Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Jumat, 07 Januari 2011

Orientasi Baru dalam Pengajaran Bahasa Indonesia: Berbahasa secara Kreatif dan Kritis

New Orientation in Teaching Indonesia Language: Speaking in Creative and Critical
Oleh
Prof. Dr. Atmazaki, M.Pd
FBSS Universitas Negeri Padang 

(di posting tanggal 7 Januari 2011)

Pendahuluan
Pengajaran bahasa Indonesia memunyai kedudukan dan makna yang strategis dalam sistem pendidikan Indonesia, tidak saja karena bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar di dalam pendidikan, tetapi juga karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional atau bahasa persatuan[1]. Hal itu memberi makna bahwa pengajaran bahasa Indonesia yang berhasil tidak saja memudahkan proses pendidikan tetapi juga berdampak pada semakin eratnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Pendidikan bahasa Indonesia yang bermutu akan sangat berdampak pada mutu pendidikan nasional dan kekentalan persatuan nasional[2].
Kedudukan dan dampak positif yang dapat ditimbulkan oleh pendidikan dan pengajaran bahasa Indonesia yang bermutu tersebut mengharuskan para ahli dan praktisi pengajaran bahasa Indonesia untuk terus mencari orientasi baru agar mutu itu tercapai. Kalau para ahli itu dapat diidentifikasi sebagai dosen-dosen bahasa Indonesia LPTK dan praktisi itu adalah guru-guru bahasa Indonesia di sekolah dasar sampai sekolah menengah maka kerjasama kedua kelompok itulah yang harus mengambil inisiatif untuk menemukan orientasi baru tersebut. Namun demikian, kerjasama dengan ahli dan praktisi bidang ilmu yang lain juga diperlukan karena proses pendidikan dan pengajaran bahasa tidak dapat dilepaskan dari psikologi, sosiologi, pedagogi, dan lain-lain.




Akhir-akhir ini semakin banyak gugatan terhadap pendekatan tradisional dalam pengajaran bahasa. Pendekatan seperti: pendekatan tata bahasa (grammar approach), metode langsung (direct method), dan metode terjemahan (translate method) dianggap tidak mampu meningkatkan kemampuan berbahasa siswa, kecuali menambah pengetahuan bahasa mereka. Seiring dengan munculnya pendekatan terbaru pada tahun 70-an yang dipelopori oleh Del Hymes, kekecewaan dan tudingan kegagalan terhadap pendekatan tradisional semakin meningkat dan harapan terhadap pendekatan baru semakin tinggi[3]. Sejak itu bermulalah apa yang saat ini dipandang sebagai pendekatan terbaik dalam pengajaran bahasa, yaitu pendekatan komunikatif (communicative approach).
Orientasi baru dalam pendidikan dan pengajaran bahasa Indonesia, yang dimaksudkan dalam artikel ini, tidak hanya dengan meninggalkan pendekatan tradisional dan menggunakan pendekatan komunikatif, tetapi juga pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa berbahasa secara kreatif dan kritis, lebih daripada sekadar mampu berkomunikasi. Pengajaran bahasa dengan orientasi baru ini memungkinkan siswa berbahasa secara lancar (proficiency). Lancar berbahasa inilah yang seharusnya menjadi sasaran akhir dalam  pengajaran bahasa Indonesia.
Artikel ini akan mengemukakan suatu pendekatan pengajaran bahasa yang memungkinkan siswa berbahasa secara lancar. Pembahasan akan dimulai dari situasi pengajaran bahasa Indonesia beberapa tahun terakhir, dilanjutkan dengan landasan teori tentang profeciency oriented (pendekatan komunikatif yang kreatif dan kritis), dan diakhiri dengan bentuk proses belajar mengajar bahasa yang memungkinkan siswa berbahasa secara kreatif dan kritis.

Situasi Pengajaran Bahasa Indonesia Saat ini
Kehadiran kembali guru-guru bahasa Indonesia ke kampus (LPTK) untuk mengikuti program penyetaraan S1, sekurang-kurangnya, mengisyaratkan dua hal. Pertama, keinginan itu merupakan suatu isyarat bahwa mereka merasa belum puas dengan unjuk kerja mengajar selama ini. Mereka menginginkan agar ilmu-ilmu terbaru tentang pengajaran bahasa Indonesia dapat mereka serap untuk diterapkan di sekolah. Kedua, kampus masih dianggap sebagai labor yang tepat untuk mengembangkan pendekatan dan metode pengajaran bahasa. Meskipun Dinas Pendidikan sering melaksanakan penataran dan pelatihan untuk guru bahasa, tetapi belajar di LPTK masih dianggap penting dalam upaya memperbaharui pengetahuan dan keterampilan mengajar, walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa tujuan sampingan dari kembali ke kampus itu adalah untuk mendapatkan âkesarjanaanâ (sekadar ijazah).
Bagi dosen-dosen LPTK, kembalinya guru-guru ke kampus merupakan sumber informasi yang kaya untuk mengetahui bagaimana situasi pengajaran bahasa Indonesia di sekolah. Dalam artikel ini, informasi itu dijadikan sebagai bahan renungan dan sekaligus latar belakang.
Sejak tahun 1995, lebih kurang sudah 1000 orang guru bahasa Indonesia yang mengikuti program penyetaraan di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBSS Universitas Negeri Padang[4]. Pengalaman mengelola,  mengajar, dan berdiskusi dengan guru bahasa Indonesia selama 5 tahun itu membuahkan suatu gambaran kenyataan yang dapat diringkas dalam catatan refleksi di bawah ini.
Menurut dosen LPTK:
Mutu pengajaran bahasa Indonesia sering menjadi sorotan para pengajar di perguruan tinggi (LPTK). Pada umumnya mereka mengatakan bahwa mutu pengajaran bahasa Indonesia masih rendah, baik mutu hasil belajar maupun mutu proses belajar-mengajar. Kesimpulan yang demikian diiringi dengan berbagai alasan baik dari segi guru, siswa, maupun bahan ajar. Para ahli cenderung menuduh orientasi mengajar guru sebagai penyebab rendahnya mutu pengajaran bahasa Indonesia. Mereka menuduh, guru lebih banyak mengajarkan tata bahasa dibandingkan melatih siswa berbahasa.
Berkaitan dengan mutu guru dikemukan bahwa sebagian besar guru belum mampu menerjemahkan kurikulum dengan baik sesuai dengan hakikatnya sebagai âsejumlah pengalaman belajar yang harus diberikan kepada siswa sehingga siswa menguasai esensi muatan kurikulum.â Di dalam proses belajar-mengajar, guru yang demikian membaca kurikulum hanya sebagai sebuah buku yang berisi topik-topik atau butir-butir yang harus diajarkan kepada siswa sebagaimana adanya sehingga, di samping bersifat teoritis, yang terjadi di kelas adalah komunikasi satu arah. Guru menjelaskan materi pelajaran (teori bahasa dan teori keterampilan berbahasa) dan siswa mendengar penjelasan itu.
Menurut guru bahasa Indonesia:
Orientasi guru yang lebih terarah kepada aspek tata bahasa (teori-teori kebahasaan) disebabkan karena kurangnya waktu untuk pelajaran bahasa Indonesia, sedangkan materi kurikulum terlalu banyak dan padat. Proses belajar mengajar yang exam-oriented itu disebabkan oleh ketakutan bahwa siswa tidak lulus dalam ujian (CAWU, Naik Kelas, UAN/NAS, dan SPMB) nanti yang, memang, soalnya lebih banyak teori kebahasaan dibandingkan keterampilan berbahasa. Sementara itu, banyak sekolah yang menilai kesuksesan guru berdasarkan jumlah siswa yang lulus dalam berbagai ujian tersebut.
Observasi penulis:
Ketika kurikulum dipahami sebagai buku yang berisi butir-butir  pembelajaran, maka kurikulum sama saja dengan buku ajar atau bahan pelajaran. Sebagai bahan pelajaran, topik-topik yang tercantum di dalam kurikulum diajarkan kepada siswa dan kalau siswa sudah mengerti dan mampu menghafal topik dan beberapa perincian dari topik itu maka dianggap bahwa kurikulum itu telah selesai diajarkan. Pada umumnya, guru tidak mau (atau tidak mampu?) berusaha lagi agar topik-topik itu didekati, dikembangkan sebagai sesuatu yang masih dapat/harus digali sehingga dipahami esensinya. Sesungguhnya, esensi itulah yang harus dibelajarkan (tidak diajarkan) kepada siswa).
Topik membaca, misalnya, dipahami sebagai kegiatan yang menghendaki agar siswa  membaca di kelas. Oleh karena harus membaca, guru membagikan buku paket (yang ditengarai banyak kelemahan) kepada siswa untuk dibaca siswa. Oleh karena di akhir bacaan terdapat sejumlah pertanyaan maka siswa diminta menjawab pertanyaan itu, apakah dalam bentuk lisan atau tertulis. Setelah 2 x 45 menit lonceng berbunyi, pelajaran membaca harus diakhiri tanpa suatu simpulan apa sebenarnya yang dicapai siswa dalam pelajaran membaca selama 90 menit itu. Kelihatan tidak ada perbedaan pelajaran membaca dengan kegiatan membaca koran atau membaca pengumuman di luar kelas. Siswa hanya membaca, bukan latihan untuk meningkatkan ketrampilan membaca. Disenangi atau tidak, yang penting proses belajar mengajar telah terlaksana, dan dengan demikian, satu amanat kurikulum dianggap selesai.
Topik menulis, misalnya, dipahami sebagai kegiatan yang menghendaki agar siswa menulis di kelas. Setelah menjelaskan pengertian mengarang, unsur-unsur paragraf, dan kalimat efektif secara teoritis, siswa diminta untuk mengarang. Ketika lonceng berbunyi, karangan harus dikumpulkan dan guru menilai karangan tersebut. Nilai yang diberikan sering tidak diiringi âkoreksiâ tentang berbagai kesalahan kalimat, diksi, keutuhan ide dan sebagainya. Guru memang tidak mampu memeriksa karangan siswa dengan teliti karena, di samping jumlah siswanya banyak, aspek yang akan dikoreksi pun tidak ada patokannya.  Hampir tidak ada upaya untuk membelajarkan siswa bagaimana mengarang yang sesungguhnya. Ketiadaan upaya itu dapat bersumber dari ketidakmampuan guru membelajarkan siswa dan yang sangat riskan, pada umumnya, guru sendiri tidak mampu mengarang dengan baik.
Topik berbicara, misalnya, dilaksanakan dengan meminta siswa berpidato di dalam kelas. Setelah dicatatkan sejumlah rumus tentang bagaimana berpidato dengan baik maka secara bergantian siswa berpidato di kelas (itu pun kalau siswa mau). Paling-paling, di antara penampilan siswa, guru menanyakan kepada siswa lainnya bagaimana komentarnya tentang pidato temannya. Hampir tidak ada komentar yang âkenaâ dari guru terhadap kelemahan dan kekeliruan siswa dalam berpidato. Ketika lonceng berbunyi, pelajaran ditutup tanpa ada suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan berpidato dari pelajaran berpidato yang pertama dengan pelajaran pidato yang kedua. Guru tidak mengomentari bagaimana siswa menyuarakan pidatonya, memberikan aksentuasi pada ide-ide yang penting, upaya menarik minat pendengar, dan yang lebih penting bagaimana âmemberi isiâ terhadap pidato sehingga komunikatif dengan penonton.
Refleksi/Tanggapan Penulis:
Ilustrasi ketiga bentuk pelajaran bahasa Indonesia itu merupakan pemandangan sehari-hari di sekolah. Aktivitas kelas di antara dua bunyi lonceng itu hampir tidak berarti apa-apa bagi siswa (disadari atau tidak). Guru dan siswa hanya menjalani rutinitas sebagaimana yang, menurut mereka, dituntut oleh kurikulum. Hampir tidak ada proses berpikir dan pengayaan pengalaman yang memberikan nilai tambah, kecuali siswa mampu menghafal beberapa konsep tata bahasa dan istilah yang tercantum di dalam kurikulum atau di dalam buku pelajaran. Setelah dinyatakan tamat belajar dan memperoleh ijazah, sebagian hafalan itu masih diingat dan sebagian terbesar telah dilupakan, termasuk nama guru bahasa Indonesia mereka. Ketika harus mencari pekerjaan, para alumni yang telah 12 tahun belajar bahasa Indonesia itu sibuk mencari orang yang dapat membuatkan surat lamaran pekerjaan. Ditempat kerja, sang 12 tahun belajar bahasa Indonesia sering diomeli atasan karena tidak mampu membuat surat, apalagi membuat laporan sebagai progress dari pekerjaannya.
Apa yang keliru dalam 12 tahun itu? Yang keliru adalah (1) kurikulum dianggap sebagai bahasa siswa sehingga diajarkan sebagaimana adanya, (2) guru tidak mampu mengolah kurikulum untuk mencari esensi yang harus dibelajarkan kepada siswa, (3) proses belajar mengajar tidak mampu mencerdaskan siswa karena hampir tidak ada aktivitas yang merangsang proses berpikir, (4) pelajaran bahasa Indonesia tidak pernah menjadi pelajaran yang menarik dan menantang karena tidak berdampak pada peningkatan kapasitas berbahasa siswa, (5) sebagai sarana yang sangat potensial untuk meningkatkan kemampuan kritis dan kreativitas siswa, pelajaran bahasa Indonesia telah jatuh pada proses penyederhanaan dan penumpulan, dan (6) kemalasan siswa belajar bahasa Indonesia bukan karena kesulitannya, melainkan karena ketidakmenarikannya.

Temuan lain adalah hasil monitoring dan evaluasi kondisi buku pelajaran di SD/MI dan SLTP/MTsN Provinsi Sumatera Barat (Tim IKIP Padang, 1996â1999). Monitoring terhadap hasil Proyek Pengadaan Buku Depdikbud yang merupakan Sub Proyek Pengembangan Buku dan Minat Baca Ditjen Dikdasmen yang dilakukan serentak di seluruh wilayah Republik Indonesia itu menemukan hal-hal berikut.

Guru mengajar semata-mata berdasarkan buku teks proyek dan buku penunjang yang secara bersaing dimasukkan oleh penerbit ke sekolah. Kondisi semacam itu diperparah lagi oleh tidak sebandingnya ratio buku teks dengan jumlah siswa. Dapat diperkirakan betapa tidak mendukungnya pemilihan bahan ajar di SD/MI dan SLTP/MTsN.

Bahan ajar yang terdapat di dalam buku paket dan buku penunjang itu terlalu padat, muncul berulang-ulang tanpa gradasi dan nosi yang jelas, kurang jelas konsep dan dasar istilahnya, dan belum terlihat kesinambungan antara bahan yang satu dengan bahan yang lain. Di samping itu, pada umumnya, bahan ajar yang tersedia dalam buku paket belum jelas pemberian bobot waktu untuk setiap pokok bahasan, kurang sesuai dengan tingkat intelektualitas dan emosional siswa, kurang berorientasi pada kebutuhan untuk mempelajari materi pelajaran lain, dan kemampuan yang lebih tinggi (fungsi integratif, mental, kebudayaan dan penalaran) sehingga hanya sampai pada tahap pengetahuan dan pemahaman dan tidak sampai pada tahap analisis, sintesis, dan evaluasi. Hal yang lebih krusial lagi, bahan ajar tersebut kurang interaktif dan tidak kontekstual. Bahan yang sama diajarkan untuk seluruh siswa di seluruh tanah air yang konteks budaya dan sosialnya berbeda-beda. Akibatnya, buku tersebut tidak memancing siswa untuk belajar, sebaliknya menimbulkan kebosanan siswa.
Pendekatan Kreatif dan Kritis dalam Pengajaran Bahasa Indonesia
Sebelum menjelaskan konsep pendekatan kreatif dan kritis dalam pengajaran bahasa Indonesia, terlebih dahulu diulas beberapa aspek pendekatan komunikatif. Pendekatan yang dianggap paling modern dan sesuai dengan hakikat pengajaran bahasa ini muncul tahun 70-an. Pendekatan ini lahir sebagai reaksi terhadap pendekatan tata bahasa yang mendominasi pengajaran bahasa sejak tahun 50-an.
Kompetensi gramatikal memang diperlukan dalam penguasaan bahasa, akan tetapi, yang sesungguhnya dimiliki oleh penutur asli sebuah bahasa adalah kompetensi komunikatif. Penutur asli suatu bahasa pada umumnya tidak mengetahui secara teoritis bagaimana suatu bahasa tersusun dalam suatu struktur, tetapi mereka lancar berkomunikasi dalam bahasa itu. Jadi, dalam belajar bahasa, yang harus dikuasai oleh siswa adalah kompetensi komunikatif, yaitu "the ability to function in a truly communicative setting - that is, in a dynamic exchange in which linguistic competence must adapt itself to the total informational input, both linguistic and paralinguistic, of one or more interlocutors"[5]. Oleh sebab itu, di dalam berbahasa terkait beberapa hal sekaligus, yaitu fungsi, konteks, makna, kemanusiaan, bentuk verbal dan nonverbal, dan dinamika, tidak sekadar stimulus-respon yang alami sebagaimana dalam pendekatan audiolingual.
Istilah kompetensi semula digunakan oleh McClelland dalam lapangan bisnis, untuk menentukan kemampuan seseorang dalam pekerjaannya. Ia mengembangan standard apptitude test untuk memprediksi lapangan pekerjaan yang cocok untuk seseorang. Sedangkan komunikasi adalah proses yang terus-menerus dalam pengungkapan, interpretasi, dan negosiasi dengan memanfaatkan lambang-lambang baik bahasa maupun nonbahasa. Berdasarkan pengertian kedua istilah itu, Sandra Savignon mengemukakan karakteristik kompetensi dalam berkomunikasi sebagai konsep yang dinamik yang bergantung pada negosiasi antara orangâorang yang terlibat dalam komunkasi; kompetensi komunikatif terjadi dalam tulisan dan lisan; kompetensi komunikasi memerlukan konteks yang spesifik sehingga pemahaman seseorang banyak bergantung pada konteks komunikasi. Selanjutnya, Sandara Savignon mengatakan bahwa  terdapat perbedaan antara kompetensi dengan performasi. Kompetensi adalah kemampuanâwhat one knowsâdan performasiâwhat one doesâadalah manifestai kemampuan itu. Di samping itu, kompetensi komunikatif bersifat relatif dan bergantung pada kerjasama semua peserta komunikasi yang terlibat.[6]
Dalam pengajaran bahasa (kedua dan asing, bahasa Indonesia pada umumnya adalah bahasa kedua bagi bangsa Indonesia) model kompetensi komunikatif terbagi kepada empat komponen, yaitu (1) kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu penguasaan terhadap kode-kode bahasa, leksikal, sintaksis, morfologi bahasa, dan bunyi-bunyi bahasa dan memanipulasinya dalam bentuk kata-kata dan kalimat; (2) kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence), yaitu pemahaman terhadap konteks pemakaian bahasa: peranan peserta komunikasi, informasi yang saling disampaikan, dan fungsi interaksi; (3) kompetensi wacana (discourse competence), yaitu kemampuan untuk menginterpretasikan  hubungan makna antara kalimat demi kalimat dalam sebuah wacana; (4) kompetensi strategis (strategic competence), yaitu kemampuan tertentu di luar bahasa agar ungkapan kita dipahami orang atau ungkapan orang lain kita pahami, misalnya meninggikan suara, gerak-gerak, mengulang ucapan, dan lain-lain.[7]
Pendekatan komunikatif membantu siswa untuk menggunakan bahasa secara kreatif dan pengungkapan yang sangat personal. Perkembangan bahasa seseorang bukan karena ia menghafal kalimat-kalimat yang pernah lahir dari mulut orang lain. Akan tetapi, karena kompetensi komunikatif, seseorang dapat menciptakan (makna) bahasa hampir tanpa batas. Kemampuan ini didukung oleh apa yang disebut oleh Chomsky  dengan  language acquisition device (LAD) yang ada sebagai fitrah pada setiap manusia[8].
Di dalam pendekatan komunikatif, makna dan konteks berbahasa merupakan hal terpenting sehingga berbahasa (terutama berbicara dan menulis) harus berpusat pada fungsi-fungsi komunikasi karena berbahasa itu sendiri adalah berkomunikasi. Kaitannya dengan pengajaran bahasa, guru harus mendorong dengan segala cara agar siswa mau bekomunikasi dalam suatu konteks (yang alami atau yang direkayasa). Guru tidak perlu memberikan latihan drill kalau hanya memberatkan siswa. Dalam situasi komunikasi dalam konteks seperti itu besar kemungkinan kesalahan tata bahasa akan terjadi, namun hal itu lumrah dan harus diperbaiki dalam konteks komunikasi juga karena kemampuan berbahasa, secala alamiah, dikuasai melalui trial and error.[9] Hal utama yang diperhatikan adalah kemampuan siswa menggunakan (mengekspresikan) dan menciptakan makna bahasa. Pendeknya, gagasan pendekatan komunikatif meniadakan pelajaran teori kebahasaan secara terprogram.
Setelah membahas hakikat pendekatan komunikatif, selanjutnya dibahas hakikat pendekatan kreatif dan kritis dalam konteks pengajaran bahasa Indonesia. Kreativitas adalah:
 ...the ability to see new  relationship to product unusual ideas and to deviate from traditional pattern of thinking. One of the prime object of psychological  research is the analysis  of creative personality, the creative process, and the products of creative process, together  with  the  problem of how to encourage creativity.[10]
Di dalam  definisi  itu, kreativitas dianggap sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-baru atau menghasilkan ide-ide baru yang berbeda dari pola  berpikir tradisional. Objek penelitian kreativitas dapat berupa analisis terhadap kepribadian kreatif, proses kreatif, produk kreatif, dan masalah masalah tentang bagaimana meningkatkan kreativitas.
Utami Munandar mendefinisikan kreativitas  sebagai "a process that manifest itself in fluency, flexibility, and originality of thinking," yaitu kreativitas adalah proses yang dimanifestasikan dalam kelancaran, keluwesan, dan keorisinalan dalam berpikir[11]. Unsur pertama dalam definisi itu adalah proses. Berpikir kreatif adalah suatu proses. Proses itu terjadi dalam diri seseorang yang sedang berpikir. Koestler melukiskan proses kreatif sebagai "proses bisosiatif" yaitu timbulnya hubungan antara dua matriks yang tadinya tidak tampak berhubungan sehingga melahirkan overstatement of the body dalam humor, rasa haru dan tersentuh dalam seni, dan kekaguman dalam ilmu pengetahuan[12]. Dalam pengertian lain, proses kreatif diistilahkan dengan berpikir Janusian 'Janusian Thinking'[13], yaitu proses berpikir yang menghadirkan dua hal yang bertentangan secara simultan, dalam bentuk konsep, image atau ide. Hal itu bukan proses pertama dalam berpikir, melainkan sebagai tipe lanjutan berpikir abstrak. Jadi, berpikir abstrak tingkat tinggi merupakan berpikir kreatif. Mearns menyebutnya sebagai "beyond the rational process"; Ariety menyebutnya "the magic synthesis"; dan Rollo May menyebutnya "suprarational" untuk memberi label terhadap proses yang terliput dalam  "going beyond the rational to bring something new into being."[14]
Di samping kreatif, siswa juga harus kritis, yaitu mampu menilai dengan akurat, menjelaskan sesuatu dengan tajam dan hati-hati sehingga yang dihasilkan tidak sekadar âasal jawabâ atas suatu pertanyaan. Orang yang kritis adalah orang yang juga kreatif. Oleh sebab itu, di dalam artikel ini tidak dipisahkan pendekatan kreatif dan pendekatan kritis, tetapi digabungkan menjadi suatu pendekatan baru yang lebih progresif.
Berdasarkan konsep pendekatan komunikatif, hakikat kreativitas dan kritis tersebut, siswa yang kreatif dan kritis dalam belajar bahasa adalah yang mampu mengerjakan tugas-tugas tertentu secara efektif. Pelajar bahasa yang kreatif harus sanggup menggabungkan respon dan ide-ide dengan cara-cara yang baru dan elaboratif, menjawab stimulus dengan cara  berpikir yang kompleks. Pelajar bahasa yang kritis harus mampu menentukan apakah ia menerima, menolak atau menangguhkan suatu pertimbangan secara hati-hati. Siswa yang kritis juga dapat mengidentifikasi dan mengoreksi metode dan prosedur yang dilakukannya sendiri atau orang lain dan mampu mengadaptasi hal-hal yang biasa menjadi luar biasa, âbermainâ dengan aturan-aturan, dan memodifikasi kebiasaan-kebiasaan.
Di dalam pengajaran bahasa (Indonesia), kemampuan siswa yang demikian disebut proficient, yaitu mampu mengunakan bahasa dengan lancar. Seseorang tidak mungkin berbahasa dengan lancar kalau ia tidak kreatif  dalam menciptakan makna dan ungkapan-ungkapan yang tepat; kalau tidak kritis memilih kata dan menyusunannya dalam ujaran (kalimat).
Untuk melaksanakan pendekatan kreatif dan kritis dalam pengajaran bahasa Indonesia diacu konsep Paulo Freire yang disebutnya âPedagogy of Questionâ dan âProblem-posingâ[15]. Secara ringkas konsep Freire tersebut menyatakan bahwa untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berbahasa secara kreatif dan kritis tidak dapat hanya melalui komunikasi biasa, tetapi komunikasi dalam bentuk pengajuan pertanyaan kepada siswa dan mendengarkan pertanyaan dari siswa. Pertanyaan siswa dijawab dengan mengajukan pertanyaan kepada mereka sehingga mereka mampu menjawab sendiri apa yang mereka permasalahkan. Seandainya siswa tidak bertanya, guru yang bertanya dengan mengajukan pertanyaan peringkat tinggi[16] (tidak sekadar Apa, tetapi juga Bagaimana dan Mengapa). Kegiatan ini akan memaksa dan menantang siswa untuk berpikir secara kreatif dan kritis. Dengan melakukan âpedagoy of questionâ, apa yang diharapkan dengan âproblem-posingâ dapat tercapai, yaitu menciptakan situasi diskusi yang memungkinkan suasana kelas menjadi hidup dan penuh dengan ide-ide baru.
Pada banyak kasus pengajaran, guru mempraktekkan pedagogy secara keliru. Guru selalu menyediakan jawaban-jawaban dan solusi-solusi terhadap setiap pertanyaan dan masalah siswa. Hal ini dilakukan tanpa sadar. Guru seperti ini tidak menyadari bahwa mereka telah âmenyuapkanâ siswa sepanjang waktu. Dengan âmenyuapkanâ siswa, guru telah mengabaikan kesempatan siswa untuk meragukan, menolak, atau menerima pertanyaan-pertanyaan siswa. Akibatnya, pikiran siswa tidak biasa terangsang dan tertantang[17]. Menurut Freire, guru cendrung menerapkan âpedagoy of answersâ karena mereka sendiri takut terhadap pertanyaan yang mungkin tidak sanggup dijawab dan juga karena jawaban-jawaban siswa tidak berhubungan dengan jawaban yang mereka punyai/kuasai.
Begitulah, ada sesuatu yang sangat vital yang harus diyakini guru bahwa mereka harus mempunyai keyakinan dan sikap positif terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa. Guru tidak seharusnya menghindari pertanyaan siswa tetapi memberi peluang sebesar-besarnya agar siswa menggunakan bahasa secara kritis dan kretif.  Guru juga harus siap untuk mengajukan pertanyaan dengan cara yang berbeda untuk meningkatkan perkembangan kognitif siswa.
Dari konsep-konsep belajar bahasa secara kreatif dan kritis tersebut dapat diperkirakan bahwa diperlukan syarat khusus bagi guru-guru yang akan memerankannya di kelas. Peranan guru sangat penting untuk bisa terjadi kelas bahasa Indonesia yang dimasudkan. Guru mempunyai tanggung jawab yang besar dalam kelas. Mereka yang menentukan dan mendiktekan isi, aktivitas, dan proses belajar mengajar dalam kelas. Gurulah yang memutuskan tujuan, maksud, sasaran, dan strategi yang akan diimplementsikan di kelas. Jika guru memutuskan untuk sekadar menghasilkan siswa-siswa yang mantap dalam ujian, maka isi, aktivitas, dan strategi mengajar mereka akan sangat berbeda dengan kalau mereka akan membimbing siswa agar kreatif dan kritis dalam berbahasa. Hal ini menghendaki agar guru mengubah sikapnya terhadap siswa, terhadap kependidikan, dan terhadap diri mereka sendiri sebagai guru.
Banyak guru yang menganggap siswa sebagai bejana kosong yang harus diisi dengan pengetahuan. Guru seperti ini berasumsi bahwa siswa tidak mempunyai apa-apa atau hanya mempunyai sedikit pengetahuan dan  pengalaman tentang subjek yang akan diajarkan di kelas. Guru seperti ini mengabaikan, disadari atau tidak, individualitas siswa. Mereka kurang memahami dan menghargai pengalaman, konsep, dan pandangan dunia setiap siswa. Guru tanpa imajinasi seperti ini cendrung membosankan karena kecilnya keterlibatan dan partisipasi siswa di kelas. Siswa merasa dipingirkan dan menganggap pendapat, keyakinan, dan pikiran mereka tidak relevan dan tidak cukup penting untuk didengar di kelas. Akhirnya, situasi ini mengakibatkan (membuka jalan) bagi kepasifan siswa yang berujung pada kerugian dalam meningkatkan kreativitas dan kekritisan dalam berbahasa.
Guru yang diharapkan menjadi pembimbing kelas bahasa yang kreatif dan kritis harus banyak mendengarkan pendapat dan keyakinan siswa. Menghargai keberadaan (kelebihan dan kekurangan) siswa akan memperkaya pengalaman, ide, dan pikiran dalam mendiskusikan sesuatu. Untuk itu, guru harus mampu âmengalirkanâ tanpa menghalangi, memfasilitasi, dan mengembangkan sikap hubungan timbal balik yang saling menghargai dengan siswanya. Freire mendefinisikan hubungan ini dengan âI-thou relationship between two subjectâ[18]. Hal ini berarti bahwa guru perlu mempertimbangkan siswa sebagai individu yang sama dalam satu situasi komunikasi dua arah yang sesungguhnya. Perlu dibangun sikap respek dan rendah hati dalam suatu hubungan yang kolaboratif. Pendeknya, siswa belajar dari guru dan guru belajar dari siswa.
Di samping sikap yang akomodatif terhadap siswa, terhadap diri sendiri sebagai guru juga diperlukan sikap tertentu. Keyakinan dan sikap tehadap diri sendiri sebagai guru dan fungsi mereka di dalam kelas bahasa mempunyai implikasi penting terhadap kemampuan siswa berpikir secara kreatif dan kritis. Jika guru berpikir bahwa peran utama mereka adalah mengajar dan menyediakan jawaban-jawaban dan informasi, berarti siswa diekspos dengan budaya âdisuapkanâ. Akibatnya, kemampuan siswa jadi berkurang dalam mencari jawaban, solusi, memutuskan, menolak, menerima bertanya, dan menemukan ide-ide. Akan tetapi kalau guru bersikap sebagai pembimbing, pengambil inisiatif, fasilitator, dan pemotivasi (encouraged) maka aktivitas siswa akan terpacu. Dengan begitu, guru berada pada posisi sebagai âcollaborative inquiriesâ atau sejawat yang sama-sama berada dalam menemukan jawaban/penyelesaian masalah.

Aplikasi
Tugas guru, pertama-tama, adalah menciptakan situasi âproblem solvingâ berdasrkan realitas kehidupan siswa. Penekannya adalah pada kebolehan siswa memperagakan kemampuannya mengajukan pertanyaan. Prosesnya dimulai dengan guru mendengarkan isu-isu yang dikemukakan siswa. Kemudian guru mengajukan serangkaian pertanyaan induktif (dari yang konkret ke yang analitis) tentang situasi yang didiskusikan. Di dalam diskusi itu, digunakan langkah-langkah yang biasa dalam proses memecahkan masalah yaitu: mendeskripsikan tema diskusi, mendefinisikan masalah, menghayati masalah, mendiskusikan masalah, dan mencari alternatif pemecahan masalah.
Dalam metode ini, guru harus memelihara situasi agar diskusi berjalan menurut semestinya. Siswa difasilitasi agar mereka dapat mencetuskan ide, pikiran, konsep, pengalaman, dan pandangan dunia yang mendasar yang dapat mengangkat keyakinan diri mereka. Guru harus menerima pandangan, ide, dan alasan siswa kenapa mereka berpendapat seperti yang mereka kemukakan. Pertanyaan guru harus memancing keterampilan berpikir kreatif agar siswa tertantang untuk menghasilkan alasan-alasan dan mengimajinasikan situasinya. Setiap kali memberikan jawaban, siswa dapat saja dan sangat mungkin memanfaatkan pengalaman sendiri untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan situasi yang terjadi. Hal ini memberi peluang kepada siswa untuk menghubungkan tema diskusi dengan dunia nyata yang mungkin sudah mereka temukan. Pada akhirnya, tentu diskusi akan menghasilkan keputusan. Pada proses mengambil keputusan itu akan terlihat kemampuan kreatif dan kritis siswa baik ide maupun bahasa yang mereka gunakan.
Simpulan

Kelas bahasa Indonesia yang kreatif dan kreatif memerlukan suatu perencanaan yang matang dari guru. Di samping harus mengubah pandangan terhadap siswa, guru juga harus mempunyai kemampuan untuk menciptakan suasana kelas yang memungkinkan siswa menggunakan bahasa dan berpikir secara kreatif dan kritis. Pendekatan komunikatif yang dilaksanakan dengan metode âproblem-posingâ adalah salah satu cara untuk itu.
Jika guru terus saja tidak menghargai pandangan dan pendapat siswa atau bahkan menekan mereka tanpa memberikan kesempatan untuk mengekspresikan dirinya, akibatnya siswa tidak akan terpacu untuk menggunakan kemampuan berpikirnya. Guru harus memfasilitasi dan memacu keterampilan berpikir kreatif dan kritis ssiwa dengan memandang siswa mereka secara berbeda dari apa yang selama ini mereka anggap. Mereka perlu mengubah pandangan pendidikan mereka dan mengambil sikap yang lebih fleksibel terhadap kegiatan mengajar dan tidak terlalu terkonsentrasi dan tidak terlalu bergantung pada buku teks dan aspirasi sekolah yang biasanya berorientasi ujian. Hal yang lebih penting adalah aspirasi siswa dan bagaimana guru menggali potensi siswanya. Mereka bukan penyedia tetapi pemikir yang secara konstan berpikir tentang apa yang dapat dilakukan untuk memacu kemampuan kreatif dan kritis dalam diri siswanya.

Daftar Rujukan
  1. Bruss, N. & Macedo, D.P. 1985. âToward a Pedagogy of the Question: Conversations with Paulo Freireâ. Journal of Education, 167(2).
  2. Depdikbud. 1976. Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  3. Eysenck, H.J. 1975. Encyclopedia of Psychology.
  4. Kabilan, M.K. 2000. âCreative and Critical Thinking in Language Classrooms (The Internet TESL Journal, Vol. VI, No. 6, June, http://www.aitech.ac.jp/~iteslj/Techniques/Kabilan-CriticalThinking.html. Download 23 Nov. 2000 )
  5. Met, M. & Galloway, V. 1992 .âResearch in Foreign Language Curriculumâ. in P.W. Jackson, (Ed.) Handbook of Research on Curriculum.  New York, AERA: Macmillan Publ. Co.
  6. Munandar, S.C.U. 1977. Creativity And Education. Jakarta: Universitas Indonesia.
  7. Nio, Kim Be Hoa, dkk.1996. Peranan Pertanyaan Peringkat Tinggi dalam Pengajaran Bahasa dan IPS. (Laporan Penelitian). Jakarta: DP3M Dikti.
  8. Noerhadi, T.H. 1983. "Kreativitas: Suatu Tinjauan Filsafat" dalam Alisjahbana, S.T. (Ed.). Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat.
  9. Rothemberg, A. & Hausman, C.R. (Eds.) 1976. The Creative Question. Durham: Duke University Press.
  10. Savignon, Sandra. Communicative Competence: Theory and Classromm Practice. San Juan: Addison Wesley Publishing Company.
  11. Sumardi, 2000. Buku Pelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta: Grasindo.
  12. van Els,Theo, et all, 1984. Applied Linguistics and the Learning and Teaching of Foreign Languasge. London: Edward Arnold.
  13. Tim IKIP Padang. 2000. Laporan Program Penyetaraan Guru Bahasa Indonesia IKIP Padang
  14. Torrance, E.P. 1979. "Three-Stages of Model for Teaching for Creative Thinking" dalam Lawson, A.E. (Ed.) Science Education Information Report. Ohio: Eric
Lampiran: Contoh bahan ajar: Problem-posing
Topic: Demonstrasi
Tujuan:
1.    Berpikir secara kreatif dan kritis
2.    Menanggapi masalah dengan alasan yang logis
Tugas: Berdasarkan sebuah gambar/foto yang melukiskan suasana demonstrasi di Kompleks DPR?MPR, guru mengajukan pertanyaan:
1.    Kenapa banyak orang berkumpul di gedung DPR/MPR?
2.    Di mana Anda pernah melihat pemandangan seperti ini?
3.    Apa bedanya suasana demonstrasi di gedung DPR/MPR dengan suasana yang pernah Anda lihat itu?
4.    Apakah Anda merasa suasana gambar ini merefleksikan sesuatu tentang keadaan bangsa Indonesia?
5.    Kata-kata apa yang paling tepat digunakan untuk melukiskan suasana itu?

Contoh bahan ajar: Mengambil Keputusan
Topic: Kasus KKN Gus Dur
Tujuan:
1.    Berpikir kreatif dan kritis
2.    Mengambil keputusan berdasarkan alasan yang logis
Tugas: Anda adalah hakim dalam perkara KKN Gus Dur. Anda telah mendengar bukti-bukti dan kesaksian terbuka dari berbagai saksi, tuntutan jaksa, dan pembelaan penasehat hukum Gus Dur. Anda harus memberikan keputusan untuk perkara ini berdasarkan fakta, kesakaisan yang diberikan oleh kedua belah pihak. (Catatan: Guru perlu menyediakan bukti, bunyi tuntutan, dan pembelaan. Siswa diharapkan tidak memihak tetapi memutuskan semata-mata berdasrkan fakta yang disediakan guru).
Sebelum Anda memberikan keputusan, pertimbangkan prosedur ini:
1.      Dapatkan perkara ini dilemparkan dibekukan saja? Kenapa?
2.      Apakah perkara ini harus dilanjutkan/Kenapa?
3.      Apakah Gus Dur bersalah? Kenapa?
4.      Apakah ada kemungkinan dia tidak bersalah? Kenapa?
5.      Apa keputusan Anda? Kenapa?
6.      Jika ditemukan bersalah, apakah kalimat yang ingin Anda ungkapkan?

Contoh kalimat berdampak kreatif dan kritis:
























Catatan akhir
________________________________________
[1]  Politik Bahasa Nasional (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976), hlm.2.
[2]  Sumardi, Buku Pelajaran Bahasa Indonesia SD (Jakarta: Grasindo,2000), hlm.1.
[3]  Met, M. & Galloway, V. âResearch in Foreign Language Curriculumâ. Chapter 30 in P.W. Jackson,
       (Ed.) Handbook of Research on Curriculum ( New York, AERA: Macmillan Publ. Co., 1992 )
[4] Laporan Program Penyetaraan Guru Bahasa Indonesia IKIP Padang, 2000.
[5] Sandra Savignon, Communicative Competence: Theory and Classromm Practice, (San Juan: Addison
      Wesley Publishing Company, 1983), hal. 13.
[6] Ibid, hal. 3â9.
[7] Ibid, hal. 35â42.
[8] Theo van Els et. All, Applied Linguistics and the Learning and Teaching of Foreign Languasge (London:
      Edward Arnold, 1984), hal. 28.
[9] Sandra Savignon, Op.Cit. hal 19â20.
[10] Hans Jürgen Eysenck, Encyclopedia of Psychology (â¦?â¦1975), hlm.228
[11] S.C.U Munandar, Creativity And Education ( Jakarta: Universitas Indonesia, 1977), hlm. 10.
[12] T.H. Noerhadi, "Kreativitas: Suatu Tinjauan Filsafat" dalam Alisjahbana, S.T. (Ed.). Kreativitas.
        Jakarta:  Dian Rakyat, 1983). Hlm 18-21.
[13] A. Rothemberg & C.R. Hausman,(Eds.). The Creative Question (Durham: Duke University Press,
        1976), hal.311.
[14] E.P. Torrance,  "Three-Stages of Model for Teaching for Creative Thinking" dalam Lawson, A.E. (Ed.)
        Science Education Information Report (Ohio: Eric, 1979), hlm.227â228.
[15] M.K. Kabilan, Creative and Critical Thinking in Language Classrooms (The Internet TESL Journal,
       Vol.  VI, No. 6, June 2000, http://www.aitech.ac.jp/~iteslj/Techniques/Kabilan-CriticalThinking.html.
       Download 23 Nov. 2001 )
[16] Kim Be Hoa Nio, dkk., Peranan Pertanyaan Peringkat Tinggi dalam Pengajaran Bahasa dan IPS
        (Laporan Penelitian DP3M Dikti, 1996)
[17] N. Bruss & D.P. Macedo, âToward a Pedagogy of the Question: Conversations with Paulo Freireâ.
        Journal of Education. (1985), 167(2), 7-21.
[18] M.K  Kabilan,  O. Cit.

Penulis
Prof. Dr. Atmazaki Dt. Mongguang Sati, M.Pd. dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBSS Universitas Negeri Padang, lahir di Batuhampar, Limapuluhkota, Sumatera Barat tanggal 24 Agustus 1959, anak ke-3 dari 8 bersaudara dari Ibunda Kamsiah dan Ayahanda Said Khudri (alm).
Penyunting Ahli pada beberap jurnal ilmiah, antara lain, Forum Pendidikan, Jurnal Pembelajaran, Pelangi Sastra, Tabuik, dan Language Society and Culture  International Internet Journal.
Menulis tentang bahasa, sastra, seni, dan pembelajaran, baik berupa buku, artikel jurnal, dan koran, makalah seminar, dan lain-lain.
Menikah dengan Dra. Prima Nelita, Pengawas SMP/SMA Dinas Pendidikan Pendidikan Kabupaten Padangpariaman; dikurniai 3 orang anak: Ivan Atmanagara (1984), Arief Pratama (1986), dan Jeihan Nabila (1991).
Alamat: Kompleks Singgalang Blok A 10/11 Padang,
telepon (0751) 481520;
Email: a-zaki@ranahminang.net; atmazaki2002@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Sering dilihat, yang lain mungkin penting