Oleh. Prof. Dr. Atmazaki, M. Pd.
Tulisan ini adalah cuplikan buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Atmazaki, yang mengemukakan pentingnya penilaian alternatif dalam pembelajaran. Tentu saja hal ini tidak berlaku hanya untuk penilaian pembelajaran bahasa, sebab pembelajaran lainnya juga memerlukan penilian alternatif seperti yang beliau kemukakan dalam buku ini. Untuk sekedar mengetahui pengertian sistem penilaian ini maka dikemukakan cuplikan yang terdapat pada isi buku tersebut.
Para guru sekarang mulai
tidak puas dengan sistem penilaian tradisional yang menggunakan tes standar.
Mereka mulai frustrasi karena bagaimana mereka mengajar dan bagaimana siswa
belajar tidak sejalan. Apa yang diajarkan (keterampilan berbahasa) dan apa yang
diujikan (pengetahuan keterampilan berbahasa dan aplikasi terbatas) tidak
sejalan. Tes standar, misalnya, sering tidak mencerminkan kemampuan membaca
siswa, hanya mencerminkan sebagian keterampilan membaca siswa. Apalagi, tes
menulis hanya menyusun kalimat-kalimat acak menjadi paragraf melalui tes
pilihan ganda. Tidak mungkin cara seperti itu akan mampu memberikan informasi
yang sesungguhnya tentang penguasaan dan kinerja siswa dalam membaca dan
menulis.
Tekanan atas tanggungjawab terhadap keberhasilan siswa menghadapi
ujian nasional juga mendorong guru untuk fokus pada pembelajaran serba instan
dengan membahas sosl-soal dan cara menebak jawaban. Guru terperangkap di antara
kebutuhan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam berbahasa Indonesia dan
kebutuhan untuk membantu siswa menjawab ujian nasional. Situasi ini jelas tidak
membawa perubahan kultur belajar menjadi lebih terfokus pada keterampilan berbahasa.
Pergeseran pandangan dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teachers-centred learning) ke
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centred
learning) dan perubahan dramatis dalam inovasi metode pembelajaran saat ini
menuntut guru agar penilaian dilakukan secara variatif dan terfokus pada
kinerja siswa. Dalam konteks inilah, penilaian alternatif dapat menjadi solusi dalam
rangka penyesuaian pandangan dan inovasi pembelajaran tadi. Dengan penilaian
alternatif, guru lebih “leluasa” untuk mendapatkan informasi tentang kekuatan,
keberhasilan, dan kelemahan siswa. Informasi itu akan menjadi titik fokus dalam
perbaikan pembelajaran dan peningkatan kinerja siswa.
Dalam kaitan itulah
buku ini diharapkan menjadi solusi, baik bagi calon guru (mahasiswa keguruan)
maupun guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Buku ini diharapkan menjadi model
bagaimana merencanakan, mengembangkan, dan menilai tugas-tugas kinerja siswa
dalam meningkatkan keterampilan berbahasa Indonesia dan mencari solusi
perbaikan pembelajaran.
Penilaian Alternatif dalam Pembelajaran Bahasa
Penilaian
alternatif dalam pembelajaran bahasa berkembang sekitar tahun 2000-an. Sejak
masa itu, gagasan-gagasan tentang pemusatan kegiatan belajar pada siswa (student centered agenda) telah mulai
dimunculkan (Brown, 2004:10. Meskipun masih banyak yang menggunakan penilaian pencil and paper, tetapi untuk
keterampilan lisan, menulis dan open-ended
responses, para guru sudah mulai menggunakan penilaian berbasis kinerja (performance-based assessment). Brown
(2004:251) menyebut penilaian alternatif dengan istilah beyond tests, yaitu penilaian yang dimaksudkan tidak sekadar
menguji (mengetes), tetapi juga meminta siswa untuk melakukan dan bersikap
terhadap pengetahuan dan keterampilan berbahasanya.
Pada masa awal
perkembangannya, penilaian alternatif hanya sebagai suplemen dari penilaian tradisional.
Namun akhir-akhir ini, bentuk penilaian alternatif telah berkembang dengan
pesat untuk menilai keterampilan berkomunikasi (berbahasa) siswa. Bahkan,
Kurikulum 2013 diimplementasikan dengan gagasan penilaian alternatif atau
otentik
Meskipun
menggunakan istilah yang berbeda-beda, pada dasarnya penilaian alternatif dalam
pembelajaran bahasa memiliki karakteristik yang sama. Hamayan (1995)
mengemukakan lima karakteristik penilaian alternatif untuk pembelajaran bahasa,
sebagai berikut.
Pertama, adanya kedekatan hubungan
antara hasil penilaian dengan realitas berbahasa atau komunikasi. Penilaian alternatif
menghendaki materi penilaian yang otentik sehingga siswa langsung menggunakan
bahasa sebagaimana terjadi dalam kehidupan sehari-hari (situasi otentik).
Kedua, penilaian alternatif mengedepankan
pandangan yang lebih holistik terhadap bahasa. Dengan menggunakan penilaian alternatif,
guru semakin memperhatikan hubungan antarunsur bahasa, yaitu fonologi, tata
bahasa, dan kosa kata. Selain itu, keempat keterampilan berbahasa—mendengarkan,
berbicara, membaca, dan menulis—merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan
terpadu dalam pembelajaran bahasa.
Ketiga, dengan menggunakan penilaian alternatif,
pembelajaran terlihat lebih terpadu dengan penilaian. Keterpaduan antara
keterampilan (skill) dan kemampuan (abilities) dalam pembelajaran akan lebih
terlihat dengan menggunakan penilaian alternatif. Melalui prosedur penilaian alternatif,
guru lebih mungkin untuk mengukur kemahiran berbahasa siswa dalam subjek tertentu.
Keempat, penilaian alternatif
memungkinkan guru untuk menyeimbangkan perkembangan siswa dari segi kognitif,
sosial, dan akademik. Bentuk ini memadai untuk menyesuaikan tes dengan
kebutuhan dan level siswa sehingga guru dapat mengetahui bagaimana perkembangan
bahasa siswa secara lebih akurat dalam kehidupan sehari-hari.
Kelima, penilaian alternatif
memungkinkan guru untuk melakukan penilaian dengan acuan ganda (multiple referencing). Adanya keraguan
penganut psikometrik terhadap penilaian yang kurang reliabel akan dapat
dipecahkan dengan penilaian alternatif karena banyak sumber dapat digunakan
untuk menentukan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran.
Secara ringkas, Brown (2004:252) mengemukakan
dua belas karakteristik penilaian alternatif dalam pembelajaran bahasa yang mengacu
pada penggunaannya di berbagai bidang.
- Penilaian alternatif menghendaki siswa untuk menampilkan, menciptakan, dan menghasilkan atau melakukan sesuatu. Dalam pembelajaran bahasa, semua aktivitas berbahasa yang diamanatkan kurikulum adalah objek penilaian alternatif.
- Dalam pelaksanaannya, penilaian alternatif menggunakan konteks dunia nyata atau, paling kurang dalam bentuk simulasi. Hal ini berarti bahwa tugas-tugas keterampilan berbahasa yang diberikan guru bukanlah tugas yang terpisah dari kehidupan sehari-hari, melainkan aktivitas berbahasa berbasis konteks seperti bercakap-cakap, bercerita, mengarang, berpidato, berceramah, dan sebagainya.
- Penilaian alternatif tidak menggangggu proses belajar mengajar karena dapat dilakukan secara bersamaan. Penilaian alternatif dapat menjadi bagian dari proses belajar-mengajar.
- Penilaian otentik membuat guru dapat menilai siswa tentang apa yang mereka lakukan secara normal setiap hari. Aktivitas berbahasa yang menjadi objek penilaian alternatif adalah kegiatan berbahasa normal, tidak dibuat-buat, tidak dihafal, tetapi aktivitas berbahasa spontan, meskipun dalam pelaksanaannya guru menetapkan topik-topik yang akan dijadikan topik berbahasa.
- Tugas-tugas yang dikerjakan oleh siswa dalam penilaian alternatif menunjukkan aktivitas belajar yang bermakna. Dalam mengarang, misalnya, guru menugaskan siswa membuat karangan yang lengkap seperti membuat berita, membuat esai, membuat surat, membuat laporan, dan sebagainya. Dalam penilaian alternatif, guru tidak menugaskan siswa membuat sebuah kalimat, paragraf deskripsi, narasi, dan sejenisnya.
- Penilaian alternatif terfokus pada proses dan produk sekaligus. Selain produk berupa karangan atau pembicaraan, penilaian alternatif juga memperhatikan proses, yaitu bagaimana merencanakan, melakukan, dan merefleksinya. Sebuah karangan tidak mungkin langsung “jadi”, apalagi bagi siswa yang sedang belajar. Jadi, bagaimana siswa berlatih sampai menghasilkan sebuah karangan, misalnya, juga menjadi objek penilaian.
- Penilaian alternatif memungkinkan guru untuk menilai kemampuan berpikir tingkat tinggi dan keterampilam pemecahan masalah. Hal ini terkait dengan apa yang disebut sebagai “kegiatan berbahasa yang bermakna”, yaitu berpikir dan memecahkan masalah. Berbahasa identik dengan berpikir; berpikir identik dengan memecahkan masalah. Ketika seorang siswa diminta memikirkan bagaimana cara mengkonversi sebuah cerita prosa menjadi teks drama, misalnya, ia sekaligus memecahkan masalah bentuk dan gaya bercerita kedua teks yang berbeda itu.
- Hasil penilaian otentik menyediakan informasi tentang kekuatan dan kelemahan siswa. Oleh karena kegiatan berbahasa yang dituntut adalah yang realistis sebagaimana dilakukan orang dalam kehidupan sehari-hari, guru akan mendapatkan informasi tentang seberapa baik siswa telah belajar dan berlatih dalam berbahasa.
- Penilaian alternatif akan sensitif secara multikultural jika dilaksanakan secara benar. Komunikasi antaretnis dan antarbudaya akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan seperti kondisi Indonesia dan itu akan berpengaruh pembelajara bahasa Indonesia. Setiap etnis mempunyai bahasa daerah masing-masing sehingga akan berpengaruh ketika mereka menggunakan bahasa Indonesia. Seberapa besar atau kecil pengaruh masih melekat pada gaya berbahasa seorang siswa sebesar atau sekecil itulah sensitivitas etnis dan kultural itu.
- Dapat dipastikan bahwa yang memberikan skor atau nilai dalam penilaian alternatif adalah orang (pendidik) bukan mesin. Mesin hanya dapat menunjukkan “Benar” atau “Salah” jawaban seorang siswa, tetapi orang dapat menunjukkan apa yang salah dan mengapa sampai salah serta bagaimana memperbaiki kesalahan itu. Hal ini menunjukkan bahwa sentuhan kemanusiaan ada di dalam penilaian alterntif. Sentuhan ini akan menjadi catatan-catatan reflektif di akhir penilaian.
- Penilaian alternatif akan mendorong guru untuk membuka kriteria standar dan peringkat yang diacu siswa. Agar siswa memahami apa yang akan dilakukannya, kriteria penilaian harus diberitahukan kepada siswa sebelum melakukannya.
- Oleh karena siswa harus “tampil”, guru diharapkan (bahkan dipaksa) agar melaksanakan pembelajaran dengan cara baru dan lebih baik. Cara baru yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah pusat belajar tidak lagi pada guru, tetapi pada siswa. Dalam pembelajaran bahasa, guru tidak lagi berceramah di depan kelas, tetapi menfasilitasi agar siswa yang “berceramah”.
Penilaian alternatif akan mendorong siswa merefleksi diri karena harus
menampilkan keterampilan berbahasanya. Hasil yang diukur pun adalah yang signifikan,
tidak sekadar hasil berupa pengetahuan kebahasaan. Siswa juga mendapat
kesempatan untuk menilai keterampilan berbahasanya sendiri dan temannya
sehingga tersedia kesempatan untuk bekerja secara mandiri dan kelompok kecil.
Oleh karena aktivitas penilaian otentik cenderung kurang formal, siswa akan
terdorong untuk melanjutkan aktivitas belajar di luar ruang lingkup penugasan.
Pada akhirnya, penilaian alternatif membuat penilaian sama pentingnya dengan
kurikulum dan pembelajaran (http://www.aurbach. com/alt_assess.html).
Berbeda dengan tes
standar yang biasanya menghasilkan skor yang tidak dapat bermakna dengan
sendirinya, informasi dari penilaian alternatif mudah dipahami dan
diinterpretasikan (Hamayan, 1995). Informasi dari penilaian alternatif
mempunyai banyak manfaat.
Bagi siswa, penilaian alternatif memungkinkan mereka
untuk mengetahui prestasi sendiri sehingga dapat memahami dan mengasumsikan
tanggung jawab belajar mereka. Bagi orangtua, hasil penilaian alternatif
memungkinkan mereka berbagi dalam proses pendidikan dan mengetahui apa yang
dilakukan anaknya di sekolah. Bagi guru, penilaian alternatif memungkinkan
mereka mendapatkan data tentang siswa dan membuat keputusan dalam kelas.
Bahkan, bagi kepala sekolah, hasil penilaian alternatif dapat dijadikan bahan
pertimbangan untuk menilai kinerja para guru. Manfaat-manfaat tersebut menempatkan
penilaian alternatif sebagai model saat ini.
Jika Anda seorang instruktur
renang yang mengajarkan keahlian yang dibutuhkan untuk menjadi seorang
perenang yang handal, maka Anda tidak akan menilai kinerja peserta pelatihan
dengan tes pilihan ganda. Anda harus membawa mereka ke kolam renang, meminta mereka
untuk berenang. Walaupun ini keterampilan atletis, namun prinsipnya juga
berlaku untuk mata pelajaran akademik. Guru dapat mengajarkan siswa bagaimana
melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan bahasa, matematika, sejarah, dan
sains, tidak hanya mengetahui ketiganya. Kemudian, untuk menilai apa yang
telah dipelajari siswa, guru dapat meminta mereka melakukan tugas-tugas yang
"meniru tantangan" yang dihadapi dengan menggunakan bahasa,
matematika, merekonstruksi sejarah, atau melakukan penyelidikan ilmiah dalam
kehidupan sehari-hari.
|
Prinsip-Prinsip Penilaian Alternatif
Ketika
diharuskan memilih seorang sopir dari dua pilihan calon yang tersedia dengan
kriteria, (1) calon sopir yang lulus tes tertulis (pengetahuan rambu-rambu),
tetapi gagal tes mengemudi; (2) calon yang gagal dalam tes tertulis tetapi
lulus dalam tes mengemudi, Anda memilih yang pertama atau kedua? Kalau saya
akan mencari orang ketiga, yaitu yang lulus tes tertulis dan tes mengemudi.
|
Di dalam konsep penilaian alternatif tercakup prinsip-prinsip keterpaduan
antara pembelajaran dan penilaia, langsung mengukur keterampilan, terkait
dengan prinsip kebermaknaan dalam konstruktivisme, ketersediaan berbagai
alternatif dalam penilaian.
Keterpaduan Proses Pembelajaran dan Penilaian
Penilaian alternatif mendorong keterpaduan pembelajaran dan penilaian. Kedua
kegiatan ini bukanlah dua hal yang terpisah, yang satu (pembelajaran) lebih
dahulu daripada yang lain (penilaian). Tugas-tugas yang diberikan guru kepada
siswa dalam pembelajaran dapat langsung dijadikan sumber informasi untuk
sekaligus menilai kemampuan siswa.
Dalam model penilaian tradisional dibedakan antara aktivitas pembelajaran
dan penilaian. Sebelum dilakukan penilaian, guru memberikan bermacam-macam
aktivitas kepada siswa berupa latihan dan tugas-tugas. Latihan adalah kegiatan
untuk meningkatkan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran, sedangkan tugas
adalah kegiatan menerapkan apa yang telah dikuasai siswa dalam kehidupan nyata.
Setelah kedua hal itu dianggap cukup, guru menguji untuk memberikan penilaian.
Dalam model penilaian alternatif tidak dibedakan blok waktu pembelajaran
dan blok waktu penilaian. Tugas-tugas pembelajaran langsung digunakan untuk
mengukur penguasaan siswa terhadap materi pelajaran. Tugas-tugas yang diberikan
merupakan tugas-tugas yang otentik sehingga siswa langsung diminta untuk
menerapkan pengetahuan dan keterampilannya sebagai wahana untuk belajar. Oleh
sebab itu, siswa tidak merasa terbebani ketika mengerjakan tugas-tugas otentik
karena mereka merasa sedang belajar, tidak sedang dinilai. Proses ini merupakan
suatu keuntungan dalam penilaian alternatif karena siswa tidak disibukkan
(ditakutkan?) oleh kata “ujian”, sesuatu yang biasanya memberikan tekanan (stress) kepada siswa.
Sebagai contoh, ketika mempelajari topik menulis artikel, siswa diminta
mempelajari contoh-contoh artikel sebagai model dan menemukan karakteristik
sebuah artikel, sedangkan guru memfasilitasi kegiatan tersebut dengan
menyediakan contoh-contoh artikel dan teori-teori yang terkait dengan penulisan
artikel. Setelah itu, siswa menulis sebuah artikel sebagai hasil dari proses
belajarnya. Hasil itu langsung menjadi bahan penilaian untuk menentukan seberapa
mampu mereka dapat menerapkan konsep-konsep tentang menulis artikel.
Mengukur secara Langsung
Sudah lumrah dalam penilaian tradisional bahwa guru kurang atau bahkan
tidak mengetahui sama sekali apakah pengetahuan siswa dapat diterapkannya dalam
kehidupan sehari-hari dengan baik. Apakah skor tinggi berkorelasi tinggi (dapat
dijadikan bukti) pula dengan kemampuannya menggunakan pengetahuan itu dalam
kehidupan nyata? Pada satu sisi dapat dijawab “ya” karena mereka mampu menjawab
semua pertanyaan dengan baik. Ada bukti bahwa siswa mampu, tetapi itu adalah
bukti yang tidak langsung, yaitu hanya bukti di dalam kelas.
Guru yang bijaksana menginginkan siswanya benar-benar mampu membuktikan
bahwa pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya dapat diterapkannya
selama masih bersekolah. Andaikan guru percaya bahwa skor tinggi berkorelasi tinggi
(melalui penilaian tradisional) pula dengan kenyataan setelah lulus ujian,
jangan-jangan guru kecewa nantinya. Oleh sebab itu, penilaian yang dilakukan
hendaknya dapat memberitahu guru bahwa siswanya
dapat menerapkan apa yang telah mereka pelajari dalam situasi yang
otentik selama mereka masih dalam “seragam sekolah”.
Jika seorang siswa sukses pada tes pengetahuan sastra, guru mungkin
menyimpulkan bahwa mereka juga mampu mengaplikasikan pengetahuan itu dalam
menulis kritik sastra. Akan tetapi, kesimpulan itu akan semakin valid apabila
guru meminta siswanya langsung menulis
kritik sastra. Bukti langsung ini tidak hanya berguna bagi guru untuk menilai
kinerja siswa, tetapi akan lebih berguna bagi siswa sebagai unjuk kerjanya
terhadap guru dan orangtua. Bahkan, kemampuan itu akan menjadi modal ketika
mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau ketika harus
masuk ke dunia kerja. Artinya, “calon pekerja” telah menyediakan bukti bahwa
mereka mampu bekerja di bidang yang dipilihnya, tidak sekadar memiliki skor
yang tinggi pada suatu pengetahuan, walaupun skor itu juga perlu sebagai
petunjuk terhadap wawasan calon pekerja (lulusan).
Aplikasi Belajar Konstruktif
Hasil belajar haruslah bermakna (meaningful).
Konsep ini dikemukakan oleh David Ausubel dalam bukunya Assimilation Theory (Ausubel, 1978). Ia membedakan dua jenis
belajar, yaitu belajar hafalan (rote
learning) dan belajar bermakna (meaningful
learning). Belajar hafalan terjadi ketika siswa sedikit sekali atau tidak
berupaya untuk mengaitkan konsep dan proposisi baru dengan konsep dan proposisi
yang telah diketahuinya. Dengan kata lain, guru kurang berusaha atau tidak
berusaha sama sekali mengaitkan sesuatu yang telah dipelajari (pengetahuan yang
diperoleh siswa) dengan struktur kognitif (apa yang dialami siswa dalam
kehidupan sehari-hari). Sementara itu, belajar bermakna terjadi ketika siswa
selalu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah ada; apa yang
dipelajarinya ditempatkan dalam struktur kognitifnya (pengetahuan yang sudah
ada) sehingga mampu melakukan sesuatu yang diketahuinya itu dalam kehidupan
nyata (Novak, 2011).
Konsep belajar bermakna itu merupakan ide dari
belajar konstruktivisme, yaitu membangun (menempatkan) pengetahuan baru di atas
kerangka pengetahuan lama. Menurut Novak, ketika prinsip konstruktivisme
diterapkan dalam kelas, tingkat penguasaan siswa akan semakin tinggi dan
kemampuan menggunakan pengetahuan dan ketrampilan di dalam kehidupan nyata
semakin bermakna. Siswa harus dilatih membangun makna dari pengetahuan yang
diperolehnya.
Berdasarkan konsep belajar bermakna, penilaian
hasil belajar tidak cukup hanya dengan meminta siswa menyebutkan pengetahuan
baru yang dipelajarinya dan mengulang informasi yang telah diterima. Mereka
harus mampu menunjukkan bahwa pengetahuan baru itu juga bermakna dalam
kehidupannya. Dengan demikian, tugas-tugas otentik tidak hanya berfungsi
sebagai penilaian, tetapi juga sebagai kendaraan untuk belajar (Muller, 2012).
Setiap penulis mempunyai gaya sendiri dalam memulai dan menutup tulisannya
meskipun esensinya sama. Setiap pembicara mempunyai gaya sendiri ketika
berpidato atau berceramah meskipun isinya sama. Kita mempunyai cara dan gaya
yang berbeda dalam banyak hal. Cara dan gaya yang beragam pada satu sisi
mungkin merupakan kelemahan, tetapi pada sisi lain adalah kekuatan. Manusia
diciptakan tidak sama, tetapi ada kekuatan dalam perbedaan itu.
Menyadari hal itu, guru tidak perlu menuntut kesamaan kinerja pada siswa.
Setiap siswa mempunyai cara tersendiri dalam menunjukkan apa yang telah dipelajarinya. Semua cara itu bisa saja benar sesuai dengan
kriteria yang telah ditetapkan. Menurut Muller (2012), penilaian tradisional tidak
memungkinkan banyak variasi bagi siswa untuk mendemonstrasikan pengetahuan dan
keterampilan yang telah dipelajari. Memang ada kekuatan tes, yaitu memastikan
semua siswa dapat dibandingkan dengan domain yang sama dan dengan cara yang
sama sehingga meningkatkan konsistensi dan keterbandingan ukuran. Akan tetapi,
tes tradisional memperlakukan siswa secara sama, baik mereka yang mampu
menjawab dengan tepat ataupun yang tidak mampu menjawab dengan tepat; tidak ada
pilihan untuk mendemonstrasikan apa yang telah dipelajari sesuai dengan
kemampuan mereka.
Model penilaian alternatif, memberi kesempatan kepada siswa untuk
menunjukkan pengetahuan dan ketrampilannya kepada guru dengan banyak pilihan. Tugas-tugas
otentik cenderung memberi lebih banyak kebebasan pada siswa untuk
mendemonstrasikan sesuatu yang telah mereka pelajari. Oleh karena itu, dalam memberi penilaian
dianjurkan untuk menggunakan beragam model penilaian sehingga diperoleh informasi
dengan jumlah yang memadai dan menggunakan ukuran yang cukup bervariasi.
Namun
demikian, guru perlu berhati-hati mengidentifikasi kriteria kinerja yang baik untuk
setiap tugas otentik; membuat berbagai kriteria untuk setiap kinerja yang
berbeda sehingga siswa dapat mengungkapkan kinerjanya dalam berbagai modus.
Mungkin ada siswa yang ingin menyampaikan pikirannya dalam bentuk karangan; ada
siswa yang ingin mengungkapkan pikirannya dalam bentuk poster. Dalam
tugas-tugas otentik presentasi, misalnya, mungkin ada siswa yang tampil dengan powerpoint, ada yang ingin tampil dengan
chart atau poster. Biarkan dan beri
ruang untuk itu, tapi siapkan rubrik penilaian yang relevan.
Prof. Dr. Atmazaki Dt. Mongguang Sati, M.Pd. dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBSS Universitas Negeri Padang, lahir di Batuhampar, Limapuluhkota, Sumatera Barat tanggal 24 Agustus 1959, anak ke-3 dari 8 bersaudara dari Ibunda Kamsiah dan Ayahanda Said Khudri (alm).
Penyunting Ahli pada beberap jurnal ilmiah, antara lain, Forum Pendidikan, Jurnal Pembelajaran, Pelangi Sastra, Tabuik, dan Language Society and Culture International Internet Journal. Menulis tentang bahasa, sastra, seni, dan pembelajaran, baik berupa buku, artikel jurnal, dan koran, makalah seminar, dan lain-lain.
Menikah dengan Dra. Prima Nelita, Pengawas SMP/SMA Dinas Pendidikan Pendidikan Kabupaten Padangpariaman; dikurniai 3 orang anak: Ivan Atmanagara (1984), Arief Pratama (1986), dan Jeihan Nabila (1991).
Alamat: Kompleks Singgalang Blok A 10/11 Padang,
telepon (0751) 481520;
Email: a-zaki@ranahminang.net; atmazaki2002@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar