Oleh Nasbahry Couto
1. Perkembangan Generasi Perguruan Tinggi
Menurut Oey-Gardiner, et.all (2017), Pertumbuhan
dan pengembangan pendidikan di tingkat perguruan tinggi terus berjalan cepat seiring
dengan perkembangan pengalaman manusia dalam menyelesaikan berbagai permasalahan
kehidupan yang dihadapinya. Apa yang sekarang disebut dengan universitas kelas dunia
(world-class university), juga universitas
riset (research university), menjadi topik
pembicaraan hangat di lingkungan perguruan tinggi, pemerintah, dan masyarakat. Media
cetak dan media sosial sering kali menampilkan peringkat
universitas dunia yang dibuat oleh Times Higher Education World University, Academic Ranking of World Universities
(ARWU), Higher Education Evaluation and Accreditation Council of Taiwan (HEEACT),
Webometrics, dan masih banyak yang lain.
Pemeringkatan ini mendorong
sivitas akademika perguruan tinggi di Indonesia untuk
berkaca diri melihat prestasi masing-masing. Apa yang membedakan pendidikan tinggi
tingkat nasional yang selama ini berjalan dengan pendidikan tinggi kelas regional
Asia dan kelas dunia terus menjadi bahan perbincangan. Mengapa peringkat pendidikan
tinggi di Indonesia umumnya rendah? Dalam dua dasawarsa terakhir, banyak penelitian
dilakukan dan buku diterbitkan untuk mengulas perkembangan pengelolaan pendidikan
di perguruan tinggi, khususnya yang terkait dengan fenomena yang disebut sebagai
universitas riset dan universitas kelas dunia (Altbach dan Salmi 2012).
Perkembangan dunia perguruan
tinggi sekarang semakin dibayangbayangi oleh munculnya universitas kelas dunia dan
universitas riset (re-search institutions
of higher education). Ada yang menyebutnya sebagai munculnya “generasi ketiga”
dari sejarah panjang evolusi perkembangan pendidikan tinggi di dunia. Tujuan, peran,
metode, produk lulusan, orientasi, bahasa, organisasi, dan tata kelola universitas
generasi ketiga berbeda dari tujuan, peran, metode, produk lulusan, orientasi, bahasa,
organisasi, dan tata kelola universitas generasi pertama dan kedua. Dari segi metode,
misalnya, generasi pertama pendidikan tinggi lebih bercorak skolastik dan generasi
kedua bercorak modern namun menggunakan pendekatan perkuliahan, pembelajaran, serta
riset yang masih bercorak mono-disiplin, sedangkan generasi ketiga bercorak modern
namun menggunakan pendekatan yang interdisiplin (Wissema
2009: 23, 32). (Lihat Tabel 1.1)
Di atas itu semua, belakangan muncul di lingkungan pengelola pendidikan tinggi, setidaknya dalam teori, apa yang disebut sebagai universitas riset, yang berbeda corak visi dan misinya dari universitas yang fokusnya hanya pada pengajaran (teaching institutions of higher education). Jika dibaca dari banyak literatur, pendidikan tinggi kelas dunia memang tidak bisa dipisahkan keberadaannya dari mutu dan jumlah riset yang dilakukannya serta publikasi dalam jurnal internasional. Sudah barang tentu ini membutuhkan cara berpikir dan tata kelola pendidikan tinggi yang baru dan lebih menonjolkan persaingan dalam perekrutan tenaga pengajar, para peneliti, dan guru besar ternama di dunia, calon mahasiswa dari berbagai penjuru dunia, beasiswa yang memadai, dan seterusnya.
Tabel 1.1 Ciri Pokok Tiga Generasi Perguruan Tinggi
CIRI DARI |
Universitas generasi pertama |
Universitas generasi kedua |
Universitas generasi ketiga |
Tujuan |
Pendidikan |
Pendidikan dan riset |
Pendidikan dan riset plus tahu bagaimana memanfaatkannya |
Peran |
Mempertahankan kebenaran |
Menemukan dan menguasai alam |
Menciptakan
nilai |
Metode |
Skolastik |
Ilmu modern, mono-disipliner |
ILMU MODERN, INTERDISIPLINER |
Produk |
Tenaga ahli/ profesional |
Tenaga ahli/ profesional plus ilmuan |
Tenaga ahli/ profesional dan ilmuan plus wirausaha |
Orientasi Bahasa Organisasi |
Universal Latin Bangsa, fakultas, colleges |
Nasional Bahasa nasional Fakultas |
Global Inggris Institut pada tingkat universitas |
Manajemen |
Chancellor/ rektor/dekan |
(Paruh-waktu) Akademisi |
Tenaga ahli Manajer |
Sumber: Gardider,M.D.,
et.all. (2017, Era disrupsi, Peluang dan Tantangan PT
Indonesia
Selain itu, diskusi tentang
perkembangan pendidikan tinggi era kontemporer tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
lebih lanjut dari apa yang disebut sebagai Liberal Arts
Education. Liberal Arts Education berupaya mendekatkan kembali, mengintegrasikan,
atau mengait-hubungkan secara intrinsik dan sistemis antara sains, ilmu sosial,
dan humaniora, antara keterampilan berpikir ilmiah (scientific skill) dan pemikiran
kemanusiaan (humanistic thought) [[1]]. Istilah semakna dengan Liberal
Arts Education adalah “General Education” [[2]]. Oleh asosiasi perguruan tinggi
di Amerika, General Education didefinisikan sebagai berikut:
Suatu pendekatan belajar di kolese yang meningkatkan
kemampuan individu dan menyiapkannya untuk menghadapi kekompleksan, kebinekaan,
dan perubahan. Di sana tekanan diberikan pada pengetahuan luas tentang dunia yang
lebih luas (misalnya ilmu, kebudayaan, dan masyarakat) maupun pencapaian mendalam
pada wilayah yang menjadi perhatiannya. Membantu mahasiswa untuk mengembangkan rasa
tanggung jawab sosial maupun keterampilan intelektual dan praktis yang meliputi
semua bidang studi, seperti komunikasi, keterampilan analitis dan pemecahan soal
dan meliputi kemampuan untuk membuktikan penerapan pengetahuan dan keterampilan
di dalam lingkungan dunia nyata.[[3]]
Pengetahuan mengenai ilmu
sosial dan studi humaniora seperti agama, filosofi, bahasa, sastra, menulis, sejarah,
seni, antropologi, sosiologi, psikologi, dan komunikasi sangat diperlukan untuk
membangun karakter yang kuat buat kesejahteraan masyarakat dan bangsa. Dibekali
dengan pengetahuan Liberal Arts
dan General Education, alumni perguruan tinggi tidak akan mudah menyerah kalah dalam
menghadapi segala perubahan, tetapi akan lebih siap beradaptasi atau mereka malah
mampu ikut mengubah keadaan dengan ide baru. Membaca, berargumentasi, dan menuangkannya
dalam tulisan adalah sisi lain dari kekuatan Liberal Arts Education.
Tabel 1.2. Ciri Pokok Generasi Kedua Dan Ketiga [2gu Dan 3gu]
CIRI DARI |
|
Universitas
generasi kedua |
Universitas
Generasi ketiga |
Dua tujuan:
riset dan pendidikan. Tidak ada minat untuk memanfaatkan ilmu yang
ditemukan. |
Pemanfaatan
ilmu adalah bisnis utamanya dan ini menjadi
tujuan ketiga. |
Beroperasi
pada pasar lokal. Universitas
lain hanya dilihat sebagai kawan biasa/kolega. |
Beroperasi
pada pasar internasional. Persaingan
pasar. |
Lembaga yang
berdiri sendiri tanpa ada hubungan resmi dengan lembaga lain. |
Universitas
terbuka, bekerja sama dengan banyak partner. |
Riset bersifat
mono-disiplin dan peran yang
menonjol ada di fakultas. |
Riset bersifat transdisiplin
dan peran yang menonjol ada pada institut dan pusat studi pada
tingkat universitas. |
Utamanya
pendidikan ditujukan untuk elite; untuk mahasiswa yang benar-benar siap. |
Pengorganisasiannya
bercorak multikultural; kalangan biasa
dan elite. |
Universitas
nasional. |
Universitas
kosmopolitan |
Peran
penting pemerintah dalam pendanaan;
intervensi negara sangat kuat. |
Pendanaan,
tidak ada peran langsung dari
pemerintah. Tidak ada intervensi negara.
Otonomi perguruan tinggi. |
Sumber: Gardider,M.D.,
et.all. (2017, Era disrupsi, Peluang dan Tantangan PT
Indonesia
Salah satu dari sekian
banyak elemen menonjol
dari world class university maupun research university adalah digunakannya pendekatan
pembelajaran, perkuliahan, riset, dan pengabdian kepada masyarakat baru, yang lebih
bercorak multidisiplin, interdisiplin dan
transdisiplin. Digunakan atau tidaknya pendekatan ini, baik dalam berpikir, pendidikan,
maupun pembelajaran, lebih-lebih dalam riset, bakal menentukan nasib perguruan tinggi
di Indonesia yang
akan datang di kancah internasional. Merupakan pertanyaan yang harus dijawab oleh
manajemen pendidikan
tinggi di Indonesia era sekarang tentang apa langkah-langkah mendesak yang harus
diambil untuk mengembangkan dan memajukan perguruan tinggi di Indonesia 2030 dan
2045. Jika tidak dipersiapkan secara matang, terprogram dari sekarang, dan tidak
diambil langkah-langkah terobosan strategis, besar kemungkinan perkembangan dan
kemajuan pendidikan tinggi Indonesia tidak akan jauh berbeda dari yang terlihat
sekarang ini, bahkan lebih rendah karena pendidikan tinggi di negara lain juga terus
berkembang tanpa terbendung.
2.
Pembelajaran dan Penelitian Interdisiplin ke Multidisiplin dan Transdisiplin
Belum banyak yang dapat
memahami apa yang dimaksud dengan pendekatan pembelajaran dan penelitian yang menggunakan
pendekatan multidisiplin, interdisiplin dan
transdisiplin. Pengertian yang diberikan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Amerika cukup
membantu untuk memperoleh pemahaman tersebut. Pendekatan interdisiplin adalah cara
atau model pembelajaran dan penelitian yang mampu menyatupadukan informasi, data,
teknik, alat-alat, perspektif, konsep, dan teori dari dua atau lebih disiplin ilmu
untuk memajukan pemahaman fundamental dan memecahkan permasalahan tertentu yang
pemecahannya berada di luar wilayah jangkauan satu disiplin tertentu (monodisiplin) atau wilayah praktik penelitian tertentu
(US National Academy of Sciences 2004).
Dalam kehidupan dunia
yang ditandai dengan arus perubahan yang sangat cepat, bahkan disruptif, dalam segala
bidang, dibarengi ketidakpastian yang tidak terelakkan serta semakin terinterkoneksikannya
jaringan keilmuan, kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan agama antarbangsa dunia
di muka bumi, manusia Indonesia dituntut
untuk mampu berpikir tingkat tinggi (higher order of thinking), mampu menjadi pribadi
adaptif, dalam upaya memecahkan masalah-masalah baru yang saling berkait-kelindan,
seperti perubahan iklim, kelangkaan energi, kerusakan lingkungan, pertum buhan penduduk,
ketahanan pangan, radikalisme agama, dan terorisme.
Permasalahan kompleks
yang melekat kuat dalam kehidupan manusia tidak dapat lagi diselesaikan dengan pendekatan
monodisiplin. Yang diperlukan sekarang dan lebih-lebih
di masa yang akan datang adalah corak berpikir dan cara belajar serta riset yang
bercorak transdisiplin. Bukan lagi yang bercorak monodisiplin. Istilah yang seolah-olah
baru ini sesungguhnya telah memiliki fondasi yang sangat kuat dalam masyarakat keilmuan.
Dalam bahasa yang sederhana, penelitian transdisiplin menghasilkan, menyatukan,
dan mengatur lalu lintas jaringan berbagai kelompok disiplin ilmu, kelompok peneliti,
pengguna ilmu pengetahuan, pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan industri
untuk mempromosikan kemaslahatan dan kebaikan bersama (common good) yang terkait
dengan permasalahan tertentu yang sedang dihadapi umat manusia.
Penelitian transdisiplin
atau interdisiplin bukannya
bertentangan atau berlawanan dengan pendekatan disipliner yang biasa berlaku selama
ini, melainkan melengkapi, saling memberi-menerima dalam proses produksi ilmu pengetahuan.
Penelitian transdisiplin adalah perluasan dan pengembangan lebih lanjut dari penelitian
interdisiplin (Cronin 2008; Unesco1998).
Menurut Tress dkk., penelitian
transdisiplin merupakan gabungan dan keterpaduan antara penelitian interdisiplin dan
pendekatan partisipatoris, yakni para peneliti akademis bekerja sama dengan para
peserta penelitian dari kalangan nonakademis untuk meneliti permasalahan tertentu
guna mencapai tujuan bersama dan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan (Tress B.
dkk., 2006: 13–26).
Dalam keilmuan biologi,
khususnya dalam lima tahun terakhir, misalnya, para ilmuwan berlomba membuat DNA
yang memiliki fungsi khusus untuk menghasilkan senyawa atau molekul kimia khusus
tanpa harus menggunakan mahluk hidup yang ada di alam. Kemajuan dalam menulis gen
telah melahirkan disiplin ilmu baru, yaitu synthetic biology (biologi sintetik).
Synthetic biology menggunakan pendekatan penelitian yang secara tegas disebut multidisiplin.
Biologi sintetik adalah
bidang studi multidisipliner yang berkembang pesat—desain dan konstruksi rasional
bagian-bagian biologis, alat, dan sistem dengan pola perilaku fungsional yang bisa
diramal dan bisa dipercaya yang tidak ada dalam alam, dan rencana ulang (re-design)
dari sistem biologis natural yang ada buat penelitian dasar dan tujuan-tujuan yang
bermanfaat. [[4]]
Perbedaan antara penelitian
dan pembelajaran interdisiplin dan
transdisiplin adalah penelitian transdisiplin dapat memberi arah evolusi pengembangan
dari berbagai disiplin ilmu dan produk yang dihasilkan akan jauh lebih besar, lebih
mencakup, daripada hanya menjumlahkan bagian-bagian kecil; hasil penelitian transdisiplin
biasanya melampaui proses dan hasil yang dilalui dan diproduksi oleh ilmu pengetahuan
biasa (Petts, dkk. 2008; Geoforum, 593-601). Abad ke-21 sangat kompleks, beragam,
dan cepat berubah. Dengan pendekatan interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner
yang kritis, berwawasan luas, dan kreatif, para pembelajar tidak akan merasa gamang
menghadapi masalah di luar keahliannya.
Bagaimana praktiknya di
Indonesia? Yang perlu dicatat sebagai bahan perbandingan
untuk konteks pendidikan tinggi di Indonesia, pendekatan interdisipliner, multidisipliner,
dan transdisipliner umumnya lebih dimaknai sebagai team teaching, yang dalam praktiknya
karena setiap dosen dan guru besar sibuk luar biasa mereka pun tidak pernah bertemu
bersama di kelas atau perkuliahan. Atau hal itu lebih umum diartikan sebagai “bagi-bagi
kerja” antardosen atau “kerja bersama-sama” atau “sama-sama kerja” di antara beberapa
dosen. Topik yang sama dibagi-bagi untuk beberapa dosen. Praktik seperti ini jauh
dari apa yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh pendekatan interdisipliner, multidisipliner
dan transdisipliner dalam literatur pendidikan tinggi dalam kancah internasional.
Hasilnya, sulit sekali memberi contoh kepada mahasiswa bagaimana “kerja sama” di
antara berbagai disiplin ilmu untuk memecahkan satu masalah besar yang sedang dihadapi.
Kebiasaan ini dibawa sampai mereka bekerja di berbagai kementerian dan departemen
dalam pemerintah. Sulit sekali koordinasi dan
kerja sama antarkementrian, departemen, pemerintah daerah, lebih-lebih pada eselon-eselon
di bawahnya, dalam upaya menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat, bangsa,
dan negara.
Lebih dari itu, penelitian
transdisiplin melibatkan berbagai pendekatan yang mampu memecah kebekuan dan kejenuhan
disiplin ilmu yang berdiri sendiri-sendiri (mono-disiplin) dan mampu melunakkan
batas-batas kaku di antara berbagai disiplin ilmu. Pemikiran dan penelitian yang
bercorak transdisiplin melibatkan pengetahuan yang dihasilkan dengan cara mengkombinasikan
beberapa elemen dari
berbagai disiplin ilmu, termasuk pengetahuan yang nondisipliner, atau dari pemangku
kepentingan yang relevan dan kemudian menciptakan ilmu pengetahuan baru yang lebih
komprehensif dan sintesis yang menjangkau banyak bidang (Klein, 2008). Dengan cara
seperti itu, isu-isu yang kompleks sekalipun dapat dibicarakan secara tepat dan
lebih memuaskan dalam ruang intelektual baru, mampu mencegah keterpecahbelahan atau
dikotomi ilmu pengetahuan yang ekstrem, serta dapat mempromosikan inovasi dan penyuburan
silang ilmu pengetahuan.
Pemikiran dan penelitian
multidisiplin terjadi
jika subjek penelitian dikaji dan didekati dari berbagai sudut pandang, menggunakan
perspektif dari berbagai disiplin berbeda. Berbagai disiplin yang berbeda dapat
hi dup berdampingan dalam konteks khusus dan masih tetap dapat mempertahan kan batas-batas
disiplin dan metode yang dimilikinya. Pendekatan multidisiplin tidak ingin campur
tangan dan melibatkan diri terlalu jauh dalam pembentukan ilmu baru, dan di sinilah
letak perbedaan antara penelitian yang bercorak interdisipliner dan transdisipliner
(Klein 2008). Sebagai contoh adalah bagaimana menjaga kebersihan lingkungan. Sebuah
masalah yang belum dapat dipecahkan dengan baik sampai saat ini di Tanah Air adalah
masalah kebersihan, yang antara lain disebabkan oleh penumpukan sampah di berbagai
kota. Masalah ini perlu melibatkan pendekatan yang bercorak transdisipliner. Tidak
hanya sains (teknologi pengelolaaan
sampah; daur ulang, kompos), tetapi juga budaya masyarakat dan perundang-undangan,
hukum, juga ilmu-ilmu sosial (kelembagaan, organisasi, pendanaan). Semua elemen tersebut
harus berjalan secara sinergis, simultan, tidak terpotong-potong antara satu dan
lainnya. Bahkan pendekatan agama terhadap kebersihan lingkungan yang berdiri sendiri—yang
umumnya dengan cara menyitir dalil-dalil kitab suci atau lainnya, tanpa melibatkan
ilmu-ilmu lain tidak dapat menggerakkan masyarakat untuk berbuat sesuatu dan tidak
membuahkan hasil yang memuaskan.
3.
Transdisiplin: Ilmu Alam dan Ilmu
Sosial
Pemecahan masalah, inovasi, kreativitas, invensi, imaginasi, transformasi, pemanfaatan perkembangan teknologi, kewirausahaan, dan keterbukaan wawasan dalam berpikir adalah ide dasar dan filosofi yang melatarbelakangi pentingnya pendekatan transdisiplin (Wissema 2009: 90). Keterbukaan dalam berpikir yang dibentuk oleh pengalaman nyata (concrete experience) dalam berhadapan dengan ramah dan ganasnya alam semesta (perubahan iklim, bencana alam, air bersih, kebersihan lingkungan), kebutuhan untuk meringankan beban hidup manusia hidup di muka bumi (pakaian, makanan, tempat tinggal, energi yang terbarukan, transportasi), dan mengatasi peliknya masalah ekonomi, sosial-kemasyarakatan, dan sosial-keagamaan (kemiskinan, pendidikan, kesehatan, radikalisme, terorisme, takfirisme atau suka mengkafirkan orang atau kelompok yang berbeda pemahaman dan penafsiran agama dari yang dimilikinya), inklusi sosial, narkoba, kekerasan seksual, korupsi, kolusi, dan nepotisme, etika, dan hukum) adalah visi dan tujuan utama pendekatan pembelajaran dan riset yang bercorak transdisiplin.
Gambar 1.2 Mata Rantai Berharga Dari Ide Sampai Inovasi Tahu-Bagaimana Menciptakan Ilmu Pengetahuan Dan Memanfaatkannya, sumber: Oey-Gardiner, 2017 Pembelajaran dan
penelitian yang bercorak transdisiplin tidak harus terbatas hanya dalam upaya mengkombinasikan
ilmu pengetahuan dan teknologi. E.O. Wilson memper kenalkan kembali istilah
consilience, kesatuan ilmu pengetahuan (the unity of knowledge), mengumpulkan secara
bersama-sama (bringing together) ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin. Menurut
dia, sebagaimana dikutip oleh J.G. Wissema (Wissema 2009,37), adalah sebagai berikut:
Konsep menyatukan kembali ilmu pengetahuan berakar
pada konsep Yunani Kuno tentang adanya hukum keteraturan alam intrinsik, yang mengatur
seluruh kosmos, alam semesta kita. Hukum keteraturan alam ini dapat dipahami secara
inheren oleh proses logika manusia, sebuah pemahaman yang bertentangan dengan pandangan
mistis yang dianut oleh berbagai budaya di sekitar orang Yunani saat itu. Pandangan
rasional ini telah ditemukan kembali selama akhir era abad pertengahan, dipisahkan
dari teologi selama era Renaissance, dan memperoleh puncaknya pada abad Pencerahan
(Enlightenment). Kemudian, dengan munculnya ilmu-ilmu, modern pemahaman akan menyatunya
ilmu pengetahuan telah hilang dengan semakin bertambahnya fragmentasi dan spesialisasi
ilmu dalam dua abad terakhir. Pemahaman yang berseberangan dengan konsep conscilience
adalah reductionism. Dari prinsip conscilience ini, Wilson berpendapat bahwa sesungguhnya
tidak ada garis pembatas yang tegas antara ilmu-ilmu pasti (exact sciences) di satu
sisi dan ilmu-ilmu humaniora (humanities) di sisi lain. Psikologi kognitif dan antropologi
biologis menunjukkan akan semakin menyatu dengan biologi. Pemahaman konsep penyatuan
seperti itu akan membuka jalan ke depan untuk memahami sifat dasar manusia secara
lebih baik dan benar. Pemahaman sifat dasar manusia secara intuitif merupakan inti
dari seni kreatif, juga merupakan bangunan dasar ilmu-ilmu sosial. “Memahami sifat
dasar manusia secara objektif, mempelajarinya secara ilmiah, memahaminya dalam seluruh
manifestasinya akan memenuhi impian era pencerahan”.[[5]]
Pendidikan tinggi yang
berjalan sekarang ini umumnya masih bersifat reduksionis, yaitu terlalu kecil dan
sempit perspektifnya dalam melihat dan menganalisis suatu masalah. Hal ini
dapat terlihat dengan mudah dengan melihat praktik pembelajaran pendidikan tinggi
di Indonesia sebelumnya dan mungkin juga sekarang.
Konsep linearitas, misalnya,
masih banyak dijumpai dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Persyaratan melanjutkan studi dari jenjang
S-1 ke S-2 dan S-3, bahkan persyaratan merekrut calon tenaga pengajar di perguruan
tinggi masih dipandu oleh linearitas. Linearitas sebatas dalam pengelolaan birokrasi
keilmuan pada pengelolaan program studi barangkali masih dapat dimaklumi; namun,
linearitas keilmuan jika dipahami secara ketat dan kaku akan membelenggu cara kerja,
cara berpikir, kreativitas, serta inovasi para dosen dan mahasiswa.
Contoh yang berlawanan
dengan praktik linearitas adalah bidang seni (art), seperti seni arsitektur dan
desain industri. Bidang seni dapat diterima di universitas teknologi [[6]].
Sayangnya, justru pendidikan
seni seperti ini yang amat sangat langka dijumpai dalam setiap lapis pendidikan
di Tanah Air, kecuali yang mengkhususkan diri pada studi seni seperti Institut Seni Indonesia (ISI).
Universitas masa depan akan lebih bercorak sintesis atau lebih tepat disebut penyatuan—antara
berpikir reduksionistik (proses berpikir sempit, perspektif terbatas) dan berpikir
kreatif (proses berpikir yang kaya perspektif dan alternatif)—yang bisa diduga akan
dihidupkan kembali dan diperkuat. Ke depan, permasalahan yang sangat sulit dan membingungkan
menuntut digunakannya pemecahan masalah secara
interdisipliner dan transdisipliner. Persoalan sulit seperti itu akan dipecahkan
oleh sekelompok mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu secara bersama-sama. Mahasiswa-mahasiswa
ini, bersama-sama dengan ahli-ahli dari berbagai disiplin ilmu, akan bekerja sama
secara lebih radikal.
Tidak dapat diingkari
memang bahwa keterampilan teknis (technical skill) adalah perwujudan kecerdasan
dan kepandaian manusia yang mengagumkan untuk membantu mengurangi beban dan kesulitan
yang dihadapi dalam menjalankan kehidupannya.
Namun, kepandaian dan
kecerdasan teknis seperti itu tidak dapat dihargai sedemikian rupa tanpa mengikut
sertakan, apalagi sampai mengabaikan peran humaniora, seperti umumnya anggapan orang
sekarang ini. Keilmuan teknik (engineering) tidaklah lebih baik daripada sejarah
seni ( philosophy and history of art) dan begitu pula sebaliknya.
Masyarakat memerlukan
keduanya, bahkan sering kali kombinasi keduanya. Bahkan, dalam era digital saat
ini, seharusnya perlu mencermati apa yang disampaikan oleh Steve Jobs ketika memperkenalkan
edisi baru iPad. “Dalam DNA Apple itu sendiri dijelaskan bahwa teknologi saja
tidaklah cukup. Teknologi yang
dikawinkan dengan liberal art, teknologi yang dikawinkan dengan humaniora-lah yang
mengantarkan produk itu untuk dapat memperoleh hasil yang membuat hati
seseorang merasa puas” (Zakaria 2015: 82).
Kata kunci ”perkawinan”
dan ”saling keterhubungan” menjadi sangat penting di sini. Perkawinan ini bukanlah
semata-mata persoalan menambahkan begitu saja desain ke dalam teknologi. Cermati apa yang terjadi pada Facebook. Mark
Zuckerberg, sebagaimana dituturkan oleh Fareed Zakaria, dulu adalah mahasiswa classical
liberal art, yaitu bidang studi yang mengutamakan pembelajaran yang luas, integratif,
bebas, dan terbuka. Bukan pembelajaran yang bercorak spesialis yang kaku. Namun,
dia senang dan sangat tertarik pada komputer. Dia mempelajari sejarah dan filsafat Yunani
Kuno ketika masih sekolah menengah atas dan kemudian mengambil program studi psikologi
ketika kuliah pada level S-1. Pemahaman yang sangat penting dan jarang diketahui
umum adalah bahwasanya yang membuat Facebook menjadi perusahaan raksasa di bidang
teknologi informasi seperti saat sekarang ini adalah hal-hal sangat terkait dengan
psikologi, selain dengan teknologi.
Dalam berbagai perbincangan,
Zuckerberg sering kali menunjukkan bahwa sebelum Facebook dibuat, banyak orang menutupi
identitasnya di Internet. Boleh dikata, Internet adalah dunia tanpa nama dan asal-usul,
dunia tanpa pengetahuan atas identitas seseorang (anonimity). Adapun pandangan Facebook
sebaliknya.
Seharusnya dapat diciptakan
budaya di mana seseorang dapat menunjukkan identitasnya secara jelas, masyarakat
secara sukarela dapat menunjukkan diri mereka di hadapan teman-temannya, dan langkah
ini akan menjadi program besar yang bercorak transformatif. Sudah barang tentu Zuckerberg
memahami komputer sangat
mendalam dan mampu menggunakan kode tertentu untuk meletakkan ide-idenya dalam praktik,
namun pemahamannya tentang pentingnya psikologi kejiwaan manusia adalah kunci keberhasilannya.
Mengikuti kata-katanya sendiri, bahwa dalam Facebook “porsi psikologi dan sosiologi
sama banyak dan sama kuatnya dengan teknologi” (Zakaria 2015: 82-3).
Terpisahnya secara radikal
antara sains dan teknologi di satu
sisi dan sosial-humaniora di sisi lain dan implikasinya dalam kehidupan sosial-politik-keagamaan
di era global mulai dirasakan dan sangat digelisahkan oleh para pengamat studi agama
dan keislaman karena akan berakibat pada stabilitas dan instabilitas keamanan nasional
dan perdamaian dunia. Perlu dicermati dengan sungguh-sungguh bagaimana merancang
sistem pendidikan, perkuliahan, dan pembelajaran di perguruan tinggi di masa depan.
Setidaknya Khaled Aboe El-Fadl (Khaled Abou El-Fadl, 2005) mengungkapkan fakta sebagai
berikut:
“Menjadi orang modern yang sebenarnya menurut muslim
puritan adalah kembali ke belakang dari segi waktu dan menciptakan kembali abad
keemasan Islam. Meskipun demikian, ini bukan berarti bahwa mereka ingin menghapus
teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Program
mereka ini, dengan cara mengaburkan persoalan yang sesungguhnya sedang dihadapi
adalah sederhana. Manusia muslim hendaknya mempelajari teknologi dan ilmu pengetahuan
yang ditemukan oleh Barat, namun untuk tujuan menentang budaya Barat. Orang muslim
tidak perlu mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Itulah sebabnya banyak kaum
puritan datang ke Barat untuk belajar, tetapi
mereka selalu hanya memfokuskan studi pada ilmu-ilmu fisika, termasuk ilmu komputer dan
semuanya tidak menganggap penting ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dibekali dengan
ilmu-ilmu modern dan teknologi, puritan percaya bahwasanya mereka akan memiliki
posisi yang lebih baik untuk menciptakan kembali zaman keemasan Islam dengan cara
membangun masyarakat Islam sepertinegara-kota yang dibangun era kenabian di Madinah
dan Mekah.[7]
Ungkapan fakta ini jangan
dianggap remeh. Ini sangat relevan dengan tantangan yang dihadapi oleh perguruan
dan pendidikan tinggi di dunia dan di Indonesia, yang umumnya masih mengunggulkan pentingnya
linearitas keilmuan dan menjauh dari upaya menyatukan kembali pandangan keilmuan
alam, kemanusiaan, dan keilmuan sosial, termasuk ilmu-ilmu keagamaan. Dengan semakin
kompleksnya perkembangan kehidupan dan keilmuan manusia, pandangan linearitas keilmuan
harus ditinggalkan dan sejalan dengan napas liberal art education atau general education,
pendidikan dan pembelajaran di Indonesia harus berani mencari alternatif baru yang
lebih kondusif untuk menjawab tantangan zaman dan kemanusiaan global. Para pemikir
dan pengelola pendidikan dan perguruan tinggi harus berani melalukan perubahan secara
fundamental. Ini bukanlah perubahan di wilayah pinggir-pinggir (changing from the
edge). Mereka harus berani merancang ulang porsi perbandingan antara major dan minor.
Mahasiswa yang mengambil major dalam sains harus dibuka kesempatan untuk mengambil
minor dalam humanities, ilmu-ilmu sosial, termasuk studi agama dan keislaman, dan
begitu pula sebaliknya. [[8]]
4.
Transdisiplin: Sains, Sosial, dan Agama
… the study of religion will suffer if its insights
do not take cognizance of how the discourses of politics, economics, and culture
impact on the performance of religion and vice versa. (Ebrahim Moosa, 2000: 28)
Sejarah pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia memang
unik. Keragaman perguruan
tinggi di Indonesia adalah fakta sejarah yang tidak bisa ditolak. Selain ada Kementerian
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti)—dulu
disebut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan—yang menaungi semua perguruan tinggi
umum, negeri dan swasta, juga ada Kementerian Agama yang
menaungi perguruan tinggi agama, negeri dan swasta, di Tanah Air.[[9]] Sekolah Tinggi Agama Islam
(STAIN), Institut Agama Islam (IAIN) dan sejak 1998 beberapa IAIN bertransformasi
menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Selain itu, ada perguruan tinggi Kristen
(STAKN) dan Hindu (STAHN). Perguruan tinggi agama, negeri dan swasta, setiap tahun
menampung tidak kurang dari 689.181 mahasiswa (Statistik Pendidikan Islam, 2015:
292). Merancang masa depan
pendidikan dan perguruan tinggi di Indonesia pada
2030 dan 2045 tidak bisa tidak perlu melibatkan perguruan tinggi agama. Lebih-lebih
selama ini tidak banyak perguruan tinggi di Indonesia, baik yang ada di bawah Kementerian
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi maupun Kementerian
Agama, yang secara terencana mendiskusikan secara
akademik hubungan antara sains dan agama.
Persoalan globalisasi tidak
hanya berhenti pada wilayah ekonomi dan industri (WTO; MEA), tetapi juga budaya,
sosial, dan agama. Universitas riset pada era global seperti sekarang ini, menurut
Altbach dan Salmi, pada dasarnya adalah institusi riset ekonomi berbasis pengetahuan
(knowledge-based economy). Institusi atau lembaga ini harus memberikan porsi yang
tepat untuk perenungan, kritik, dan pemikiran tentang budaya, agama, kemasyarakatan,
dan bahkan norma-norma. Jiwa universitas riset harus terbuka terhadap ide-ide dan
bersedia melawan keortodoksan dalam segala hal (Altbach dan Salmi, 2012: 14).
Tema-tema studi dan penelitian
baru dalam studi kemanusiaan seperti hak asasi manusia, demokrasi, negara-bangsa,
pengarusutamaan gender, hak-hak perempuan dan anak, demografi dan keluarga berencana,
lingkungan hidup, semakin dekatnya hubungan antar-umat beragama (a greater interfaith
interaction), perlunya hubungan yang harmonis antara muslim dan non-muslim, pluralisme,
kekerasan atas nama agama, radikalisme, terorisme, multikulturalisme, inklusi sosial,
perdamaian, kemiskinan, kesehatan yang baik, mengatasi perubahan iklim dan bencana
alam, dan begitu seterusnya juga menjadi kajian penting. Itu semua tidak terpisahkan
di pendidikan tinggi keagamaan dan pendidikan tinggi umum dalam mempersiapkan kualitas
alumnus pendidikan tinggi masuk ke dalam kehidupan masyarakat luas, sekaligus mempersiapkan
kehadiran generasi pemimpin baru pada masa yang akan datang. [[10]]
Dalam menghadapi isu-isu
global dunia kontemporer yang antara lain telah disebut di atas, apakah pendidikan
tinggi di Tanah Air telah siap meramunya dalam proses pembelajaran dan perkuliahan
dan lebih-lebih penelitian? Ada kritik dari pengamat sosial-budaya dari antropologi
yang menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia belum
menghasilkan lulusan yang memuaskan, bahkan mengantarkan lulusannya ke wilayah kehidupan
moral berparadoks. Paradoks muncul karena terfragmentasinya proses pendidikan dan
pembelajaran di Tanah Air selama ini. Ini dijelaskan sebagai berikut:
“Melalui kurikulum sekolah, SD sampai perkuliahan, orang Indonesia dibesarkan dalam label yang mengharuskannya
membedakan persoalan politik, sosial, budaya dan agama, ekonomi, penegakan HAM,
dan sejarah sebagai hal yang berdiri sendiri-sendiri. Maka siswa/mahasiswa tidak
mampu membangun analisis dari berbagai sudut yang berbeda untuk mencapai kesimpulan
besar. Politik Orde Baru melahirkan manusia-manusia tipikal paradoksal: religius
dan patuh dalam berbelanja, konsumtif dalam simbol-simbol agama, dan toleran terhadap
kekerasan dalam penegakan moral. Namun, juga lunak dan ragu dalam korupsi, ketidakadilan,
serta pelanggaran HAM di depan matanya.” (Kompas, 30 Agustus 2014: 6).
Bukan hanya itu. Dalam
skala global-dunia Islam, diperoleh catatan serupa. Pengamat studi Islam dari Amerika Serikat,
berasal dari Palestina, mencatat bahwa studi syariah atau fikih yang menjadi inti
subjek dalam studi keislaman belum mengenal dengan baik, untuk tidak menyebutnya
tidak mengenal, filsafat dan ilmu sosial. Menurut dia, inti bidang studi yang mengelilingi
studi syariah dan fikih dari dulu sampai sekarang sering kali kosong dari muatan
kajian politik atau studi kritis atau yang relevan dengan keadaan sekarang ini.
Garis batas tegas telah dibuat antara “teologi” dan “politik” atau antara “teologi”
dan “sosial”. Teologi hanya dipahami sebagai ritus-ritus peribadatan, simbol-simbol,
dan teks-teks sejarah belaka. Lebih dari itu, sangat disayangkan bahwasanya perspektif
ilmu sosial dan filsafat kritis sama sekali tidak ada di situ. Bidang syariah modern
di dunia muslim masih tetap tertutup untuk menerima masukan dan sumbangan dari filsafat
kritis dan ilmu sosial yang paling mutakhir (Abu-Rabi’, 2002: 33-4).
Dalam kacamata Ian G.
Barbour, memang ada empat corak hubungan antara agama dan sains, yaitu konflik,
independen, dialog, dan integrasi (Barbour, 2000). Hubungan agama dan ilmu pengetahuan
di dunia Muslim umumnya dan Indonesia khususnya
masih bercorak independen (dengan simbol keterpisahan administrasi pengelolaan perguruan
tinggi pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi di satu sisi dan Kementerian
Agama di sisi
lain), untuk tidak menyebutnya masih dalam level konflik (Abdullah, 2015: 176-181).
Corak hubungan ini, dalam era world class university (WCU) yang berbasis pada riset
secara bertahap perlu ditingkatkan ke level dialog dan integrasi. Banyak ilmuwan
muslim dan ilmuwan Barat kontemporer telah mengingatkan perlunya peningkatan hubungan
tersebut agar budaya agama dan budaya sains dapat berdialog secara positif-konstruktif
dalam upaya memecahkan persoalan kemanusiaan. Artinya, peradaban manusia dalam era
global seperti saat sekarang ini menginginkan peradaban ilmu, sosial, budaya, dan
peradaban agama saling bertegur sapa dan berdialog secara intens, dan bukannya saling
menghindar dan menjauh. Lagi-lagi pendekatan dan perspektif interdisiplin, multidisiplin, dan transdisiplin, baik dalam proses pendidikan,
pembelajaran, maupun riset, sangat diperlukan di sini. [[11]]
Jasser Auda, mewakili
generasi baru sarjana muslim era kontemporer, menggarisbawahi perlunya dilakukan
riset yang penuh kesungguhan dan perlunya pandangan hidup yang kompeten (competent
worldview) untuk memecahkan permasalahan sosial keagamaan yang semakin hari semakin
pelik. Ia jelas-jelas menghendaki adanya corak hubungan baru, yang lebih integratif
dan transdisipliner antara agama dan sains sekarang ini dan lebih-lebih yang akan
datang.
... Dampak kedua dari persyaratan “pandangan dunia”
yang diusulkan tersebut adalah “membuka” sistem hukum Islam terhadap kemajuan dalam
ilmu-ilmu alam dan sosial. Penerimaan terhadap status quo atau “kenyataan” tidak
bisa lagi ditetapkan tanpa adanya penelitian semestinya yang didasarkan pada metodologi ilmu-ilmu fisika dan sosial yang sehat dan “kompeten”.
Kita sudah saksikan bagaimana soal-soal yang bersangkutan dengan kemampuan hukum
(legal capacity), seperti “tanda-tanda kematian”, “usia kehamilan maksimum”, “masa
diferensiasi”, atau “masa pubertas”, ditetapkan secara tradisional berdasarkan “tanya-tanya
orang”. Karena “metoda penelitian ilmiah” adalah bagian dari “pandangan dunia/hidup
seseorang” ... saya boleh berkata “tanya-tanya orang” tidak bisa didaku masa kini
tanpa adanya bukti statistik! Hal ini membawa kita ke dunia ilmu, (ilmu alam dan
sosial), dan merumuskan mekanisme interaksi antara hukum Islam dan cabang-cabang
pengetahuan lain.[[12]]
Pendapat yang sama disampaikan
Ebrahim Moosa.[[13]]
Jika gambaran hubungan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu pe ngetahuan yang selama
ini berjalan terasa kaku, sempit, saling menutup diri, dan beraroma konflik, banyak
hal yang perlu dibenahi oleh generasi ilmuwan, pendidik, dan ahli agama pada era
sekarang. Jika perbaikan tidak dilakukan, hal ini tidak menguntungkan bagi proses
pembangunan dan pembentukan karakter bangsa yang multikultur dan multireligi. Lalu
bagaimana corak hubungan di antara keduanya yang seharusnya dikembangkan dan dipersiapkan
oleh pengelola pendidikan dan perguruan tinggi di Indonesia menyongsong
2030 dan 2045, bahkan lebih awal dari itu?
Saling Menembus, Keterujian Intersubjektif, dan Imajinasi Kreatif
... that religion—and Islam is no exception—cannot afford to adopt a stationary attitude, lest they find themselves clashing with and overrun by modern knowledge, and religious principles appear more and more quaint and obsolete. (Guessoum, 2011: 343-4).
Seperti sekilas dijelaskan
di atas bahwasanya hubungan yang bercorak konflik atau independensi tidaklah nyaman
untuk menjalani kehidupan yang semakin kompleks. Tugas peneliti (research institutions
of higher education) dan pendidik (teaching
institutions of higher education) di lingkungan perguruan tinggi, terlebih di
lingkungan Lembaga Pendidikan Tenaga
Keguruan (LPTK) adalah menyiapkan para calon pendidik, pemikir, pemimpin, teknokrat,
birokrat, politikus, dan peneliti andal yang nyaman dalam menghadapi berbagai ketidakpastian,
kesulitan, kebingungan, serta mampu mengatasi dan mengaturnya secara cerdas (smart)
dan jitu melalui berbagai cara. Banya lubang yang menjebak, penuh risiko, jika menghadapi
pilihan hubungan antara sains, sosial, dan humaniora juga hubungan antara agama
dan ilmu bercorak konflik atau independen. Idealnya hubungan di antara keduanya
adalah dialog dan jauh lebih baik jika dapat berbentuk integrasi. Secara teoretis,
dengan mengambil inspirasi dari Ian G. Barbour dan Holmes Rolston, III, ada tiga
kata kunci yang menggambarkan hubungan agama dan ilmu yang bercorak dialogis dan
integratif, yaitu semipermeable (saling menembus), intersubjective testability (keterujian
intersubjektif), dan creative imagination (imajinasi kreatif).
Pertama, saling menembus
(semipermeable). Konsep ini berasal dari keilmuan biologi. Kaidah ”yang dapat menyesuaikan
dirilah yang paling dapat bertahan” (survival of the fittest) adalah yang paling
menonjol. Hubungan antara ilmu pengetahuan yang berbasis pada “kausalitas” (causality)
dan agama yang berbasis pada “makna” (meaning) adalah bercorak semipermeable, yakni,
di antara keduanya saling menembus: “the conflicts between scientific and religious
interpretations arise because the boundary between causality and meaning is semipermeable”
(Rolston, III, 1987: 1). Hubungan antara ilmu dan agama, begitu juga hubungan antara
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dan humaniora tidaklah dibatasi oleh tembok
tebal yang tidak memungkinkan untuk berkomunikasi, tersekat dan terpisah sedemikian
ketat dan rigidnya. Hubungan keduanya saling menembus, saling merembes. Saling menembus
secara sebagian, dan bukannya secara bebas dan total. Masih tampak garis batas demarkasi
di antara bidang disiplin ilmu, namun ilmuwan, dosen, dan peneliti berbagai disiplin
tersebut dapat saling membuka diri untuk berkomunikasi, saling menerima masukan
dan saling mengambil inspirasi dari disiplin di luar bidangnya. Hubungan saling
menembus ini dapat bercorak klarifikatif, komplementer, informatif, korektif, verifikatif,
transformatif, dan bahkan inspiratif. [[14]]
Setiap disiplin ilmu masih
tetap dapat menjaga identitas dan eksistensinya sendiri-sendiri, tetapi selalu terbuka
ruang untuk berdialog, berkomunikasi dan berdiskusi dengan disiplin ilmu lain. Tidak
hanya dapat berdiskusi antar-rumpun disiplin ilmu kealaman secara internal, namun
juga mampu dan bersedia untuk berdiskusi dan menerima masukan dari keilmuan eksternal,
seperti dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Ilmu-ilmu agama atau yang lebih populer
disebut dengan ‘Ulum al-din tidak terkecuali di sini. Ilmu-ilmun tersebut juga tidak
dapat berdiri sendiri, terpisah, terisolasi—seperti yang umumnya selama ini berlangsung—dari
hubungan dan kontak dengan keilmuan lain di luar dirinya. Ia harus terbuka dan membuka
diri serta bersedia berdialog, berkomunikasi, menerima masukan, kritik, dan bersinergi
dengan keilmuan alam, keilmuan sosial, dan humaniora. [[15]]
Di sini, untuk menggarisbawahi
apa yang dituliskan di atas, konsep linearitas bidang ilmu, lebih-lebih dalam ilmu-ilmu
keagamaan—meskipun dapat dibenarkan jika ditinjau dari administrasi dan birokrasi
keilmuan program studi di tingkat jurusan dan fakultas, tetapi pada era universitas
kelas dunia dan era universitas riset, pandangan keilmuan (scientific worldview) yang kaku seperti itu perlu dipertanyakan kemampuannya
untuk dapat memecahkan masalah yang kompleks oleh masyarakat luas dan kalangan ilmuan
itu sendiri. Alumnus pendidikan tinggi ketika terjun ke masyarakat luas dituntut
untuk mampu berpikir tingkat tinggi (higher order of thinking), lebih komprehensif,
tidak parsial-fragmentatif. Holmes Rolston III menegaskan bahwa studi agama yang
dipisahkan atau diceraikan dari ilmu pengetahuan sekarang tidak mampu menghasilkan
keturunan yang baik untuk generasi berikutnya. Spesialisasi yang berlebihan (overspecialization) adalah jalan yang hampir
pasti ke arah kematian dan bahkan kepunahan. Agama memang
perlu menjaga integritas dan kemampuan menyesuaikan diri secara otonom. Namun, pemahaman
agama tidak dapat bertahan hidup tanpa mampu menyesuaikan dengan lingkungan intelektual
yang mengitarinya. [[16]][[17]]
Kedua, keterujian intersubjektif
(intersubjective testability). Rambu-rambu
kedua yang menandai hubungan antara ilmu dan agama, juga antara ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang bercorak dialogis dan integratif adalah intersubjective
testability. Istilah tersebut datang dari Ian G. Barbour dalam konteks pembahasan
tentang cara kerja sains kealaman dan humanities (Barbour, 1966: 182-5), namun dalam
bagian iniyang penting dikembangkan dengan menggunakan ilustrasi yang diambil dari
pendekatan fenomenologi agama. Menurut Barbour, baik objek maupun subjek berperan
besar dalam kegiatan keilmuan. Data tidak dapat dikatakan terlepas sama sekali dari
penglihatan pengamat (The data are not “independent of the observer”), karena situasi
di lapangan selalu diintervensi oleh ilmuwan sebagai experimental agent itu sendiri.
Oleh karenanya, konsep bukanlah suatu hal yang diberikan begitu saja oleh alam dan
kehidupan sosial, melainkan dibangun atau dikonstruksi oleh ilmuwan sebagai pemikir
yang kreatif (creative thinker). Oleh karenanya, pemahaman tentang apa yang disebut
dengan objektif harus disempurnakan menjadi intersubjective testability, yakni ketika
semua komunitas keilmuan ikut bersama-sama berpartisipasi menguji tingkat kebenaran
penafsiran dan pemaknaan data yang diperoleh peneliti dan ilmuwan dari lapangan
(Barbour, 1966: 183).[[18]]
Dalam dunia logika ilmu
pengetahuan sekarang, khususnya yang terkait dengan bahasan ilmu dan agama, dikenal
istilah subjektif, objektif, dan berikutnya intersubjektif (Bracken, 2009). Dalam
studi agama, khususnya kajian fenomenologi agama—lewat bantuan penelitian antropologi
melalui grounded research (etnografi)—para peneliti dapat mencatat apa yang ditemui
dalam kehidupan sehari-hari di lapangan hal-hal yang dapat dideskripsikan secara
objektif. Para peneliti antropologi agama menemukan dan mencatat dengan cermat bahwa
apa yang disebut agama antara lain meliputi unsur-unsur dasar sebagai berikut (Cox,
2006: 236).
1)
doktrin (believe certain things)
2)
ritual ( perform certain activities)
3)
kepemimpinan (invest authority in certain personalities)
4)
menghormati teks tertentu sebagai yang
suci (hallow certain texts)
5)
sejarah (various story telling)
6)
moralitas (legitimate morality)
7)
Alat-alat (tools)
Ketujuh unsur ini pada
umumnya ada secara objektif dalam masyarakat pengikut kepercayaan dan agama di mana
pun mereka berada. Para pengamat, peneliti, dan ilmuwan (subjek)-lah yang mengkonstruksi
dan mencatat adanya unsur-unsur dasar (fundamental structure) dalam agama tersebut.
Namun, ketika ketujuh
unsur dasar dalam agama, yang menurut penglihatan para pengamat (researchers; religious
scholars) bersifat objektif-universal tersebut—karena dapat ditemui di berbagai
tempat, ada di mana-mana—telah dimiliki, diinterpretasikan, dipahami, dipraktikkan
dan dijalankan oleh orang per orang, kelompok per kelompok dalam konteks budaya
dan bahasa tertentu (community of believers), maka secara pelan tapi pasti, apa
yang dianggap objektif oleh para pengamat tadi akan berubah menjadi subjektif menurut
tafsiran, pemahaman, dan pengalaman para pengikut ajaran agama masing-masing. Community
of believers ini sering kali sulit sekali memahami sisi objektivitas dari keberagamaan
manusia, karena kepentingan-kepentingan, terlebih kepentingan politik, memang selalu
melekat dalam dunia subjek dan para pelaku di lapangan.
Pergeseran dari objektivitas-peneliti
ke subjektivitas-pelaku, setidaknya, dapat ditandai ketika apa yang diyakini, dipahami,
ditafsirkan, dan dijalani oleh orang per orang, kelompok per kelompok, dan golongan
per golongan atau masyarakat tertentu dianggap dan dipercayai sebagai sesuatu yang
tidak dapat dipersalahkan, tidak dapat diganggu-gugat, tidak dapat diperdebatkan
sama sekali (non-falsifiable) dan tidak dapat diukur—bandingkan dengan yang lain
(incommensurable). Ketika terjadi proses sosiologis seperti itu, apa yang dulunya
tampak objektif oleh para pengamat, peneliti, para sarjana, telah bergeser ke wilayah
subjektif oleh para pelaku dan penganut agama-agama dan kepercayaan yang ada di
lapangan. [[19]]
Di sini letaknya tikungan
tajam, di mana orang apalagi kelompok sering kali kehilangan kompas dan petunjuk
arah perjalanan ke depan. Jika para pengamat, peneliti, ilmuwan, dan sarjana agama
melihat keberbagaian dan kemajemukan interpretasi dalam agama-agama (baik secara
eksternal antarpengikut agama-agama dan secara internal, dalam lingkungan dalam
agama itu sendiri) sebagai suatu hal yang secara sosiologis wajar belaka dan kemudian
para pengamat dan ilmuan berusaha mencari “esensi” dari keberbagai an dalam keberagaman
(essences and manifestations), maka sebaliknya bagi para pelaku dan aktor agama
dan kepercayaan di lapangan (believers). Bagi kaum penganut imannya, apa yang dipercayai
dan diyakininya adalah yang paling benar dan tidak dapat dipertanyakan (truth claim),
apalagi dipersalahkan oleh kelompok lain yang berbeda (non-falsifiable).
Menurut pandangan keilmuan
(scholarly perspective), di tengah keberbagai an dan kebinekaan agama secara sosiologis
(manifestation), maka yang perlu dicari adalah hakikat dan makrifat sebagaimana
dikatakan dalam bahasa tasawuf/ sufismenya, essence, dari berbagai agama yang berbeda-beda
tersebut, sedang menurut pola pikir agama-fiqhiYah (perspektif Islam/Kristen/Buddha/Hindu
atau agama dan kepercayaan yang lain), hanya agama dan kepercayaannya yang dimiliki
oleh diri dan kelompoknya (manifestation; fiqhiYah-sosiologis) sajalah yang paling
benar (non-falsifiable). Implikasi dan konsekuensi dari dua model berpikir ini sudah
dapat diperkirakan. Indonesia dan
dunia agama-agama di mana pun berada dalam kesulitan menghadapi persoalan dan permasalahan
pelik yang sama seperti itu. Ketegangan selalu ada di antara kedua corak berpikir
tersebut. Pimpinan agama, guru, dosen perguruan tinggi, dan pimpinan masyarakat
dan politik dari lapis atas sampai bawah perlu memperoleh bekal keilmuan yang lebih
dari cukup melalui riset lapangan untuk dapat mengelola dan menjembatani perbedaan
penafsiran dan ketegangan dalam masyarakat multikultural seperti saat sekarang ini. [[20]]
Dengan begitu, secara
keilmuan dapat dipertanyakan apakah agama dan kehidupan beragama bersifat objektif
atau subjektif? Jawaban atas pertanyaan ini sangat menentukan bagaimana corak kehidupan
beragama dalam masyarakat multietnis, multibahasa, multireligi, multiras, dan multikultural
seperti di Indonesia.[[21]] Penelitian agama dan pemahaman
agama memang unik, sui generis. Ini tidak dapat disamakan begitu saja dengan penelitian
di bidang sains kealaman dan sains sosial. Sebab, dalam agama ada unsur yang hampir
sama sekali tidak dapat ditinggalkan, yaitu keterlibatan penuh dan komitmen yang
tidak bisa ditawar-tawar (Barbour, 1966:218-219). Oleh karena itu, penelitian dan
pemahaman agama selalu bercorak objective-cum-subjective dan/atau objective-cum-subjective.
Dalam agama ada unsur objektivitas, namun dalam waktu yang bersamaan selalu lekat
di dalamnya unsur subjektivitas.
Begitupun sebaliknya,
agama pada hakikatnya adalah bercorak subjektif, fideistic subjectivism, (Martin,
1985: 2), namun akan segera menjadi absurd jika seseorang dan lebih-lebih jika sekelompok
agamawan yang terhimpun dalam mazhab, sekte, denominasi, dan organisasi, jatuh pada
fanatisme buta dan menolak koleganya yang lain yang menafsirkan, menganut dan memercayai
kepercayaan dan agama yang berbeda. Untuk menghindari keterjebakan subjektivitas
yang akut—seperti ideologi takfirisme
yang sedang marak sekarang ini, yaitu mengkafirkan orang dan kelompok lain yang
berbeda paham dan penafsiran agama—para agamawan perlu mengenal secara ilmiah adanya
unsur-unsur objektif (scientific objectivism)
yang ada dalam dunia agama-agama. Dengan begitu, ketegangan yang ada dalam wilayah
subjektivitas yang akut (a dire subjectivism) dapat diredakan dengan pencerahan
keilmuan (enlightenment) lewat pengenalan wilayah objektif dalam agama-agama lewat
penelitian historis-empiris. Wilayah objektif dan subjektif dalam studi agama tidak
dapat dipisahkan. [[22]]
Setelah mengenal pergumulan
antara dunia objektif dan dunia subjektif dalam studi agama, yang dapat diformulasikan
menjadi objective-cum-subjective dan subjective-cum-objective, cluster berpikir
lebih tinggi berikutnya, yaitu “intersubjektif”, akan lebih mudah dipahami. Intersubjektif adalah
posisi mental keilmuan (scientific mentality) yang dapat mendialogkan dengan cerdas
antara dunia objektif dan subjektif dalam diri seorang ilmuwan dalam menghadapi
kompleksitas kehidupan, baik dalam dunia sains, agama, maupun budaya. Intersubjektif
tidak hanya ada dalam wilayah agama, tetapi juga ada dalam dunia keilmuan pada umumnya.
Community of researchers selalu bekerja dalam bingkai intersubjective testability.
Kehidupan yang begitu kompleks tidak dapat diselesaikan dan dipecahkan hanya dengan
satu bidang disiplin ilmu (mono-disiplin). Overspecialization dan linearitas bidang
ilmu menjadi bahan perbincangan dan perdebatan sekarang menjadi tidak relevan, untuk
tidak menyebutnya kedaluwarsa. Kolaborasi di antara berbagai disiplin ilmu sangat
diperlukan untuk memecahkan berbagai macam kompleksitas kehidupan. Masukan dan kritik
dari berbagai disiplin (multi-discipline) dan lintas disiplin ilmu (trans-discipline)
menjadi sangat dinantikan untuk dapat memahami dan memecahkan kompleksitas kehidupan
dunia multikultural dengan lebih baik. Linearitas bidang ilmu yang dipahami secara
ad hoc akan mempersempit wawasan keilmuan seseorang, jika berhadapan dengan isu-isu
keilmuan yang berada di luar jangkauan bidang keilmuan yang menjadi bidang spesialisasinya.
Ketiga, imajinasi kreatif
(creative imagination). Meskipun logika berpikir induktif dan deduktif telah dapat
menggambarkan secara tepat bagian tertentu dari cara kerja ilmu pengetahuan, uraian
tersebut umumnya meninggalkan peran imajinasi kreatif dari ilmuwan itu sendiri dalam
kerja ilmu pengetahuan. Sudah barang tentu dalam imajinasi kreatif diperlukan seni.
Lagi-lagi, di sini ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari filsafat dan seni.
Memang ada logika untuk menguji teori tetapi tidak ada logika untuk menciptakan
teori. Tidak ada resep yang jitu untuk membuat temuan-temuan yang orisinal dan inovatif.
Secara umum, para ilmuwan
bercita-cita dalam karier akademisnya untuk dapat menemukan teori baru. Mahasiswa
program doktor pun selalu diimbau oleh promotornya untuk menyuguhkan temuan baru
sebagai sumbangsih pengem bangan ilmu pengetahuan (contribution to knowledge). Bagaimana
teori baru itu muncul? Dunia sains dan teknologi selalu
menuntut produk baru yang inovatif. Teori baru sering kali muncul dari keberanian
seorang ilmuwan dan peneliti mengombinasikan berbagai ide yang telah ada sebelumnya,
namun ide-ide tersebut terisolasi dari yang satu dan lainnya. Ini jugalah inti dari
cara berpikir dan penelitian yang bercorak interdisiplin, multidisiplin, dan transdisiplin. Menurut Koesler (Barbour,
1966: 143), bahwa imajinasi kreatif, baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam
dunia sastra, sering kali dikaitkan dengan upaya untuk memperjumpakan dua konsep
framework yang berbeda. Ia menyintesiskan dua hal yang berbeda dan kemudian membentuk
keutuhan baru, menyusun kembali unsur-unsur yang lama ke dalam adonan konfigurasi
yang fresh, yang baru. Bahkan, sering kali teori baru muncul dari upaya yang sungguh-sungguh
untuk menghubungkan dua hal yang sebenarnya tidak berhubungan sama sekali. Newton
menghubungkan dua fakta yang sama-sama dikenal secara luas, yaitu jatuhnya buah
apel dan gerak edar atau rotasi bulan. Sementara itu, Darwin melihat adanya analogi
antara tekanan pertumbuhan penduduk dan daya tahan hidup spesies binatang. Ada paralelitas
antara kreativitas dalam
bidang ilmu pengetahuan (science) dan seni (art). Campbell, sebagaimana dikutip
Ian G. Barbour, menulis sebagai berikut:
Karena sudah diakui bahwa, meskipun penemuan hukum
pada akhirnya bertumpu bukan pada aturan yang pasti, pada imajinasi individu yang
sangat berbakat, elemen imajinatif dan personal jauh-jauh
lebih penting bagi pengembangan teori; pengabaian teori langsung saja menyebabkan
pengabaian unsur imajinatif dan personal dalam ilmu. Hal itu menyebabkan dipertentangkannya
secara palsu antara ilmu “materialistik” dan studi-studi “humanistik” kesusastraan,
sejarah, dan kesenian.... Kesan yang hendak diberikan kepada pembaca adalah betapa
semata-mata personal ide Newton. Teori gravitasi universal, yang diperolehnya karena
ada buah apel yang jatuh begitu saja, adalah hasil dari akal budinya pribadi, tidak
jauh bedanya dari Simfoni Lima (kata sahibulhikayat diperolehnya karena ada suatu
kejadian yang datang begitu saja, ada orang mengetuk pintu) adalah produk Beethoven.
[[23]]
Bagaimana jika uraian
tersebut dihubungkan dengan kondisi pemikiran dan praktik pendidikan dalam masyarakat
perguruan tinggi di Indonesia kontemporer?
Adalah waktunya sekarang untuk mulai berani berpikir ulang tentang pemikiran dan
praktik kependidikan di Tanah Air, khususnya pada level menengah, bawah, dan atas,
dan terlebih dalam pendidikan tinggi, dengan mengedepankan perlunya imajinasi kreatif
dalam proses pembelajaran, perkuliahan, dan riset. Manusia jangan sampai terkungkung
oleh tirai besi monodisiplin dan
linearitas yang kaku. Dalam konteks pendidikan agama, ilmu-ilmu keagamaan Islam
era sekarang, sebutlah sebagai contoh seperti fikih, ibadah, kalam/akidah/tauhid,
tafsir, hadis, tarikh, dan akhlak, tidak boleh lagi steril dari perjumpaan, persinggungan,
dan pergumulannya dengan disiplin keilmuan lain di luar dirinya.
Pendidikan keagamaan secara
umum dan keislaman secara khusus tidak dapat lagi disampaikan kepada peserta didik
dalam keterisolasian dan ketertutupannya dari masukan dari disiplin ilmu-ilmu lain
dan begitu juga sebaliknya. Guru dan dosen perlu berpikir kreatif-inovatif dan memiliki
imajinasi kreatif, berani mengaitkan, mendialogkan uraian dalam satu bidang ilmu
agama dalam kaitan, diskusi, dan perjumpaannya dengan disiplin keilmuan dan tradisi
lain. Apabila langkah ini tidak dilakukan, perkuliahan di pendidikan tinggi lambat-laun
akan terancam kehilangan relevansi dengan permasalahan kehidupan sekitar, kehidupan
berbangsa, bernegara, dan sebagai warga dunia, yang sudah barang tentu semakin hari
semakin kompleks.
Kasus-kasus pelanggaran
etika dan hukum (korupsi, kolusi, dan nepotisme), tindakan kekerasan atas nama agama
(radikalisme, terorisme, takfirisme), hubungan antar-ras, suku, dan etnis (racism),
hubungan tidak harmonis intern dan antarumat beragama (sectarianism, primordialism,
intolerant; discriminative), keringnya publikasi ilmiah di jurnal interna sional—sebagai
bagian dari gambaran aktivitas keilmuan dalam kehidupan pendidikan tinggi—mencermin
kan tiadanya atau kurangnya creative imagination yang mampu menghubungkan dan mendialogkan
ilmu-ilmu kealaman dengan keilmuan sosial-humaniora, juga keilmuan agama dengan
keilmuan sosial, humaniora, dan alam. Tidak atau belum dapat berdialog dan terintegrasikannya
keilmuan agama, seperti kalam/ akidah/tauhid, fikih, tafsir (‘Ulumu al-din) dengan
pengalaman dan keilmuan baru dalam mengelola tatanan kehidupan sosial-berbangsa-bernegara
dalam bingkai konstitusi negara modern (the idea of constitution) memunculkan kasus
Sunni-Syiah di Sampang, Madura, dan kasus lain seperti Cikeusik-Ahmadiyah di Pandeglang,
Banten, hubungan antarpemeluk agama di berbagai daerah di Tanah Air seperti peristiwa
Tolikara, Papua (2015), Singkili, Aceh (2015), dan Tanjung Balai, Sumatera Utara
(2016), belum lagi Ambon dan Poso, menjadi tidak harmonis, mudah retak ( fragile).
Mereka mudah disulut dan dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan dari luar daerah
setempat, apa pun motif dan asal-usul peris tiwa itu semula terjadi. [[24]]
Tidak adanya proses intersubjective
testability di antara dua bidang ilmu atau lebih menjadikan pemahaman dan penafsiran
agama–yang umumnya hanya mendasarkan dan mengikuti nash-nash atau teks-teks keagamaan
yang telah tersedia—menjadi terisolasi dari kehidupan sekitar, baik dalam arti lokal,
regional, nasional, maupun global-internasional. Hal ini menyebabkan terapannya
tidak relevan; krisis relevansi; kedaluwarsa (Moosa, 2000: 28; Guessoum, 2011: 343-4;
Auda, 2011: xxiv) dan bahkan dapat menimbulkan korban sosial yang sesungguhnya tidak
perlu. Kehidupan dan keilmuan agama terjebak dalam pola pikir lama yang tertutup
jika tidak mampu berdialog secara jujur dan terbuka dengan disiplin dan pengalaman
keilmuan lain. [[25]]
Kriteria akan adanya sikap terbuka terhadap saling menembusnya antar-ilmu, semi
permeable, dalam format integrasi-interkoneksi keilmuan tidak jalan sama sekali
sehingga untuk era plural-multikultural agak sulit untuk mencapai kesejahteraan
sosial bersama (common good; al-maslahah al-‘ammah) yang dicita-citakan bersama.
5.
Langkah Strategis
Menurut Oey-Gardiner, et.all (2017), jika memang hendak meraih
peringkat universitas kelas dunia dan universitas riset dalam standar dunia, harus
jelas visi dan misi pendidikan dan perguruan tinggi Indonesia menuju
tahun 2030 dan 2045. Terobosan-terobosan strategis perlu dilakukan oleh akademikus,
pemerintah, dunia pelaku bisnis, dan masyarakat luas untuk meraih mimpi tersebut
dari sekarang.
Peta jalan ke depan (road
map), agenda, dan skala prioritas apa yang harus dilakukan menuju 2030 dan program
konkret apa yang harus dikerjakan menuju 2045 perlu tergambar dengan jelas dari
sekarang. Dalam menghadapi era disruptif seperti saat sekarang ini, apalagi di masa
depan, diperlukan perubahan berpikir yang mendasar dan bukannya perubahan yang di
pinggir-pinggir (changing from the edge). Tanpa kerja ekstra keras, berpikir ke
depan yang bercorak out of the box, penentuan tata urutan waktu yang jelas, perguruan
tinggi Indonesia akan terus berada di buritan peradaban keilmuan. [[26]]
Kata kunci Liberal Arts
Education atau General Education yang secara sinergis-integratif-kolaboratif mampu
mengom binasikan secara cerdas pendidikan keterampilan yang andal (skill-based education)
dan kajian-kajian sains, sosial, dan humaniora dalam bingkai pendidikan multitalenta
dan multikultural adalah salah satu cirinya. Pembelajaran dan
penelitian berbasis pendekatan interdisiplin, multidisiplin, dan transdisiplin adalah prasyarat yang tidak
dapat ditawar-tawar. Mahasiswa mengasah kemampuan memahami materi dan kritis terhadapnya,
lalu menuangkannya secara meyakinkan dalam tulisan. Pemahaman kritis hanya dapat
muncul jika setiap topik dibahas dari aneka sudut pandang.
Oleh karena itu, tata
kelola dan manajemen prodi,
pembagian antara mata kuliah pokok (major) dan mata kuliah pilihan (minor) perlu
ditinjau ulang. Bukan hanya major dan minor, bahkan perlu melangkah lebih berani
ke arah double-major. Lalu lintas dan persilangan mata kuliah akademis, profesional,
dan vokasional perlu didesain ulang sesuai dengan prinsip-prinsip pendekatan interdisiplin, multidisiplin dan
transdisiplin. [[27]]
Mengingat permasalahan yang dihadapi umat manusia semakin hari semakin kompleks, hasil penelitian yang kreatif-inovatif sangat diharapkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, menjelaskan kepada pencinta ilmu, khususnya dosen, termasuk guru besar dan mahasiswa, bahwa penguasaan berbagai metode dan cara berpikir (a variety of modes of thinking) jauh lebih penting daripada hanya menguasai satu metode berpikir. Menjelaskan bagaimana ilmuwan eksperi mental melakukan penelitian, bagaimana pentingnya statistik untuk ilmu sosial dan kebijakan publik tidak dapat dinomorduakan.
Penekanan yang kuat perlu
diberikan kepada mahasiswa bahwa metode ilmiah jauh lebih penting daripada fakta
ilmiah. Dengan begitu, di mana pun nantinya mahasiswa berada, mereka akan tahu bagaimana
cara berpikir ilmiah tersebut dijalankan. Menguatkan scientific literacy bergan
dengan dengan cultural, social, dan religious literacy, termasuk media literacy,
akan menguatkan pilar kewargaan, kebangsaan, dan kemanusiaan sebagai bagian tidak
terpisahkan dari masyarakat dunia. [[28]]
Penelitian dikembangkan
dengan semangat kolaboratif, persilangan antar-rumpun ilmu, dan terintegrasi dengan
berbagai disiplin keilmuan. Produksi ilmu pengetahuan baru hanya bisa dilakukan
dengan cara seperti itu. Pembelajaran dan
riset tidak lagi cukup dilakukan secara monodisiplin. Riset dikembangkan
secara interdisiplin, multidisiplin dan
transdisiplin. Kepala yang berbeda-beda, dengan pengeta huan dan perspektif yang
berbeda-beda pula, ketika bersatu memikirkan dan memecahkan satu isu penting yang
aktual di masyarakat akan berubah menjadi kekuatan yang dahsyat; kekuatan integrasi
dan interkoneksi. Artinya, kerja bersama berbagai disiplin ilmu sangat dipentingkan
sekarang ini. Ilmuwan dan akademikus tidak zamannya lagi bersikap arogan dan egosentris.
Manajemen kerja tim, team work, adalah
keterampilan baru yang sangat diperlukan sekarang ini. Koordinasi antardepartemen,
kementerian, dan lembaga adalah barang paling mahal di negeri ini lantaran tidak
biasanya melakukan kerja sama di antara berbagai pendekatan dan disiplin keilmuan
dalam pemecahan masalah ketika
masih mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. [[29]]
Pendekatan interdisiplin, multidisiplin, dan transdisiplin memastikan permasalahan
dapat didekati secara kompre hensif sehingga solusi lebih cerdas, jitu, dan andal
dapat diupayakan oleh siapa pun yang berkepentingan, baik pemerintah, dunia industri,
dunia swasta, maupun masyarakat luas pengguna jasa ilmu pengetahuan. Triple Helix,
kerja sama segitiga, antara akademikus, dunia bisnis dan industri, serta pemerintah,
tidak cukup diwacanakan dalam forum seminar, tetapi lebih dari itu dipraktikkan
dan dikerjakan.
Di berbagai negara lain,
peran pemerintah sangat menentukan dan sangat menonjol. Masyarakat Indonesia menanti
dan merindukan langkah terobosan strategis yang riil, yang berdampak pada kesejahteraan
rakyat secara luas. Upaya ini sejalan dengan langkah-langkah konkret untuk menyongsong
hadirnya peradaban keilmuan di Tanah Air menuju masyarakat sejahtera dengan peringkat
universitas kelas dunia dan universitas riset bergengsi di dunia pada 2030 dan 2045[[30]]
[1] Lihat Oey-Gardiner, M., & Suprapto, R. A. (2017). Indonesia. In Women, Education and Development in Asia: Cross-National Perspectives (Vol. 12, pp. 95-118). Taylor and Francis Ltd..
lihat juga Fareed Zakaria, In Defense of a Liberal Education, New York dan London:
W.W. Norton & Company,2015, h. 82,83,89. Untuk menghindari
kesalahpengertian tentang istilah “liberal” dalam konteks tata nilai masyarakat
Indonesia perlu digarisbawahi di sini
bahwa apa yang dimaksud dengan Li- beral Education. Liberal Arts Education atau
kadang juga disebut Liberal Arts and Sciences adalah menyatunya pendidikan
sains, seni, sosial dan humaniora, termasuk agama dalam satu kesatuan yang
utuh, tidak terpisah-pisah seperti yang umumnya terjadi di Tanah Air. Istilah liberal
di sini tidak ada hubungannya dengan istilah konservatif dan liberal dalam
konteks kontestasi politik, ekonomi, apalagi agama. Pembelajaran Liberal Arts adalah pembelajaran yang
mengutamakan pembelajaran yang luas, keluasan cara pandang, komprehensif,
integratif, dan terbuka. Lihat:
[2] www.generaleducation.fas.harvard.edu/icb/icdanhttps://college.harvard.ed>academics
[3] An approach to college learning that empowers individuals and prepares
them to deal with com- plexity, diversity and change. It emphasizes broad
knowledge of the wider world (e.g. science, culture and society) as well as
indepth achievement in a specific field of interest. It helps students develop
a sense of social responsibility as well as strong intellectual and practical
skills that span all areas of study, such as communication, analytical and problem-solving
skills and includes a demonstrated ability to apply knowledge and skills in
real-world setting.
[4] 4 Synthetic Biology (SB) is a multidisciplinary and rapidly evolving
field – rational design and cons- truction of new biological parts, devices and
systems with predictable and reliable functional be- haviour that do not exist
in nature, and re-design of existing, natural biological systems for basic
research and useful purposes (Pauwels, dkk., 2012). Lebih lanjut baca Endang Sukara,
“Biologi Sintetik dan Keanekaragaman Hayati – Peluang dan Tantangan”, Kuliah
Inaugurasi anggota Komi- si Ilmu Pengetahuan Dasar, Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia (AIPI), Jakarta, 24 September
2016, hlm. 13.
[5] Roots in the ancient Greek concept of an intrinsic orderliness that governs
our cosmos, inheren- tly comprehensible by logical process, a vision at odds
with mystical views in many cultures that surrounded the Hellenes. The rational
view was recovered during the high Middle Ages, separated from theology during
the Renaissance and found its apogee in the Age of Enlightenment. Then, with
the rise of modern sciences, the sense of unity gradually was lost in the
increasing fragmen- tation and specialisation of knowldege in the last two
centuries. The converse of conscilience in this way was Reductionism
[6] Bidang ini di Indonesia jarang mengaggapnya sebagai bidang ilmiah
[7] Terjemahan dan cetak miring dari saya.
[8] Ibid. Oey-Gardiner, M., ( 2017),
[9] Bahkan dalam Undang-Undang Perguruan Tinggi No. 12/2012 disebutkan ada 6
rumpun keilmu- an, yaitu 1. Rumpun ilmu agama, 2. Rumpun ilmu humaniora, 3.
Rumpun ilmu sosial, 4. Rumpun ilmu alam, 5. Rumpun ilmu formal, dan 6. Rumpun
ilmu terapan.Namun bagaimana hubungan antar dan lintas rumpun tersebut belum
ada penjelasan yang memadai.
[10] Ibid. Oey-Gardiner, M., ( 2017),
[11] Ibid. Oey-Gardiner, M., ( 2017),
[12] 8 “... The second impact of the proposed condition of a ‘competent
worldview’ is ‘opening’ the sys- tem of Islamic law to advances in natural and
social sciences. Judgments about some status quo or‘reality’ can no longer be
claimed without proper research that is based on sound and ‘competent’ physical
or social sciences methodology. We have seen how issues related to legal
capacity, such as ‘the sign of death,’ ‘maximum pregnancy period,’ ‘age of
differentiation,’ or ‘age of puberty,’ were traditionally judgedbased on
‘asking people.’ Since ‘methods of scientificinvestigation’ are part of one’s
worldview,’ ... I would say that ‘asking the people’ cannot be claimed today
without some sta- tistical proof! This takes us to the realm of science,
(natural and social), and defines a mechanism of interaction between Islamic Law
and the other branches of knowledge.”(Auda, 2008: 205-6. Cetak miring penegas
dan tambahan dalam kurung “natural and social” dari penulis)
[13] Ebrahim Moosa, “ Introduction”, dalam Ebrahim Moosa (Ed. dan
Pengantar), Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism Fazlur
Rahman, Oxford: Oneworld Publications, 2000, h. 28. Bandingkan dengan pendapat
Nidhal Guessoum, Islam’s Quantum Question:Reconci- ling Muslim Tradition and
Modern Science, London. I.T. Tauris, 2011, h. 343-4.
[14] Ibid. Oey-Gardiner, M., ( 2017),
[15] Ibid. Oey-Gardiner, M., ( 2017),
[16] 10 Holmes Rolston III memberi sifat kepada teori keilmuan apa pun yang
merasa cukup dengan dirinya sendiri, tidak bersedia menerima masukan dari pengalaman
dan kritik dari disiplin dan teori keilmuan lain dengan istilah “blik”. Blik
adalah teori yang berkembang secara arogan, terlalu keras dan alot untuk
dilunakkan oleh pengalaman (A blik is a theory grown arrogant, too hard to be
softened by experience) (Rolston, III, 1987, h. 11. Cetak miring dan tebal dari
saya).
[17] Ibid. Oey-Gardiner, M., ( 2017),
[18] 11 Buku Ian G. Barbour edisi tahun 1966 kemudian terbit kembali tahun
2000 dengan judul When Sciences Meets Religion: Enemies, Strangers, or
Partners? San Francisco: HarperCollins Publishers, Inc., 2000. Telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama,
Bandung: Mizan, 2002.
[19] Ibid. Oey-Gardiner, M., ( 2017),
[20] Ibid. Oey-Gardiner, M., ( 2017),
[21] Universitas riset kelas dunia seperti National University of Singapore
(NUS), yang dalam wak- tu singkat dapat menduduki peringkat tinggi dunia,
ternyata kurikulumnya dibangun atas dasar fondasi studi perbandingan
(comparative approach) dan pendidikan multikultural (multicultural education).
Bukan hanya Plato dan Aristoteles yang dipelajari mahasiswa, tetapi pada waktu
yang bersamaan juga Konghucu dan Buddha. Bukan hanya Odyssey, tetapi juga
Ramayana. Universitas riset kelas dunia memang sadar benar bahwa mereka sedang
menyongsong hadirnya dunia masa depan yang semakin multikultural-multireligi.
Lebih lanjut lihat Fareed Zakaria, 2015, h. 69-70.
[22] Ibid. Oey-Gardiner, M., ( 2017),
[23] For it has been admitted that though discovery of laws depends ultimately
not on the fixed rules but on the imagination of highly gifted individuals,
this imaginative and personal element is much more prominent in the development
of theories; the neglect of theories leads directly to the neglect of the
imaginative and personal element in science. It leads to an utterly false contrast
between “materialistic” science and the “humanistic” studies of literature,
history and art. ... What I want to impress on the reader is how purely
personal was Newton’s idea. His theory of universal gravitation, suggested to
him by the trivial fall of an apple, was a product of his individual mind, just
as much as the Fifth Symphony (said to have been suggested by another trivial
incident, the knocking at a door) was a product of Beethoven’s (Barbour, 1966:
144. Cetak miring ditambahkan
[24] Ibid. Oey-Gardiner, M., ( 2017),
[25] Bandingkan dengan pernyataan Jasser Auda, sebagai berikut: “Without
incorporating relevant ideas from other disciplines, research in the
fundamental theory of Islamic law will remain within the limits of traditional
literature and its manuscripts, and Islamic law will continue to be
largely‘outdated’ in its theoretical basis and practical outcomes. The
relevance and need for a multidis- ciplinary approach to the fundamentals of
Islamic law is one of the argument of this book.” (Auda,2011, h. xxvi,. Cetak
miring dan tebal dari saya
[26] Ibid. Oey-Gardiner, M., ( 2017),
[27] Ibid. Oey-Gardiner, M., ( 2017),
[28] Ibid. Oey-Gardiner, M., ( 2017),
[29] Ibid. Oey-Gardiner, M., ( 2017),
[30] Ibid. Oey-Gardiner, M., ( 2017),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar