Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Rabu, 14 September 2011

Isu Kritis dalam Pendidikan: Kondisi Anti Karakter-Cerdas dalam Kehidupan



Cuplikan buku : Model Pendidikan Karakter-Cerdas, Karangan Prof. Dr. Prayitno, M.A & Dr. Afriva Khaidir, Mpd, terbitan UNP Press 2011
  
Salah satu isu yang beredar dalam dunia pendidikan sekarang ini adalah isu pembinaan karakter  manusianya. Sebab semuanya sudah “digiling” oleh kemajuan teknologi komputerisasi, semua pelayanan memang sudah sangat praktis dan efisiennya yang menyebabkan renggangnya hubungan antar manusia dan pembinaan karakternya. Dalam kondisi ini komunikasi antar manusia tidak penting lagi. Dari segi pembinaan karakter sekolah hanya sekedar tempat mencari ijazah yang dapat diperjualbelikan. Komunikasi dalam institusi juga tidak kurang amburadulnya.


 Misalnya ketua jurusan karena sudah bergelar Doktor akan bertindak ibarat seorang raja “sipatokah” (minang) atau raja “rahwana” (Jawa) yang tidak lagi bersifat demokratis dan menghargai seniornya (sebagai orang timur harus menghargai yang lebih tua). Kebanyakan orang kalau sudah “duduk di atas”, tidak peduli tentang pembinaan karakter, sebab yang dipikirkannya adalah “keuntungan” dirinya sendiri atau kelompok kecilnya. Guru dan dosen hidupnya berkelompok-kelompok dan saling cakar satu sama lain. Ada kelompok yang menganggap dirinya masuk kelompok yang sangat mengerti  pendidikan dan pengajaran dan kurang mementingkan penguasaan ilmu, dan ada kelompok yang menganggap dirinya menguasai ilmu. Kedua kelompok ini kadang -kadang juga berakhir apatis. Sebab, buat apa, karena semua bahan ajar sudah diatur tentang apa yang mesti diajarkan. Dapat dibayangkan bagaimana murid atau mahasiswa yang dibina di tempatnya. Ini adalah beberapa contoh dimana dunia pendidikan hanya sekedar tempat berkumpul untuk menjual dan membeli ijazah. Kampus sudah menjadi ajang politik, dimana orang mudah memberikan penghargaan atau ijazah tanpa usaha yang benar dan lazim. Kemudian pribadi-pribadi telah kehilangan karakternya, sebab pembinaan ke arah pembinaan karakter itu tidak ada, baik oleh rektor kepada fakultas-fakultas, oleh kepala sekolah atau  ketua jurusan kepada staf pengajar. Oleh guru dan dosen kepada mahasiswa dan siswa. Isu-isu seperti ini menjadi santer dewasa ini, dimana isu pendidikan karakter menjadi penting. Apakah pendidikan karakter itu? Bagaimanakah pembinaan karakter oleh pemerintah? Hal yang sama pentingnya adalah mengetahui apa yang menjadi anti karakter dalam kehidupan? Apa yang di uraikan di atas akan dirinci lagi pada artikel ini.Tulisan ini adalah khusus untuk mengungkapkan kondisi anti karakter dalam kehidupan manusia. Buku ini jumlahnya hampir 400 halaman, sayangnya buku ini hanya menekankan karakter dari segi kependidikan, bukan dari fakta yang ada dimasyarakat. Untuk itu lihat pendapat gubernur Sumbar tentang karakter  orang padang (budaya), dan lihat pula pendapat tentang  membangun karakter budaya bangsa klik bagian ini), dan baca juga sanggahan kepada istilah kecerdasan terhadap penulis buku ini.

Dalam rangka pembangunan bangsa dan negara sejak awal kemerdekaan dikenal dan dikumandangkan dua “slogan” tetapi satu, yaitu nation and character building yang maknanya pembangunan bangsa dan pembangunan watak (karakter) bangsa dengan Pancasila sebagai falsafah bangsa dan dasar negara. Karakter Pancasilais diidealkan menjadi basis bagi pembangunan bangsa dan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Setelah perjalanan pembangunan bangsa dan negara berusia lebih dari enam dekade, gelora nation and character building agaknya semakin meredup. Pancasila yang digelorakan sejak dimulainya revolusi kemerdekaan, mengalami kemunduran dalam makna keluhuran nilai-nilainya bagi kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bahkan dalam unit-unit kehidupan yang lebih kecil. Acuan nilai-nilai luhur Pancasila digantikan oleh nilai-nilai konformitas kekuasaan yang dipaksakan. Suasana eforia berkat berhasilnya gerakan reformasi (tahun 1998) berlangsung dalam hampir di setiap bidang kehidupan, terutama kehidupan politik yang diiringi kebebasan penyiaran oleh media massa yang semakin langsung dan terbuka. Eforia kebebasan politik dan penyiaran berdasarkan demokrasi yang seluas-luasnya itu, mengimbas ke mana-mana, “melebar” melewati batas-batas bidang politik dan penyiaran itu sendiri. Imbasan ini dirasakan tidak menyejahterakan rakyat, bahkan suasana kehidupan cenderung semakin meresahkan dan mengkhawatirkan. Karakter Pancasilais kehilangan roh sejatinya. Arus teknologi-informasi global yang semakin terbuka, vulgar tanpa batas dan tak terkendali menunjang secara signifikan atas suasana yang meresahkan dan mengkhawatirkan itu.
Amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila yang sepenuhnya bersesuaian dengan harkat dan martabat manusia dengan lima-i sebagai intisarinya mengalami degradasi. Kenyataan dan gejala-gejala praktik kehidupan yang berciri antikarakter-cerdas semakin merajalela.

A.     Isu-isu Kehidupan Kemasyarakatan dan Kebangsaaan

Berbagai kesenjangan dan ketidaknyamanan mewarnai kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan kita dewasa ini. Peristiwa atau suasana yang sesungguhnya tidak dikehendaki terjadi itu justru disiarkan secara intens, oleh media massa, sehingga beritanya menyebar ke mana-mana dan diserap serta dimaknai secara amat beragam oleh segenap lapisan warga masyarakat di tanah air.

1. Bidang Ekonomi


Kesenjangan antara kaya dan miskin masih tetap menjadi kenyataan atau bahkan “semakin melebar”. Pengangguran masih tinggi dan belum berkecenderungan menurun, dibayang-bayangi banjir produk luar negeri. Karakter konsumerisme dan lebih menyukai produk luar negeri warga masyarakat semakin terasa. Rendahnya produktivitas warga masyarakat diiringi oleh rendahnya penciptaan lapangan kerja baru dan minimnya kewirausahawan. Motivasi menjadi pegawai negeri mendominasi para pencari kerja pada semua lini dan kesempatan. Upaya “berpacu dalam mengais rezeki” berkembang menjadi praktik korupsi, perampokan, pencurian dalam berbagai bentuk dan intensitasnya mewarnai hampir segenap lapisan masyarakat.



2.   Hubungan Sosial Kemasyarakatan

Kerukunan dan kedamaian, kegotong-royongan, dan musyawarah untuk mufakat, menjadi jauh dan tidak dirasakan lagi dalam kehidupan karena dibisingkan oleh kegaduhan demonstrasi, kericuhan dalam penetapan lahan usaha, suasana pertandingan olah raga, penuntutan hak yang tercederai. Kericuhan dalam keluarga dan hubungan kekerabatan dan perselisihan antarkelompok mewarnai dinamika kehidupan warga masyarakat. Perbuatan kekerasan, asosial, ademokratis dan amoral, korupsi, konsumsi dan pengedaran narkoba, menambah senjangnya kehidupan dasar yang sejahtera dan bahagia.

3. Dunia Hukum
Hukum di negara kita yang sesungguhnyalah dinyatakan sebagai negara hukum, masih dirasakan senjang pelaksanaannya. Penegakan hukum (law enforcement) dirasakan lemah, dan berbagai bidang, mulai dari jalan raya, di pasar, di perumahan, sampai di gedung-gedung pengadilan. Hukum bahkan “dapat dibeli” oleh pihak-pihak yang mampu membelinya, yang semuanya itu merupakan wujud perilaku antikarakter-cerdas. Pungutan liar dan suap serta perilaku tidak legal lainnya merupakan praktik melanggar hukum yang anti karakter-cerdas.

4. Globalisasi dan Dunia Maya

Kenyataan yang mengarah ke globalisasi dan berkembangnya tanpa batas dunia maya membawa dampak luar biasa. Siapa saja dapat memperoleh informasi tentang apa saja, kapan saja, dan dari manapun juga. Informasi yang diperoleh itu boleh jadi belum layak dikonsumsi dan akan menimbulkan kesenjangan pada pribadi yang bersangkutan yang akan mengakibatkan perilaku anti karakter-cerdas. Seiring dengan aspek positif yang dapat diperoleh  melalui pergerakan gobalisasi dan peran dunia maya, pengaruh terhadap perilaku negatif pun semakin menggejala. Perang melalui dunia maya, ketidakadilan dan tindak kriminal pun  dapat terjadi dengan menggunakan perangkat dunia maya.

B.  Isu-isu Pendidikan

1.       Pembelajaran

Inti pendidikan adalah belajar dan pembelajaran. Dengan demikian, tiada pendidikan tanpa kegiatan belajar dan proses pembelajaran. Kegiatan belajar dan proses pembelajaran tidak lain adalah untuk membangun karakter-cerdas yang akan diterapkan dalam kehidupan, namun kenyataannya berbeda.
Pembelajaran dewasa ini lebih mengutamakan prestasi sesaat yang ukuran keberhasilannya diletakkan pada keunggulan individu atas standar relatif tertentu. Dalam hal ini visi pembelajaran belum mampu mengarahkan bahwa praktik pembelajaran yang direncanakan dengan tujuan-tujuan yang akan dicapainya merupakan upaya untuk membangun masa depan kehidupan per individu secara utuh, kehidupan masyarakat luas, dan kehidupan bangsa yang lebih cemerlang.
Pembelajaran yang berciri diaplikasikannya high-touch  dan high-tech belum terwujudkan. Sebaliknya pendekatan yang menekankan pada pendekatan behavioristik, mengakibatkan  terfragmentasikannya ranah kognitif dari ranah afektif dan konatif, padahal ketiga ranah itu merupakan satu kesatuan yang perlu dikembangkan dalam diri individu. Akibatnya, pembelajaran hanya menghasilkan pengetahuan belaka, tanpa dapat diubah menjadi perilaku, atau kebiasaan, apalagi menjadi karakter. Demikian juga halnya dengan strategi pembelajaran. Pergeseran antara konsep belajar-mengajar menjadi pembelajaran, konsep berpusat pada guru kepada berpusat pada murid, penggunaan berbagai model-model pembelajaran, menjadi persoalan lain lagi yang membuat tidak jelasnya proses pembelajaran yang mendidik dan membelajarkan. Bukan hanya karakter bangsa yang tidak mampu menjadi dampak pengiring suatu pembelajaran, karakter individu sebagai individu yang mandiri pun tidak jelas pembinaannya. Hal inni tampak pada kebingungan strategi pembelajaran.
Permasalahan dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari terasa dari ketidaksejukan iklim sekolah dan proses pembelajaran sampai dengan kecurangan dalam pengerjaan tugas, ulangan dan ujian (termasuk ujian nasional). 
  1.  Peserta didik tidak betah dan kurang bersemangat berada dan belajar di lingkungan satuan pendidikan (sekolah/madrasah, dll). Iklim satuan pendidikan dipenuhi oleh suasana 5H (harus, hafal, hampa, hardik, dan hukuman). Iklim 5H ini seiring dengan kondisi 5D (datang, duduk, diam, dengar, dan tidak peduli) yang setiap hari berlangsung.
  2.  Belajar dirasakan sebagai beban yang sulit dan menyulitkan ketimbang sebagai kegiatan yang bermanfaat dan menyenangkan. 
  3. Praktik MKM (memuliakan kemanusiaan manusia) sering dicederai dengan berbagai kekerasan dan penghukuman, baik melalui kekerasan fisik, kekerasan verbal dan perlakuan, maupun skorsing, sampai pengeluaran siswa dari sekolah. Hal ini mengarah kepada terjadinya kecelakaan pendidikan.
  4. Suasana pembelajaran cenderung menegakkan disiplin dan kurang memberikan pengarahan, penguatan, dan keteladanan. Kekerasan diberlakukan atas nama penegakan disiplin.
  5. Adanya diskriminasi tentang nilai, kedudukan, dan pentingnya bidang studi tertentu, seperti bidang MIPA diposisikan paling penting dibanding IPS, Bahasa, Kejuruan, Keterampilan, Olahraga dan juga Agama. Kesetaraan semua bidang atau mata pelajaran yang sama pentingnya bagi pembinaan kemampuan dan kedirian peserta didik didegradasikan.
  6. Personil pendidik membuat dan menjaga jarak, sehingga keakraban yang menyejukkan kurang terbina. Suasana ini tidak mendorong terjadinya kegiatan belajar dan proses pembelajaran yang menyenangkan, aktif, kreatif, inovatif, dan produktif.
  7. Terjadi pembiaran terhadap kelemahan belajar peserta didik dan juga ketidakpedulian terhadap peserta didik yang berpotensi. Dalam hal ini kegiatan pengajaran perbaikan dan pengayaan tidak menjadi perhatian pendidik.  Sekolah mendegradasikan diri atas fungsi utamanya mencerdaskan peserta didik, dengan membiarkan (atau bahkan mengkondisikan) peserta didik menyontek. Praktik ini sesungguhnyalah merupakan kecelakaan pendidikan yang secara langsung menghancurkan sendi-sendi  karakter-cerdas yang memandirikan, kerja keras, disiplin, dan jujur.
  8.  Sekolah seperti “katak di bawah tempurung” yang mengakibatkan “terisolasi” dari kondisi kehidupan di masyarakat sekitarnya. Di samping itu,, sekolah membiarkan para peserta didik “dicekam” oleh kondisi lingkungan (yang kondisinya negatif) tanpa berusaha “memperbaiki yang salah, meluruskan yang menyimpang, dan meninggikan yang rendah, menjernihkan yang keruh”. Sekolah tidak melakukan purifikasi kondisi peserta didik yang dipengaruhi oleh unsur-unsur yang menyimpang dan tidak mampu menyumbang untuk kebaikan perkembangan warga masyarakat.
2.  Pengelolaan Pendidikan
Manajemen pendidikan dilakukan supaya  pendidikan dapat berlangsung sebagai  usaha yang sungguh-sungguh guna terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran dengan tujuan agar mereka berkarakter-cerdas. Melalui upaya pendidikan/pembelajaran yang memfasilitasi pembangunan karakter-cerdas peserta didik dijamin melalui kekuatan elemen dasar organisasi pendidikan itu sendiri, yaitu dengan menetapkan Pancasila yang mengarahkan fungsi manajemen, perencanaan,  pengorganisasian, kepemimpinan dan kepengawasan jalannya menajemen itu sendiri. Penampilan perilaku pemimpin dan tenaga kependidikan diwarnai oleh transformasi nilai-nilai Pancasila. Mengacu pada hal-hal tersebut, bagaimana kondisi manajemen pendidikan sekarang ini?
Kendala dan permasalahan manajemen pendidikan dapat diidentifikasikan sebagai berikut.
  1. Manajemen pendidikan tidak menyalurkan nilai pedagogis, melainkan mencerminkan “proses bisnis”. Pelayanan birokrasi manejemen pendidikan yang kurang mendidik. Kebijakan dan praktik layanan kurang atau bahkan tidak mengalirkan energi dan kebijakan pendidikan yang medidik/membelajarkan. Alur fungsi organisasi lebih mencerminkan suasana transaksional bisnis daripada transformasional yang membangun/mendidik.
  2.  Adanya mismatched, seperti guru bidang studi A ditugasi mengajarkan mata pelajaran B; guru bidang studi tertentu ditugasi untuk melaksanakan layanan konseling, atau sebaliknya. Kondisi ini dapat mengakibatkan rendahnya mutu pembelajaran, bahkan terjadinya malapraktik yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan pendidikan.
  3. Kontroversi antara kekurangan tenaga pendidik (guru dan/atau konselor) dalam bidang tertentu, dan kelebihan guru pada bidang yang lain masih banyak terjadi. Hal ini menimbulkan penugasan rangkap yang mismatched di satu sisi dan suasana kekurangan jam pembelajaran di sisi lain, yang mengakibatkan kekisruhan dalam tugas kepengawasan.
  4. Adanya kecenderungan kuat untuk menghasilkan lulusan sebanyak mungkin, dengan segala cara. Kualitas pendidikan dikalahkan oleh kuantitas tamantannya. Hasilnya adalah nyontek dalam ujian. Hal ini sama sekali kontra terhadap tugas utama dan mulia pendidik dan manajemen pendidikannya, yaitu membina peserta didik yang benar-benar berkarakter-cerdas. (hal ini salah pemerintah juga , misalnya di Perguruan Tinggi bagi jurusan  yang meluluskan sedikit, akreditasi jurusan diturunnkan peringkatnya) 
  5. Sekolah tidak memperoleh manfaat yang memadai dari Komite Sekolah. Dalam hal ini, manajemen pendidikan belum mengupayakan hubungan timbal balik dengan masyarakat dalam suasana yang saling menguntungkan.
3.  Pendidikan Formal, Nonformal dan Informal
Isu-isu umum yang dapat diidentifikasi antara lain adalah sebagai berikut.

a.  Pendidikan Formal

Dalam semua penjenjangan satuan pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi, pembangunan karakter dilakukan oleh tindak pembelajaran yang melakukan transfer ofknowledge. Proses pembelajaran yang sesungguhnya tidak hanya terkait dengan pengubahan tingkah laku, apa lagi proses pembiasaan atau kondisioning (Novak & Tyler, 1986) justru dikerdilkan oleh praktik menghafal. Lebih jauh, penerapan pendekatan interdisipliner yang mengamanatkan agar permasalahan pendidikan dilihat secara lebih luas, mencakup aspek-aspek internasional, nasional, regional, dan lokal (Hunt, 1975) dikerdilkan oleh penegakan disiplin yang dipaksakan.
Pembelajaran yang mengarah kepada pembangunan karakter bangsa juga terkendala. Penguasaan siswa terhadap dasar negara, lambang negara sebagai simbol kebangsaan, baru sebatas pengetahuan, sementara itu penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari tampak semakin kabur dan semakin jauh dari harapan. Sebaliknya nilai-nilai global dan dunia maya merasuki kehidupan para siswa tanpa filter yang memadai, dan pendidikan formal tidak memberikan kepedulian untuk mencegah dan meminimalkan pengaruh negatifnya.  

b.  Pendidikan Nonformal

Pendidikan nonformal saat ini tengah mengalami penyempitan makna; mengalami proses dehumanisasi (Fauzi, 2009). Lebih khusus, Sumpeno (2009) menyatakan pendidikan nonformal belum membangun karakter bangsa. Pembentukan pribadi cerdas secara individual orang-perorang mungkin sedikit banyak dijangkau oleh pendidikan nonformal. Namun, tujuan pendidikan nonformal  yang juga mengarah kepada pembangunan karakter-cerdas dan terampil peserta didik dalam kehidupan bersama, bermasyarakat, dan berkebangsaan belum banyak mendapat perhatian.
Fungsi pendidikan nonformal sebagai penyeimbang (complement), penambah  (suplement), dan pengganti (substitusi) dari pendidikan formal kedudukannya disetarakan dengan pendidikan formal.  Dengan demikian, seperti halnya pendidikan formal,  pendidikan nonformal juga berfungsi untuk membangun karakter (character building) peserta didik. Dalam hal ini pendidikan nonformal memerlukan perencanaan yang matang dalam isi programnya, prasarana dan sarananya, sumber belajarnya serta aktivitas pendidik dan peserta didiknya, yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan (Hamijoyo, 1973; Combs, 1985; Sujana,1994). Sebagaimana juga pendidikan formal, pendidikan nonformal bukanlah lembaga yang sekedar mentransfer pengetahuan saja, tetapi juga membentuk karakter peserta didik agar menjadi warga masyarakat/negara yang punya  sopan-santun dalam tataran etika dan estetika serta berperilaku dalam hidup dan kehidupan secara ideal. Kenyataan banyak menunjukkan bahwa pendidikan nonformal belum berhasil memberikan sumbangan  berarti dalam meningkatkan kecerdasan dan keterampilan peserta didik, dan juga telah gagal dalam membentuk karakter dan watak pribadi anak bangsa.

c. Pendidikan Informal

Tidak dapat dipungkiri, bahwa pendidikan informal merupakan sarana esensial untuk pembangunan karakter anak-anak dan generasi muda bangsa. Pendidikan informal ini perlu melibatkan semua elemen, baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat luas.  Rumah tangga dan keluarga sebagai satuan pendidikan informal sekaligus sebagai satuan pembentukan karakter harus diberdayakan.  Satu hal sangat menonjol, sebagaimana diketengahkan oleh Coombs (1985) bahwa suasana pendidikan dalam keluarga adalah school of love, menjadi satuan pendidikan untuk pengembangan cinta sejati dan kasih sayang. Dengan demikian, pembentukan karakter melalui pendidikan informal selain mencakup pembelajaran pengetahuan, tetapi lebih dari itu, perlu terfokus pada moral, niliai-nilai etika, estetika, budi  pekerti yang luhur dan sejenisnya, yang semuanya itu tergabung dalam nilai-nilai karakter-cerdas.
Kenyataannya, pendidikan dalam keluarga terkendala oleh kemampuan keluarga itu sendiri berkenaan dengan teknik-operasional pendidikan, pengalaman pribadi dalam hubungan pendidikan, serta kondisi orang tua yang kurang kesempatan bergaul dengan anak-anak karena kesibukan bekerja. Kondisi ini diperkuat lagi dengan rangsangan dari teknologi informasi yang semakin gencar. Keluarga kedodoran dalam pengawasan terhadap anak-anak yang secara bertubi-tubi mendapat “serangan” dari gencarnya informasi yang seringkali kian dan sangat menantang itu.
Memperhatikan paparan singkat di atas, isu-isu karakter-cerdas berkenaan dengan pendidikan formal, nonformal, dan informal dapat diidentifikasikan dan ditekankan pada hal-hal berikut.
1.   Pembelajaran pada wilayah pendidikan formal lebih mengarah kepada pengembangan ranah kognitif, bahkan lebih disempitkan menjadi hafalan. Kondisi seperti ini jauh dari pengembangan potensi peserta didik secara optimal; termasuk di dalamnya belum terjangkaunya pengembangan karakter-cerdas.
2.    Meskipun sudah disetarakan dengan satuan pendidikan formal tingkat pendidikan dasar dan menengah, namun masih dikesankan bahwa pendidikan nonformal masih “sempit” dan “lebih rendah” dibanding pendidikan formal.
3.     Pendidikan informal belum efektif sebagai school of love karena terkendala oleh berbagai hal. Kualitas pendidik pada pendidikan formal dan juga nonformal yang kurang atau tidak berkarakter-cerdas, lebih mendorong rendahnya nilai-nilai dan perilaku karakter-cerdas dalam keluarga. Kesempatan pengasuhan sehat (healthy parenting) terhadap anak-anak dalam keluarga tidak terselenggara secara memadai, sehingga kondisi karakter-cerdas generasi muda cenderung mengalami penyimpangan.

C.   Isu-isu Kelembagaan

Kinerja birokrasi dan pelayanan kepada masyarakat banyak diwarnai perilaku yang kurang berkarakter-cerdas. Dewasa ini dalam lembaga pemerintah dan swasta di tanah air hampir tidak populer  lagi Pancasila sebagai karakter bangsa. Pancasila tidak lagi menjadi acuan penampilan perilaku sumberdaya manusia.
Padahal, kinerja kelembagaan pada dasarnya adalah juga pendidikan, sehingga suasana kinerja kelembagaan harus mampu membangun karakter individual sekaligus karakter kebangsaan. Hampir seluruh aktivitas kelembagaan ditentukan oleh kuasa uang, dan bentuk lain yang merusak citra kehidupan lembaga yang bersuasana pendidikan. Sesunggunyalah, uang adalah alat yang sangat berguna, tetapi uang adalah penguasa yang buruk. Isu-isu kelembagaan menyangkut kinerja birokrasi dan pelayanan kepada masyarakat, dan juga tentang proses pengangkatannya maupun pelaksanaan kinerja para personilnya seringkali diwarnai  oleh perilaku yang kurang berkarakter-cerdas. Gambarannya sebagai berikut.

Jabatan dan Pengangkatan

Kolusi dan nepotisme menjadi isu yang menonjol, di samping isu suap, yang berakibat langsung pada terjadinya mismatched dan the wrong persons on the wrong places. Di samping menampilkan praktik-praktik ketidakadilan, akibat lebih jauh dari mismatchedtersebut adalah inefisiensi serta rendahnya efektifitas dan produktivitas.

Pelayanan kepada Masyarakat

Birokrasi yang berbelit-belit dan rendahnya pelayanan para petugas pemerintahan mencerminkan kurang sehatnya aparat birokrasi. Kelambanan seperti itu disertai pula apa yang sering disebut “pungli” (pungutan liar) dan biaya siluman.

“Modal” untuk Meraih Jabatan

Untuk jabatan yang cukup tinggi, terlebih-lebih jabatan yang melalui pemilihan, diisukan adanya praktik money polytics. Hal ini dapat mengakibatkan sikap loyalitas membabi-buta atau loyalitas palsu pada diri para pemilih, dan sikap untuk sekuat tenaga dengan segala macam cara mengembalikan “modal” bagi pemenang pemilihan. Di samping itu,, pada pihak yang kalah boleh jadi timbul depresi dan suasana muram yang cukup mendalam dengan segenap akibatnya.
D.  Tantangan Kemanusiaan (baca juga Senang Galus)
Kondisi berbagai komponen kehidupan sebagaimana dipaparkan di atas semakin lama semakin terjebak kepada hal-hal yang pragmatis materialistik, padahal semuanya itu merupakan sarana pokok atau setidak-tidaknnya berperan sebagai penunjang upaya pendidikan untuk mampu membangun nilai-nilai karakter-cerdas. Praktik kegiatan ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan serta budaya kelembagaan mestinya mampu membangun sikap dan sifat-sifat yang terkandung dalam nilai-nilai karakter-cerdas dengan fokus iman dan takwa, kejujuran, kecerdasan, ketangguhan, dan kepedulian, serta wujud pengamalan Pancasila. Penyimpangan atau carut-marut dalam nilai-nilai karakter-cerdas dalam lima fokus itu merupakan tantangan amat serius bagi kebebasan, keamanan dan kenyamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan kehidupan kemanusiaan.  
1. Anti Kepemimpinan
Posisi kepemimpinan atau kekhalifahan di muka bumi menuntut kemampuan atau kompetensi lima-me sebagaimana diuraikan pada terdahulu (BabII) yaitu memahami, menguasai, memanfaatkan, memelihara/ mengembangkan dan melestarikan. Dalam kondisi anti-karakter-cerdas tuntutan lima-me itu tercederai, sehingga berkembang perilaku anti kepemimpinan/kekhalifahan yang anti karakter-cerdas, yaitu lima-pe berikut.

Seseorang yang anti karakter-cerdas tidak dapat disebut sebagai pemimpin atau khalifah di muka bumi, sebab kerjanya hanya akan merusak dan menyebabkan kehidupan manusia (yang berada di bawah kekuasaan) akan merana, menderita dari sepak terjang orang yang menyatakan sebagai pemimpin/khalifah di muka bumi itu.

2.  Energi Liar

Merajalelanya kondisi anti karakter-cerdas mengarah kepada degradasi kualitas kehidupan manusia dan bertentangan dengan paradigma MKM (Memuliakan Kemanusiaan Manusia) yang dilandasi oleh HMM dan Pancasila terintegrasi dalam nilai-nilai karakter-cerdas. Berkenaan dengan peserta didik sebagai generasi muda, sebagai anak-anak bangsa penerus kehidupan kebangsaan, kondisi anti karakter-cerdas merupakan hambatan yang sungguh-sungguh menganggu pengembangan pribadi mereka seutuhnya, sebagai pribadi yang memuliakan dan dimuliakan kemanusiaannya. Pengaruh-pengaruh nurtural yang berasal dari kondisi antikarakter-cerdas yang berkembang di lingkungan kehidupan mereka akan menjadi energi liar yang bisa berkecamuk dan berdinamika negatif pada diri peserta didik. Energi liar itu akan mendorong peserta didik berperilaku menyimpang dan menghambat aktivasi energi pembelajaran yang sesungguhnya perlu dikembangkan melalui upaya pendidikan dalam arti yang luas.
Dalam masyarakat yang marak dengan perilaku anti karakter-cerdas, peserta didik berada dalam kondisi rawan terhadap energi liar akibat perilaku dan suasana antikarakter-cerdas itu. Mereka tidak menghayati, apalagi mengamalkan nilai-nilai karakter-cerdas, baik yang yang termaktub di dalam lima fokus karakter-cerdas maupun di dalam nilai-nilai luhur Pancasila. Permasalahannya ialah bagaimana meredam, mengendalikan dan maniadakan pengaruh lebih jauh lagi energi liar itu terhadap pengembangan diri peserta didik.Upaya pendidikan/pembelajaran bagaimana yang tepat dan efektif, perlu dilakukan untuk mengembangkan potensi peserta didik dalam arahnya yang andal sambil sekaligus menangani energi liar yang dimaksudkan itu. Upaya pendidikan karakter-cerdas diharapkan dapat memenuhi tuntutan tersebut.

Sering dilihat, yang lain mungkin penting