Cuplikan buku : Model Pendidikan Karakter-Cerdas, Karangan Prof. Dr. Prayitno, M.A & Dr. Afriva Khaidir, Mpd, terbitan UNP Press 2011
Salah
satu isu yang beredar dalam dunia pendidikan sekarang ini adalah isu pembinaan karakter manusianya. Sebab semuanya sudah “digiling”
oleh kemajuan teknologi komputerisasi, semua pelayanan memang sudah sangat
praktis dan efisiennya yang menyebabkan renggangnya hubungan antar manusia dan
pembinaan karakternya. Dalam kondisi ini komunikasi antar manusia tidak penting
lagi. Dari segi pembinaan karakter sekolah hanya sekedar tempat mencari ijazah
yang dapat diperjualbelikan. Komunikasi dalam institusi juga tidak kurang
amburadulnya.
Misalnya ketua jurusan karena sudah bergelar Doktor akan
bertindak ibarat seorang raja “sipatokah” (minang) atau raja “rahwana” (Jawa) yang
tidak lagi bersifat demokratis dan menghargai seniornya (sebagai orang timur harus menghargai yang lebih tua). Kebanyakan orang kalau sudah “duduk
di atas”, tidak peduli tentang pembinaan karakter, sebab yang dipikirkannya
adalah “keuntungan” dirinya sendiri atau kelompok kecilnya. Guru dan dosen
hidupnya berkelompok-kelompok dan saling cakar satu sama lain. Ada kelompok
yang menganggap dirinya masuk kelompok yang sangat mengerti pendidikan dan pengajaran dan kurang
mementingkan penguasaan ilmu, dan ada kelompok yang menganggap dirinya
menguasai ilmu. Kedua kelompok ini kadang -kadang juga berakhir apatis. Sebab, buat apa, karena semua bahan ajar sudah diatur tentang apa yang mesti diajarkan. Dapat dibayangkan bagaimana murid atau mahasiswa yang dibina di
tempatnya. Ini adalah beberapa contoh dimana dunia pendidikan hanya sekedar
tempat berkumpul untuk menjual dan membeli ijazah. Kampus sudah menjadi ajang
politik, dimana orang mudah memberikan penghargaan atau ijazah tanpa usaha yang
benar dan lazim. Kemudian pribadi-pribadi telah kehilangan karakternya, sebab
pembinaan ke arah pembinaan karakter itu tidak ada, baik oleh rektor kepada fakultas-fakultas,
oleh kepala sekolah atau ketua jurusan
kepada staf pengajar. Oleh guru dan dosen kepada mahasiswa dan siswa. Isu-isu
seperti ini menjadi santer dewasa ini, dimana isu pendidikan karakter menjadi
penting. Apakah pendidikan karakter itu? Bagaimanakah pembinaan karakter oleh pemerintah? Hal yang sama pentingnya adalah
mengetahui apa yang menjadi anti karakter dalam kehidupan? Apa yang di uraikan di atas akan dirinci lagi pada artikel ini.Tulisan ini adalah
khusus untuk mengungkapkan kondisi anti karakter dalam kehidupan manusia. Buku ini jumlahnya hampir 400 halaman, sayangnya buku ini hanya menekankan karakter dari segi kependidikan, bukan dari fakta yang ada dimasyarakat. Untuk itu lihat pendapat gubernur Sumbar tentang karakter orang padang (budaya), dan lihat pula pendapat tentang membangun karakter budaya bangsa klik bagian ini), dan baca juga sanggahan kepada istilah kecerdasan terhadap penulis buku ini.
Dalam rangka pembangunan bangsa dan negara sejak
awal kemerdekaan dikenal dan dikumandangkan dua “slogan”
tetapi satu, yaitu nation and character building yang maknanya pembangunan
bangsa dan pembangunan watak (karakter)
bangsa dengan Pancasila sebagai falsafah bangsa dan dasar negara. Karakter
Pancasilais diidealkan menjadi basis bagi pembangunan bangsa dan negara yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Setelah perjalanan pembangunan bangsa
dan negara berusia lebih dari enam dekade, gelora nation and character
building agaknya semakin meredup. Pancasila yang digelorakan sejak
dimulainya revolusi kemerdekaan, mengalami kemunduran dalam makna keluhuran
nilai-nilainya bagi kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bahkan dalam
unit-unit kehidupan yang lebih kecil. Acuan nilai-nilai luhur Pancasila
digantikan oleh nilai-nilai konformitas kekuasaan yang dipaksakan. Suasana
eforia berkat berhasilnya gerakan reformasi (tahun 1998) berlangsung dalam
hampir di setiap bidang kehidupan, terutama kehidupan politik yang diiringi
kebebasan penyiaran oleh media massa yang semakin langsung dan terbuka. Eforia
kebebasan politik dan penyiaran berdasarkan demokrasi yang seluas-luasnya itu,
mengimbas ke mana-mana, “melebar” melewati batas-batas bidang politik dan
penyiaran itu sendiri. Imbasan ini dirasakan tidak menyejahterakan rakyat,
bahkan suasana kehidupan cenderung semakin meresahkan dan mengkhawatirkan. Karakter Pancasilais kehilangan roh sejatinya. Arus
teknologi-informasi global yang semakin terbuka, vulgar tanpa batas dan tak
terkendali menunjang secara signifikan atas suasana yang meresahkan dan
mengkhawatirkan itu.
Amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berlandaskan
nilai-nilai luhur Pancasila yang sepenuhnya
bersesuaian dengan harkat
dan martabat manusia dengan lima-i sebagai intisarinya mengalami degradasi.
Kenyataan dan gejala-gejala praktik kehidupan yang berciri antikarakter-cerdas
semakin merajalela.
A. Isu-isu Kehidupan Kemasyarakatan dan Kebangsaaan
Berbagai kesenjangan dan ketidaknyamanan mewarnai kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan kita dewasa ini. Peristiwa atau suasana yang sesungguhnya tidak dikehendaki terjadi itu justru disiarkan secara intens, oleh media massa, sehingga beritanya menyebar ke mana-mana dan diserap serta dimaknai secara amat beragam oleh segenap lapisan warga masyarakat di tanah air.
1. Bidang Ekonomi
1. Bidang Ekonomi
Kesenjangan antara kaya dan miskin masih tetap menjadi kenyataan atau bahkan “semakin melebar”. Pengangguran masih tinggi dan belum berkecenderungan menurun, dibayang-bayangi banjir produk luar negeri. Karakter konsumerisme dan lebih menyukai produk luar negeri warga masyarakat semakin terasa. Rendahnya produktivitas warga masyarakat diiringi oleh rendahnya penciptaan lapangan kerja baru dan minimnya kewirausahawan. Motivasi menjadi pegawai negeri mendominasi para pencari kerja pada semua lini dan kesempatan. Upaya “berpacu dalam mengais rezeki” berkembang menjadi praktik korupsi, perampokan, pencurian dalam berbagai bentuk dan intensitasnya mewarnai hampir segenap lapisan masyarakat.
2. Hubungan Sosial Kemasyarakatan
Kerukunan dan kedamaian, kegotong-royongan, dan musyawarah untuk mufakat, menjadi jauh dan tidak dirasakan lagi dalam kehidupan karena dibisingkan oleh kegaduhan demonstrasi, kericuhan dalam penetapan lahan usaha, suasana pertandingan olah raga, penuntutan hak yang tercederai. Kericuhan dalam keluarga dan hubungan kekerabatan dan perselisihan antarkelompok mewarnai dinamika kehidupan warga masyarakat. Perbuatan kekerasan, asosial, ademokratis dan amoral, korupsi, konsumsi dan pengedaran narkoba, menambah senjangnya kehidupan dasar yang sejahtera dan bahagia.
3. Dunia Hukum
Hukum di negara kita yang sesungguhnyalah dinyatakan sebagai negara hukum, masih dirasakan senjang pelaksanaannya. Penegakan hukum (law enforcement) dirasakan lemah, dan berbagai bidang, mulai dari jalan raya, di pasar, di perumahan, sampai di gedung-gedung pengadilan. Hukum bahkan “dapat dibeli” oleh pihak-pihak yang mampu membelinya, yang semuanya itu merupakan wujud perilaku antikarakter-cerdas. Pungutan liar dan suap serta perilaku tidak legal lainnya merupakan praktik melanggar hukum yang anti karakter-cerdas.3. Dunia Hukum
4. Globalisasi dan Dunia Maya
Kenyataan
yang mengarah ke globalisasi dan berkembangnya tanpa batas dunia maya membawa
dampak luar biasa. Siapa saja dapat memperoleh informasi tentang apa saja,
kapan saja, dan dari manapun juga. Informasi yang diperoleh itu boleh jadi
belum layak dikonsumsi dan akan menimbulkan kesenjangan pada pribadi yang
bersangkutan yang akan mengakibatkan perilaku anti karakter-cerdas. Seiring
dengan aspek positif yang dapat diperoleh
melalui pergerakan gobalisasi dan peran dunia maya, pengaruh terhadap
perilaku negatif pun semakin menggejala. Perang melalui dunia maya,
ketidakadilan dan tindak kriminal pun
dapat terjadi dengan menggunakan perangkat dunia maya.
B. Isu-isu Pendidikan
1.
Pembelajaran
Inti pendidikan adalah belajar dan pembelajaran. Dengan
demikian, tiada pendidikan tanpa kegiatan belajar dan proses pembelajaran.
Kegiatan belajar dan proses
pembelajaran tidak lain adalah untuk membangun karakter-cerdas yang akan
diterapkan dalam kehidupan, namun kenyataannya berbeda.
Pembelajaran dewasa ini lebih mengutamakan prestasi
sesaat yang ukuran keberhasilannya diletakkan pada keunggulan individu atas
standar relatif tertentu. Dalam hal ini visi pembelajaran belum mampu
mengarahkan bahwa praktik pembelajaran yang direncanakan dengan tujuan-tujuan
yang akan dicapainya merupakan upaya untuk membangun masa depan kehidupan per individu
secara utuh, kehidupan masyarakat luas, dan kehidupan bangsa yang lebih
cemerlang.
Pembelajaran yang berciri diaplikasikannya high-touch dan high-tech belum terwujudkan.
Sebaliknya pendekatan yang menekankan pada pendekatan behavioristik, mengakibatkan terfragmentasikannya ranah kognitif dari ranah afektif dan konatif, padahal
ketiga ranah itu merupakan satu
kesatuan yang perlu dikembangkan dalam diri individu. Akibatnya, pembelajaran
hanya menghasilkan pengetahuan belaka, tanpa dapat diubah menjadi perilaku, atau kebiasaan,
apalagi menjadi karakter. Demikian juga halnya dengan strategi pembelajaran.
Pergeseran antara konsep belajar-mengajar menjadi pembelajaran, konsep berpusat
pada guru kepada berpusat pada murid, penggunaan berbagai model-model
pembelajaran, menjadi persoalan lain lagi yang membuat tidak jelasnya proses
pembelajaran yang mendidik dan membelajarkan. Bukan hanya karakter bangsa yang
tidak mampu menjadi dampak pengiring suatu pembelajaran, karakter individu
sebagai individu yang mandiri pun tidak jelas pembinaannya. Hal inni tampak
pada kebingungan strategi pembelajaran.
Permasalahan dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari
terasa dari ketidaksejukan iklim sekolah dan proses pembelajaran sampai dengan
kecurangan dalam pengerjaan tugas, ulangan dan ujian (termasuk ujian nasional).
- Peserta didik tidak betah dan kurang bersemangat berada dan belajar di lingkungan satuan pendidikan (sekolah/madrasah, dll). Iklim satuan pendidikan dipenuhi oleh suasana 5H (harus, hafal, hampa, hardik, dan hukuman). Iklim 5H ini seiring dengan kondisi 5D (datang, duduk, diam, dengar, dan tidak peduli) yang setiap hari berlangsung.
- Belajar dirasakan sebagai beban yang sulit dan menyulitkan ketimbang sebagai kegiatan yang bermanfaat dan menyenangkan.
- Praktik MKM (memuliakan kemanusiaan manusia) sering dicederai dengan berbagai kekerasan dan penghukuman, baik melalui kekerasan fisik, kekerasan verbal dan perlakuan, maupun skorsing, sampai pengeluaran siswa dari sekolah. Hal ini mengarah kepada terjadinya kecelakaan pendidikan.
- Suasana pembelajaran cenderung menegakkan disiplin dan kurang memberikan pengarahan, penguatan, dan keteladanan. Kekerasan diberlakukan atas nama penegakan disiplin.
- Adanya diskriminasi tentang nilai, kedudukan, dan pentingnya bidang studi tertentu, seperti bidang MIPA diposisikan paling penting dibanding IPS, Bahasa, Kejuruan, Keterampilan, Olahraga dan juga Agama. Kesetaraan semua bidang atau mata pelajaran yang sama pentingnya bagi pembinaan kemampuan dan kedirian peserta didik didegradasikan.
- Personil pendidik membuat dan menjaga jarak, sehingga keakraban yang menyejukkan kurang terbina. Suasana ini tidak mendorong terjadinya kegiatan belajar dan proses pembelajaran yang menyenangkan, aktif, kreatif, inovatif, dan produktif.
- Terjadi pembiaran terhadap kelemahan belajar peserta didik dan juga ketidakpedulian terhadap peserta didik yang berpotensi. Dalam hal ini kegiatan pengajaran perbaikan dan pengayaan tidak menjadi perhatian pendidik. Sekolah mendegradasikan diri atas fungsi utamanya mencerdaskan peserta didik, dengan membiarkan (atau bahkan mengkondisikan) peserta didik menyontek. Praktik ini sesungguhnyalah merupakan kecelakaan pendidikan yang secara langsung menghancurkan sendi-sendi karakter-cerdas yang memandirikan, kerja keras, disiplin, dan jujur.
- Sekolah seperti “katak di bawah tempurung” yang mengakibatkan “terisolasi” dari kondisi kehidupan di masyarakat sekitarnya. Di samping itu,, sekolah membiarkan para peserta didik “dicekam” oleh kondisi lingkungan (yang kondisinya negatif) tanpa berusaha “memperbaiki yang salah, meluruskan yang menyimpang, dan meninggikan yang rendah, menjernihkan yang keruh”. Sekolah tidak melakukan purifikasi kondisi peserta didik yang dipengaruhi oleh unsur-unsur yang menyimpang dan tidak mampu menyumbang untuk kebaikan perkembangan warga masyarakat.
Manajemen pendidikan dilakukan supaya pendidikan dapat berlangsung sebagai usaha yang sungguh-sungguh guna terwujudnya
suasana belajar dan proses pembelajaran dengan tujuan agar mereka berkarakter-cerdas. Melalui upaya
pendidikan/pembelajaran yang memfasilitasi pembangunan karakter-cerdas peserta
didik dijamin melalui kekuatan elemen dasar organisasi pendidikan itu sendiri,
yaitu dengan menetapkan Pancasila yang mengarahkan fungsi manajemen,
perencanaan, pengorganisasian,
kepemimpinan dan kepengawasan jalannya menajemen itu sendiri. Penampilan
perilaku pemimpin dan tenaga kependidikan diwarnai oleh transformasi
nilai-nilai Pancasila. Mengacu pada hal-hal tersebut, bagaimana kondisi manajemen pendidikan sekarang ini?
Kendala dan permasalahan manajemen pendidikan dapat
diidentifikasikan sebagai berikut.
- Manajemen pendidikan tidak menyalurkan nilai pedagogis, melainkan mencerminkan “proses bisnis”. Pelayanan birokrasi manejemen pendidikan yang kurang mendidik. Kebijakan dan praktik layanan kurang atau bahkan tidak mengalirkan energi dan kebijakan pendidikan yang medidik/membelajarkan. Alur fungsi organisasi lebih mencerminkan suasana transaksional bisnis daripada transformasional yang membangun/mendidik.
- Adanya mismatched, seperti guru bidang studi A ditugasi mengajarkan mata pelajaran B; guru bidang studi tertentu ditugasi untuk melaksanakan layanan konseling, atau sebaliknya. Kondisi ini dapat mengakibatkan rendahnya mutu pembelajaran, bahkan terjadinya malapraktik yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan pendidikan.
- Kontroversi antara kekurangan tenaga pendidik (guru dan/atau konselor) dalam bidang tertentu, dan kelebihan guru pada bidang yang lain masih banyak terjadi. Hal ini menimbulkan penugasan rangkap yang mismatched di satu sisi dan suasana kekurangan jam pembelajaran di sisi lain, yang mengakibatkan kekisruhan dalam tugas kepengawasan.
- Adanya kecenderungan kuat untuk menghasilkan lulusan sebanyak mungkin, dengan segala cara. Kualitas pendidikan dikalahkan oleh kuantitas tamantannya. Hasilnya adalah nyontek dalam ujian. Hal ini sama sekali kontra terhadap tugas utama dan mulia pendidik dan manajemen pendidikannya, yaitu membina peserta didik yang benar-benar berkarakter-cerdas. (hal ini salah pemerintah juga , misalnya di Perguruan Tinggi bagi jurusan yang meluluskan sedikit, akreditasi jurusan diturunnkan peringkatnya)
- Sekolah tidak memperoleh manfaat yang memadai dari Komite Sekolah. Dalam hal ini, manajemen pendidikan belum mengupayakan hubungan timbal balik dengan masyarakat dalam suasana yang saling menguntungkan.
Isu-isu umum yang dapat diidentifikasi antara lain adalah
sebagai berikut.
a. Pendidikan
Formal
Dalam semua penjenjangan satuan pendidikan dasar,
menengah dan pendidikan tinggi, pembangunan karakter dilakukan oleh tindak
pembelajaran yang melakukan transfer ofknowledge. Proses pembelajaran yang sesungguhnya tidak hanya terkait
dengan pengubahan tingkah laku, apa lagi proses pembiasaan atau kondisioning
(Novak & Tyler, 1986) justru dikerdilkan oleh praktik menghafal. Lebih
jauh, penerapan pendekatan interdisipliner yang mengamanatkan agar permasalahan pendidikan dilihat secara lebih luas,
mencakup aspek-aspek internasional, nasional, regional, dan lokal (Hunt, 1975)
dikerdilkan oleh penegakan disiplin yang dipaksakan.
Pembelajaran yang mengarah kepada pembangunan karakter
bangsa juga terkendala. Penguasaan siswa terhadap dasar negara,
lambang negara sebagai simbol kebangsaan, baru sebatas pengetahuan, sementara itu
penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari tampak semakin kabur dan semakin jauh dari harapan. Sebaliknya
nilai-nilai global dan dunia maya merasuki kehidupan para siswa tanpa filter
yang memadai, dan pendidikan formal tidak memberikan kepedulian untuk mencegah
dan meminimalkan pengaruh negatifnya.
b. Pendidikan
Nonformal
Pendidikan nonformal saat ini tengah mengalami penyempitan makna; mengalami
proses dehumanisasi (Fauzi, 2009). Lebih khusus, Sumpeno (2009) menyatakan
pendidikan nonformal belum membangun karakter bangsa. Pembentukan pribadi
cerdas secara individual orang-perorang mungkin sedikit banyak dijangkau oleh
pendidikan nonformal. Namun, tujuan pendidikan nonformal yang juga mengarah kepada pembangunan
karakter-cerdas dan terampil peserta didik dalam kehidupan bersama,
bermasyarakat, dan berkebangsaan belum banyak mendapat perhatian.
Fungsi pendidikan nonformal sebagai penyeimbang (complement),
penambah (suplement), dan
pengganti (substitusi) dari pendidikan formal kedudukannya disetarakan
dengan pendidikan formal. Dengan
demikian, seperti halnya pendidikan formal,
pendidikan nonformal juga berfungsi untuk membangun karakter (character
building) peserta didik. Dalam hal ini pendidikan nonformal memerlukan
perencanaan yang matang dalam isi programnya, prasarana dan sarananya, sumber belajarnya serta aktivitas pendidik dan peserta
didiknya, yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan (Hamijoyo, 1973; Combs,
1985; Sujana,1994). Sebagaimana juga pendidikan formal, pendidikan nonformal
bukanlah lembaga yang sekedar mentransfer pengetahuan saja, tetapi juga
membentuk karakter peserta didik agar menjadi warga masyarakat/negara yang
punya sopan-santun dalam tataran etika dan estetika serta berperilaku dalam hidup dan kehidupan secara ideal.
Kenyataan banyak menunjukkan bahwa pendidikan nonformal belum berhasil
memberikan sumbangan berarti dalam
meningkatkan kecerdasan dan keterampilan peserta didik, dan juga telah gagal
dalam membentuk karakter dan watak pribadi anak bangsa.
c. Pendidikan
Informal
Tidak dapat dipungkiri, bahwa pendidikan informal
merupakan sarana esensial untuk pembangunan karakter anak-anak dan generasi
muda bangsa. Pendidikan informal ini perlu melibatkan semua elemen, baik rumah
tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat luas. Rumah tangga dan keluarga sebagai satuan
pendidikan informal sekaligus sebagai satuan pembentukan karakter harus
diberdayakan. Satu hal sangat menonjol,
sebagaimana diketengahkan oleh Coombs (1985) bahwa suasana pendidikan dalam
keluarga adalah school of love, menjadi satuan pendidikan untuk pengembangan cinta sejati dan
kasih sayang. Dengan demikian, pembentukan karakter melalui pendidikan informal selain
mencakup pembelajaran pengetahuan, tetapi lebih dari itu, perlu terfokus pada
moral, niliai-nilai etika, estetika, budi
pekerti yang luhur dan sejenisnya, yang semuanya itu tergabung
dalam nilai-nilai karakter-cerdas.
Kenyataannya,
pendidikan dalam keluarga terkendala oleh kemampuan keluarga itu sendiri
berkenaan dengan teknik-operasional pendidikan, pengalaman pribadi dalam
hubungan pendidikan, serta kondisi orang tua yang kurang kesempatan bergaul
dengan anak-anak karena kesibukan bekerja. Kondisi ini diperkuat lagi dengan
rangsangan dari teknologi informasi yang semakin gencar. Keluarga kedodoran dalam pengawasan
terhadap anak-anak yang secara bertubi-tubi mendapat “serangan” dari gencarnya
informasi yang seringkali kian dan sangat menantang itu.
Memperhatikan paparan singkat di atas, isu-isu
karakter-cerdas berkenaan dengan pendidikan formal, nonformal, dan informal
dapat diidentifikasikan dan ditekankan pada hal-hal berikut.
1. Pembelajaran
pada wilayah pendidikan formal lebih mengarah kepada pengembangan ranah
kognitif, bahkan lebih disempitkan menjadi hafalan. Kondisi seperti ini jauh
dari pengembangan potensi peserta didik secara optimal; termasuk di dalamnya
belum terjangkaunya pengembangan karakter-cerdas.
2. Meskipun
sudah disetarakan dengan satuan pendidikan formal tingkat pendidikan dasar dan
menengah, namun masih dikesankan bahwa pendidikan nonformal masih “sempit” dan
“lebih rendah” dibanding pendidikan formal.
3. Pendidikan
informal belum efektif sebagai school of love karena terkendala oleh
berbagai hal. Kualitas pendidik pada pendidikan formal dan juga nonformal yang
kurang atau tidak berkarakter-cerdas, lebih mendorong rendahnya nilai-nilai dan
perilaku karakter-cerdas dalam keluarga. Kesempatan pengasuhan sehat (healthy
parenting) terhadap anak-anak dalam keluarga tidak terselenggara secara
memadai, sehingga kondisi karakter-cerdas generasi muda cenderung
mengalami penyimpangan.
C. Isu-isu Kelembagaan
Kinerja birokrasi dan pelayanan kepada masyarakat banyak
diwarnai perilaku yang kurang berkarakter-cerdas. Dewasa ini dalam lembaga
pemerintah dan swasta di tanah air hampir tidak populer lagi Pancasila sebagai karakter bangsa.
Pancasila tidak lagi menjadi acuan penampilan perilaku sumberdaya manusia.
Padahal, kinerja kelembagaan pada dasarnya adalah juga
pendidikan, sehingga suasana kinerja kelembagaan harus mampu membangun karakter
individual sekaligus karakter kebangsaan. Hampir seluruh aktivitas kelembagaan
ditentukan oleh kuasa uang, dan bentuk lain yang merusak citra kehidupan
lembaga yang bersuasana pendidikan. Sesunggunyalah, uang adalah alat yang
sangat berguna, tetapi uang adalah penguasa yang buruk. Isu-isu kelembagaan
menyangkut kinerja birokrasi dan pelayanan kepada masyarakat, dan juga tentang
proses pengangkatannya maupun pelaksanaan kinerja para personilnya seringkali
diwarnai oleh perilaku yang kurang
berkarakter-cerdas. Gambarannya sebagai berikut.
Jabatan dan Pengangkatan
Kolusi dan nepotisme menjadi isu yang menonjol, di samping
isu suap, yang berakibat langsung pada terjadinya mismatched dan the
wrong persons on the
wrong places. Di samping menampilkan praktik-praktik
ketidakadilan, akibat lebih jauh dari mismatchedtersebut adalah inefisiensi serta rendahnya efektifitas dan
produktivitas.
Pelayanan kepada Masyarakat
Birokrasi yang berbelit-belit dan rendahnya pelayanan
para petugas pemerintahan mencerminkan kurang sehatnya aparat birokrasi.
Kelambanan seperti itu disertai pula apa yang sering disebut “pungli” (pungutan
liar) dan biaya siluman.
“Modal” untuk Meraih Jabatan
Untuk jabatan yang cukup tinggi, terlebih-lebih jabatan
yang melalui pemilihan, diisukan adanya praktik money polytics. Hal ini
dapat mengakibatkan sikap loyalitas membabi-buta atau loyalitas palsu pada diri
para pemilih, dan sikap untuk sekuat tenaga dengan segala macam cara
mengembalikan “modal” bagi pemenang pemilihan. Di samping itu,, pada pihak yang kalah boleh jadi timbul depresi dan
suasana muram yang cukup mendalam dengan segenap akibatnya.
D. Tantangan Kemanusiaan (baca juga Senang Galus)
Kondisi berbagai komponen kehidupan sebagaimana dipaparkan di atas semakin lama semakin terjebak kepada hal-hal yang pragmatis materialistik, padahal semuanya itu merupakan sarana pokok atau setidak-tidaknnya berperan sebagai penunjang upaya pendidikan untuk mampu membangun nilai-nilai karakter-cerdas. Praktik kegiatan ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan serta budaya kelembagaan mestinya mampu membangun sikap dan sifat-sifat yang terkandung dalam nilai-nilai karakter-cerdas dengan fokus iman dan takwa, kejujuran, kecerdasan, ketangguhan, dan kepedulian, serta wujud pengamalan Pancasila. Penyimpangan atau carut-marut dalam nilai-nilai karakter-cerdas dalam lima fokus itu merupakan tantangan amat serius bagi kebebasan, keamanan dan kenyamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan kehidupan kemanusiaan.
1. Anti Kepemimpinan
Kondisi berbagai komponen kehidupan sebagaimana dipaparkan di atas semakin lama semakin terjebak kepada hal-hal yang pragmatis materialistik, padahal semuanya itu merupakan sarana pokok atau setidak-tidaknnya berperan sebagai penunjang upaya pendidikan untuk mampu membangun nilai-nilai karakter-cerdas. Praktik kegiatan ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan serta budaya kelembagaan mestinya mampu membangun sikap dan sifat-sifat yang terkandung dalam nilai-nilai karakter-cerdas dengan fokus iman dan takwa, kejujuran, kecerdasan, ketangguhan, dan kepedulian, serta wujud pengamalan Pancasila. Penyimpangan atau carut-marut dalam nilai-nilai karakter-cerdas dalam lima fokus itu merupakan tantangan amat serius bagi kebebasan, keamanan dan kenyamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan kehidupan kemanusiaan.
1. Anti Kepemimpinan
Posisi kepemimpinan atau kekhalifahan di muka bumi menuntut kemampuan atau kompetensi lima-me sebagaimana diuraikan pada terdahulu (BabII) yaitu memahami, menguasai, memanfaatkan, memelihara/ mengembangkan dan melestarikan. Dalam kondisi anti-karakter-cerdas tuntutan lima-me itu tercederai, sehingga berkembang perilaku anti kepemimpinan/kekhalifahan yang anti karakter-cerdas, yaitu lima-pe berikut.
2. Energi Liar
Merajalelanya
kondisi anti karakter-cerdas mengarah kepada degradasi kualitas kehidupan
manusia dan bertentangan dengan paradigma MKM (Memuliakan Kemanusiaan Manusia)
yang dilandasi oleh HMM dan Pancasila terintegrasi dalam nilai-nilai
karakter-cerdas. Berkenaan dengan peserta didik sebagai generasi muda, sebagai
anak-anak bangsa penerus kehidupan kebangsaan, kondisi anti karakter-cerdas
merupakan hambatan yang sungguh-sungguh menganggu pengembangan pribadi mereka
seutuhnya, sebagai pribadi yang memuliakan dan dimuliakan kemanusiaannya.
Pengaruh-pengaruh nurtural yang berasal dari kondisi antikarakter-cerdas
yang berkembang di lingkungan kehidupan mereka akan menjadi energi liar yang
bisa berkecamuk dan berdinamika negatif pada diri peserta didik. Energi liar
itu akan mendorong peserta didik berperilaku menyimpang dan menghambat aktivasi
energi pembelajaran yang sesungguhnya perlu dikembangkan melalui upaya
pendidikan dalam arti yang luas.
Dalam
masyarakat yang marak dengan perilaku anti karakter-cerdas, peserta didik
berada dalam kondisi rawan terhadap energi liar akibat perilaku dan suasana
antikarakter-cerdas itu. Mereka tidak menghayati, apalagi mengamalkan
nilai-nilai karakter-cerdas, baik yang yang termaktub di dalam lima fokus
karakter-cerdas maupun di dalam nilai-nilai luhur Pancasila. Permasalahannya
ialah bagaimana meredam, mengendalikan dan maniadakan pengaruh lebih jauh lagi energi
liar itu terhadap pengembangan diri peserta didik.Upaya pendidikan/pembelajaran
bagaimana yang tepat dan efektif, perlu dilakukan untuk mengembangkan potensi
peserta didik dalam arahnya yang andal sambil sekaligus menangani energi liar
yang dimaksudkan itu. Upaya pendidikan karakter-cerdas diharapkan dapat
memenuhi tuntutan tersebut.