Oleh
Dharsono
Abstrak
Perjalanan seni lukis kita sejak perintisan R. Saleh sampai awal abad XXI ini, terasa masih terombang-ambing oleh berbagai benturan konsepsi. Kemapanan seni lukis Indonesia yang belum mencapai tataran keberhasilan sudah diporak-porandakan oleh gagasan modernisme yang membuahkan seni alternatif, dengan munculnya seni konsep (conseptual art): “Instalation Art”, dan “Performance Art”, yang pernah menjamur di pelosok kampus perguruan tinggi seni sekitar 1993-1996. Kemudian muncul berbagai alternatif semacam “kolaborasi” sebagai mode 1996/1997. Bersama itu pula seni lukis konvensional dengan berbagai gaya menghiasi galeri-galeri, yang bukan lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat, tetapi merupakan bisnis alternatif investasi.
1. Pendahuluan
Seni lukis Indonesia
kini, tidak lagi mencari identitas, seperti yang dicitakan PERSAGI [1]
, tetapi lebih mengutamakan kepentingan pribadi, yang mengacu pada alternatif kebutuhan investor
dan kolektor seni. Seni bukan lagi sebagai ungkapan perasaan secara pribadi
tetapi lebih menekankan demensi pasar, mengarah pada produk industri seni lukis
yang seolah sekedar untuk memenuhi kebutuhan galeri atau workshop. Seniman yang
mestinya mempunyai kewajiban sebagai pembentuk gaya dalam penciptaan karya
seni yang mencerminkan jati diri
Indonesia; citra budaya dan corak
kepribadian bangsa (Kusnadi, 1977: 146).
Seni lukis Indonesia
terutama yang berlabel “modern”, tak dapat diingkari, bahwa perjalanannya
mengarah dan berkiblat kepada konsepsi seni lukis barat. Namun sayangnya,
pemahaman maupun adaptasi konsepsinya hanya sepotong-sepotong, bahkan kadang
hanya ditelan mentah-mentah. Gaya dan aliran seni lukis yang terjadi di belahan
Barat bagaikan resep dengan menu-menu yang siap pakai, sehingga apapun bentuk
konsepsi yang muncul di Barat akan diserap
dan muncul telanjang bulat.
Dewasa ini seni lukis tersebut
justru menjadi mode
alternatif, tanpa melihat kecocokan
dengan budaya yang sudah mapan dan berakar di bumi pertiwi ini. Munculah seni
alternatif sebagai satu mode seni lukis Indonesia dengan label modern.
2. Perjalanan Seni Rupa Modern
Awal perjalanan seni
rupa modern (Eropa-Amerika), diawali oleh gerakan yang disebut dengan gerakan
seni lukis realisme dinamis atau post impresionisme. Gerakan ini merupakan masa
transisi dari konvensi realisme ke bentuk
kebebasan seniman. Realisme Dinamis atau Post Impresionisme yang lahir
pada abad XVII, membawa reaksi tajam. Reaksi tersebut datang dari seorang tokoh
impresionisme fanatik: Paul Cezanne (1839-1906). Baginya melukis adalah
berpikir menggunakan warna. Tugas pelukis adalah memproduksi hal yang
berdimensi tiga ke dalam suatu bidang datar (kanvas). Ruang dan isi tidak bisa
dipisahkan, Cezanne tidak ingin sekedar untuk meniru alam (memesis), melainkan
alam ini ingin diciptakan kembali untuk memperoleh bentuk-bentuk yang kuat
(Myers; 1959: 210).
Paul Cezanne
mematahkan kedangkalan imaji retina kaum impresionis, membawa kembali pada
garis, khususnya gerak kerangka kerja linier tiga dimensi, memberi tekanan
gerak garis dan semua ketegangan kinetik daripada garis, bidang dan massa
(Stephen C. Pepper, tth: 245).
Ekspresionisme
berangkat dari realisme dinamis, sebagai suatu pelepasan diri dari ketidak
puasan paham realisme formal. Dikatakan Paul Cezanne, bahwa yang paling sukar
di dunia ini adalah mengutarakan ekspresi langsung atau konsepsi yang imajiner.
Apabila tidak dicocokkan dengan model yang obyektif, maka buah pikiran yang
menjelajahi kanvas tidak menentu. Untuk mencapai harmoni yang merupakan bagian
seni yang essensial, seorang seniman harus berpegang pada sensasinya bukan pada
visinya. Di sisi lain ekspresionisme di Perancis, Matisse (1869-1954) seorang
pelopornya menyatakan bahwa fauvisme lahir dari reaksi terhadap metodisme yang
lamban dan tidak tepat pada neo-impresionisme Seurat dan Signac. Andilnya dalam
perkembangan seni modern adalah merupakan salah satu pembebas aturan seni saat
itu. Ciri-ciri ada pada “ketepatan bukan selalu merupakan kebenaran” (Soedarso
1990:62-75).
Februari 1916, pada
saat berkecamuknya Perang Dunia I, seorang penyiar Romania; Tristan Tzara dan
Marcel Janco, serta dua penulis Jerman Hugo Ball dan Richard Huelsenbeck serta
senirupawan dari Perancis Hans Arp (1887-1966), berkumpul di Cabaret Voltaire
di Zurich. Kelompok ini mendirikan sebuah kelompok yang ia beri nama “Dada”
yang berarti bahasa anak-anak untuk menyebutkan kuda mainan.
Melihat cara mereka
mengambil sebuah nama untuk kelompok mereka, menunjukkan sikap nihilitas,
menolak semua hukum seni dan keindahan yang sudah ada, sebagai protes terhadap
nilai-nilai sosial yang semakin Collapse. Mereka meneriakkan To hell with
Cezanne dan Assassiner la peinture. Perkumpulan orang dada muncul akibat
persamaan nasib melihat pranata sosial yang kian tidak menentu semenjak perang
dunia I (Rita Widagdo 1982:27). Selain itu, karya-karya mereka cukup sinis. Ada
sebuah reproduksi lukisan Monalisa yang dibubuhi kumis, ada lagi yang berjudul
“Kepala yang mekanistis” Raoul Maussmann (1919-1920), sebuah gambaran kepala
manusia dari kaca dirangkai dengan menempelkan macam-macam barang lain. Duchamp
memberi kejutan dengan beberapa Ready-Mades ada roda sepeda, ada pengering
botol, bahkan ada tempat kencing yang diangkatnya dari tempat sampah dan
dipamerkan. Dada menolak setiap mode moral, sosial maupun estetis. Dada menolak
estetika, karena estetika dihasilkan oleh pikir, sedang dunia ini telah
terbukti tanpa pikir; catatan; melaui
majalah, brosur, katalog pameran dan buku-buku tentang “Dada”, mempengaruhi
seniman muda dan muncul gebrakan seni
rupa baru Indonesia sekitar yang terkenal dengan Desember hitam th 1975-an
Seni Rupa Modern
Amerika selama tahun 30-an bersifat eksperimen yang mengarah ke Abstrak
Geometris, seperti Piet Mondrian seni-man yang banyak pengikutnya sehingga
menjadi simbul dan tokoh bagi seniman abstrak Amerika. Kemudian munculah
Abstrak Ekspresionisme yang menentang adanya abstrak geometris. Latar belakang
perkembangan seni rupa modern Amerika yaitu didasari oleh tendesi para pelukis
dalam menggunakan kuas dan berbagai cara yang berhubungan dengan isyarat atau
gerak kwas dan tekstur. Di pihak lain bahwa para pelukis tergantung pada tanda
yang abstrak, imajinasi bentuk dengan kesatuan bidang warna yang luas. Seni
abstrak bersifat individualistis dan sangat pribadi.Gerakan neoplastis,
dinyatakan oleh Piet Mondrain bahwa: semua lukisan itu terdiri dari garis dan
warna yang merupakan esensi gerakan neoplastis. Oleh karena itu garis dan warna
harus dibebaskan dari beban peniruan alam, dan membiarkan keberadaannya sebagai
garis dan warna itu sendiri. Beberapa fenomena, manifesto dan gerakan seni rupa
sebelumnya yang paling berpengaruh pada gerakan ini antara lain: Dada,
Abstrak-Ekspresionisme, Pop Art, minimalisme. Seni Minimalis sebagai estetika
baru secara berarti, diawali ketika Frank Stella dengan tegas menyatakan bahwa
ada dua persoalan yang harus diutarakan sebelum asumsi-asumsi
Abstrak-ekspresionisme diperdebatkan, yaitu pertama mengenai ruang spasial dan
kedua metodologi (Gablik, 1981:245-247).
Seni konseptual
merupakan gerakan seni rupa yang lahir hampir bersamaan waktunya dengan seni
minimalis dan Super Realisme, yakni pada pertengahan tahun 1960. Dalam beberapa
khusus ketidak menentuan politik dan pertumbuhan kesadaran sosial di Eropa dan
Amereka pada tahun 60-an mendorong hasrat seniman untuk menjauhi tradisi elit
dari seni. Beberapa seniman tidak tertarik dan menolak ikontradisional, yakni :
gaya, nilai-nilai dan aura. Disamping itu sistem pasar yang tidak masuk akal,
keterbatasan ruang galleri dan dominasi para kuator seni yang makin
mempersempit ruang gerak seni dan seniman, semakin mempertajam reaksi para
seniman untuk menciptakan seni baru.
Seni yang menawarkan suatu konsep alternatif. Pembaharuan ini bermula
dari Inggris sekitar tahun 1952, yang melibatkan seniman-seniman negara Eropa
lain, kemudian secara luas diperhatikan oleh para seniman di Amerika pada tahun
1960-an (Rita, 1993:18).
Lahirnya aliran
Super-Realisme didasari oleh keinginan untuk kembali pada bentuk, yang pada
aliran sebelumnya. Keberadaan kamera ini dimanfaatkan sejumlah seniman sebagai
pendukung dalam proses berkarya. Foto hasil kerja kamera digunakan sebagai
patokan dalam menghasilkan karya seni. Kesempurnaan reprentasi alam yang dihasilkan
kamera tersebut direproduksi kembali ke dalam karya seni dua dimensi.
Pengetahuan fotografi dimanfaatkan pula oleh seniman untuk merepresentasi
realita dengan hasil akhir mirip dengan hasil karya yang diproduksi malalui
teknik fotografi terutama dari segi pencahayaan, kesempurnaan bentuk dan warna.
Karya-karya Super-realisme dua dimensi yang didasarkan pemanfaatan pada
fotografi tersebut dinamakan juga karya seni Fotorealisme.
Seniman
Super-realisme pada dasarnya berusaha menghasilkan representasi realita yang
memiliki kualitas, baik dari segi bentuk, warna, maupun efek cahaya dan
sebagainya, yang lebih baik dari kualitas realita sesungguhnya. Ini memberikan
konotasi bahwa Super-Realisme menentang kemapanan estetika modern yang medewaka
ekspesi yang memanfaatkan kebetulan, maka super-realisme menolaknya (Edward
Lucie Smith 1979)
3. Pengaruh Modernisme dalam
Perjalanan Seni Rupa di Indonesia
Apabila perjalanan
seni modern (barat) muncul sejak awal abad XX; sejak post impresionisme di
Eropa sampai pada seni hiperealisme atau superrealisme di Amerika, yang
masing-masing dilatar-belakangi oleh budaya konsep yang semakin realistis.
Munculnya gaya dan aliran tersebut lebih
diakibatkan karena ketidakpuasan dan ketidak kecocokan konsep, dan bahkan
penolakan konsepsi, makan munculnya gaya
dan corak lebih tepat dikatakan sebagai satu demensi tandingan atau sebuah
revolusi tandingan (Stangos, Nikos,
1981)
Apa yang terjadi di
Indonesia; sebuah para seniman dengan mudahnya mencomot apa yang ada di barat
dan menjadi mode seni lukis dengan label modern. Konsep itulah yang menjebak
kita ke dalam kekusutan konsep yang semakin terombang-ambing. Aliran dan atau
gaya dalam pembagian kesejarahan seni lukis modern di barat dianggapnya sebagai
satu aliran dogmatis yang harus dianutnya. Seniman seolah harus memilih sebuah
aliran seperti halnya dalam agama. Secara konseptual pola pemikiran semacam itu
perlu diganti dengan konsep yang punya wawasan pencarian jatidiri bangsa
seperti yang pernah dicita-citakan Persagi (1936), yaitu pencarian citra
Indonesia akar Indonesia (Pikiran Rakyat 5 Februari 1998).
Perjanan seni lukis
dengan label modern terus bergulir, sampai
pada gilirannya seni lukis bukan lagi merupakan satu pencarian jati-diri
namun kemudian sebagai satu alternatif
bentuk komoditas. Norma seni bermula
sebagai satu perwujudan komunitas beralih ke bentuk komoditas, bahkan
sampai pada titik puncak tertentu seni
merupakan bentuk investasi, maka munculah “Boom seni lukis Indonesia”. Seni
berpindah dari monomentalitas kebutuhan spirituil beralih ke dalam dunia
investasi.
Sebagai catatan
sejarah seni lukis 1990-an munculnya “Boom” seni lukis Indonesia, Sanento Yuliman dalam seminar
(1990) mengatakan bahwa “Boom” dalam
kamus Inggris-Indonesia John M. Echols dan Hasan Shadaly (Cornell University
Press dan Gramedia, 1981) mengindonesiakannya dengan “sangat laku”. Sedang The
Advanced Learners Dictionary Of Current English (Oxford University Press, 1963)
diterangkan sebagai “kenaikan mendadak kegiatan dagang, terutama ketika
kekayaan cepat didapat.
Boom seni lukis
Indonesia yang sering dibicarakan [ada awal 1990-an, terjadi pada golongan atau
rumpun seni lukis tertentu. Mereka berasal dari bermacam daerah dan dilakukan
di lapisan masyarakat menengah ke atas kita, berpusat di kota besar terutama
Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Seluruh masa itu ditandai oleh peningkatan
jumlah lukisan yang diperjualbelikan dan sangat laku. Terbukti ada peningkatan
jumlah dan frekwensi pameran, pertumbuhan galeri komersial, pertumbuhan sponsor
pameran dan bertambahnya kolektor lukisan. Di samping itu nampak bertambahnya
pelukis yang terlibat, peningkatan harga lukisan, perluasan tempat-tempat
pameran tidak hanya diselenggarakan di tempat-tempat tertentu, tetapi juga di
hotel, bank dan pusat-pusat perbelanjaan. Gejala lain seperti pelelangan
lukisan, pemalsuan lukisan, beredarnya kembali lukisan lama dan kuno (Sanento
Yuliman, 1990: 1-2).
Gejala yang timbul
pada masa “Boom seni lukis Indonesia”. Gejala pertama yaitu: gejala kemiskinan
seni lukis, pemiskinan dalam ragam atau macam medium dan teknik yang semakin
menyusut. Medan seni lukis mengangkat kanvas, cat minyak dan akrelik menjadi
medium bangsawan, sedang medium lain tersepak ke sisi dan nyaris lenyap dan
menjadi medium “sudra” dihindari pembutuh lukisan, galeri dan oleh pelukis
dalam pameran. Penyusutan macam bahan, ragam rupa, melibatkan penyusutan
pengalaman estetik yang ditawarkan. Penyusutan pokok dan thema, cenderung
memberikan rasa aman, mapan, lembut, manis dan thema yang menegangkan dan
mengganggu perasaan dijauhkan (Sanento Yuliman, 1990: 14).
Boom bukan sebagai peristiwa kesenian, tetapi
menjadi “mode” kaum berduit. Boom lukisan cukup meresahkan di kalangan pelukis,
kolektor dan juga kritikus. Selain beragam alasan yang ada, bila dikaji secara
teliti yang menonjol adalah adanya kegoyahan otoritas mereka. Para pelukis
senior merasa kelasnya “terancam”. Para kolektor yang sering memegang otoritas
harga menjadi kacau oleh kolektor baru yang obral duit, saingan menjadi semakin
tajam; tolak ukur nilai kesenian terabaikan dan terlewati begitu saja (Sutopo.
HB, 1990: 3).
Akibat “boom” seni
lukis sangat terasa. Perkembangan kesenian seni rupa khususnya seni lukis,
mengalami krisis estetika. Boom sebuah karya seni tidak sepenuhnya diukur dari
nilai estetika secara an-sich, tetapi dipertimbangkan dengan nilai mata uang
dari harga sebuah karya seni. Dilihat dari segi kwantitas karya seni yang
muncul dari pelukis sangat menggenbirakan, namun secara kwalitas perlu
dipertanyakan kehadirannya.
Akibatnya: Persagi,
yang mencita-citakan adanya Seni dengan pencarian identitas dan ciri lukis
Indonesia khas Indonesia, cita-cita itu kini tinggal slogan yang sudah tidak
dikenang lagi. Seniman dengan bangga mencomot salah satu aliran modern barat,
kemudian menjadi mode seni lukisnya.
Ketika seni murni (Fine Art) mengarah pada seni rupa pertunjukan;
performing art, instaliasi art, dan kolaborasi art, yang kemudian menjadi mode
pameran seni rupa sampai pertengahan 1997. Ketika itu pula para seniman seni
lukis konvensi mulai terombang-ambing, seperti anak ayam ditinggal induknya.
Salah satu alternatif mereka bertahan pada posisinya dan mencari harapan
karyanya untuk diinvestasi oleh kaum berduit. Akhirnya muncullah industri seni
lukis Indonesia. Seniman berkiblat Bali dan Jakarta sebagai salah satu
alternatif untuk menjual lukisannya (Pikiran Rakyat 5 Februari 1998).
Seniman dihadapkan
dalam dua pilihan: pertama: tetap sebagai seniman idealis yang mencoba
mempertahankan nilai, dengan mempertahjnkan seni sebagai terapi bathin,
sehingga mampu menjadi monometalitas zaman, seni senafas dengan zamannya, seni
sebagai satu potret kehidupan. Kedua
masuk dalam blantika seni lukis Indonsia, yang cukup menggiurkan.
Ketika norma seni
berada pada genggaman tangan dari
seorang kritikus seperti Dan Suwaryono, Sanento Yuliman yang dengan
tajamnya mengkoreksi dunia, dan
Sudarmaji yang begitu arif meniti kehidupan seni. Kini telah meninggalkan kita
untuk selamanya.
Kritikus yang
diharapkan mampu meneruskan perjuangan
mereka tentang keberadaan kritikus sebagai satu kepedulian perkembangan seni
lukis Indonesia akar Indonesia, kini meninggalkan kita juga....... dengan dalih
bahwa seni lukis Indonesia belum perlu kritik ?
Penulis, kritikus,
pengamat seni lukis, yang diharapkan memberikan pemahaman kepada opini
masyarakat , motivator, dan mediator, kini lebih nyaman dipangkuan para seniman
kondang dan para kolektor yang lebih menjanjikan. Maka para kritikus memilih
jadi korator seni yang lebih menjanjikan. atau jadi profokator
(karena tak mampu meyakinkan kolektor).
4. Pencarian Jati Diri Seni Rupa Indonesia
Mensikapi kekusutan
konsep seni lukis Indonesia jalur konvensi perlu sebuah terapi alternatif.
Cita-cita Persagi sebagai pelopor munculnya seni lukis modern di
Indonesia, perlu kita rintis kembali
sebagai konsep pencarian jati-diri kita dalam menapak seni lukis Indonesia akar Indonesia.
Menyadari hal tersebut maka seyoganya perlu kita lihat kemapaman kondisi akar
budaya kita. Akar tradisi yang sudah
menjadi keyakinan dan sudah mengakar di bumi pertiwi ini, perlu kita kembang lestarikan sebagai satu sentuhan konsep
inovasi garap seni lukis Indonesia. Sehingga seni lukis modern Indonesia tidak
lagi sekedar pencarian mode yang sekedar barang import tapi perlu digali dari
bumi pertiwi sendiri...mengapa tidak?
Untuk menyingkapi
konsepsi seni lukis Indonesia, perlu adanya pencarian alternatif konsep
pengembangan seni. Idiom rupa dari
budaya yang berakar dari tradisi etnis yang sudah merupakan kekayaan bangsa,
mengapa tidak dimanfaatkan? Idiom seni
yang bertitik tolak dari seni tradisi akan mampu memberikan rangsang cipta
seni; sebagai sumber gagasan dan media ekspresi.
Pencarian identitas
jatidiri bangsa perlu tarikan benang emas yang mampu menghubungkan antara sikap
konservatif dan progessif. Sikap
konservatif punya kecenderungan untuk melestarikan akar budaya tradisi yang
telah mapan dan berakar di bumi pertiwi ini, sedang sikap progressif berwawasan
untuk masa datang dan menuntut kreativitas pembaruan (modernism). Keduanya
mempunyai pijakan dan capaian hasil yang berbeda; sikap konservatif menghasilkan
produk budaya yang berpijak masa lalu
yang membuahkan bentuk-bentuk nostalgia adiluhung, sedang sikap progressif yang mendambakan kreatifitas
menghasilkan produk budaya yang berpijak pada masa kini yang membuahkan bentuk
alternatif yang bersifat eksperimental.
Untuk menarik
kesinambungan budaya dari sikap budaya konservatif dan progressif tersebut di
atas perlu adanya bentuk kesinambungan yang merupakan benang emas yang mampu menghubungkan antara kedua sikap budaya tersebut. Salah
satu contoh , misalnya wayang merupakan
salah satu bentuk alternatif yang mampu membingkai dinamika kehidupan seni
lukis Indonesia akar Indonesia. Mangapa,
karena wayang merupakan produk budaya sekaligus sebagai sumber gagasan.
Wayang sebagai
produk perkembangan seni rupa Indonesia pada zaman Hindu, merupakan proses
pengembangan nilai-nilai tradisi masa sebelumnya. Nilai keindahan wayang tidak
semata-mata dihasilkan berdasarkan pertimbangan konsep yang serba rasional,
tetapi pada pemikira spiritual yang menghasilkan seni perlambangan sesuai
dengan tuntutan budaya saat itu yang selalu dikaitkan dengan peradaban agama
Proses transformasi
budaya pada zaman Islam terus berlangsung hingga kini. Wayang sebagai salah
satu bukti dalam sejarah budaya Indonesia yang mencerminkan kesinambungan
tradisi hasil dari tranformasi budaya yang menjadi ciri budaya Indonesia. Dalam
proses perkembangan seni rupa lama di Indonesia dapat kita catat adanya
kesinambungan tradisi seni dalam transformasi budaya. Tradisi seni rupa
prasejarah masih berperan dalam perkembangan seni rupa pada zaman Hindu.
Selanjutnya tradisi seni rupa Indonesia-Hindu merintis terus perkembangan baru
ketika pengaruh kebudayaan Islam mulai berperan. Proses kesinambungan tradisi
itulah yang dalam sejarah seni rupa Indonesia lama ditandai dengan tercapainya
puncak-puncak kesenian dibeberapa daerah.
Bentuk wayang yang
dulu merupakan bentuk realistik dikembangkan ke dalam bentuk non-realistik Wayang pada perkembangan Hindu terakhir
dengan gaya realistik sesuai dengan kepentingan agama Hindu dikembangkan oleh
para wali dalam rekaan estetik baru sesuai dengan budaya Islam. Dan itu bisa
kita lihat perkembangan wayang kulit terakhir yang kemudian mengalami masa
klasik Jawa. Perubahan bentuk dan gaya tampak pada karya seni yang mendambakan
kebebasan pribadi. Kebebasan untuk mengekpresikan lewat interpretasi baru dari
sosok wayang yang ia jadikan landasan dalam proses penciptaan oleh senirupawan
Indonesia. Wayang kemudian menjadi acuan seniman; sebagai sumber inspirasi dan
media ekspresi. Transformasi budaya kemudian bergulir dan para perupa mulai
melihat dan memanfaatkan wayang sebagai
media penciptaan seni sekaligus dalam usaha pelestarian seni tradisi.
Dari contoh tersebut muncul beberapa konsep alternatif:
1. Konsep
seni re-vitalisasi: Seni lukis secara konseptual mencoba mengangkat bentuk
seni tradisi secara vital untuk menuangkan ide garapnya. Seni lukis wayang
dalam konsep re-vitalisasi garap merupakan bentuk seni lukis dengan memanfaatkan wayang sebagai obyek
pelukisannya secara vital. Artinya pemanfaatan wayang sebagai sosok maupun
cerita pewayangannya, secara transparan terlukiskan kembali. Wawasan seniman
dalam halini dilatar belakangi misi pengembangan seni tradisi secara
conservatif.
2. Konsep
seni re-interpretasi: Seni lukis secara konseptual mencoba menafsirkan
kembali bentuk-bentuk seni tradisi, sesuai dengan teknik dan gaya pelukisan
secara individuil dalam mengungkapkan idenya. Seni lukis wayang dalam konsep
re-interpretasi, mencari berbagai alternatif bentuk seni lukis hasil
re-interpretasi studi wayang tradisi. Artinya seni lukis tersebut merupakan
hasil proses pengolahan seniman dalam
menafsirkan kembali bentuk atau wujud
wayang, kemudian ia terjemahkan ke dalam media ungkapnya. Wawasan
seniman dilatar belakangi oleh dua gagasan antara konservatif dan progresif.
3. Konsepsi
modern dengan sentuan tradisi, secara konseptual merupakan satu bentuk seni
lukis yang mendambakan ungkapan perasaan
secara murni. Konsep ini secara murni melukiskan sesuatu sesuai dengan teknik,
corak dan pemilihan media sesuai dengan misi pribadinya. Pemanfaatan unsur dan sosok wayang bukan lagi sebagai
salah satu sarana ungkap, ataupun sumber inspirasi, tetapi sebagai rangsang
cipta. Sehingga hadirnya sosok atau unsur
wayang bukan sebagai bentuk pelukisan kembali, namun lebih sebagai
unsur-unsur atau elemen dasar penyusunan. Wawasan seniman modern
dilatarbelakangi oleh gagasan progresif.
Karya proses penciptaan dalam kaitan ini lebih mengutamakan kreativitas,
sedang usaha pemaknaan ditentukan oleh pematangan teknis; kejelian, kemahiran
dan keputusan menentukan unsur desain, sehingga mampu memberikan jabaran secara
tekstual yang penuh dengan tafsir. Seni lukis secara hermenuetik menekankan
pada komposisi unsur-unsur rupa yang mampu menawarkan berbagai tafsir.
4. Sodoran
alternatif tersebut secara garis besar dapat disarikan, bahwa seni lukis Indonesia akar Indonesia
adalah bukan sekedar penguasaan teknik,
medium dan ekspresi personal semata tetapi tanggung jawab kita sebagai seniman
Indonesia. Untuk menjadi seniman
Indonesia, maka tidak lepas dari pencarian jati diri yang merupakan satu proses dari sebuah
perjalanan yang panjang seolah kita bergerak dari satu titik menuju sebuah
bidang yang sangat luas, seperti halnya ketika saya menuju kedalam diri saya.
Pada nuansa tertentu seni lukis merupakan salah satu simbol kehidupan yang
lentur oleh benturan jaman, ia laksana kehidupan itu sendiri. Itulah maka seni
akan mampu menjadikan dirinya sebuah
obyek sekaligus subyek dalam proses kehidupannya. Bagaikan pedati menusurinya
jalan yang terjal, berlenggok di antara tebing, ia terseok-seok kadang ia
terperosok dalam kubangan, namun kadang dengan santainya ia melaju pelan sambil
bersenandung dadanggula dan asmaradana.
Daftar Pustaka
Ashton, Dore; tth. Modern Painting, New York: New American Library.
Bernart, Myers, 1959 Modern Art in The Making New York : Mac Graw-hill Book Company.
Feldman, Edmund Burke; 1967 Art as Image and Idea, New Jersey: Prentice Hall INC, Englewood Cliffs.
Haryono Haryoguritno; 1993 Wayang Purwa Gagrak Surakarta Ditinjau dari Aspek Rupanya. Makalah Pengantar, Rupa Wayang dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia, Pameran Seni Rupa Kontemporer dalam Rangka Pekan Wayang Indonesia VI.
Holt, Claire; 1973 Art in Indonesia: Continuties and Change. New York Ithaca: Cornell University Press.
Humardani, SD; 1981 Masalah-Masalah Dasar Pengembangan Seni Tradisi, ASKI Surakarta, 1981.
Kempres, Bernet; 1959 AJ. Ancient Indonesian Art. Cambridge Massachushetts: Harvard University Press.
Kusnadi, 1976. Pameran Seratus Tahun Seni Rupa Indonesia, dalam Prakata Katalog, Pameran Se-abad Seni Rupa Indonesia 1876-1976, Jakarta: Balai Seni Rupa.
Kusnadi, 1976/1977. Sejarah Seni Rupa Indonesia, Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Depdikbud.
Parker, DeWitt H, The Principles of Aesthetics, Second Edition, New York: Appleton Century Crofts Inc.
Stangos, Nikos; 1981 Concepts of Modern Art, New York: Harper & Row Publisher.
Suartha, I.W.; 1993 Seni Lukis Kontemporer Bertemakan Wayang di Bali, Makalah Pengantar, Rupa Wayang dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia, Pameran Seni Rupa Kontemporer dalam Rangka Pekan Wayang Indonesia VI.
Supangkat, Jim; 1992 Seni Rupa Indonesia dalam Peta seni Rupa Dunia, Makalah Seminar, ISI Yogyakarta.
Yuliman, Sanento; 1990 Boom! Ke Mana Seni Lukis Kita? dalam, Makalah Diskusi, Surakarta: Taman Budaya Jawa Tengah.
odoseputro, Wiyoso; 1993, “Kesinambungan Tradisi dan Sumber Pengilhaman”. Makalah Pengantar, Rupa Wayang dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia, Pameran Seni Rupa Kontemporer dalam Rangka Pekan Wayang Indonesia VI.
Biografi Penulis
Drs. Dharsono,
M.Sn. (nama
lain: Sony Kartika), dilahirkan di Klaten, 14 Juli 1951. Lulus
program magister seni rupa dan desain ITB tahun 1999, dan lulus pendidikan S3
(program Doktor) seni rupa di tempat yang sama. Pekerjaan terakhir ialah Lektor
pada bidang ilmu Seni Rupa STSI Surakarta. Ia juga aktif mengamalkan ilmunya
sebagai dosen luar biasa di STISI
Bandung , dan Fakultas Seni UNPAS. Profesi kesenimanannya dituangkan
melalui kegiatan melukis sejak tahun 1975 sampai kini, dan telah sering
mengikuti pameran regional dan nasional. Di samping melukis aktif juga menulis
artikel dan kritik seni di berbagai
media massa. Tulisan ini dimuat di Jurnal Seni Rupa dan Desain Volume 1,1, Agustus 2000 yang diterbitkan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Seni
Rupa dan Desain Indonesia (STISI) Jl. Soekarno Hatta No. 581 Bandung 40275 t:
022 7306211, 7306228, f: 022 7306228 w: www.stisi.ac.id,
e: contact@stisi.ac.id
[1]
Masa Persagi dan Revolusi 1945 di Indonesia, ialah dimana
aspirasi kebangsaan sangat kuat tumbuh di setiap dada orang Indonesia . Masa
untuk menaikkan martabat dan mengenyahkan penjajah. Lahirnya Persatuan Ahli
Gambar Indonesia (Persagi) (1937), sebenarnya merupakan mata rantai dari
lahirnya Budi Utomo (1908), lahirnya Pendidikan Taman Nasional (1922), Sumpah
Pemuda (1928) serta lahirnya Pujangga Baru yang bercita-cita tentang sastra
Indonesia. Persagi bertujuan mengembangkan seni lukis di kalangan bangsa Indonesia , dengan
mencari corak Indonesia
baru (Sudarmaji, 1976).