menampilkan
gambar manusia. Ia menampilkan pula gambar senjata yang biasa digunakan untuk
membunuh orang, seperti pisau dan keris misalnya. Tanda ini digunakan Entang
Wiharso untuk menampilkan tanda-tanda kematian. Tanda-tanda ini signifikan
karena menunjukkan ia tidak menampilkan manusia (hidup) pada
lukisan-lukisannya, tapi jazad orang-orang mati.
Namun pada perkembangan sekarang Entang
Wiharso sudah melampaui keraguan menampilkan gambaran manusia yang justru
menjadi sentral pada ungkapan-ungkapannya. Namun selain manusia, tiga
idiom yang sering muncul pada karya-karyanya adalah teks, pagar, dan,
motif kulit binatang.
Bagi Entang Wiharso teks mencerminkan
konsep-konsep yang mendominasi pikiran manusia dan membentuk mind set yang
seragam. Pagar pada karyanya merupakan metafor perangkap yang mengurung
manusia. Pagar ini simbol mentalitas yang memisahkan manusia dari manusia
lain. Ia secara khusus melihat dampak fanatisme agama. Entang kembali melihat
mind set yang seragam pada kelompok manusia yang berkumpul karena fanatisme dan
membangun pagar pemisah dengan kelompok manusia lain.
Kesadaran tentang kekuatan teks muncul
ketika Entang Wiharso tinggal di Amerika Serikat pada pertengahan 1990an. Ia
mengumpulkan segala macam teks; dari koran, dari kampanye politik, iklan,
lelucon, ucapan orang-orang penting, kata-kata para tokoh di televisi dan film
untuk membuat karya. Pada mulanya teks-teks ini ia tampilkan apa adanya. Namun
dalam perkembangan kemudian Entang Wiharso mengubah teks-teks ini supaya tidak
menampilkan makna tunggal.
Sementara itu pagar dan motif kulit
binatang muncul dari pengalaman Entang Wiharso hidup di Amerika Serikat mau pun
di Indonesia. Ia menyaksikan bagaimana isu terorisme di Amerika Serikat maupun
di Indonesia memunculkan permusahan yang melibatkan persoalan identitas,
pemisahan, penyeragaman visi dan bahkan aggressive behavior. Di Indonesia
ia melihat menyatunya politik dogmatik agama dengan politik yang kemudian
mengembangkan rasa agama menjadi identitas eksklusif dan komoditas politik.
Tentang kedua idiom itu Entang Wiharso
mengemukakan, “Motif kulit binatang menujukkan identitas binatangnya karena
binatang adalah makhluk instingtif yang perilakunya dipandu kebutuhan bertahan
hidup pada tingkat dasar. Ia menjelaskan, “Identitas manusia tidak tercermin
pada kulitnya, walau warna kulit manusia memang berbeda.” Entang Wiharso
merasa banyak orang menggunakan warna kulit sebagai identitas, bahkan
untuk mencari-cari perbedaan dan permusuhan. “Pagar dalam
pengamatan saya menunjukkan rasa tidak aman karena itu mudah memunculkan
aggressive behavior yang lalu digunakan kekuatan-kekuatan politik untuk
mencapai tujuan-tujuannya,” katanya .
Ketiga idiom itu pada dasarnya menunjukkan
sikap kritis Entang Wiharso pada semua jenis penyeragaman sikap dan perilaku.
Ia yakin penyeragaman ini hasil rekayasa. “Selalu ada kekuatan yang
membentuknya,” katamya. Bisa kekuatan bisnis, yang dalam visual culture
membombardir dunia penglihatan dan membuat masyarakat tidak punya kesempatan
mengobservasi gejala visual dan terpaku seperti terhipnotis. Bisa juga
kekuatan politik yang punya kepentingan pada penyeragaman visi untuk
membangkitkan gerakan massa.
Tentang pemikiran di balik karya-karyanya
Entang Wiharso mengemukakan, “Identitas manusia dalam keyakinan saya sangat kompleks
dan terbentuk dari memori pengalaman yang tersimpan di relung-relung dunia
internal yang rumit dan halus. Ia tidak menyangkal karya-karyanya
memperlihatkan religiositas. “Ide-ide pada karya-karya saya, asalnya perasaan
yang sangat personal dalam memahami agama.
Religiositas pada karya-karya Entang
Wiharso menunjukkan ketegangan. Hampir semua karyanya terasa radikal,
provokatif dan sangat beropini. Religiositas ini tidak sepenuhnya bisa
dijelaskan melalui pandangan Mangunwijaya tentang religiositas. Penjelasan
tentang religiositas ini bisa ditemukan pada psikologi agama yang dikenalkan
perintis pragmatisme, William James (1842-1910) pada awal Abad ke-19
melalui buku The Vareities of Religious Experience.
Dalam pemikiran Willaim James pada buku itu,
persepsi tentang realitas adalah kesadaran yang berpangkal pada pengalaman
personal yang mempunyai dua wilayah yaitu, wilayah obyektif dan wilayah
subyektif. Kedua wilayah ini mempunyai karakter berbeda. Wilayah obyektif
mempunyai lingkup sangat luas karena dibentuk secara kolektif dan melibatkan
persepsi bersama. Wilayah obyektif ini dominan dalam membangun pemahaman
dan mind set karena berbagai pemikiran unggul tentang [obyektivitas] realitas
memasuki wilayah obyektif ini. Pemikiran yang membentuk kesadaran tentang
realitas kebanyakan terolah di wilayah obyektif ini.
Sementara itu wilayah subyektif
berada pada apa kondisi perasaan yang tidak tetap. Kendati pemikiran melintasi
juga wilayah ini perannya pada totalitas pimikiran tidak bisa dipastikan.
Namun William James menemukan wilayah subyektif pada pengalaman
personal ini tidak bisa diabaikan karena wilayah subyektif ini peka pada
berbagai realitas yang tersembunyi. Ketika kepekaan ini menemukan realitas yang
tersembunyi, getaran pada wilayah subyektif ini bisa bangkit dan
dengan kuat mempengaruhi mind set.
Dalam buku itu William James melihat
pengertian kata agama bersifat ambigu. Ia melihat agama bisa bersifat personal
dan bisa bersifat institusional. Dari kajian sejarah agama William James berpendapat
bahwa, semua agama berawal pada pengalaman religius yang personal—di sini
bentuknya adalah agama personal. Tuhan yang dipersaksikan memberi manfaat yang
bersifat pribadi. Namun ketika manfaat ini mulai dirasakan orang lain, agama
personal kemudian menarik simpatisan. Ketika lingkaran ini menjadi besar, “para
simpatisan” berubah menjadi “pengikut” yang kemudian mengorganisasi diri dan
membentuk lembaga-lembaga. Di sini agama menjadi agama sebagai institusi.
Willian James melihat berkembangnya agama
sebagai institusi tidak membuat agama personal mati. Sejarah agama menunjukkan
agama personal selalu muncul kembali setelah agama sebagai institusi
berkembang. William James mengemukakan ketika sudah menjadi institusi, agama
tidak pernah bisa melepaskan diri dari ambisi kelembagaan, politik kekuasaan
dogmatik, fanatisme, dan konspirasi dengan kekuasaan sekular untuk kekuasaan
yang sangat besar. Ketika perkembangan agama sebagai institusi ini mencapai
titik ekstrim agama personal muncul kembali. Selalu terjadi, ketika sudah
menjadi otoritas agama sebagai institusi ini tidak lagi menyadari pangkalnya,
agama personal. Ketika agama personal muncul lagi agama sebagai institusi
mengecamnya sebagai aliran sesat, penyimpangan agama atau bid’ah.
Dalam konflik itu William James melihat
agama personal dipengaruhi getaran di wilayah subyektif pada pengalaman
personal yang bangkit karena merasakan kejanggalan yang tersembunyi pada agama
sebagai institusi. Kendati memperlihatkan keyakinan yang kukuh agama
personal tidak memperlihatkan karakter yang kuat. Para penganutnya
memperlihatkan karakter pencari kekudusan yang menempatkan kebahagiaan pada
pertemuan dengan Tuhan—inilah religiositas. Karater ini harus menghadapi
karakter kepala suku yang dibawa semua pemuka agama pada perkembangan agama
sebagai institusi. Karakter ini cenderung melihat kesejahteraan [umat] dan
karena itu menempatkan kehidupan duniawi pada tempat utama.
William James melihat karakter pencari
kekudusan sebagai karakter tidak menarik, tidak komunikatif dan tidak punya
kharisma. Sementara itu karakter kepala suku adalah karakter kharistmatik yang
mempesona. Ia percaya karakter kepala suku diperlukan masyarakat untuk menjaga
stabilitas karena karakter ini peka merasakan ancaman yang dihadapi masyarakat.
Namun di sisi lain karakater ini mambawa sifat predator yang selalu lemah
menghadapi hasrat berkuasa. Karakter ini, dalam pandangan William James
berpotensi menjadi Tiran.
William James menjelaskan, karater pencari
kekudusan sama sekali bukan karakter ideal manusia, atau karakter istimewa yang
dimiliki hanya orang-orang yang berpotensi menjadi Nabi. Karakter pencari
kekudusan ada pada manusia dan bisa muncul pada orang-orang biasa. Buku The
Vareities of Religious Experience William James mengkaji secara khusus
keyakinan para pencari kekudusan ini. Ia menemukan pada awal Abad ke-19
jumlah pencari kekudusan ini menjadi sangat besar di Eropa khususnya di
kalangan masyarakat bawah.
Dari kajian itu William James
mengembangkan pemikirannya yang mengidentifikasi konflik pada masyarakat [di
dunia Barat] dalam menilai agama [Kristiani]. Pangkalnya adalah politik
dogmatik yang menyatu kekuasaan sekuler menekan kehidupan masyarakat. Di tengah
kesulitan menghadapi kemiskinan, masyarakat mencemaskan kematian karena
ketakutan pada hukuman di neraka, penderitaan dalam menjalani kekudusan, dan,
perasaaan dihantui raasa berdosa ketika mersakan kesenangan duniawi yang
sebenarnya sudah sangat susah didapatkan. Di Eropa kondisi semacam ini
berlangsung sudah berabad-abad—mencerminkan tegangan mikro-makro kosmos yang
tidak lagi berpangkal pada mitos, tapi pada agama yang mengalami sekularisasi
Terkurung dalam kondisi yang sangat
depresif ini, melankolia meluas. Di tengah keadaan seperti ini muncul pencari
kekudusan. Mereka melarikan diri dari dogma-dogma agama yang mengikat dan
mengikuti cahaya yang tidak jelas— flight for light. Mereka mencari
sendiri hubungan dengan Tuhan dan menemukan jalan keluar. Religiositas pada
keyakinan mereka menunjukkan rasa aman dan kedamaian.
William James melihat gejala itu sebagai
upaya mencari hubungan mistis dengan Tuhan. Kendati ia mengkaji cukup banyak
pernyataan pencari kekudusan, mistisme ini ditemukannya tidak pernah jelas.
Namun William James menemukan, mistisme ini baru bisa dikenali bila ditampilkan
melalui motif estetik. William James menunjuk karya-karya Tolstoy dan
Henry James (adiknya, yang di kemudian hari tercatat sebagai perintis Sastra
Amerika) di mana kesadaran mistis pada narasi karya sastra bisa secara dramatis
memunculkan friksi di antara pengalaman religius dengan tanda-tanda duniawi.
Kajian ini dengan segera menjelaskan religiositas yang muncul pada
lukisan-lukisan landscape Inggris yang berkembang pada Abad-19 juga.
Masih dalam bukunya William James
mencatatat reaksi lain yang lebih radikal pada agama sebagai institusi yaitu
pemikiran yang menentangnya. Pemikiran baru ini tidak hanya menyerang
agama, Pemikiran yang memunculkan atheisme ini menyerang pula pencari
kekudusan. Friedrich Nietzche mengecam para pencari kekudusan sebagai
manusia tanpa vitalitas, penyelinap yang cuma terkesan sophisticated tapi
menunjukkan kemerosotan moral, orang-orang yang tidak mewakili apa-apa
dalam perkembangan pemikiran manusia—William James melihat Nietzche sebagai
pembela karakter predator militeristik dan pemuja kesenangan duniawi. Di
samping itu berbagai kajian ilmu kedokteran membuktikan kelainan patologis pada
pencari kekudusan.
Kendati berbeda konteks dan zaman, kajian
William James bisa digunakan untuk memahami religiositas pada karya-karya
Entang Wiharso yang memperlihatkan tegangan pada agama yang tidak bisa
dilepaskan dari kondisi sosial. Dalam pandangan Mangunwijaya,
“Religiositas bukan hanya gejala abstrak-abstrakan, religiositas ini intuisi
mengangkat mereka yang menderita dengan cara mendampingi mereka dan bukan
dengan cara berkhotbah.”
Ada kesamaan di antara realitas yang
dihadapi Andy Dewantoro dan Entang Wiharso dan realitas yang membangkitkan
pemikiran William James walau keduanya berjarak tiga abad; posisi agama [Kristiani]
dalam kehidupan di Eropa pada Abad ke 19 dan posisi agama [Islam] dalam
kehidupan di Indonesia sekarang ini. Namun ada juga kebedaannya. William
James mencatat tanda-tanda kematian agama dan religiositas pada Abad ke-19 itu,
sementara realitas yang dihadapi Andy Dewatoro dan Entang Wiharso sama sekali
tidak menunjukkan tanda-tanda ini.
Pada tahun 2011 ini fisikawan, kosmolog
terkemuka Stephen Hawkings memunculkan “kehebohan kecil” karena mengukuhkan
kembali kematian agama yang sebenarnya sudah sejak lama diyakini. Dengan
mengkaji sejarah fisika, ia menegakan kebenaran intra-fisika yang menunjukkkan
semua aspek dalam kehidupan bisa ditemukan sebabnya melalui ilmu pengetahuan
termasuk misteri makro kosmos. Ia kemudian mengklaim kebenaran intra-fisika ini
membawa kebenaran ekstra-fisika, “Tuhan ternyata tidak ada”.
Sementara itu di Indonesia kedudukan agama
masih sentral. Terlihat nyata di dunia Islam karena mayoritas penduduk di
Indonesia beragama Islam. Itensitas yang sama bisa ditemukan di lingkungan
agama Kristiani. Candi Borobudur yang dibangun pada Abad ke-5 bukan cuma
bangunan yang menunjukkan ancient history. Sampai sekarang Candi
Borobudur masih digunakan untuk upacara Waisak umat Budha. Kebudayaan Bali yang
dikenal di dunia karena keunikaannya tidak bisa dipisahkan dari agama
Hindu-Bali. Upacara-upacara yang menjadi popluer di kalangan turis adalah
upacara agama yang sebenarnya.
Pameran Flight for Light. Seni Rupa
Indonesia dan Religiositas ini—diselenggarakan pada Oktober 2011—mencerminkan
realitas itu. Pameran ini ingin menunjukkan the end of faith pada art
discourses yang mendasari perkembangan seni rupa global, tidak bisa mengabaikan
gejala pada masyarakat Indonesia itu, yang sangat mungkin bisa ditemukan
juga pada banyak masyarakat lain di dunia. Gejala ini menunjukkan art
discourses di forum seni rupa global memerlukan berbagai re-negosiasi untuk
menemukan dasar-dasar penilaiannya.
SEJARAH BERBEDA
Raden Saleh (1801-1880) pelukis romantisis
Jawa keturunan bangsawan yang diangkat menjadi pelukis Kerajaan Belanda karena
keunggulannya. Pada tahun 1829, Raden Saleh pergi ke Belanda untuk mempelajari
lukisan potret dari pelukis Belanda Cornellius Kruseman dan Andreas Schelfhout.
Pada tahun 1839, pemerintah kolonial Belanda memintanya pergi ke Prancis untuk
melanjutkan studi, namun, pada 18 Mei 1939, Raden Saleh malah pergi ke Jerman.
Setelah mengunjungi beberapa kota, Raden
saleh memutuskan untuk menetap di Dresden, tempat ia tinggal sampai tahun 1844.
Di sini, ia bertemu masyarakat bangsawan Jerman. Ia menjadi teman dekat Duchess
of Kent (ibu Ratu Victoria), Duke of Sachen, Duke of Coburg, dan Duke of Gothe.
Di Jerman, ia menemukan kebebasan untuk menyatakan pendapat karena orang-orang
Jerman bukan atasannya.
Ketika tinggal di Dresden banyak pernyataan
Raden Saleh yang menunjukkan, ia mempertanyakan identitasnya sebagai orang Jawa
yang hidup di daerah koloni. Pengaruh perkembangan pemikiran di Eropa membuat
Raden Saleh menyadari kondisi masyarakat bawah di tanah airnya. Kesadaran ini
dibangkitkan berbagai pemikiran yang berkembang di Eropa saat itu. Pada
perjalanannya kembali ke Jawa pada tahun 1851, ditemukan di antara
barang-barangnya yang diperiksa di Makassar, Sulawesi Selatan, sebuah buku
berjudul Revolution de 1848 (Revolusi Perancis Kedua).
Pada tahun 1847, Raden Saleh menulis,
“Mereka (orang Jerman) membuatku sadar tentang perbedaan antara budaya sosial
tinggi orang Eropa dan kesahajaan tingkah laku kaumku” (masyarakat Jawa dan
muslim). Ketika Duchess of Kent mengajaknya ke gereja untuk mengenalkan agama
Kristiani dan menanyakan mengapa ia tidak pindah agama, Raden Saleh mejawab,
“Mengapa saya harus menjadi Kristen sementara begitu banyak hal buruk telah
dilakukan atas nama agama ini ?”
Pernyataan Raden Saleh itu jauh dari bisa
dikaitkan dengan nasionalisme—dilontarkan Ernest Renan di Universitas Sorbone,
Prancis baru pada tahun 1882—yang membayangkan kemerdekaan Indonesia.
Pernyataan Raden Saleh menunjukkan kepedulian masyarakat bangsawan—pada Zaman
Kolonial adalah kalangan atas yang terdidik—pada nasib masyarakat kebanyakan
yang merupakan kalangan bawah.
Pada akhir Abad ke 19, kepedulian ini berkembang menjadi upaya mengangkat
kehidupan kalangan bawah—kesejahteraan dan kemajuan melalui pendidikan.
Tanda yang populer dan monumental adalah surat-surat R. A. Kartini, yang
diterbitkan sahabat-sahabatnya berkebangsaan Belanda, tujuh tahun setelah ia
meninggal (1911) dengan judul, Door Duisternis tot Licht. Gedahten over en voor
het Javaansche Volk van weijlen Raden Adjeng Kartini (Menembus Kegelapan Menuju
Terang. Renungan Raden Adjeng Kartni tentang dan untuk Bangsa Jawa).
Upaya mengubah realitas sosial itu
berkembang paralel dengan upaya yang sama di Eropa; menunjukkan kesadaran kaum
terdidik di kalangan atas, untuk mengubah nasib masyarakat kalangan
bawah. Di Eropa upaya ini mempunyai sejarah sangat panjang dan merupakan
proses yang maha sulit. Struktur masyarakat yang terbagi ke kaum bangsawan yang
memiliki segalanya dan menjalani good life, dan, masyarakat bawah yang tidak
memiliki apa-apa dan secara kontras menjalani bad life tidak terubah selama
berabad-abad. Upaya ini melibatkan pemikiran filosofis yang mempertanyakan,
apakah kebenaran di balik realitas (dalam hal ini the moral truth). Melibatkan
juga pemikiran religius karena mempertanyakan takdir.
Pencarian the moral truth di Eropa ini
sudah muncul di ujung Abad Kegelapan di sekitar Abad ke-12. Muncul ketika
sejumlah rohaniwan Kristiani—tergolong kaum terpelajar—membela masyarakat
yang menghadapi penindasan kekuasaan totaliter. Mendengarkan getaran
religiositas di hati nurani para rohaniwan ini mengeritik kekuasaan totaliter
yang merupakan persekutuan raja, tuan tanah, bangsawan, kstaria pemegang
senjata, dan, pejabat-pejabat gereja yang mendekatkan politik dogmatik dengan
politik kekuasaan.
Realitas yang dihadapi para rohaniwan
ini adalah realitas muram masyarakat bawah yang dieksploitasi untuk menghimpun
harta. Mereka diperas, digantung bila menentang kekuasaan, dibakar hidup-hidup
bila melanggar dogma-dogma aagma, dibantai seperti binatang, dan para
perempuannya diperkosa. Menghadapi realitas seperti ini para rohaniwan
membangkitkan kesadaran, bahwa manusia, siapa pun dia, sama di mata Tuhan.
Masih diperlukan lima abad untuk
kesadaran para rohaniwan itu menjadi pemikiran yang bisa masuk ke pusat sistem
pemerintahan kekuasaan totaliter. Pada Abad ke-17 filsuf John Locke menyusun
konsep-konsep tentang pemerintahan dengan menggali pemikiran
filsuf-filsuf Stoa Zaman Yunani kuno (500 SM) tentang doktrin hak-hak
bawaan kodrat manusia berakal-budi, di antaranya isogoria (kesamaan hak
berbicara) dan isonomia (kesamaan hak di hadapan hukum).
Pemikiran itu masuk Bill of Rights (rencana
hukum hak-hak warganegara) Inggris pada tahun 1689 dan disahkan Parlemen pada
tahun yang sama. Namun sistem pemerintahan ini baru operatif satu abad
kemudian, setelah 13 negara Amerika memasukkannya ke Declaration of
Independence pada tahun 1776 dan merincinya dalam UUD Amerika
Serikat pada tahun 1789.
Pada akhir Abad ke-18 para filsuf mengubah
dasar hukum bawaan kodrat manusia berakal budi yang bertumpu pada hukum
Tuhan. Dasar baru ini adalah “moralitas umat manusia yang berlaku
universal “. Pengubahan ini di satu sisi bertujuan menghindari campur tangan
politik dogmatik gereja (tanda-tanda menuju ke pemerintahan sekuler) namun di
sisi lain secara tersamar tetap mempertahankan “sifat” Tuhan (moralitas yang
berlaku universal). Pengubahan dasar ini diikuti doktrin:
tidak ada peraturan manusia (termasuk hukum positif ) yang sah bila
bertentangan dengan hukum bawaan kodrat manusia yang berakal-budi. Karena
implisit adalah hukum Tuhan, hukum ini diterima baik oleh kaum bangsawan dan
tentunya masyarakat.
Perkembangan itu umumnya dipahami sebagai
tanda-tanda sudah berkembangnya sistem pemerintahan demokratis di dunia Barat
pada Abad ke-18. Namun pada kenyataannya perkembangan pemikiran ini tidak
sesungguhnya hadir dalam kehidupan sehari-hari. The moral truth tidak
sebenarnya menjadi dasar sistem pemerintahan di Eropa. Kekuasaan totaliter yang
sudah berlangsung berabad-abad tidak tergeser.
Revolusi Industri yang
merupakan salah satu tanda kemunculan dunia modern pada Abad ke-19,
tidak mensejahterkan rakyat. Masyarakat bawah yang umumnya petani
mengalir ke kota-kota untuk menyongsong modernisasi dan memburu harapan
perubahan dengan menjadi buruh. Mimpi ini tidak menemukan kenyataan dan mereka
kembali terperangkap kemiskinan, terutama karena kesenjangan pendidikan dengan
kaum atas. Eksploitasi menerus, dan kesejahteraan kaum buruh—resiko
kematian, pemenuhan kebutuhan primer, jaminan sosial—jauh dari terpenuhi.
Di Abad ke19 ini kesadaran tentang kapitalisme memunculkan paham sosialisme
yang dengan cepat meluas di kalangan bawah Eropa.
Kajian William James tentang besarnya
jumlah pencari kekudusan dan meluasnya melankolia pada Abad ke-19 di Eropa
merupakan tanda-tanda puncak kepahitan pada kehidupan masyarakat bawah di Eropa
menghadapi kekuasaan totaliter yang tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan agama
sebagai institusi. Pada masa ini pula atheisme muncul. Secara masuk akal
bisa dipahami kemarahan pada kekuasaan agama sebagai institusi yang kemudian
berkembang menjadi kemarahan pada Tuhan. Kebudayaan teks yang sudah
berkembang waktu itu membuat penderitaan manusia (kalangan bawah) selama
berabad-abad bisa dirangkaikan dan dikaji. Pembacaan realitas ini yang tentunya
sangat dramatis digunakan untuk mencerca takdir.
Pada aklhir Abad ke 19 itu kalangan atas
yang memegang kekuasaan totaliter masih mencoba mendapatkan kekuasaan lebih
besar lagi. Kalangan ini melahirkan imperialisme. Idealisme di baliknya adalah
membangun pusat kekuasaan di sesuatu wilayah metropolitan yang mempunyai
kekuataan mengatur secara dominan kehidupan di wilayah teritorinya. Gagasannya,
kembali ke kejayaan Imperium Romawi yang menguasai seluruh Eropa dan “berhasil”
membentuk masyarakat homogen Kristen di Eropa, yang tunduk pada sesuatu pusat
otoritas agama.
Percaya pada idealisme itu iindustri yang berkembang kerena kemajuan
teknologi digunakan untuk memproduksi senjata dan peralatan
strategis—transportasi dan peralatan telekomunikasi jarak jauh. Di luar Eropa,
hanya Jepang yang memasuki lingkaran pendukung imperialisme ini.
Imperalisme itu mendasari Perang Dunia
I—menandakan nasib buruk kalangan bawah di Eropa belum berubah pada awal Abad
ke-20. Di awali sengketa Serbia dan Austria pada tahun 1914, perang ini merebak
dan melibatkan kerajaan-kerajaan besar Eropa; Rusia, Inggris, Jerman dan
Prancis—Amerika Serikat terseret ke perang ini pada 1917. Perang itu masih
mengikuti gaya perang Zaman Romawi kendati pakai senjata api. Setiap
negara mengerahkan pasukan infanteri dalam jumlah besar—dengan kekuatan sampai
jutaan orang. Karena tentara profesional cuma mencapai ratusan ribu, terjadi
mobilsasi para petani, buruh pertambangan dan buruh industri yang bukan tentara
profesional. Perang ini kemudian tercatat menelan 10 juta korban tentara tidak
profesional dan merupakan pembantaian manusia terbesar dalam sejarah dunia
Barat.
Perang yang mahal itu lalu menghancurkan
perekonomian kerajaan-kerajaan di Eropa. Dampaknya paling terasa di kalangan
bawah. Rakyat bukan lagi sengsara. Wabah kelaparan berlangsung selama
bertahun-tahun dirasakan. Di Rusia, ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak
perempuan mereka yang masih kecil menjajakan tubuh untuk sepotong roti.
Namun catastrophe itu justru
merupakan titik balik. Ketika perang masih berlangsung terjadi revolusi sosial
di Rusia. Kaum Bolshevik yang perannya tidak besar di parleman, namun menguasai
perserikatan buruh dan petani, memimpin revolusi. Anggota militer yang sebagian
besar berasal dari kaum buruh dan petani dengan segera berbalik melawan Tsar
dan kaum bangsawan. Rakyat yang sengasara merebut harta dan tanah-tanah milik
mereka. Rusia, berubah menjadi negara sosialis.
Ketika Perang Dunia I berakhir pada 1918,
kerajaan-kerajaan di Eropa mulai membentuk pemerintahan demokratis antara lain
untuk mencegah meluasnya pengaruh kaum Bolshevik yang punya simpatisan luas di
kalangan buruh di seantero Eropa. Namun upaya ini tidak mulus karena direcoki
berbagai kepentingan para bangsawan. Kondisi politik di negara-negara
Eropa ini berpengaruh pada penyusunan pernjanjian perdamaian untuk mencegah
berulangnya perang besar. Upaya menggariskan perdamaian gagal dan imperialisme
muncul kembali dua puluh tahun kemudian dan mendasari munculnya Perang Dunia
II.
Imperialisme itu mewarnai juga kolonialisme
Gelombang Ketiga yang dimulai pada awal Abad ke-19. (Gelombang Pertama
“the age of discovery”muncul pada Abad ke-15, Gelombang Kedua “the age of
mercantilism” dimulai pada Abad ke-17). Namun kolonialisme gagal
menjalankan politik imperalis di daerah-daerah koloni karena meghadapi
keragaman agama. Kegagalan ini menunjukkan, sebenarnya bukan kekuasaan Romawi
yang mengkristenkan seluruh Eropa, tapi penderitaan rakyat.
Di Indonesia, politik imperialis ini sudah
gagal sejak awal diterapkan karena pemerintahan kolonial Belanda menghadapi
masyarakat Islam. Seperti pemerintahan di kerajaan-kerajaan Eropa, pemerintah
kolonial Belanda sampai awal Abad ke-20 belum menjalankan pemerintahan
sekuler. Sistem pemerintahan ini masih menempatkan agama (Kristen) dalam
konstitusinya. Di Indonesia konstitusi ini menghadapi kaum bangswan dan
masyarakat yang sama-sama memeluk agama Islam. Ketika terjadi
ketegangan akibat perbedaan agama, muncul solidaritas di antara para
bangsawan dan masyarakat kebanyakan.
Kegagalan politik imperalis itu
“berkembang” menjadi “kesalahan” ketika pendekatan agama diubah menjadi
pendekatan budaya—pada 1883 pemerintah kolonial mendirikan, Instituut voor het
Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) dan Theosophical Society. Pendekatan ini
mencerdaskan kaum bangsawan yang kemudian membentuk kelompok pribumi terididik.
Pemikiran-pemikiran yang membela kalangan bawah di Eropa, mendasari kesadaran
kaum bangsawan membela masyarakat bawah di Indonesia. Sejarawan terkemuka
Sartono Kartodirdjo melihat, inilah saatnya pemerintah kolonial Belanda membuka
Kotak Pandora karena sesudah itu harus menghadapi “keluarnya” rentetan pemberontakan
yang tidak bisa dikendalikan lagi.
Mulai dengan menghadapi persaingan di
lingkungan perdagangan dengan upaya memperjuangkan hak-hak melalui organisasi,
para bangawan mulai berjuang. Mula-mula dengan mendirikan Serikat Dagang Islam
pada 1911. Pada tahun 1912 perserikatan dagang ini diubah menjadi Serikat
Islam, organisasi politik yang melawan politik kolonial Belanda. Seorang
bangsawan penentang feodalisme, Haji Oemar Said Tjokroaminoto mengembangkan
organisasi ini menjadi gerakan nasional.
Ketika genderang Perang Dunia I mulai
ditabuh di Eropa pada tahun 1913, seorang bangsawan Jawa, Soewardi
Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) melontarkan kritik yang
dibingkai sebagai “suara rakyat Kerajaan Belanda”. Sekilas kritik ini
mempersoalkan masyarakat bawah di seluruh Kerajaan Belanda. Namun persoalan
yang sebenarnya diangkat Soewardi Soerjaningrat adalah masalah masyarakat bawah
di Indonesia.
Kritik itu ditampilkan melalui esei “Als Ik
een Nederlander Was.” (Seandainya Aku Seorang Belanda) yang ditulis dalam
rangka menyambut perayaan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina pada tahun
1913 itu—diselenggarakan besar-besaran di Belanda dan seluruh koloni
Belanda. Esei ini disebarkan sebagai pamflet. Isinya yang
mengandung parodi dan sinisme menyinggung kalangan atas masyarakat
Belanda. Soewardi Soerjaningrat ditangkap pada tahun yang sama dan
dibuang ke Belanda. Dalam Sejarah Indonesia peristiwa ini tercatat sebagai
salah satu ketegangan awal yang memunculkan perjuangan menuntut kemerdekaan.
Catatan itu menujukkan perbedaan kontras
kedudukan bangsawan dan agama [Kristiani] pada perkembangan masyarakat di
Eropa, dan, kedudukan bangsawan dan agama [Islam] pada perkembangan masyarakat
di Indonesia. Melihat solidaritas agama merupakan dasar para bangsawan membela
kalangan bawah, bahkan mengantar masyarakat ke kemerdekaan, tidak ada alasan
yang masuk akal bagi masyarakat di Indonesia untuk marah pada agama apalagi
pada Tuhan, seperti terjadi pada masyarakat di Eropa.
Ada sejarah berbeda pada kedua masyarakat.
Karena itu tidak ada konteks yang memungkinkan atheisme pada Abad ke-19
dan perkembangan filsafat sesudahnya meluaskan pengaruhnya di Indonesia.
Sebenarnya Theosophical Society yang mempunyai cabang dan perpustakaan di
berbagai kota di Indonesia menyediakan informasi tentang perkembangan ini dan
menyelenggarakan berbagai program untuk pembahasannya. Namun tidak ada
tanda-tanda pemikiran-pemikiran ini digubris. Pada awal Abad ke-20,
perpustakaan Theosophical Society digunakan sejumlah tokoh seperti Soekarno, Mohamad
Hatta, Mohamad Yamin, Agus Salim, dan, pelukis Soedjojono untuk
menegaskan pemikiran mereka tentang konsep Indonesia.
Ketika pada awal Abad ke-20 pemikiran
tentang modernisasi dunia berdasarkan universalisme, sangat percaya akan
terujudnya modernitas yang homogen di seluruh dunia, Walter Benjamin sudah
melihat kelemahan keyakinan ini. Walter Benjamin mengetengahkan pemikiran yang
ia sebut, “homogeneous empty time of modernity”. Pada pemikiran ini ia
melihat faktor waktu pada proses homogenisasi dunia tidak bisa ditentukan.
Bahkan tidak bisa dibayangkan. Walter Benjamin berpendapat modernitas
homogen adalah sebuah utopia yang teoretis bisa terjadi bila semua aspek
berbeda di seluruh penjuru dunia sudah selesai menjalani proses transgresif
pada modernisasi.
Sekarang ini, proses yang tidak bisa
dibayangkan Walter Benjamin sudah bisa disimpulkan sebagai kemustahilan.
Di dunia pemikiran, sendi-sendi keyakinan tentang homogenitas dunia, sudah
digoyahkan. Dalam kenyataan terlihat pada patahnya pemahaman globalisasi yang
masih saja dibayangi keyakinan tentang akan terjadinya homogenisasi. Perubahan
besar di China, berakhirnya Perang Dingin, membesarnya peran Asia dalam
perekonomian dunia, membuat globalisasi harus dilihat sebagai globalizations.
Pada globalisasi yang plural ini, globalisasi Islam yang terjadi pada dua
dekade terakhir akibat meruyaknya ketegangan Timut-Tengah yang tidak
selesai-selesai sampai sekarang, memunculkan clash of
globalizations.
Pandangan yang melihat the west secara
prejuratif, melihat koflik itu sebagai bentrokan Dunia Kristiani dengan Dunia
Islam. Clash of globalizations ini ditafsirkan juga sebagai clash of
civilizations. Pandangan yang memperhitungkan perkembangan filsafat dan
ilmu pengetahuan akan melihatnya sebagai benturan “dunia ber-Tuhan dengan dunia
tidak ber-Tuhan.” Semua identifikasi ini menunjukkan kesenjangan yang nyaris
tidak mungkin dijembatani. Tercermin pada kegagalan demi kegagalan diplomasi
global untuk mengatasi benturan ini.
Islam dalam konflik itu adalah agama
sebagai institusi. Nyaris tidak ada kesadaraan pada identifikasi kolfik itu
melihat agama sebagai institusi bukan satu-satunya bentuk agama. Tidak ada
tanda-tanda pada identifikasi ini menoleh ke kajian Williaim James dalam The
Vareities of Religious Experience karena gejala meningkatnya jumlah pencari
kekudusan pada Abad ke-19 tidak menjadi catatan penting dalam sejarah. Ketika
atheisme menghantam agama sebagai institusi, para pencari kekudusan ini kena
bidas. Tanda-tandanya yang tercecer pada karya-karya sastra tidak sampai
menurunkan risalah dalam sejarah yang bisa membangunkan kesadaran sekarang ini,
bahwa semua agama membawa tanda-tanda perkembangan yang sama. Dalam totalitas
anti-religious bias menjauhkan kemungkinan munculnya kesadaran bahwa pada
perkembangan Islam ada juga agama personal.
Ungkapan seniman-seniman muslim pada
pameran Flight for Light. Seni rupa Indonesia dan Religiositas ini menunjukkan
gejala yang overlooked itu. Ungkapan mereka menunjukkan internal dynamics pada
agama Islam yang tak ada hubungannya dengan pengambilan posisi menghadapi
ketegangan Timur-Tengah. Internal dynamics ini celah pada kebuntuan
mengidentifikasi clash of globalizations. Religiositas pada ungkapan
seniman-seniman muslim ini, bersama religiositas pada ungkapan yang muncul
berdasarkan agama-agama lain pada pameran ini menunjukkan watak pencari
kekudusan; kembali ke kebaikan—sikap toleran, moralitas yang jauh dari
permusuhan, sikap kritis pada kekerasaan—di tengah meruyaknya ketegangan
sekular karena identitas agama. Di dasar ungkapan para seniman ini ada
pemahaman realitas yang tidak kehilangan dimensi transendesinya.
Jim Supangkat / Kurator.
Sumber:http://mondecor.com/?q=kuratorial/curatorial-jim-supangkat-indonesia#sthash.QLXXK9ic.dpuf
Biodata Jim Supangkat
Jim Supangkat (b.1948) adalah kritikus seni dan kepala kurator CP Foundation di Jakarta. Dia adalah profesor Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung selama dua puluh tahun.Sebagai kurator terkemuka di Indonesia, ia memulai Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia di tahun 1970 dianggap sebagai awal dari wacana seni rupa kontemporer di Indonesia. Dia telah kurasi pameran seni kontemporer internasional di Indonesia termasuk Seni Kontemporer Negara-negara Non-Blok (1995), CP Biennale I (2003) dan CP Biennale II (2005), contemporaneity: Seni Kontemporer di Indonesia pada MOCA Shanghai (2010). Dia telah menulis beberapa buku dan banyak esai memperkenalkan seni kontemporer di Asia dan Indonesia ke dunia seni internasional.Pada tahun 1997, ia menerima Prince Claus Award untuk upaya ini.
Artikel Selanjutnya yang relevan
Lampiran (1)
Belum ada karya “Indonesia “yang
dapat pengakuan dunia"
Tanya jawab antara
Ranang Aji SP (Koran Opini) dan Jim Supangkat, 10 February 2015
Jim Supangkat merupakan kurator seni rupa Indonesia
paling dihormati. Heri Dono bahkan menilainya sebagai kurator terbaik Indonesia
dan internasional yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini. Gagasan dan
pandangannya tentang seni rupa serta kebudayaan secara umum menjadi bagian
penting dalam perjalanan dialektika kebudayaan Indonesia.
Dalam kesempatan wawancara ini, Jim Supangkat
memberikan pandangan-pandanganya seputar isu pasar seni rupa dan eksistensi
seni rupa Indonesia dalam kontestasi kebudayaan dunia.
T: Kami mendengar dari beberapa seniman, pasar seni
rupa sejak booming 2007-2008 terasa sepi. Apakah itu lebih sebagai sesuatu yang
subyektif atau memang reprensentatif ?
J: Ya, betul. Terlihat pada menurunnya secara
drastis aktivitas pameran di galeri-galeri swasta, khususnya di Jakarta.
Pameran-pameran ini kan yang tercatat meramaikan pasar seni rupa.
T: Adakah indikator atau apa yang menjadi
parameternya?
J: Indikatornya ya menurunnya jumlah pameran yang
saya kemukakan tadi. Dampaknya, penjualan karya otomatis turun juga dan pasar
jadi sepi.
T: Menurut Heri Pemad, pasar tidak sepi. Tapi yang
sepi karya yang benar-benar bagus? Anda sepakat ?
J:Kalau yang dimaksud Pemad kegiatan seni rupa
tidak sepi saya setuju. Aktivitas seniman di Yogya dan di Bandung tidak menyurut.
Berbagai art space masih aktif. Aktivitas ini tidak selalu berhubungan dengan
pasar. Kalau pasar dalam arti aktivitas jual-beli ya sepi, menurut saya
kenyataan ini tidak bisa disangkal.
Tapi mungkin
maksud Pemad, para pembeli (kolektor) sebenarnya masih punya dorongan membeli, jadi pasar
sebenarnya masih punya kemungkinan menjadi ramai, tapi para kolektor merasa
tidak ada karya yang bagus. Nah kalau ini memang yang dimaksud Pemad, saya
setuju. Masuk akal kan kalau boom karya seni memunculkan seniman-seniman yang
berorientasi pada pasar. Kita tau kayak apa lah karya-karya mereka dan para
kolektor lama-lama sadar mereka ketipu, kemudian jadi takut ketipu karena
sangat sulit menemukan kejujuran di pasar seni rupa sekarang ini.
T: Boom tentu peristiwa yang luar biasa. Menurut
Anda apakah peristiwa ini hanya semacam eforia kelas kolektor tertentu ? Atau
ada sebuah desain tertentu dengan tujuan tertentu yang disengaja ?
J: Boom karya seni rupa, yang didahului boom
lukisan pada 1980an adalah gejala tidak wajar. Rush pembelian karya itu seperti
cornering di bursa saham. Para pembeli yang panik, tertipu. Sepengetahuan saya
boom karya seni rupa di Indonesia terjadi bukan hasil rekayasa seseorang atau
sekelompok orang. Boom,yang beberapa kali terjadi menurut saya karena ignorance
atau para kolektor salah membaca pasar seni dunia.
T: Boom terakhir 2008 menyisakan kisah-kisah indah
dan juga pilu. Beberapa perisitiwa menjadi hikmah dalam konteks tata kelola
diri. Tetapi di sisi lain membawa
sebagian seniman muda berorientasi ke pasar. Anda melihat seperti apa seniman
kita saat ini?
J: Boom karya seni nggak ada indahnya buat saya
karena terlalu dominan urusan bisnisnya dan selalu diikuti dorongan spekulasi.
Saya tidak pernah tertarik pada seniman yang sepenuhnya berorientasi ke pasar.
Saya tidak terlalu peduli, apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka
pelajari.
Dari dulu sampai sekarang seniman yang betul-betul
membuat karya seni selalu ada, dan biasanya saya berurusan dengan mereka, walau
jumlah seniman yang berorientasi ke pasar barangkali lebih banyak. Jadi kita
tidak bisa mengeneralisasikan pada sesuatu masa semua seniman tiba-tiba
berorientasi ke pasar. Sekarang masih banyak seniman yang sungguh-sungguh
membuat karya, mereka terus berkarya dan setahu saya tidak ngomel apa pasar
jadi sepi atau tidak.
T: Senirupa merupakan tradisi borjuasi dan
aristokrat di Eropa pada masa lalu. Nilai ekonominya tidak sebanding dengan
nilai guna. Untuk menjadi nilai lebih itu St. Sunardi, misalnya, mengatakan
dibutuhkan demistifikasi karya seni agar menjadi nilai tinggi. Artinya
dibutuhkan banyak aspek agar sampai pada nilai itu selain takdir. Menurut Anda
apakah berarti di sini prosesnya menjadi seperti produk barang yang dikemas
dalam sebuah rekayasa iklan agar diterima pasar?
J: Soal tradisi mengoleksi, ceritanya panjang,
Gimana kalau Anda riset sedikit dan cari tulisan saya di berbagai media yang
membahas munculnya komodifikasi karya seni rupa di Amerika pada 1980-an.
Sesudah perkembangan ini pasar seni rupa di mana pun di dunia memang membawa
tanda-tanda negatif bila diukur dari nilai-nilai budaya.
Saya setuju pada gagasan demistifikasi St. Sunardi.
Di Indonesia, image bahwa karya seni rupa adalah barang mahal benar-benar
sebuah mitos. Jadi perlu demistifikasi.
Di Indonesia menentukan apakah sesuatu karya
betul-betul bernilai sangat sulit karena masih kaburnya patolakan-patokan,
walau bukannya tidak bisa. Nah yang perlu diluruskan adalah kepercayaan bahwa
nilai karya seni rupa paralel dengan nilai nominalnya di pasar dan ditentukan
oleh mekanisme pasar yang bisa direkayasa. Ini bukan mitos lagi, ini sudah
omong kosong.
T: Bisa Anda jelaskan bagaimana sebenarnya
kedudukan senirupa kita dalam kebudayaan masyarakat dunia saat ini ?
J: Kalau yang Anda maksudkan ada kemajuan pada seni
rupa Indonesia sehingga sekarang sudah mendapat pengakuan dunia, saya tidak
melihat tanda-tanda ini. Belum ada karya-karya yang mendapat pengakuan dunia.
Karya-karya yang beredar di pasar seni dunia, ya banyak.
Benar, aktivitas seni rupa kita sekarang ini dekat
dengan aktivitas seni rupa dunia. Ini terjadi karena dunia sekarang ini berada
pada era globalisasi, dan pada era ini terjadi banyak perubahan. Terlalu banyak
kalau harus saya uraikan semuanya pada wawancara ini. Tapi beberapa hal bisa
disebutkan.
Di bidang ekonomi negara-negara Barat tidak lagi
dominan pada era globalisasi, selain itu prospek ekonomi di Asia menarik
perhatian pada era ini. Gejala ini berpengaruh dalam hal memperhatikan berbagai
perkembangan di Asia, tidak terkecuali di Indonesia. Yang dulu tidak kelihatan,
sekarang kelihatan. Pasar seni rupa dunia mencerminkan perkembangan ini juga.
Sejak 1990 seniman-seniman Indonesia merasakan
dampak globalisasi dan berbagai perubahannya itu. Ini pintu masuknya
seniman-seniman Indonesia ke forum global. Namun di forum ini ada persaingan
ketat. Dalam pengamatan saya posisi kita belum terlalu baik menghadapi
persaingan ini.
T: Saya berpendapat, Abstrak-Ekspresionisme,
misalnya, (Jackson Pollock) itu diposisikan sebagai panglima politik dalam
medan perang kebudayaan oleh pemerintah Amerika Serikat di masa itu (1950-an).
Pertanyaannya, apakah kita seharusnya berpikir seperti itu, menjadikan
produk senirupa kita panglima dalam
perang kebudayaan global? Kalau iya, apakah kita siap?
J: Ya cerita itu sudah beredar luas, dan menjadi
aib Amerika Serikat sampai sekarang. Harus dicatat ini bukan politik resmi. Ini
politik gelap yang terungkap karena masyarakat membongkar kebusukan dinas
rahasia (CIA dan FBI). Sampai 60-an dinas rahasia ini berkuasa. Dengan
merekayasa phobia komunisme dan phobia perang dingin mereka memasuki ranah
politik, ranah soisial, dan ranah budaya. Kebetulan CIA, FBI berstatus sama
dengan Endownment for The Arts yang lembaga federal juga.
Kita jelas-jelas harus menghindari politik seperti
itu yang lebih buruk dari korupsi. Anda tahu kan paranoia di mana-mana selalu
memunculkan gagasan-gagasan tolol yang celakanya bisa dilaksanakan dengan
menyalah-gunakan kekuasaan. Yang kita perlukan politik resmi yang tidak
pat-gulipat.
Perlu kita catat bukan cuma kapasitas seniman dan
kemajuan karya-karya mereka yang harus kita andalkan. Perlu diperhitungkan
kondisi di mana karya-karya ini muncul. Karya seni berkaitan dengan nilai-nilai
dan bukan dengan kehebatan senimannya. Nilai-nilai ini seharusnya terungkap
melalui art discourses yang melibatkan pembacaan dan akhirnya pengakuan
masyarakat. Proses ini memerlukan infrastruktur budaya.
Infrastruktur itu menurut saya tidak tertalu
abstrak. Prakasa harus diambil pemerintah. Pemerintah, seperti pemerintahan di
mana pun (di negara maju) harus menyusun National Cultural Policy (disusun para
ahli dan bukan pejabat pemerintah atau DPR) untuk menjalankan lembaga-lembaga
kebudayaan negara (museum nasional, galeri nasional, perpustakaan nasional,
pusat-pusat arkheologi dan sejarah, taman-taman budaya di berbagai daerah dan
sebagainya).Jelas kan, bagaimana mau menjalankan lembaga-lembaga kebudayaan
negara kalau tidak punya policy.
Melalui program lembaga-lembaga itu—dilaksanakan
pamong budaya, jangan asal pegawai negeri—bisa tumbuh infraktruktur yang
percaturannya akan melibatkan lembaga lembaga kesenian swasta (perkumpulan
seni, galeri-galeri seni rupa), media massa dan masyarakat. Kondisi ini akan
membantu seniman membuat karya yang “baik dan benar.” Dengan karya-karya ini
berikut art discourses yang menopangnya kita bisa mencoba bermain di forum
dunia.
Sampai sekarang pemerintah kita tidak pernah punya
National Cultural Policy. Depdikbud di semua pemerintahan tidak berani
menyusunnya karena ditakut-takuti seniman, budayawan, dan, orang-orang sok
pinter yang khawatir National Cultural Policy akan menjadi politik seperti
politik di negara komunis yang menyusun definisi kebudayaan, kesenian dan
mengharuskan semua seniman dan masyarakat mengikutinya. Orang-orang ini tidak
sadar bahwa National Cultural Policy ini bukan cuma hak, tapi kewajiban
pemerintah.
Yang sampai sekarang terjadi Depdikbud pada
pemerintahan mana pun menyerahkan tugas dan kewajibannya itu pada seniman dan
budayawan melalui Kongres Kebudayaan yang diselenggarakan reguler. Hasilnya kan
kita tahu. Rekomendasi kongres sebagai hasil diskusi amatiran karena terlalu
banyak kepala, tidak pernah jelas bahkan tidak masuk akal.
T: Sejauh ini, bagaimana perkembangan seni rupa
kita? Adakah sesuatu yang muncul sebagai
representasi, ini lho karya seni Indonesia ?
J: Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini akan
panjang banget untuk sesi wawacancara seperti ini dan akan menjadi terlalu
teknis. Pada dasarnya saya optimistis representasi yang Anda bayangkan bisa
ditegaskan suatu kali. Optimisme ini ditunjang kenyataan, tidak semua seniman
berorientasi ke pasar.
Sumber: http://koranopini.com/tokoh/wawancara/item/3373-jim-supangkat-belum-ada-karya-yang-dapat-pengakuan-dunia
Lampiran (2)
Glosari
Para Penulis Filsafat dan Filsafat Seni di Indonesia
Secara historis, Indonesia kini tak bisa berkelit dari
proses pendefinisian diri oleh subjek-subjek kolonialis gaya baru,
baik dalam ruang sosial, politik, dan ekonomi. Fenomena ini semakin tegas
ketika pembedaan Negara Maju dan Negara Berkembang menjadi salah satu variabel
penting (demi kepentingan ekonomi dan politik), di mana Barat, selalu
diposisikan sebagai pusat.
Ini terjadi karena sebagian elite kita tidak mempunyai
visi geopolitik dan kesadaran historis atas bangsanya sendiri. Kini menjadi
jelas bahwa kita sebetulnya belum merdeka. Meminjam pandangan Karl Jaspers,
kita hanya merdeka dalam arti "hidup" (to live), bukan dalam arti
"ada" (to exist). "Hidup" di sini bermakna pasif dan menjadi
objek, sedangkan "eksis" bermakna aktif dan menjadi subjek.
Dulu para bapak pendiri bangsa kita mempunyai visi
geopolitik dan kesadaran sejarah yang kuat. Misalnya Mohammad Hatta dengan
gagasan sosialnya, Sjahrir dengan sosialis liberal, dan Sukarno dengan
nasionalis kiri. Mereka itu merancang zaman, dalam konteks masa di mana secara
politik gagasan mereka terbentuk, karena mereka mempunyai dua kesadaran
tersebut.
Merdeka, bukan sekedar dalam pengertian
"hidup" (to live), tetapi dalam arti "ada" (to exist) yang
bermakna aktif dan menjadi subjek.
M. Hatta
Mohammad Hatta, pengarang Alam Pikiran Yunani. M.
Hatta dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda, bersama Sutan Syahrir dan
aktivis pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya. Saat dibuang, Hatta menulis
sebuah buku berjudul Alam Pikiran Yunani. Melalui studi terhadap para filsuf
Yunani ini, Hatta memperkenalkan pendahuluan paling awal bagi pemikiran Barat
jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan. Buku Alam Pikiran
Yunani masih digunakan sebagai buku bacaan wajib bagi mahasiswa filsafat di
Indonesia.
Dalam Alam Pikiran Yunani, Hatta menggali pula
pandangan hidup asketisme yang bersumber dari filsuf Barat. Penggalian Hatta
menjadi tonggak baru pemikir Indonesia, yang sebelumnya mengandalkan pencarian
asketisme dari nabi, pahlawan, dan pemikir dari Timur (Asia).
Buku Alam Pikiran Yunani terdiri dari tiga
bagian.Bagian pertama memaparkan paham-paham filosofi sebelum Sokrates. Bagian
kedua mengurai filosofi Yunani Klasik, yaitu ajaran-ajaran Sokrates, Plato dan
Aristoteles. Bagian ketiga menjelaskan filosofi Yunani yang telah berkembang
setelah Aristoteles.
Tan Malaka
Tan Malaka adalah pengarang buku berjudul Madilog
(Materialisme Dialektika Logika). Meski Tan Malaka menola menyebut Madilog
sebagai sebuah falsafah, namun studi ini mengupas mengenai hukum berpikir dan
rasionalisme pemikiran filosofis Barat dengan dengan luas dan mendalam.
Madilog adalah buku yang termasuk paling awal dan utuh
mempertentangkan antara pemikiran filosofis Barat dan Timur. Tan Malaka
menawarkan suatu hukum berpikir berdasarkan filosofis materialisme yang digagas
oleh Karl Marx dan F. Engels.
Berbeda dengan polemik kebudayaan 1930-an antara Sutan
Takdir Alisjahbana dan Soepomo, Ki Hajar Dewantara, dan lainnya, Madilog juga
menolak pemikiran Barat yang dianggap sebagai paham idealisme berdasarkan
keruhanian. Madilog lebih maju dengan membedakan kontradiksi di dalam sejarah
pemikiran Barat dan Timur.
Tan Malaka, pengarang Madilog (Materialisme Dialektika
Logika)
M. Nasroen
Buku M. Nasroen berjudul Falsafah Indonesia (1967),
yang darinya kajian Filsafat Indonesia berasal mula. Tidak banyak yang mengetahui kapan dia lahir, akan
tetapi puncak kariernya ialah ketika ia menjabat sebagai Guru Besar Filsafat di
Universitas Indonesia. Karyanya yang membahas langsung Filsafat Indonesia ialah
Falsafah Indonesia (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967), yang di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dikategorikan sebagai ‘buku
langka’ dengan Nomor Panggil (Call Number) 181.16 NAS f.
Dalam karyanya itu, Nasroen menegaskan keberbedaan
Filsafat Indonesia dengan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) dan Filsafat Timur, lalu
mencapai satu kesimpulan bahwa Filsafat Indonesia adalah suatu Filsafat khas
yang ‘tidak Barat’ dan ‘tidak Timur’, yang amat jelas termanifestasi dalam
ajaran filosofis mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan,
gotong-royong, dan kekeluargaan (hal.14, 24, 25, 33, dan 38).
Bukunya yang hanya setebal 90 halaman itu, sayangnya,
hanya memberikan garis besar, penjelasan umum yang tidak detail, dan masih
membutuhkan penjabaran dan penjelasan yang lebih luas. Kekurangannya itu kelak
disempurnakan oleh generasi pengkaji Filsafat Indonesia berikutnya.
Soenoto
Dia lahir pada tahun 1929 dan merupakan pengkaji
Filsafat Indonesia generasi kedua di era 1980-an. Pendidikan kefilsafatan
pertamakali diperoleh dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Sarjana dan
Magister Ilmu Sosial dan Politik), lalu Vrije Universiteit, Amsterdam (Doktor
Ilmu Sosial dan Politik). Jabatan yang pernah dipegang ialah Dosen Tetap UGM
(sejak 1958), Dekan Fakultas Filsafat UGM (1967-1979), Peneliti Filsafat
Pancasila di Dephankam, Ketua Survei Pengamalan Pancasila di UGM dan Depdagri
RI. Karya-karyanya yang langsung berhubungan dengan kajian Filsafat Indonesia
ialah: Selayang Pandang tentang Filsafat Indonesia (Yogyakarta: Fakultas
Filsafat UGM, 1981), Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia (Yogyakarta:
Yayasan Lembaga Studi Filsafat Pancasila & Andi Offset, 1983), dan Menuju Filsafat
Indonesia: Negara-Negara di Jawa sebelum Proklamasi Kemerdekaan (Yogyakarta:
Hanindita Offset, 1987).
Buku Sunoto berjudul Menuju Filsafat Indonesia (1987),
yang mencoba meluaskan cakupan dari karya rintisan Nasroen.
Dalam ketiga karyanya itu Sunoto menyempurnakan karya
rintisan Nasroen dengan menelusuri tradisi kefilsafatan Jawa dan memberikan
penjabaran yang amat detail tentang tradisi itu. Tentu saja, walaupun karya ini
berhasil menyempurnakan Nasroen, tetapi tetap saja masih memiliki kekurangan, sesuatu
yang sangat diakui Sunoto sendiri. R. Parmono, salah seorang dosen UGM pula,
akan menyempurnakan kekurangannya tadi.
R. Parmono
Lahir pada tahun 1952, R. Parmono menempuh jenjang
pendidikan kefilsafatan di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
(Sarjana Filsafat), lalu setelah lulus pada 1976, dia meneruskan pendidikan di
Program Pasca-Sarjana Jurusan Filsafat Indonesia di UGM pula. Setelah
memperoleh gelar Magister, ia diterima sebagai Dosen Filsafat di UGM, bahkan
pernah menjadi Sekretaris Jurusan (Sekjur) pada Jurusan Filsafat Indonesia yang
dirintisnya bersama-sama dengan Sunoto. Selain mengajar di UGM, dia juga salah
seorang anggota Peneliti Filsafat Pancasila (1975-1979) di Dephankam.
Karya-karyanya yang membahas Filsafat Indonesia ialah: Menggali Unsur-Unsur
Filsafat Indonesia (Yogyakarta: Andi Offset, 1985), Penelitian Pustaka:
Beberapa Cabang Filsafat di dalam Serat Wedhatama (1982/1983), dan Penelitian
Pustaka: Gambaran Manusia Seutuhnya di dalam Serat Wedhatama (1983/1984).
Buku R. Parmono Menggali Unsur-Unsur Filsafat
Indonesia (1985), yang menyempurnakan kajian Sunoto Dalam Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, R.
Parmono menyempurnakan kekurangan kajian Sunoto yang mengkaji sebatas tradisi
kefilsafatan Jawa dengan melebarkan lingkup kajian pada tradisi filsafat Batak,
Minang, dan Bugis. Dalam buku itu pula Parmono mencoba mendefinisi-ulang
istilah ‘Filsafat Indonesia’, sebagai ‘…pemikiran-pemikiran…yang tersimpul di
dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah…’ (hal. iii). Jadi, Filsafat
Indonesia berarti segala filsafat yang ditemukan dalam adat dan budaya etnik
Indonesia. Definisi ini juga dianut oleh pelopor yang lain, Jakob Sumardjo.
Jakob Soemardjo
Nama aslinya Jakobus Soemardjo, dilahirkan di Klaten
pada tahun 1939. Karier kefilsafatannya dimulai ketika ia menulis kolom di
harian KOMPAS, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Suara Pembaruan dan majalah Prisma,
Basis, dan Horison sejak tahun 1969. Sejak tahun 1962 mengajar di Fakultas Seni
Rupa Desain di Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung dalam mata kuliah
Filsafat Seni, Antropologi Seni, Sejarah Teater, daan Sosiologi Seni.
Buku-bukunya yang khusus membahas Filsafat Indonesia ialah: Menjadi Manusia
(2001), Arkeologi Budaya Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002, ISBN
979-9440-29-7), dan Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan
di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan (Yogyakarta: AK Group, 2003).
Dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, Jakob
membahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yang secara kronologis
memaparkan sejarah Filsafat Indonesia dari ‘era primordial’, ‘era kuno’, hingga
‘era madya’. Dengan berbekal hermeneutika yang sangat dikuasainya, Jakob
menelusuri medan-medan makna dari budaya material (lukisan, alat musik, pakaian,
tarian, dan lain-lain) hingga budaya intelektual (cerita lisan, pantun, legenda
rakyat, teks-teks kuno, dan lain-lain) yang merupakan warisan filosofis agung
masyarakat Indonesia. Dalam karyanya yang lain, Mencari Sukma Indonesia, Jakob
pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yang secara radikal amat berbeda
ontologi, epistemologi, dan aksiologinya dari ‘Filsafat Indonesia Lama’.
Definisinya tentang Filsafat Indonesia sama dengan
pendahulu-pendahulunya, yakni, ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar
yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ dari suatu kelompok etnik di
Indonesia. Maka, jika disebut ‘Filsafat Etnik Jawa’, artinya ‘…filsafat [yang]
terbaca dalam cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun
tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya,
dari bentuk rumah Jawanya, dari buku-buku sejarah dan sastra yang ditulisnya…’
(Mencari Sukma Indonesia, hal. 116).
Selain itu dia juga membuat buku yang berjudul
"filsafat seni" yang diterbitkan oleh ITB pada tahun 2000. semua
tulisan di dalam buku ini berasal dari kumpulan artikel-artikel yang setiap
minggu mengisi ruang budaya pada harian pikiran rakyat di bandung. pemikiran
yang dituangkan pada buku ini hanya sebagai pengantar untuk menuju filsafat
seni, walaupun demikian buku tersebut dapat menjadi sebuah referensi bagi
pembacanya.
Analisis
Semua filsuf pelopor tadi mencapai kata sepakat bahwa
definisi Filsafat Indonesia adalah ‘segala warisan pemikiran asli yang terdapat
dalam adat-istiadat dan kebudayaan semua kelompok etnik Indonesia.’ Jadi, semua
produk filosofis sebelum datangnya filsafat asing (Tiongkok, India, Persia,
Arab, Eropa) ke Indonesia, dapat disebut sebagai Filsafat Indonesia. Mereka
menekankan ‘keaslian’ bagi Filsafat Indonesia. Padahal, ‘Filsafat asli
Indonesia’ hanya ada pada saat masyarakat Indonesia belum kedatangan penduduk
asing. Jika Filsafat Indonesia hanya berisi ini saja, maka sungguh betul
miskinlah tradisi filsafat kita.
Definisi yang sangat berkekurangan itu kelak mendorong
lahirnya definisi baru yang digagas oleh Ferry Hidayat, seorang Dosen Bahasa
Inggris di UPN ‘Veteran’ Jakarta, bahwa agar Filsafat Indonesia tidak seperti
katak dalam tempurung, kebal terhadap pengaruh intelektual asing dan ‘suci’
dari unsur filosofis asing, maka scope Filsafat Indonesia harus diperluas,
bukan hanya mengandung segala warisan pemikiran asli yang terdapat dalam
adat-istiadat dan kebudayaan semua kelompok etnik Indonesia, tapi juga segala
pemikiran Indonesia yang terpengaruh oleh antar-koneksi filsafat-filsafat
sejagat.
Memang benar, sebagaimana sering ditunjukkan oleh
penulis buku Filsafat Islam, Persia, Tiongkok, Jepang, Inggris, Jerman,
Amerika, dan lain-lain, bahwa para filsuf menamai kajian mereka dengan sebutan
‘Filsafat Islam’, ‘Filsafat Tiongkok’, ‘Filsafat Jepang’, ‘Filsafat Jerman’,
dst., di samping untuk menegaskan sumbangan komunal dari komunitas tempat
mereka berasal terhadap tradisi filsafat sejagat, juga untuk menunjukkan
kekhasan, otentisitas, identitas, atau fitur distingtif dari filsafat yang
mereka kaji daripada tradisi filsafat lain. Tapi, para filsuf itu tidak
berhenti sampai di situ saja. Mereka kemudian juga mengakui, baik secara
implisit maupun eksplisit, bahwa tradisi filsafat sejagat juga turut memberi
warna-warni dalam struktur filsafat regional mereka.
Driyarkara
Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara SJ (lahir di
Kedunggubah, Kaligesing, Purworejo, 13 Juni 1913 – meninggal di Girisonta,
Ungaran, Jawa Tengah, 11 Februari 1967 pada umur 53 tahun.
Ajaran pokok Driyarkara yaitu "manusia adalah
kawan bagi sesama". Manusia adalah rekan atau teman bagi sesamanya di
dunia sosialitas ini (homo homini socius). Pikiran homo homini socius ini
ditaruh untuk mengkritik, mengoreksi, dan memperbaiki sosialitas preman; sosialitas
yang saling mengerkah, memangsa, dan saling membenci dalam homo homini lupus
(sesama adalah serigala bagi manusia).
Sampai tahun 1951 nama Driyarkara tidak dikenal.
Hampir seluruh waktunya dia gunakan untuk studi secara intensif. Catatan harian
yang ditulisnya sejak 1 Januari 1941 sampai awal tahun 1950 tidak pernah lepas
dari persoalan aktual-mendesak yang dihadapi manusia, khususnya rakyat
Indonesia.
Karya publik awal tulisannya tidak langsung filosofis.
Karya awalnya berupa catatan ringan dalam bahasa Jawa yang dimuat majalah
Praba, sebuah mingguan berbahasa Jawa yang terbit di Yogyakarta. Disusul
kemudian dengan Warung Podjok dengan nama samaran Pak Nala.
Terbitnya majalah Basis tahun 1951 membuka peluang
Driyarkara memperkenalkan ide-idenya ke masyarakat. Mulanya dengan nama
Puruhita, kemudian dengan nama lengkap Driyarkara. Cara penyajiannya bergaya
percakapan, setapak demi setapak membawa pembaca ke permenungan filosofis.
Saat mengasuh Basis, Driyarkara diserahi tugas menjadi
Dekan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Sanata Dharma, embrio IKIP Sanata
Dharma. Pidato pertanggungjawabannya tentang kepentingan pendidikan guru
memperoleh tanggapan luas, dan sejak saat itu (1955) selain dikenal sebagai
filsuf juga seorang ahli pendidikan.
Lewat tulisan, pidato, ceramah, dan kuliah, Driyarkara
memberikan pencerahan proses pencarian jati diri bangsa. Misalnya, ketika
gerakan mahasiswa marak pada tahun 1966, dialah pembela pertama hak mahasiswa
dan pelajar untuk demonstrasi. Di tengah keadaan kritis dan buntu-mentok, dia
tampil dengan gagasan menerobos lewat pemberian makna.
Biografi
Pada tahun 1952, ia mendapat gelar Doktor bidang
Filsafat di Universitas Gregoriana dengan disertasi mengenai Nicolas
Malebrance.
1941-1942, ia sudah mengajar sebagai dosen di
Girisonta.
1943-1946, menjadi pengajar filsafat di Seminari
Tinggi Yogyakarta.
1952-1958, setelah PhD, N Driyarkara menjadi dosen
filsafat di Yogyakarta.
1960-1967, Guru Besar Luar Biasa di Fakultas
Psikologi, Universitas Indonesia
1961-1967, dosen di Universitas Hasanudin, Ujung
Pandang (Makassar)
1962-1967, anggota MPRS
1963-1964, dosen tamu di Universitas St Louis, Amerika
Serikat
1965-1967, anggota DPA
Buku dan tulisan
Driyarkara memang tidak pernah menulis buku.
Driyarkara tidak meninggalkan satu pun karya utuh komprehensif tentang satu
persoalan.
Kalau mau disebut sebagai "buku", mungkin
tulisan tentang filsafat Malebranche, disertasi untuk memperoleh gelar doktor
ilmu filsafat dari Universitas Gregoriana, Roma, tahun 1952. Disertasi itu
berupa manuskrip setebal 300 halaman ditulis dalam bahasa Latin klasik. Naskah
asli disimpan di Roma, tetapi tahun 1954 terbit versi ringkasannya setebal 40
halaman.
Selain disertasi, hampir semua karya Driyarkara berupa
tulisan-tulisan pendek. Isinya komentar tentang persoalan-persoalan hangat pada
zamannya. Tulisan terpanjang berupa pidato pengukuhan gelar guru besar luar
biasa dalam ilmu filsafat pada Fakultas Psikologi UI tahun 1962.
Dengan metode fenomenologi eksistensial, metode yang
dikembangkan Malebranche, persoalan kemanusiaan ditempatkan dalam situasi
bersama masyarakatnya. Driyarkara lewat perenungan kehidupan bangsa-negara
Indonesia terlibat dalam jatuh-bangunnya menjadi Indonesia. Driyarkara
mengamati, mempertanyakan, menggugat, memberi makna, dan menawarkan jalan keluar
yang menerobos.
Beberapa buku kumpulan tulisan dan tentang Driyarkara
- Jejak sebagai pemikir dibukukan dari siaran-siaran radio RRI dan renung filsafatnya dalam buku Pertjikan Filsafat (PT Pembangunan, Jakarta, 1962).
- Kumpulan kuliah-kuliahnya disatukan dalam Filsafat Manusia, Kanisius, Yogyakarta 1969 Cet I dan 1975 Cet II.
- Driyarkara tentang Pendidikan, Driyarkara tentang Manusia, Driyarkara tentang Negara dan Bangsa, Yayasan Kanisius, Yogyakarta 1980.
Sekolah Tinggi
Pada tanggal 2 Februari 1969 (tepat 2 tahun setelah
Driyarkara meninggal), di sebuah ruang tamu di Susteran Theresia Jalan H Agus
Salim, Jakarta, jejak perintisan Sekolah Tinggi Filsafat bernama Driyarkara
dimulai.
Proses pembidanan sebuah sekolah filsafat dilakukan
bersama oleh rekan-rekan almarhum, yaitu Prof. Dr. Fuad Hassan, Prof. Dr.
Slamet Iman Santosa yang mendambakan didirikannya sebuah institut filsafat di
Indonesia yang terbuka untuk umum, berdiri sendiri, dan merupakan pusat yang
mampu menarik dosen untuk lebih memantapkan usaha pengembangan filsafat di
Jakarta. Inilah dies natalis pertama Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di
tahun 1969.
Pendapat Soe Hok Gie, adik Arief Budiman—salah satu
pengagumnya—menyebut Driyarkara sebagai "filsuf dalam arti
sebenarnya". "Dia selalu meragukan postulat, bertanya, menggugat
segala bidang, termasuk tentang dirinya sendiri. Tetapi, dari segala keraguan
itu dia susun kembali satu-satu dan sederhana, sampai tercipta
kepastian-kepastian kecil."
Fuad Hassan menggolongkannya sebagai pemikir yang
selalu risau atas realitas masyarakat, "seorang pekerja keras" kata
Slamet Iman Santoso, filsuf yang tidak memburu popularitas tulis Daoed Joesoef.
Franz Magnis-Suseno SJ, Soerjanto Poespowardoyo, Mudji Sutrisno, Toeti
Heraty—sekadar menyebut beberapa nama—menyatakan Driyarkara bukan hanya guru
besar yang berhasil merangsang minat berfilsafat di Indonesia, tetapi juga
filsuf pertama Indonesia yang menulis filsafat sistematik, tidak hanya sosok
yang menempatkan filsafat sebagai philosophia (cinta kebijaksanaan), tetapi
juga filsafat sebagai kegiatan yang inheren dalam kehidupan sehari-hari.
Pemikir besar Indonesia lainnya, Soedjatmoko, menyebut
Driyarkara pembawa pemikiran filsafat modern. Driyarkara pemberi makna atas
perjalanan kehidupan bangsa Indonesia.
Mudji Sutrisno
BIOGRAFI
Nama Mudji Sutrisno dalam dunia kepenulisan mungkin
sudah tidak asing lagi didengar. Kiprahnya dalam dunia tulis menulis memang
sudah dimulai sejak tahun 1983. Selanjutnya, seolah rutin setiap tahunnya ia
selalu menerbitkan buku. Biasanya buku yang ia terbitkan bergenre non-fiksi
jenis buku filsafat, kritikan-kritikan pada negara dan pemimpinnya.
Pria kelahiran 12 Agustus 1954 ini sempat menjabat
sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum periode 2000-2007. Namun, jabatan yang
banyak diinginkan orang tersebut kemudian dilepas karena ia tak bisa mengajar
dan melakukan kegiatan sosial lain yang selama ini menjadi dunianya di samping
dunia menulis. Doktor Filsafat lulusan Universitas Gregoriana ini tak hanya
piawai di bidang tulis menulis, pendidikan, dan sosial. Namun, ia juga peduli
dengan persoalan kebangsaan yang selama ini dianggap "semrawut" oleh
masyarakat awam. Biasanya, ia memberikan analogi mengenai sesuatu hal yang
dianggap sulit dicerna menjadi hal yang mudah dipahami.
Bagi dosen pascasarjana Universitas Indonesia ini, KPU
bukanlah sesuatu hal yang baru bagi dunianya. Sebelum terpilih menjadi anggota
KPU, ia sempat menjabat sebagai Panitia Pengawas Pemilihan Umum pada tahun
1999. Berkecimpung (sedikit?) di dunia politik, Pria yang dikenal sederhana dan
apa adanya ini sempat mengatakan bahwa presiden SBY hanyalah seorang pendusta.
Ia bertutur bahwa gembar-gembor yang dilakukan oleh presiden tak lain hanyalah
sebuah janji palsu. Sebagai budayawan, pengajar, sosialis, dan penulis, ia
mencontohkan beberapa janji yang sempat dilontarkan oleh presiden, sebagai
contoh pembangunan irigasi di daerah Cikeas serta penanganan konflik Papua yang
hingga kini tak kunjung usai. Pria yang juga dikenal dengan sebutan Romo ini
menambahkan kesangsiannya pada negara dan pemimpinnya sebagai contoh dengan
adanya penambahan posisi wakil menteri yang bertujuan untuk efektifitas kinerja
bangsa. Tak hanya itu, janji-janji yang dilontarkan presiden SBY sebagai bentuk
upaya pengentasan kemiskinan dan pengangguran serta kesejahteraan ekonomi
rakyat nyatanya hingga kini tak segera direalisasikan.
PENDIDIKAN
- Summer
Course Religion and Art Ichigaya Sophia University of Tokyo, Jepang
(1990).
- Universitas
Gregoriana (1986).
- Sekolah
Tinggi Driyarkara Jakarta (1977).
- Seminari
Mertoyudan (1972).
- KARIR
- Dosen
Filsafat Sekolah Filsafat Driyarkara
- Dosen
Pascasarjana Universitas Indonesia
- Wakil
Press dan Anggota PEN (Perhimpunan Penulis, Novelis, Esais, Penyair
Indonesia)
- Lembaga
Sensor Film
- Anggota
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (2005-2006).
- SC
kongres Kebudayaan (2003).
- Anggota
Komite Pemilihan Umum (2001-2003).
PENGHARGAAN
Karya:
- Rumah
Filsafat & Kunci Kebudayaan (2010)
- Ranah-ranah
Kebudayaan (Dalam Esai) (2009)
- Cultural
Studies (2007)
- Driyarkara:
Filsuf yang Mengubah Indonesia (2006).
- Oase
Estetis, Estetika dalam Kata dan Sketza (2006).
- Teks-teks
Kunci Estetika (2005).
- Sejarah
Filsafat Nusantara: Alam Pikiran Indonesia (2005).
- Teori-teori
Kebudayaan (2005).
- Hermeneutika
Pascakolonian, Soal Identitas (2004).
- Sunya
(2004).
- Ide-ide
Pencerahan (2004).
- Humanisme,
Krisis, Humanisasi, (2001).
- Demokrasi,
Semudah Ucapankah? (2000)
- Kebenaran
dan Keindahan dalam Perjuangan Mencari Makna (2000)
- Driyarkara,
Dialog Panjang bersama Penulis (2000)
- Kisi-kisi
Estetika (1999)
- Sari-sari
Pencerahan (1997)
- Agama
Wajah Cerah dan Wajah Pecah (1996)
- Pendidikan
Pemerdekaan (1995)
- Filsafat,
Sastra, dan Budaya (1995)
- Ziarah
Peradaban (1995)
- Langkah-langkah
Peradaban (1994)
- Getar-Getar
Peradaban (1994)
- Nuansa-nuansa
Peradaban (1993)
- Para Filsuf
Penentu Gerak Zaman (1993)
- Estetika;
Filsafat dan Keindahan (1993)
- Kata Jadi
Sapa (1990)
- Zen dan
Fransiskus (1983)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar