Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Jumat, 15 Agustus 2014

Penilaian Alternatif dalam Pembelajaran Bahasa

Oleh. Prof. Dr. Atmazaki, M. Pd.



Tulisan ini adalah cuplikan buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Atmazaki, yang mengemukakan pentingnya penilaian alternatif dalam pembelajaran. Tentu saja hal ini tidak berlaku hanya untuk penilaian pembelajaran bahasa, sebab pembelajaran lainnya juga memerlukan penilian alternatif seperti yang beliau kemukakan dalam buku ini. Untuk sekedar mengetahui pengertian sistem penilaian ini maka dikemukakan cuplikan yang terdapat pada isi buku tersebut. 
Para guru sekarang mulai tidak puas dengan sistem penilaian tradisional yang menggunakan tes standar. Mereka mulai frustrasi karena bagaimana mereka mengajar dan bagaimana siswa belajar tidak sejalan. Apa yang diajarkan (keterampilan berbahasa) dan apa yang diujikan (pengetahuan keterampilan berbahasa dan aplikasi terbatas) tidak sejalan. Tes standar, misalnya, sering tidak mencerminkan kemampuan membaca siswa, hanya mencerminkan sebagian keterampilan membaca siswa. Apalagi, tes menulis hanya menyusun kalimat-kalimat acak menjadi paragraf melalui tes pilihan ganda. Tidak mungkin cara seperti itu akan mampu memberikan informasi yang sesungguhnya tentang penguasaan dan kinerja siswa dalam membaca dan menulis.

Tekanan atas tanggungjawab terhadap keberhasilan siswa menghadapi ujian nasional juga mendorong guru untuk fokus pada pembelajaran serba instan dengan membahas sosl-soal dan cara menebak jawaban. Guru terperangkap di antara kebutuhan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam berbahasa Indonesia dan kebutuhan untuk membantu siswa menjawab ujian nasional. Situasi ini jelas tidak membawa perubahan kultur belajar menjadi lebih terfokus pada keterampilan berbahasa.


Pergeseran pandangan dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teachers-centred learning) ke pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centred learning) dan perubahan dramatis dalam inovasi metode pembelajaran saat ini menuntut guru agar penilaian dilakukan secara variatif dan terfokus pada kinerja siswa. Dalam konteks inilah, penilaian alternatif dapat menjadi solusi dalam rangka penyesuaian pandangan dan inovasi pembelajaran tadi. Dengan penilaian alternatif, guru lebih “leluasa” untuk mendapatkan informasi tentang kekuatan, keberhasilan, dan kelemahan siswa. Informasi itu akan menjadi titik fokus dalam perbaikan pembelajaran dan peningkatan kinerja siswa.

Dalam kaitan itulah buku ini diharapkan menjadi solusi, baik bagi calon guru (mahasiswa keguruan) maupun guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Buku ini diharapkan menjadi model bagaimana merencanakan, mengembangkan, dan menilai tugas-tugas kinerja siswa dalam meningkatkan keterampilan berbahasa Indonesia dan mencari solusi perbaikan pembelajaran.

Penilaian Alternatif dalam Pembelajaran Bahasa

Penilaian alternatif dalam pembelajaran bahasa berkembang sekitar tahun 2000-an. Sejak masa itu, gagasan-gagasan tentang pemusatan kegiatan belajar pada siswa (student centered agenda) telah mulai dimunculkan (Brown, 2004:10. Meskipun masih banyak yang menggunakan penilaian pencil and paper, tetapi untuk keterampilan lisan, menulis dan open-ended responses, para guru sudah mulai menggunakan penilaian berbasis kinerja (performance-based assessment). Brown (2004:251) menyebut penilaian alternatif dengan istilah beyond tests, yaitu penilaian yang dimaksudkan tidak sekadar menguji (mengetes), tetapi juga meminta siswa untuk melakukan dan bersikap terhadap pengetahuan dan keterampilan berbahasanya.

Pada masa awal perkembangannya, penilaian alternatif hanya sebagai suplemen dari penilaian tradisional. Namun akhir-akhir ini, bentuk penilaian alternatif telah berkembang dengan pesat untuk menilai keterampilan berkomunikasi (berbahasa) siswa. Bahkan, Kurikulum 2013 diimplementasikan dengan gagasan penilaian alternatif atau otentik

Meskipun menggunakan istilah yang berbeda-beda, pada dasarnya penilaian alternatif dalam pembelajaran bahasa memiliki karakteristik yang sama. Hamayan (1995) mengemukakan lima karakteristik penilaian alternatif untuk pembelajaran bahasa, sebagai berikut.

Pertama, adanya kedekatan hubungan antara hasil penilaian dengan realitas berbahasa atau komunikasi. Penilaian alternatif menghendaki materi penilaian yang otentik sehingga siswa langsung menggunakan bahasa sebagaimana terjadi dalam kehidupan sehari-hari (situasi otentik).

Kedua, penilaian alternatif mengedepankan pandangan yang lebih holistik terhadap bahasa. Dengan menggunakan penilaian alternatif, guru semakin memperhatikan hubungan antarunsur bahasa, yaitu fonologi, tata bahasa, dan kosa kata. Selain itu, keempat keterampilan berbahasa—mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis—merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan terpadu dalam pembelajaran bahasa.

Ketiga, dengan menggunakan penilaian alternatif, pembelajaran terlihat lebih terpadu dengan penilaian. Keterpaduan antara keterampilan (skill) dan kemampuan (abilities) dalam pembelajaran akan lebih terlihat dengan menggunakan penilaian alternatif. Melalui prosedur penilaian alternatif, guru lebih mungkin untuk mengukur kemahiran berbahasa siswa dalam subjek tertentu.

Keempat, penilaian alternatif memungkinkan guru untuk menyeimbangkan perkembangan siswa dari segi kognitif, sosial, dan akademik. Bentuk ini memadai untuk menyesuaikan tes dengan kebutuhan dan level siswa sehingga guru dapat mengetahui bagaimana perkembangan bahasa siswa secara lebih akurat dalam kehidupan sehari-hari.

Kelima, penilaian alternatif memungkinkan guru untuk melakukan penilaian dengan acuan ganda (multiple referencing). Adanya keraguan penganut psikometrik terhadap penilaian yang kurang reliabel akan dapat dipecahkan dengan penilaian alternatif karena banyak sumber dapat digunakan untuk menentukan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran.

Secara ringkas, Brown (2004:252) mengemukakan dua belas karakteristik penilaian alternatif dalam pembelajaran bahasa yang mengacu pada penggunaannya di berbagai bidang.
  1. Penilaian alternatif menghendaki siswa untuk menampilkan, menciptakan, dan menghasilkan atau melakukan sesuatu. Dalam pembelajaran bahasa, semua aktivitas berbahasa yang diamanatkan kurikulum adalah objek penilaian alternatif.
  2. Dalam pelaksanaannya, penilaian alternatif menggunakan konteks dunia nyata atau, paling kurang dalam bentuk simulasi. Hal ini berarti bahwa tugas-tugas keterampilan berbahasa yang diberikan guru bukanlah tugas yang terpisah dari kehidupan sehari-hari, melainkan aktivitas berbahasa berbasis konteks seperti bercakap-cakap, bercerita, mengarang, berpidato, berceramah, dan sebagainya.
  3. Penilaian alternatif tidak menggangggu proses belajar mengajar karena dapat dilakukan secara bersamaan. Penilaian alternatif dapat menjadi bagian dari proses belajar-mengajar.
  4. Penilaian otentik membuat guru dapat menilai siswa tentang apa yang mereka lakukan secara normal setiap hari. Aktivitas berbahasa yang menjadi objek penilaian alternatif adalah kegiatan berbahasa normal, tidak dibuat-buat, tidak dihafal, tetapi aktivitas berbahasa spontan, meskipun dalam pelaksanaannya guru menetapkan topik-topik yang akan dijadikan topik berbahasa.
  5. Tugas-tugas yang dikerjakan oleh siswa dalam penilaian alternatif menunjukkan aktivitas belajar yang bermakna. Dalam mengarang, misalnya, guru menugaskan siswa membuat karangan yang lengkap seperti membuat berita, membuat esai, membuat surat, membuat laporan, dan sebagainya. Dalam penilaian alternatif, guru tidak menugaskan siswa membuat sebuah kalimat, paragraf deskripsi, narasi, dan sejenisnya.
  6. Penilaian alternatif terfokus pada proses dan produk sekaligus. Selain produk berupa karangan atau pembicaraan, penilaian alternatif juga memperhatikan proses, yaitu bagaimana merencanakan, melakukan, dan merefleksinya. Sebuah karangan tidak mungkin langsung “jadi”, apalagi bagi siswa yang sedang belajar. Jadi, bagaimana siswa berlatih sampai menghasilkan sebuah karangan, misalnya, juga menjadi objek penilaian.
  7. Penilaian alternatif memungkinkan guru untuk menilai kemampuan berpikir tingkat tinggi dan keterampilam pemecahan masalah. Hal ini terkait dengan apa yang disebut sebagai “kegiatan berbahasa yang bermakna”, yaitu berpikir dan memecahkan masalah. Berbahasa identik dengan berpikir; berpikir identik dengan memecahkan masalah. Ketika seorang siswa diminta memikirkan bagaimana cara mengkonversi sebuah cerita prosa menjadi teks drama, misalnya, ia sekaligus memecahkan masalah bentuk dan gaya bercerita kedua teks yang berbeda itu.
  8. Hasil penilaian otentik menyediakan informasi tentang kekuatan dan kelemahan siswa. Oleh karena kegiatan berbahasa yang dituntut adalah yang realistis sebagaimana dilakukan orang dalam kehidupan sehari-hari, guru akan mendapatkan informasi tentang seberapa baik siswa telah belajar dan berlatih dalam berbahasa.
  9. Penilaian alternatif akan sensitif secara multikultural jika dilaksanakan secara benar. Komunikasi antaretnis dan antarbudaya akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan seperti kondisi Indonesia dan itu akan berpengaruh pembelajara bahasa Indonesia. Setiap etnis mempunyai bahasa daerah masing-masing sehingga akan berpengaruh ketika mereka menggunakan bahasa Indonesia. Seberapa besar atau kecil pengaruh masih melekat pada gaya berbahasa seorang siswa sebesar atau sekecil itulah sensitivitas etnis dan kultural itu.
  10. Dapat dipastikan bahwa yang memberikan skor atau nilai dalam penilaian alternatif adalah orang (pendidik) bukan mesin. Mesin hanya dapat menunjukkan “Benar” atau “Salah” jawaban seorang siswa, tetapi orang dapat menunjukkan apa yang salah dan mengapa sampai salah serta bagaimana memperbaiki kesalahan itu. Hal ini menunjukkan bahwa sentuhan kemanusiaan ada di dalam penilaian alterntif. Sentuhan ini akan menjadi catatan-catatan reflektif di akhir penilaian.
  11. Penilaian alternatif akan mendorong guru untuk membuka kriteria standar dan peringkat yang diacu siswa. Agar siswa memahami apa yang akan dilakukannya, kriteria penilaian harus diberitahukan kepada siswa sebelum melakukannya.
  12. Oleh karena siswa harus “tampil”, guru diharapkan (bahkan dipaksa) agar melaksanakan pembelajaran dengan cara baru dan lebih baik. Cara baru yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah pusat belajar tidak lagi pada guru, tetapi pada siswa. Dalam pembelajaran bahasa, guru tidak lagi berceramah di depan kelas, tetapi menfasilitasi agar siswa yang “berceramah”.


Penilaian alternatif akan mendorong siswa merefleksi diri karena harus menampilkan keterampilan berbahasanya. Hasil yang diukur pun adalah yang signifikan, tidak sekadar hasil berupa pengetahuan kebahasaan. Siswa juga mendapat kesempatan untuk menilai keterampilan berbahasanya sendiri dan temannya sehingga tersedia kesempatan untuk bekerja secara mandiri dan kelompok kecil. Oleh karena aktivitas penilaian otentik cenderung kurang formal, siswa akan terdorong untuk melanjutkan aktivitas belajar di luar ruang lingkup penugasan. Pada akhirnya, penilaian alternatif membuat penilaian sama pentingnya dengan kurikulum dan pembelajaran (http://www.aurbach. com/alt_assess.html).

Berbeda dengan tes standar yang biasanya menghasilkan skor yang tidak dapat bermakna dengan sendirinya, informasi dari penilaian alternatif mudah dipahami dan diinterpretasikan (Hamayan, 1995). Informasi dari penilaian alternatif mempunyai banyak manfaat. 

Bagi siswa, penilaian alternatif memungkinkan mereka untuk mengetahui prestasi sendiri sehingga dapat memahami dan mengasumsikan tanggung jawab belajar mereka. Bagi orangtua, hasil penilaian alternatif memungkinkan mereka berbagi dalam proses pendidikan dan mengetahui apa yang dilakukan anaknya di sekolah. Bagi guru, penilaian alternatif memungkinkan mereka mendapatkan data tentang siswa dan membuat keputusan dalam kelas. Bahkan, bagi kepala sekolah, hasil penilaian alternatif dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menilai kinerja para guru. Manfaat-manfaat tersebut menempatkan penilaian alternatif sebagai model saat ini.


Ilustrasi:
Jika Anda seorang instruktur renang yang mengajarkan keahlian yang dibutuhkan untuk menjadi seorang perenang yang handal, maka Anda tidak akan menilai kinerja peserta pelatihan dengan tes pilihan ganda. Anda harus membawa mereka ke kolam renang, meminta mereka untuk berenang. Walaupun ini keterampilan atletis, namun prinsipnya juga berlaku untuk mata pelajaran akademik. Guru dapat mengajarkan siswa bagaimana melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan bahasa, matematika, sejarah, dan sains, tidak hanya mengetahui ketiganya. Kemudian, untuk menilai apa yang telah dipelajari siswa, guru dapat meminta mereka melakukan tugas-tugas yang "meniru tantangan" yang dihadapi dengan menggunakan bahasa, matematika, merekonstruksi sejarah, atau melakukan penyelidikan ilmiah dalam kehidupan sehari-hari.

Prinsip-Prinsip Penilaian Alternatif


Ketika diharuskan memilih seorang sopir dari dua pilihan calon yang tersedia dengan kriteria, (1) calon sopir yang lulus tes tertulis (pengetahuan rambu-rambu), tetapi gagal tes mengemudi; (2) calon yang gagal dalam tes tertulis tetapi lulus dalam tes mengemudi, Anda memilih yang pertama atau kedua? Kalau saya akan mencari orang ketiga, yaitu yang lulus tes tertulis dan tes mengemudi.


Di dalam konsep penilaian alternatif tercakup prinsip-prinsip keterpaduan antara pembelajaran dan penilaia, langsung mengukur keterampilan, terkait dengan prinsip kebermaknaan dalam konstruktivisme, ketersediaan berbagai alternatif dalam penilaian.

Keterpaduan Proses Pembelajaran dan Penilaian

Penilaian alternatif mendorong keterpaduan pembelajaran dan penilaian. Kedua kegiatan ini bukanlah dua hal yang terpisah, yang satu (pembelajaran) lebih dahulu daripada yang lain (penilaian). Tugas-tugas yang diberikan guru kepada siswa dalam pembelajaran dapat langsung dijadikan sumber informasi untuk sekaligus menilai kemampuan siswa.

Dalam model penilaian tradisional dibedakan antara aktivitas pembelajaran dan penilaian. Sebelum dilakukan penilaian, guru memberikan bermacam-macam aktivitas kepada siswa berupa latihan dan tugas-tugas. Latihan adalah kegiatan untuk meningkatkan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran, sedangkan tugas adalah kegiatan menerapkan apa yang telah dikuasai siswa dalam kehidupan nyata. Setelah kedua hal itu dianggap cukup, guru menguji untuk memberikan penilaian.

Dalam model penilaian alternatif tidak dibedakan blok waktu pembelajaran dan blok waktu penilaian. Tugas-tugas pembelajaran langsung digunakan untuk mengukur penguasaan siswa terhadap materi pelajaran. Tugas-tugas yang diberikan merupakan tugas-tugas yang otentik sehingga siswa langsung diminta untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya sebagai wahana untuk belajar. Oleh sebab itu, siswa tidak merasa terbebani ketika mengerjakan tugas-tugas otentik karena mereka merasa sedang belajar, tidak sedang dinilai. Proses ini merupakan suatu keuntungan dalam penilaian alternatif karena siswa tidak disibukkan (ditakutkan?) oleh kata “ujian”, sesuatu yang biasanya memberikan tekanan (stress) kepada siswa.

Sebagai contoh, ketika mempelajari topik menulis artikel, siswa diminta mempelajari contoh-contoh artikel sebagai model dan menemukan karakteristik sebuah artikel, sedangkan guru memfasilitasi kegiatan tersebut dengan menyediakan contoh-contoh artikel dan teori-teori yang terkait dengan penulisan artikel. Setelah itu, siswa menulis sebuah artikel sebagai hasil dari proses belajarnya. Hasil itu langsung menjadi bahan penilaian untuk menentukan seberapa mampu mereka dapat menerapkan konsep-konsep tentang menulis artikel.

Mengukur secara Langsung

Sudah lumrah dalam penilaian tradisional bahwa guru kurang atau bahkan tidak mengetahui sama sekali apakah pengetahuan siswa dapat diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan baik. Apakah skor tinggi berkorelasi tinggi (dapat dijadikan bukti) pula dengan kemampuannya menggunakan pengetahuan itu dalam kehidupan nyata? Pada satu sisi dapat dijawab “ya” karena mereka mampu menjawab semua pertanyaan dengan baik. Ada bukti bahwa siswa mampu, tetapi itu adalah bukti yang tidak langsung, yaitu hanya bukti di dalam kelas.

Guru yang bijaksana menginginkan siswanya benar-benar mampu membuktikan bahwa pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya dapat diterapkannya selama masih bersekolah. Andaikan guru percaya bahwa skor tinggi berkorelasi tinggi (melalui penilaian tradisional) pula dengan kenyataan setelah lulus ujian, jangan-jangan guru kecewa nantinya. Oleh sebab itu, penilaian yang dilakukan hendaknya dapat memberitahu guru bahwa siswanya  dapat menerapkan apa yang telah mereka pelajari dalam situasi yang otentik selama mereka masih dalam “seragam sekolah”.

Jika seorang siswa sukses pada tes pengetahuan sastra, guru mungkin menyimpulkan bahwa mereka juga mampu mengaplikasikan pengetahuan itu dalam menulis kritik sastra. Akan tetapi, kesimpulan itu akan semakin valid apabila guru meminta siswanya  langsung menulis kritik sastra. Bukti langsung ini tidak hanya berguna bagi guru untuk menilai kinerja siswa, tetapi akan lebih berguna bagi siswa sebagai unjuk kerjanya terhadap guru dan orangtua. Bahkan, kemampuan itu akan menjadi modal ketika mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau ketika harus masuk ke dunia kerja. Artinya, “calon pekerja” telah menyediakan bukti bahwa mereka mampu bekerja di bidang yang dipilihnya, tidak sekadar memiliki skor yang tinggi pada suatu pengetahuan, walaupun skor itu juga perlu sebagai petunjuk terhadap wawasan calon pekerja (lulusan).

Aplikasi Belajar Konstruktif

Hasil belajar haruslah bermakna (meaningful). Konsep ini dikemukakan oleh David Ausubel dalam bukunya Assimilation Theory (Ausubel, 1978). Ia membedakan dua jenis belajar, yaitu belajar hafalan (rote learning) dan belajar bermakna (meaningful learning). Belajar hafalan terjadi ketika siswa sedikit sekali atau tidak berupaya untuk mengaitkan konsep dan proposisi baru dengan konsep dan proposisi yang telah diketahuinya. Dengan kata lain, guru kurang berusaha atau tidak berusaha sama sekali mengaitkan sesuatu yang telah dipelajari (pengetahuan yang diperoleh siswa) dengan struktur kognitif (apa yang dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari). Sementara itu, belajar bermakna terjadi ketika siswa selalu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah ada; apa yang dipelajarinya ditempatkan dalam struktur kognitifnya (pengetahuan yang sudah ada) sehingga mampu melakukan sesuatu yang diketahuinya itu dalam kehidupan nyata (Novak, 2011).

Konsep belajar bermakna itu merupakan ide dari belajar konstruktivisme, yaitu membangun (menempatkan) pengetahuan baru di atas kerangka pengetahuan lama. Menurut Novak, ketika prinsip konstruktivisme diterapkan dalam kelas, tingkat penguasaan siswa akan semakin tinggi dan kemampuan menggunakan pengetahuan dan ketrampilan di dalam kehidupan nyata semakin bermakna. Siswa harus dilatih membangun makna dari pengetahuan yang diperolehnya.

Berdasarkan konsep belajar bermakna, penilaian hasil belajar tidak cukup hanya dengan meminta siswa menyebutkan pengetahuan baru yang dipelajarinya dan mengulang informasi yang telah diterima. Mereka harus mampu menunjukkan bahwa pengetahuan baru itu juga bermakna dalam kehidupannya. Dengan demikian, tugas-tugas otentik tidak hanya berfungsi sebagai penilaian, tetapi juga sebagai kendaraan untuk belajar (Muller, 2012).

Setiap penulis mempunyai gaya sendiri dalam memulai dan menutup tulisannya meskipun esensinya sama. Setiap pembicara mempunyai gaya sendiri ketika berpidato atau berceramah meskipun isinya sama. Kita mempunyai cara dan gaya yang berbeda dalam banyak hal. Cara dan gaya yang beragam pada satu sisi mungkin merupakan kelemahan, tetapi pada sisi lain adalah kekuatan. Manusia diciptakan tidak sama, tetapi ada kekuatan dalam perbedaan itu.

Menyadari hal itu, guru tidak perlu menuntut kesamaan kinerja pada siswa. Setiap siswa mempunyai cara tersendiri dalam menunjukkan apa yang telah dipelajarinya.  Semua cara itu bisa saja benar sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Menurut Muller (2012), penilaian tradisional tidak memungkinkan banyak variasi bagi siswa untuk mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajari. Memang ada kekuatan tes, yaitu memastikan semua siswa dapat dibandingkan dengan domain yang sama dan dengan cara yang sama sehingga meningkatkan konsistensi dan keterbandingan ukuran. Akan tetapi, tes tradisional memperlakukan siswa secara sama, baik mereka yang mampu menjawab dengan tepat ataupun yang tidak mampu menjawab dengan tepat; tidak ada pilihan untuk mendemonstrasikan apa yang telah dipelajari sesuai dengan kemampuan mereka.

Model penilaian alternatif, memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan pengetahuan dan ketrampilannya kepada guru dengan banyak pilihan. Tugas-tugas otentik cenderung memberi lebih banyak kebebasan pada siswa untuk mendemonstrasikan sesuatu yang telah mereka pelajari.  Oleh karena itu, dalam memberi penilaian dianjurkan untuk menggunakan beragam model penilaian sehingga diperoleh informasi dengan jumlah yang memadai dan menggunakan ukuran yang cukup bervariasi. 

Namun demikian, guru perlu berhati-hati mengidentifikasi kriteria kinerja yang baik untuk setiap tugas otentik; membuat berbagai kriteria untuk setiap kinerja yang berbeda sehingga siswa dapat mengungkapkan kinerjanya dalam berbagai modus. Mungkin ada siswa yang ingin menyampaikan pikirannya dalam bentuk karangan; ada siswa yang ingin mengungkapkan pikirannya dalam bentuk poster. Dalam tugas-tugas otentik presentasi, misalnya, mungkin ada siswa yang tampil dengan powerpoint, ada yang ingin tampil dengan chart atau poster. Biarkan dan beri ruang untuk itu, tapi siapkan rubrik penilaian yang relevan.


Prof. Dr. Atmazaki Dt. Mongguang Sati, M.Pd. dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBSS Universitas Negeri Padang, lahir di Batuhampar, Limapuluhkota, Sumatera Barat tanggal 24 Agustus 1959, anak ke-3 dari 8 bersaudara dari Ibunda Kamsiah dan Ayahanda Said Khudri (alm). 
Penyunting Ahli pada beberap jurnal ilmiah, antara lain, Forum Pendidikan, Jurnal Pembelajaran, Pelangi Sastra, Tabuik, dan Language Society and Culture International Internet Journal. 
Menulis tentang bahasa, sastra, seni, dan pembelajaran, baik berupa buku, artikel jurnal, dan koran, makalah seminar, dan lain-lain.
Menikah dengan Dra. Prima Nelita, Pengawas SMP/SMA Dinas Pendidikan Pendidikan Kabupaten Padangpariaman; dikurniai 3 orang anak: Ivan Atmanagara (1984), Arief Pratama (1986), dan Jeihan Nabila (1991).
Alamat: Kompleks Singgalang Blok A 10/11 Padang, 
telepon (0751) 481520; 
Email: a-zaki@ranahminang.net; atmazaki2002@yahoo.com



Tidak ada komentar:

Sering dilihat, yang lain mungkin penting