Oleh Nasbahry Couto
Karya Craft as Art, dari Marvin
Lipofsky, sumber: https://41.media.tumblr.com/tumblr_li47h4MEzG1qhxu9jo1_500.jpg
Artikel ini sebenarnya, sambungan pemikiran tulisan Dr.
Ramalis Hakim, M. Pd. yang sudah lama di
pajang pada blog ini yaitu yang di posting pada Kamis, 08 September 2011 di
situs Nasbahry Edu. Berjudul: Strategi Pengembangan Kreativitas Pada Pembelajaran Seni Rupa Untuk Siswa Sekolah Dasar.
Dan penulis sudah meminta beberapa kali kepada beliau untuk
menyambung tulisan ini, tetapi karena kesibukannya belum dapat terlaksana. Oleh karena itu penulis memberanikan diri, untuk mengolah tulisan ini, yang pada intinya adalah untuk menjawab pertanyaan perbedaan kreativitas di antara pembelajaran seni dan kerajinan (Art and Craft Education), atau
pembelajaran di sekolah yang
berorientasi produk kreatif seni dan
kerajinan. Apa bedanya antara pembelajaran seni dan
kerajinan dari segi kreativitas? Pada akhir tulisannya beliau menyebutkan bahwa :
“Berdasakan uraian terdahulu bisa disimpulkan bahwa suatu perilaku tergolong kreatif apabila memiliki dua ciri.
Ciri pertama adalah novel, original, tidak bisa diprediksi, dan bisa menimbulkan surprise. Perilaku tersebut memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan perilaku sebelumnya.
Ciri kedua adalah cocok, artinya, produk tersebut berdaya guna, bermutu, penting, dan menunjukkan kemampuan yang lebih baik. Siswa dikatakan kreatif apabila secara reguler ia dapat menghasilkan suatu produk yang baru.”
Sesudah kesimpulan ini, Ramalis tidak menjelaskan apa-apa, dan ini yang mengganggu
penulis dengan apa yang dimaksud dengan ciri-ciri ini? Apakah
ciri-ciri kreatif ini dapat membedakan pembelajaran seni dan dan kerajinan?
Hal lain yang dapat menyambung ke pemikiran ini adalah tentang pembelajaran
seni dan budaya, sebab pada buku Lembaran Kerja Siswa (LKS) Pembelajaran Seni Budaya diperingkat Sekolah Menengah Atas (SMA/MA) KTSP, 2006 di Padang saat ini (yg. dibeli murid), nampaknya bersikeras untuk
mempelajari seni kerajinan.
Apa orientasi pembelajaran seni Budaya di semua tingkat pembelajaran? Jika orientasinya Seni, penulis meragukan pengajar baik dosen untuk S2, maupun S1, banyak tidak memiliki kompetensi ahli seni dalam mengajar. Jika orientasinya budaya, mungkin tidak masalah. Untuk memahami ini penulis mencoba menelaah KTSP, 2006 untuk SMA/MA semester 2, pada halaman 3. Tertera komponen silabus yang menjelaskan sebagai berikut ini:
Apa orientasi pembelajaran seni Budaya di semua tingkat pembelajaran? Jika orientasinya Seni, penulis meragukan pengajar baik dosen untuk S2, maupun S1, banyak tidak memiliki kompetensi ahli seni dalam mengajar. Jika orientasinya budaya, mungkin tidak masalah. Untuk memahami ini penulis mencoba menelaah KTSP, 2006 untuk SMA/MA semester 2, pada halaman 3. Tertera komponen silabus yang menjelaskan sebagai berikut ini:
Standar kompetensi:
- Mengapresiasi karya seni kriya
- Mengeskpresikan diri melalui seni kriya
- Mengidentifikasi keunikan gagasan dan teknik dalam karya seni kriya mancanegara.
- Dst.
Dari uraian-uraian dari buku ajar ini, penulis berkesimpulan bahwa bahwa pembelajaran Seni budaya (khususnya untuk seni visual) di sekolah berorientasi kepada pembelajaran seni kerajinan (mancanegara, nasional dan daerah) dan juga seni rupa. Dugaan ini tidak keliru sebab pada halaman 12 murid ditugaskan untuk membahas sebuah pameran seni, untuk apresiasi. Kemudian pada halaman 13 pada buku yang sama tertera tugas untuk siswa untuk membahas artikel kerajinan daerah sbb:
“Kriya Sulam Indonesia Belum dikenal Luas”, sumber kompas, selasa 7 April 2009. Dengan tugas kepada siswa: " bacalah artikel ini dan buatlah makalah yang sederhana berisi solusi anda untuk permasalahan tersebut, presentasikan hasilnya di kelas, lalu nilaikan pada guru.
Jadi nampak bahwa antara pembelajaran seni dan kerajinan telah bias dan karena tidak memiliki orientasi belajar yang jelas, apalagi dalam halaman 4-9, mempelajari kebudayaan Timur seperti (kebudayaan Mesir, Persia, Islam,Cina, India, kemudian dilanjutkan dengan sejarah kriya barat (hal 8), Desain modern, Tekstil, dan diakhiri Pameran Kriya.
Timbul pertanyaan apakah yang dimaksud seni pada "seni kerajinan, atau seni kriya"? Bukankah antara seni dan kerajinan itu berbeda atau berlawanan. Bukankah craft as Art itu tidak sama dengan kerajinan tradisional (craft of traditional) ? Konsisten dengan pertanyaan penulis di atas, nampaknya antara seni rupa, kerajinan, produk budaya tidak jelas lagi batas-batasnya. Timbul kesan bahwa kata "seni" seakan mudah disambung-sambung dengan kata lain, tampa menjelaskan maknanya. Berapa banyak pengajar yang memperhatikan arti seni pada kata seni rupa, seni kriya, seni kerajinan, dan bahkan seni budaya?
Yang menggugah adalah karena anak penulis yang sedang SMA, membawa pulang buku ini, dan mengatakan malas belajar seni budaya ini karena orientasinya tidak jelas di banding matematika atau fisika. Materinya terlalu padat, banyak bukan saja mempelajari seni rupa, tetapi juga seni musik dll. Mungkin pendapat-pendapat anak didik seperti ini telah bergaung di manapun, tetapi hanya karena tugas guru tetap mengajar, dan murid menanggapi dengan sikap “buatlah tugas sebaik-baiknya” agar mendapat nilai yang tinggi. Mungkin hal-hal di atas, sebaiknya dilewatkan saja karena yang paling mengerti adalah pengajar, yaitu bagaimana memecahkan masalah yang timbul dari pembelajaran seni dan budaya.
“Kriya Sulam Indonesia Belum dikenal Luas”, sumber kompas, selasa 7 April 2009. Dengan tugas kepada siswa: " bacalah artikel ini dan buatlah makalah yang sederhana berisi solusi anda untuk permasalahan tersebut, presentasikan hasilnya di kelas, lalu nilaikan pada guru.
Jadi nampak bahwa antara pembelajaran seni dan kerajinan telah bias dan karena tidak memiliki orientasi belajar yang jelas, apalagi dalam halaman 4-9, mempelajari kebudayaan Timur seperti (kebudayaan Mesir, Persia, Islam,Cina, India, kemudian dilanjutkan dengan sejarah kriya barat (hal 8), Desain modern, Tekstil, dan diakhiri Pameran Kriya.
Timbul pertanyaan apakah yang dimaksud seni pada "seni kerajinan, atau seni kriya"? Bukankah antara seni dan kerajinan itu berbeda atau berlawanan. Bukankah craft as Art itu tidak sama dengan kerajinan tradisional (craft of traditional) ? Konsisten dengan pertanyaan penulis di atas, nampaknya antara seni rupa, kerajinan, produk budaya tidak jelas lagi batas-batasnya. Timbul kesan bahwa kata "seni" seakan mudah disambung-sambung dengan kata lain, tampa menjelaskan maknanya. Berapa banyak pengajar yang memperhatikan arti seni pada kata seni rupa, seni kriya, seni kerajinan, dan bahkan seni budaya?
Yang menggugah adalah karena anak penulis yang sedang SMA, membawa pulang buku ini, dan mengatakan malas belajar seni budaya ini karena orientasinya tidak jelas di banding matematika atau fisika. Materinya terlalu padat, banyak bukan saja mempelajari seni rupa, tetapi juga seni musik dll. Mungkin pendapat-pendapat anak didik seperti ini telah bergaung di manapun, tetapi hanya karena tugas guru tetap mengajar, dan murid menanggapi dengan sikap “buatlah tugas sebaik-baiknya” agar mendapat nilai yang tinggi. Mungkin hal-hal di atas, sebaiknya dilewatkan saja karena yang paling mengerti adalah pengajar, yaitu bagaimana memecahkan masalah yang timbul dari pembelajaran seni dan budaya.
Apakah bedanya antara art dan craft ?
Kembali ke masalah pokok, pembelajaran apa yang mestinya
diperoleh dari pembelajaran seni (arts) dan kerajinan (craft)? Mungkinkah perbedaan ini dapat dibahas pada laman ini?
Misalnya pembelajaran apa yang diperoleh dari kerajinan songket, atau pembuatan batik di Yogyakarta, atau kerajinan suku Asmat di Papua. Apakah murid-murid dengan melihat semua kerajinan yang ada di mancanegara, nasional atau daerah, atau membaca kliping koran berarti telah mendapatkan sebuah pembelajaran seni? Jawabnya tidak. Kecuali tentang pengetahuan kerajinan.
Isu tentang pentingnya pendidikan seni dan kerajinaan memang sudah lama di gadang-gadang. Misalnya dalam konteks ekonomi kreatif, yang dapat masuk pada kegiatan persekolahan. Namun dikotomi antara arts dan craft dalam pembelajaran harus nyata.
Sebab yang terakhir ini terkait dengan proses, bukan produk. Dalam proses, nyata terlihat perbedaan berpikir antara arts, craft dan design. Sejarah memperlihatkan design itu lebih tua usianya dari arts (seni), sebelum manusia purba melukis di dalam gua batu, dia memerlukan api untuk penerangan. (lihat belajar pengembangan kerajinan desain dari India).
Pembelajaran kerajinan adalah untuk mereproduksi pemikiran orang dewasa, dan mengulangi yang telah ada. Sedangkan pembelajaran seni adalah pembuatan benda sesuai dengan keinginan dan imajinasi murid, yang dibebas dari reproduksi pola pikir orang dewasa. Sedangkan pembelajaran desain adalah pembelajaran tentang memecahkan masalah. Menurut dongeng sejak Adam dan Hawa turun ke dunia, dia pertamakali menghadapai masalah bagaimana berpakaian. Hal ini adalah pembelajaran desain, setelah pakaian diciptakan, dan diulangi lagi membuatnya ini adalah kerajinan. Seni lain lagi.
Harus dipahami bahwa sebuah pembelajaran seni dan kerajinan itu seharusnya berada dalam diri dan kehidupan anak itu sendiri, demikian juga dengan pendidikan seni yang merupakan kegiatan kreatif yang benar-benar penting bagi anak-anak. Bagaimana kita mengetahui perbedaan antara keduanya dapat berlangsung tanpa salah pengertian?
Misalnya pembelajaran apa yang diperoleh dari kerajinan songket, atau pembuatan batik di Yogyakarta, atau kerajinan suku Asmat di Papua. Apakah murid-murid dengan melihat semua kerajinan yang ada di mancanegara, nasional atau daerah, atau membaca kliping koran berarti telah mendapatkan sebuah pembelajaran seni? Jawabnya tidak. Kecuali tentang pengetahuan kerajinan.
Isu tentang pentingnya pendidikan seni dan kerajinaan memang sudah lama di gadang-gadang. Misalnya dalam konteks ekonomi kreatif, yang dapat masuk pada kegiatan persekolahan. Namun dikotomi antara arts dan craft dalam pembelajaran harus nyata.
Sebab yang terakhir ini terkait dengan proses, bukan produk. Dalam proses, nyata terlihat perbedaan berpikir antara arts, craft dan design. Sejarah memperlihatkan design itu lebih tua usianya dari arts (seni), sebelum manusia purba melukis di dalam gua batu, dia memerlukan api untuk penerangan. (lihat belajar pengembangan kerajinan desain dari India).
Pembelajaran kerajinan adalah untuk mereproduksi pemikiran orang dewasa, dan mengulangi yang telah ada. Sedangkan pembelajaran seni adalah pembuatan benda sesuai dengan keinginan dan imajinasi murid, yang dibebas dari reproduksi pola pikir orang dewasa. Sedangkan pembelajaran desain adalah pembelajaran tentang memecahkan masalah. Menurut dongeng sejak Adam dan Hawa turun ke dunia, dia pertamakali menghadapai masalah bagaimana berpakaian. Hal ini adalah pembelajaran desain, setelah pakaian diciptakan, dan diulangi lagi membuatnya ini adalah kerajinan. Seni lain lagi.
Harus dipahami bahwa sebuah pembelajaran seni dan kerajinan itu seharusnya berada dalam diri dan kehidupan anak itu sendiri, demikian juga dengan pendidikan seni yang merupakan kegiatan kreatif yang benar-benar penting bagi anak-anak. Bagaimana kita mengetahui perbedaan antara keduanya dapat berlangsung tanpa salah pengertian?
Seni dan Kerajinan: Apa bedanya?
Perlu diketahui bahwa seni dan kerajinan itu sangat berbeda, dan
ada baiknya hal ini kita kemukakan terlebih dahulu, dan memahaminya tentang ini secara tepat. Yaitu
apa kekhususan diantara keduanya dan bagaimana kita menyebutnya dengan bahasa Indonesia yang benar.
Semua ahli pendidikan akan setuju bahwa ketika anak-anak
membuat seni, mereka sebenarnya sedang mengeksplorasi,
menemukan, dan berpikir. Seni mendorong orisinalitas anak dan mengungkapkan (berekspresi) secara unik
dengan hasil yang tidak bisa di ramalkan (diprediksi). Tentang hal ini sudah
penulis tulis (klik kanan bagian ini) sebagai berikut.
"....dalam proses penciptaan seni, ada ciri khas yang membedakan antara seni, kriya dan desain. Seniman seperti penyair (bidang sastra, pembuat lirik lagu), dan kadang juga pada seni lukis, Seniman tidak tahu apa yang akan dia ungkapkan sampai ia menetapkan ungkapan itu" Dia tidak dapat mengungkapkan sebelumnya pekerjaan seni selesai seperti: penyair tidak bisa mengatakan kata-kata apapun sebelum puisi selesai."
Kerajinan, di sisi lain, adalah sebuah kegiatan yang melibatkan
anak untuk mereproduksi gagasan orang dewasa, yaitu mengikuti petunjuk tertentu
untuk membuat sesuatu hal tertentu yang
– hasilnya sudah dikenal, sudah diketahui seperti kerajinan tradisional (dimanapun) atau karya seni rupa dimanapun. Relevan dengan hal ini sudah penulis jelaskan pada tulisan di
blog nasbahry galleri sebagai berikut ini.
"Sebaliknya Pengrajin tahu di awal proses kerja, apa persisnya jenis produk diakhir kerja yang diinginkan: misalnya, kursi dari dimensi tertentu yang terbuat dari bahan tertentu. Dia tahu sejak awal berapa banyak bahan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan, alat, dan sebagainya, dan jika dia tidak tahu hal-hal seperti ini, dia bukanlah pengrajin yang efisien dan baik".
Pembelajaran kerajinan adalah membuat
kerajinan yang sudah ada, sudah dikenal. Inti dari pembelajaran ini adalah meniru apa yang telah dilakukan oleh orang
dewasa atau profesional dalam hal
kerajinan, dan dengan demikian, tidak memerlukan pemikiran asli (seperti halnya dalam seni). Hal inilah yang
membedakan pembelajaran seni dengan pembelajaran kerajinan.
Disamping itu, kerajinan dimaksudkan untuk membuat sesuatu
berguna atau tujuan praktis. Dengan demikian pembelajaran apresiasi sebenarnya adalah memperkuat
pemahaman murid tentang fakta kegunaan,
keterpakaian kerajinan melalui pembelajaran tema-tema kerajinan yang ada.
Dengan demikian kegiatan pembelajaran kerajinan hanya akan memiliki nilai dengan cara ini. Berbeda dengan
pembelajaran seni hanya akan bernilai, jika menghasilkan sesuatu bentuk yang unik dari kreativitasnya, yang mengilhami setiap anak untuk menjadi asli
(orisinal) dan inventif (pandai mencipta sesuatu yang sebelumnya tidak ada, dan
berpikir untuk dirinya sendiri. Dan inilah diantara ciri-ciri kreativitas yang dikemukakan oleh Ramalis Hakim dalam tulisannya.
Dengan demikian penulis berkesimpulan bahwa nilai-nilai
pembelajaran seni, kerajinan dan seni
budaya hanya akan baik jika murid
mendapatkan pengalaman yang jelas dan dan bernilai dari seni maupun kerajinan
dan mereka memahami untuk apa mereka mempelajari
semua hal itu.
Sebab Bahasa Indonesia tentang Seni Kerajinan, Seni Kriya, Seni Budaya sampai sekarang masih bisa
diperdebatkan apa artinya seni menyambung
kepada kerajinan, kepada kriya, kepada
budaya. Dan hal ini dapat membingungkan semua orang termasuk siswa. Dan hal
ini tidak pernah ada dijelaskan dalam setiap pembelajaran ini secara tuntas. Misalnya
alih-alih menerangkan seni kerajinan (Art Craft) yang sebenarnya bagian dari
seni moderen dan kontemporer, justru yang diterangkan adalah kerajinan tradisional
bukan pembelajaran seni. (Lihat uraian di bawah)
Dari uraian tentang pembelajaran seni dan kerajinan di atas
maka diharapkan kejelasan apa yang dilakukan anak-anak saat melakukan dengan
kata-kata "kerajinan" dan
"seni" dengan benar.
Untuk menjelaskan hal ini mungkin penulis perlu diketahui perbedaan pemblajaran seni dan kerajinan sebagai berikut ini:
Seni (Art)
|
Kerajinan
tangan (Handycraft)
|
|
Kreativitas
|
kreatif,
unik, original
|
Bukan
untuk tujuan kreatif tetapi kognisi, pembaharuan (innovation) dan ketrampilan, sebab karya bisa mirip (atau sama) hasilnya dengan anak-anak lain
|
Sumber
|
berasal
dari dalam diri anak
|
diarahkan
dari orang dewasa
|
Hasil
akhir dalam berkarya
|
terbuka,
hasil akhir tidak diketahui
|
berorientasi
satu arah, tertutup, hasil akhirnya diketahui
|
Penilaian
|
Proses
dinilai atas produk jadi
|
Nilai
produk jadi yang lebih tinggi dari nilai proses
|
Tujuan
|
Ekspresi
diri atau penyataan diri
|
menyalin
dan meniru
|
Hati-Hati dalam Memberikan Materi dan Tujuan Pembelajaran Seni
Dalam
memberikan pelajaran, bisa saja guru terpancing untuk memberikan materi yang
sebenarnya adalah untuk materi seniman profesional.Hal
ini karena guru biasanya menilai dari pandangannya sebagai orang dewasa (baik seni maupun kerajinan), tetapi harus memahami perbedaan tujuan pembelajaran seni dan kerajinan). Sehingga terdapat pembelajaran yang dapat salah/menyimpang, sebab memilih untuk memberikan anak-anak pada proyek kerajinan yang
hasilnya telah sempurna mencerminkan kebutuhan pada orang dewasa, yang tradisional, sosial yang ada di lingkungannya. Bukan itu tujuan pembelajaran seni dan kerajinan.
Bukan
itu saja (kita tidak perlu berteori seperti Lowendfeld dan sebagainya) jika pekerjaan
anak terlihat baik menurut kacamata orang dewasa. Apakah itu berarti guru telah
melakukan pekerjaan mengajar dengan baik? Jawabnya,
tidak. Ini yang sering keliru. Jika anak disuruh melukis dan mencontoh
karya Rembrand , atau mencontoh ukiran kayu Jepara, atau meniru tari Bali apakah itu pembelajaran (1) seni, (2) seni kerajinan atau (3) kerajinan ? Semua hal yang bersifat mencontoh atau meniru dapat dikatakan sebuah pengulangan atau kerajinan. Seni lain lagi. Pendidikan seni yang sebenarnya bukan hal-hal yang seperti itu.
Yang
benar adalah benar-benar sebaliknya: Jika seorang anak mengeksplorasi dan
menemukan sekaligus menciptakan seni, anak belajar jauh lebih banyak daripada
jika ia hanya semata menyalin ide orang dewasa dari produk jadi (yang sudah
ada). Dan banyak juga para pakar pendidikan yang yakin bahwa, jika murid
belajar seni sebenarnya bukan hanya belajar seni tetapi sedang mengembangkan
dirinya dalam: (1) Berpikir dan mengembangkan keterampilan penalaran (2) mengembangkan
diri dalam berbahasa, (3) mengembangkan diri dalam ketrampilan fisik, (4) mengembangkan
ketrampilan emosional.
Jadi
dalam pembelajaran seni, yang dinilai adalah bagaimana murid itu berseni
(proses), bukan pada hasil akhirnya.
Sebab
proses belajar seni adalah sebuah proses yang melibatkan penemuan, dan eksplorasi,
dan belajar untuk mempercayai pilihan
sendiri. Produk seni hanya bernilai jika hasilnya adalah dari eksplorasi
dan penemuan, dan atau refleksi pembelajaran yang lebih dalam.
Oleh
karena itu guru harus melihat lebih banyak dari sisi proses ketimbang dari
penilaian terhadap produk. Guru harus dapat melihat apakah murid memiliki suatu
perasaan bebas dalam membuat, mencipta, dapat berbagi pikiran dan perasaannya
sendiri disekitar masalah visual.
Guru
harus dapat melihat apakah murid memiliki suatu perasaan bebas dalam membuat, mencipta,
dapat berbagi pikiran dan perasaannya sendiri disekitar masalah visual. Sumber: http://arsitektur.net/new/wp-content/uploads/2011/01/picture21.jpg
Bisa
saja terjadi, bahwa seorang anak ternyata dalam hal membuat seni, melakukan
pengulangan. Tetapi pengulangan itu harus dilihat dalam konteks ‘form
generation” atau pembentukan kembali dan untuk memanipulasi berbagai bahan dan
pengalamannya sendiri, yaitu semua hal yang unik untuk anak itu.
Artinya
seni adalah sesuatu yang menyenangkan anak, tetapi guru harus dapat menghargai keunikan dan
keanekaragaman individualitas. Banyak ahli yang berpendapat bahwa seni itu
sifatnya kreatif dan bebas, dalam hal ini teori-teori atau teknik-teknik seni
tidaklah terlalu banyak dibutuhkan. Misalnya jika anak diminta untuk menggambar
atau melukis apakah perlu cat minyak, apakah perlu guru menerangkan teori seni
abstrak atau impresionisme. Rasanya tidak. Itu hanya pengetahuan, sama halnya dengan
pengetahuan budaya (cultur).
Pembelajaran seni dan budaya di Indonesia intinya adalah pembelajaran
budaya (culture), tetapi anehnya yang dipelajari justru adalah seni rupa,
kerajinan, seni musik dan tari. Jika ini yang dipelajari judul yang tepat adalah Pembelajaran Kesenian Tradisional (lokal, Nasional dan Mancanegara).
Jika
keinginan nya adalah untuk pembelajaran penularan estetik seni daerah,
pembelajaran ini sebenarnya sia-sia, sebab telaah psikologi kognitif telah
menjelaskan bahwa kecintaan terhadap seni, estetika dan budaya, berlangsung
melalui skemata memori.
Apakah estetika itu universil ? Jawaban atas ini sebenarnya sangat kompleks. Tetapi dapat diserderhanakan. Teori Dutton tentang naluri dan evolusi estetik menjelaskan, bahwa selera dan penerimaan (resepsi) manusia terhadap seni bisa berbeda-beda, karena hal itu melalui proses penerimaan yang berlangsung lama (sistem kognisi): misalnya kenapa manusia mengembangkan rasa takut kepada ular ketimbang kepada kelinci? Dapat menjelaskan kenapa timbul aesthetic differential (perbedaan estetik) setiap orang. Dari sisi ini estetika itu tidak universal. Hal ini menjawab pertanyaan siapa yang
dapat menjamin seorang anak, jika telah dewasa bisa mencintai lagu dangdut atau
musik klassik, rumah adat minang dan sebagainya. Jika ini yang menjadi tujuan pembelajaran, hal ini hanya
politik (hegemoni) pemerintah saja dalam pendidikan seni dan budaya saja. Tetapi dari segi kebutuhan estetik (aesthetic needs) estetik itu menurut Dutton adalah universil. Sebab estetik itu adalah "naluri manusi" yang membutuhkan keindahan.
Bahwa
dalam pembelajaran seni yang diperlukan adalah proses, pengalaman; dan produk
jadi bukanlah tujuan utama: Ini adalah proses kreatif yang memegang nilai yang
paling tinggi. Jadi bagi anak-anak, eksplorasi dan penemuan itu terpenting, dan
produk jadi bahkan mungkin tidak ada.
Kadang-kadang
anak-anak akan menghargai karya seni selesai sebagai pengolahan produk sebagai eksplorasi kreatif mereka, dan kadang-kadang itu adalah cara untuk mengatakan apa yang mereka alami. Dengan demikian
apresiasi seni sebenarnya bisa dilihat dari sisi lain, bukan hanya untuk
mengulangi apa yang diketahui guru, bukan untuk menghafal ini budaya Jawa, ini
budaya Cina, ini lukisan Rembrand. Tetapi untuk mengetahui bagaimana pengalaman
mereka dengan karya seni tertentu. Tentu saja apresiasi untuk kerajinan dan
desain boleh-boleh saja berbeda dengan hal ini, sebab apresiasi bisa juga hanya
untuk menghafal, siapa yang melarang.
Pembelajaran
Kerajinan
Seperti yang dijelaskan di atas, tujuan pembelajaran kerajinan adalah untuk memahami
manfaat praktis atau dimaksudkan untuk memperjelas topik atau tema tertentu
pada pembelajaran di kelas seperti keamanan, fungsi benda, binatang mainan,
atau alat angkut seperti tas, atau alat transportasi. Jadi pembelajaran kerajinan
bisa bersinggungan dengan pelajaran desain. Tetapi tidak itu saja.
Kerajinan
dapat dilaksanakan bersama dengan Matematika sebab ada hitung-hitungannya, “Coba
anak-anak hitung berapa luas kulit tas yang dibutuhkan”. Atau dengan bidang
akademik lainnya misalnya sains, sosial budaya. Kerajinan ini dibuat oleh suku
Dayak Kalimantan, misalnya. Tetapi perhatikan anak-anak jangan dibawa masuk ke
dunia orang dewasa, sebab penilaiannya orang dewasa tidak bisa dipakai untuk
penilaian anak-anak.
Setiap pembelajaran memiliki kegiatan dan evaluasi tersendiri demikian juga tipe instruksi dan
tipe disiplinnya
Ketika
membuat kerajinan, anak-anak sering membentuk item yang berguna atau mengikuti
petunjuk untuk membuat proyek-proyek yang
sama, kemudian anak lain akan membuat hal yang sama, walaupun tidak
terlihat sama persis sama ketika selesai.
Akan
ada keseragaman untuk bekerja dan hasil yang diharapkan untuk semua peserta. Ada
yang berpendapat bahwa pembelajaran kerajinan hanya dirancang untuk menyenangkan orang dewasa, dan atau bagaimana anak-anak belajar dan memahami
fakta-fakta tertentu (sosial, budaya, teknologi, sains) atau untuk mengikuti
petunjuk dari dunia orang dewasa. Namun harus dipahami, bukan berarti bahwa
kerajinan itu buruk; hanya saja kerajinan
itu bukan seni.
Kesimpulan Pembelajaran Seni dan
Kerajinan
Sebagaimana
yang terjadi dalam dunia orang dewasa, pemanfaatan kerajinan sebagai media
seni, juga berlangsung dalam dunia pendidikan seni.
Namun cara dan metoda pembelajaran ini sebaiknya menggunakan kata "seni" ketika anak-anak menciptakan seni, dan "kerajinan" ketika mereka melakukan kerajinan. Sedangkan kegiatan belajar seni kerajinan, adalah kegiatan belajar seni dengan menggunakan media kerajinan.
Namun cara dan metoda pembelajaran ini sebaiknya menggunakan kata "seni" ketika anak-anak menciptakan seni, dan "kerajinan" ketika mereka melakukan kerajinan. Sedangkan kegiatan belajar seni kerajinan, adalah kegiatan belajar seni dengan menggunakan media kerajinan.
Dengan cara ini, semua orang
mengerti dan menghormati setiap pembelajaran, dan menghormati perbedaan seni dan kerajinan. Yang sering menjadi masalah adalah bahwa jika guru atau buku pedoman tentang tujuan
belajar seperti yang penulis contohkan di atas mengacaukan hal ini. Atau
tujuan belajar kerajinan diiringi dengan tujuan belajar seni yang disebut (seni kerajinan) atau Art Craft atau
Craft Art, maka pengertian belajar seni pada
anak didik bisa tidak jelas. Tetapi
karena guru patuh pada skema pendidikan yang di terimanya, dan murid juga patuh
pada yang apa dikatakan guru, semuanya jadi aman-aman saja.
Memang
tidak bisa di salahkan, sebab tujuan belajar seni bisa melalui media, alat dan teknik kerajinan (
Craft as Art) seperti contoh karya di bawah ini.
Karya yang dibuat berdasarkan
konsep kerajinan, seni dan desain. Seni Kerajinan (Craft as Art) yang asli adalah bagian dari Seni Modern dan Kontemporer. Sumber: http://ns.gingkopress.net/ima/merge-art-craft-design_i6.html
(di tayangkan berdasarkan tujuan pendidikan)
Permasalahan Pembelajaran Kerajinan: Sejak kapan seni menggunakan media kerajinan ?
Berpedoman kita pada sejarah, tentu timbul pertanyaan sejak kapan seni memakai media kerajinan untuk seni ?
Sepanjang tahun 1950 an, garis perbedaan antara "visual art" dan kriya mulai kabur. Kriyawan, tidak hanya menciptakan barang pakai, tetapi barang yang bersifat "visual art".
Gagasan penggunaan material kriya ini pertamakalinya di Kalifornia munculnya para pematung keramik dan seniman yang bekerja dengan gelas dan metal sepanjang tahun 1960 an dan 1970 an. Mereka dijangkiti seniman seniman seperti Faith Ringgold, Miriam Schapiro dan Cristhopher Wilmarth yang mencoba beberapa material baru. Sama seperti ini, sebaliknya beberapa seniman pada zaman ini tertarik pada objek objek utilitas dan menghasilkan hibrida baru yaitu gabungan antara "visual art" dan non "visual art" antara lain timbulnya seniman mebel/furniture, hibrida yang lain gabungan antara karya seniman, arsitek, desainer mebel dan kriyawan.
Menurut Atkins (1990) dalam bukunya "Art Speak", kejadian ini sebenarnya sudah lama, yaitu saat para seniman mengalihkan produk benda pakai ini sebagai benda seni rupa murni. Diantara gerakan seni rupa yang menggunakan desain produk ini sebagai medium seni adalah gerakan Craft as Art, Ceramic Sculpture, Artis Book, Artists Furniture, Fashion Estetic Picture, Video Art.
Berpedoman kita pada sejarah, tentu timbul pertanyaan sejak kapan seni memakai media kerajinan untuk seni ?
Sepanjang tahun 1950 an, garis perbedaan antara "visual art" dan kriya mulai kabur. Kriyawan, tidak hanya menciptakan barang pakai, tetapi barang yang bersifat "visual art".
Gagasan penggunaan material kriya ini pertamakalinya di Kalifornia munculnya para pematung keramik dan seniman yang bekerja dengan gelas dan metal sepanjang tahun 1960 an dan 1970 an. Mereka dijangkiti seniman seniman seperti Faith Ringgold, Miriam Schapiro dan Cristhopher Wilmarth yang mencoba beberapa material baru. Sama seperti ini, sebaliknya beberapa seniman pada zaman ini tertarik pada objek objek utilitas dan menghasilkan hibrida baru yaitu gabungan antara "visual art" dan non "visual art" antara lain timbulnya seniman mebel/furniture, hibrida yang lain gabungan antara karya seniman, arsitek, desainer mebel dan kriyawan.
Menurut Atkins (1990) dalam bukunya "Art Speak", kejadian ini sebenarnya sudah lama, yaitu saat para seniman mengalihkan produk benda pakai ini sebagai benda seni rupa murni. Diantara gerakan seni rupa yang menggunakan desain produk ini sebagai medium seni adalah gerakan Craft as Art, Ceramic Sculpture, Artis Book, Artists Furniture, Fashion Estetic Picture, Video Art.
Hal ini memperlihatkan bahwa seniman–seniman moderen mencoba
untuk berkarya dengan memakai produk
kriya yang sebagai benda utilitas menggubahnya sedemikian rupa menjadi media seni.
Menurut Atkins (1990) dalam bukunya "Art Speak", kerajinan
sebagai seni (Craft as art) muncul pertamakalinya di Amerika Serikat tahun 1970 an melalui tokoh tokoh seperti
Rudi Autio, Wendell Castle, Dale Chihuli, Marvin Lipofsky, HarveyLitteton, Sam Maloof, Nance O'Banion, Albert Paley, Peter Voulkos, Claire Zeisler. Sejalan dengan itu Anda juga dapat melihat perkembangan Seni kerajinan di Australia disini
Term Seni Kriya berkaitan dengan penggunaan material kriya kepada "visual art", misalnya menggunakan tanah liat patung keramik, gelas patung gelas dan sebagainya, kemudian yang lebih penting pengakuan status beberapa kriyawan yang diangkat menjadi seniman.
Latar belakang timbulnya " kerajinan sebagai seni "
ini menurut Atkins berlangsung sejak
setelah perang Dunia Ke II, timbulnya
beberapa eksperimen penggunaan bahan baru disamping material konvensional
seperti cat dan tembaga.
Sejak kapan Seni di Indonesia menggunakan media kerajinan sebagai media seni ?
Seniman-seniman yang mengambil ide kriya tradisional Indonesia sebenarnya cukup banyak diantaranya Suparto (kriya prasejarah), Wiyoso Yudosaputro (kriya primitif Indonesia), Abas Alibasyah (kriya batik) Amri Yahya (kriya batik), Yusuf Affandi (kriya Tenun), Biranul Anas Zaman (Kriya Tenun dan multi media)
Walaupun belum terklasifikasi dengan jelas dan benar, untuk melihat karya dan seniman seni kriya Indonesia (lihat di sini/IVAA), atau oleh Idonesian Visual Arts Archve (IVAA) dinyatakan bahwa Seni Kerajinan adalah bagian dari seni kontemporer, bukan kerajinan tradisional
Purnama di Kintamani
(2007),
Karya : Biranul Anas, Material: serat sintetik, kayu, prada, daun
kering. Karya ini bukanlah kerajinan, tetapi Seni Kerajinan (Craft as Art), sebagai bagian dari seni Modern dan Kontemporer.
Istilah kerajinan yang lain dipakai dalam bahasa Indonesia adalah kriya (Sudarso, SP. 1990). Sedangkan istilah Seni Kriya atau Kriya Seni menurut Zuhdi, B.Muria (tulisan ini bisa di download) dipakai sejara resmi sejak tahun 1991. Seperti yang dikatakannya:
Sama saja dengan seni kerajinan (craft as art), yaitu medium-medium itu dibawa ke seni moderen dan kontemporer. Tetapi harus ada pemisahan yang tegas antara ilmu seni dengan pemakaian medium seni dalam pembelajaran, mengenai hal ini sudah penulis tulis di : Seni berbasiskan budaya: Reproduksi dari Karya Sejarah dan Budaya serta Peragaannya
Seni Lawan Kerajinan = Seni lawan Budaya = Seni Budaya
"b. Pengembangan Seni Kriya dalam Penciptaan Karya-karya kriya-ekspresi. Seiring dengan perkembangan zaman ternyata cita-cita seni manusia ikut berkembang pula. Jika pada masa lampau manusia menciptakan karya-karya seni kriya yang didasari oleh keahlian seni untuk tujuan tertentu, maka manusia kini pun bermaksud menciptakan karya-karya seni yang sesuai dengan semangat zamannya yaitu seni yang berdiri sendiri dengan tujuan untuk kepuasan pribadi. Motivasi inilah yang melatarbelakangi arah pengembangan dan perkembangan seni kriya dalam menghadirkan karya-karya kriya-ekspresi. Pengembangan dalam bidang ini memiliki keleluasaan atau kebebasan sejalan dengan kemampuan yang kreatif inovatif dan kekuatan atau kedalaman ekspresi dari masing-masing (calon) kriyawan. Adapun mengenai media yang digunakan kebanyakan jatuh pada pilihan bahan yang umumnya sudah dikenal, sepanjang ada kesesuaian dengan teknik yang dikuasai atau disukai. Karya-karya kriya yang berorientasi pada prestasi kesenimanan kehadirannya dapat disaksikan melalui pameran-pameran yang sering digelar. Untuk menamai karya-karya kriya yang lepas dari segi fungsi alias karya-karya seni murni ini disebut dengan karya kriya seni yang istilah ini secara nyata dimunculkan pada festival kesenian Yogyakarta III (FKY III, tepatnya pada tahun 1991. "Bagaimana dengan musik, tari dan teater tradisional?
Sama saja dengan seni kerajinan (craft as art), yaitu medium-medium itu dibawa ke seni moderen dan kontemporer. Tetapi harus ada pemisahan yang tegas antara ilmu seni dengan pemakaian medium seni dalam pembelajaran, mengenai hal ini sudah penulis tulis di : Seni berbasiskan budaya: Reproduksi dari Karya Sejarah dan Budaya serta Peragaannya
Seni Lawan Kerajinan = Seni lawan Budaya = Seni Budaya
Artikel
ini bukan untuk mengaburkan arti kata sebuah bahasa, tetapi bisa dilihat tabel
di bawah ini, terserah anda menafsirkan.
Seni
|
Kerajinan
|
Budaya
|
Seni adalah ungkapan Individual (lihat tabel sebelumnya).
Sifatnya kongkret, nyata.
|
Kerajinan adalah ketrampilan menduplikasi, membuat
sesuatu secara manual, sebagaian besar melalui pekerjaan tangan
|
Budaya adalah ungkapan masyarakat tertentu dari sisi
pikiran, perilaku dan pembuatan artefak pada suatu waktu
|
Seni
kerajinan, adalah seni yang
menggunakan media kerajinan untuk media seni. Penilaian tetap kepada
seninya bukan kepada ketrampilannya
|
Kerajinan belum tentu bernilai estetik atau seni sebab hanya
digunakan terutama sebagai benda pakai. Sebuah benda pakai ada nilai
desain di dalamnya
|
Budaya Benda
terutama adalah hasil Kerajinan. Artinya kerajinan adalah milik budaya, jadi berbeda dengan seni sebagai
ekspresi individual
|
Seni Budaya adalah seni yang menggambarkan budaya
tertentu. Penilaian tetap kepada seninya bukan budayanya.
Sifatnya abstrak
|
Kerajinan mirip dengan seni, karena dapat
mengekpresikan sosial budaya tertentu. Tetapi kerajinan bukanlah benda seni.
|
Budaya berlawanan dengan seni sebab seni
ekspresi individu, sedangkan budaya adalah ekspresi sosial
|
Bagaimana menyimpulkan tabel di atas? Pertama mungkin seni itu berdiri sendiri, walaupun seni
disambung dengan kata apapun, dia tetap dipandang sebagai seni dalam pengertian umum sebagai hasil ekspresi .Sebagai contoh, seni kerajinan, yang dibicarakan adalah seni,
bukan kerajinannya.
Timbul pertanyaan baru, istilah Seni budaya, tepatkah ? Yang tepat adalah seni dan budaya (arts and culture) sebab Budaya berlawanan dengan seni sebab seni ekspresi individu, sedangkan budaya adalah ekspresi sosial. Hal ini akan menjadi masalah jika disebut seni budaya.
Cara pandang terhadap karya kerajinan: (Indonesia mendidik kerajinan hanya sebagai karya seni?
Karya kerajinan (kriya) tradisi Indonesia jangan hanya dipandang sebagai karya seni, tetapi harus dilihat dengan visi baru yaitu bagian dari karya desain manusia. Indonesia mirip dengan India yang terdiri dari ratusan jenis bahasa daerah, puluhan budaya lokal, beragam jenis kerajinan, semua potensi daerah itu dapat ditingkatkan melalui inovasi dan pembaharuan serta studi yang mendalaml tentang desain lokal. Untuk melihat pengembangan pendidikan kerajinan sebagai pendidikan desain di India ( lihat di sini ).
Sumber: Ranjam, 2013, Call for a new vision, design education for an emerging India: http://deconstructingdesign.iith.ac.in/documents/01_Ranjan.pdf
Saran dan usul Perbaikan
- Tidak selamanya apa yang diberikan oleh pedoman kurikulum dari pusat itu sesuai dengan kebutuhan daerah, dan benar menurut ilmu pengetahuan. Tetapi itu tidak menjadi masalah jika ada perbaikan terus-menerus. Dan ada pula kesempatan memperbaikinya dalam buku LKS.
- Umumnya buku LKS dan sejenis hanya dibuat oleh guru-guru di bawah payung Dinas Pendidikan Kota atau Kabupaten
- Sudah saatnya pembuatan buku LKS itu tidak dilepas begitu saja tanpa editing oleh tenaga ahli di perguruan tinggi
- Oleh karena itu sudah saatnya pemerintah daerah bekerjasama dengan perguruan tinggi yang ada di daerahnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di masing-masing daerah, diantaranya untuk meningkatkan kualitas buku yang diberikan kepada siswa
- Demikian juga halnya dengan Dinas Perindustrian di daerah, dan kita dapat belajar dari India yang jumlah penduduknya lebih 1 milyar itu
- Dengan catatan tenaga ahli diperguruan tinggi yang dimaksud itu harus multi disiplin. Yang mengerti masalah desain (desain produk, arsitektur, dan seni rupa) dan seni.
- Penulis pernah mengelola sanggar seni rupa untuk anak-anak di Bandung tahun 1971-1973, sewaktu masih kuliah dahulu, dibawah pimpinan Drs. Adjat Sakri, M. Sc. dan Drs. Primadi Tabrani (saat itu dosen jurusan Komunikasi, Seni Rupa ITB.) di beberapa tempat. Tempat-tempat itu adalah sebagai berikut.
- di kompleks SESKOAD, Cicadas Bandung
- di Rumah Ibu Suhardjono, jln. Sumatera Bandung
- di rumah seorang pensiunan, yang sudah dibongkar (tempat yang sekarang di sebut Bandung City Paza).
1. Seni berbasiskan budaya: Reproduksi dari Karya Sejarah dan Budaya serta Peragaannya
2. Memahami Seni Sebagai Refleksi Budaya Visual
3. Seni Modern dan Tradisional di Indonesia: Kontinuitas dan Diskontinuitas dalam Perkembangan Seni
4. Standard Pembelajaran Seni dan Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar