Oleh: Nasbahry Couto
(Revisi 30-11-2018)
Sejarah pendidikan seni pada anak dan sekolah pada umumnya di
Indonesia, ditandai dengan adanya perubahan dan pergeseran dalam konsep (teori)
dan praktik. Misalnya paradigma utama konsep pendidikan seni di sektor
pendidikan anak usia dini (PAUD), telah berkembang ke arah pertentangan
pengembangan individu dengan penekanan pada proses, pengarahan diri sendiri, dan
peran guru yang pasif, hal
ini terlihat dari tulisan-tulisan (Chapman, 1978; Gardner, 1990; Wright, 1991;
Engel, 1995; Seefeldt, 1995; Gunn, 2000). Pendidikan anak pada usia dini,
sebenarnya tidak banyak masalah. Saat ini
terjadi pergeseran lambat menuju pendidikan seni dengan pendekatan yang lebih
kognitif terjadi di bawah pengaruh Reggio Emilia dan teori sosial budaya
Vygotsky. Namun, perkembangan, pendidikan progresif
dan teori dan filsafat psiko-analitis masih dipraktikkan dan mendominasi kurikulum
seni anak usia dini dengan dikotomi yang melekat padanya, dimana disuatu pihak
masih mementingkan proses daripada produk, akademik versus non-akademik,
integrasi terhadap pemisahan seni, bermain bebas
versus arah dewasa, dan bermain versus bekerja (Wright, 1991; Ritchie, 1999;
Gunn, 2000).
Yang menjadi masalah adalah pendidikan seni di peringkat sekolah
dasar sampai pendidikan menengah, karena orientasi pelaksanaan maupun teori
antara Pendidikan seni bisa berbeda-beda antara di Barat, di Asia maupun di
Indonesia. Dimana pembelajaran seni
diperingkat ini di Eropah tidak terlepas dari isu-isu (1) tingkat pengambil
keputusan kurikulum yang berbeda antara (pusat, daerah, lokal, sekolah) ini
terjadi di Eropah dan Amerika, (2) tujuan pendidikan seni (ada 14 tujuan di
Eropah) dan ada beberapa pilihan di Indonesia, (3) organisasi kurikulum seni
(terpadu atau terpisah, terintegrasi atau
tidak, Subyek Seni Wajib atau Opsional) butir 3 ini
terjadi baik di Eropa maupun di Asia dan Indonesia.(4) alokasi waktu mengajar
seni sama saja masalahnya secara global karena mengenyampingkan pendidikan
seni.(5) hal ini juga berakibat kepada penyiapan guru, kualitas guru, pengadaan
fasilitas mengajar, maupun sistem evaluasi.
Sebenarnya ada banyak mitos, miskonsepsi, banyak masalah dan
isu-isu dalam pendidikan seni. Namun dari semua masalah, isu dan mitos dalam
seni, yang terpenting adalah kreatifitas dalam seni, yang perlu dikembangkan
dalam pendidikan seni.
Keywords: Isu pendidikaan seni, Eropah, Asia, Indonesia, dan kreatifitas
Pendahuluan:
1.Tingkat Tanggung Jawab untuk kebijakan Kurikulum Pendidikan Seni di Sekolah secara global dan lokal
Seperti yang kita ketahui dunia pendidikan di Indonesia umumnya
tunduk pada berbagai tuntutan misalnya kebijakan (politik, pemerintah,
kementerian, organisasi dunia dan sebagainya).
Hal yang sama juga terjadi di Eropah dan Amerika serta di Asia
umumnya. Pengaruh ini akan berakibat kepada bentuk organisasi, isi kurikulum,
kebijakan penyediaan guru pendidik seni. Artinya pendidikan seni banyak
dipengaruhi oleh berbagai hal di luar kepentingan pembelajaran dan pendidikan seni
itu sendiri.Terutama kebijakan oleh pemerintah.
Kebijakan pendidikan seni di Eropah dan Amerika berbeda, dengan di Asia, demikian
juga dengan di Indonesia. Hal-hal seperti ini tentu dapat menjadi pertanyaan,
apa penyebab adanya perbedaan-perbedaan seperti ini. Namun kalau ditilik lebih
dalam, teori-teori dan atau konsep yang melatarbelakangi kebijakan tersebut,
katakanlah hampir sama, kalau tidak dikatakan mirip, yaitu literatur dan
konsep-konsep para pemikir pendidikan
dari Barat.
Disamping itu, pengaruh lain yang tidak kecil adalah terjadinya
peningkatan komunikasi secara global juga berakibat kepada meningkatnya migrasi
(perpindahan penduduk antar negara) dan persaingan
diberbagai bidang secara internasional. Terjadinya peningkatan teknologi dan
pengembangan pengetahuan ekonomi yang meluas.
Dalam konteks ledakan penduduk dan persaingan pekerjaan ini, berbagai negara dapat melihatnya secara positif maupun secara negatif. Dan
banyak negara melihat bahwa untuk mengatasi pengangguran maupun persaingan
lapangan kerja di negaranya, maka salah satu jalan keluarnya adalah dengan memperkuat landasan di bidang
pendidikan. Dengan kata lain sistem pendidikan dapat dilihat sebagai sarana untuk
mempersiapkan generasi muda untuk berperan dalam dunia yang semakin tidak
menentu ini.
Sekolah dianggap memiliki bagian untuk bermain dalam membantu
orang muda untuk mengembangkan rasa aman dari diri mereka sendiri, baik sebagai
individu dan anggota berbagai kelompok dalam masyarakat.
2. Pengaruh Unesco
Minat kepada pendidikan seni oleh organisasi internasional menunjukkan
peningkatan yang bermakna dalam beberapa tahun terakhir ini, hal ini mengakibatkan
munculnya kebijakan penting tentang hal
ini. UNESCO misalnya telah menjadi kekuatan utama dalam pengembangan inisiatif
kebijakan di bidang pendidikan dan kebudayaan dalam dekade terakhir.
Misalnya pada tahun 1999, Direktur Jenderal UNESCO mengadakan
seruan kepada semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan seni dan budaya
untuk memastikan bahwa pembelajaran seni diberi perhatian khusus dan diuntungkan dalam
pendidikan setiap anak, dan sekolah sampai dengan tahun terakhir sekolah
menengah (UNESCO 1999). [1])
Seruan ini kemudian di tanggapi di Eropa dan hal ini diikuti
dengan diadakannya konferensi dunia di Lisbon untuk menandai puncak dari sebuah
kolaborasi internasional lima tahun antara UNESCO dan mitranya di bidang
pendidikan seni. Konferensi ini menegaskan kebutuhan untuk menetapkan
pentingnya pendidikan seni di semua lapisan masyarakat dan ini terbukti
dorongan untuk meningkatkan penelitian global tentang dampak seni dalam
pendidikan (Bamford 2006) dan Road Map UNESCO untuk meningkatkan Pendidikan Seni
(UNESCO 2006).
Dalam hal ini UNESCO merumuskan sebagai berikut:
The Road Map aimed to provide advocacy and guidance for strengthening arts education. The document asserts that arts education helps to: uphold the human right to education and cultural participation; develop individual capabilities; improve the quality of education; and promote the expression of cultural diversity.[2]
Perkembangan kebijakan serupa telah terjadi di Eropa. Pada tahun
1995, Dewan Eropa meluncurkan proyek besar yang berfokus pada Kebudayaan,
Kreativitas dan kaum muda. Hal ini terlihat dari perhatian dan peningkatan penyediaan
yang ada untuk pendidikan seni di sekolah-sekolah di negara anggota Eropa serta
keterlibatan seniman profesional dan ketersediaan kegiatan ekstra kurikuler di
sekolah-sekolah di Eropa. Peningkatan juga terjadi pada survei dan penelitian seni di Eropa berikut
musyawarah Internasional.
Pada tahun 2005, Dewan Eropa meluncurkan Konvensi Kerangka
Framework Convention untuk nilai warisan budaya bagi masyarakat (Council of
Europe 2005), yang mengidentifikasi kebutuhan negara-negara Eropa untuk
melestarikan sumber daya budaya, mempromosikan identitas budaya, menghormati
keragaman budaya dan mendorong dialog antar-budaya.
Pasal 13 dari Framework Convention mengakui pentingnya warisan
budaya dalam pendidikan seni dan menganjurkan mengembangkan hubungan kursus antar
berbagai bidang studi. Pada saat yang sama, tiga badan-badan internasional yang
mewakili pendidik seni drama / teater, seni rupa dan musik bersama-sama untuk
membentuk aliansi dunia (International
Society for Education through Art 2006) (Masyarakat Internasional untuk
Pendidikan melalui Seni 2006). Mereka dihimbau UNESCO untuk membuat pusat
pendidikan seni untuk agenda dunia dan untuk pengembangan diri manusia yang berkelanjutan serta
transformasi sosial.
Pada tahun 2008 Dewan Eropa menerbitkan White Paper untuk dialog
antarbudaya (Dewan Eropa 2008), yang menawarkan pendekatan antarbudaya untuk
mengelola keragaman budaya. Termasuk juga untuk mengidentifikasi organisasi
pendidikan (termasuk museum, situs warisan budaya, taman kanak-kanak dan
sekolah) yang dapat dan memiliki potensi untuk mendukung pertukaran
antarbudaya, dapat belajar dan berdialog melalui kegiatan seni dan budaya.
Pada bulan Maret 2009, Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi
tentang Studi Artistik di Uni Eropa (Parlemen Eropa 2009). Rekomendasi utamanya
termasuk: pendidikan seni harus wajib di semua tingkat sekolah; mengajar seni
harus menggunakan informasi dan komunikasi teknologi terbaru; pengajaran
sejarah seni harus melibatkan pertemuan dengan seniman dan kunjungan ke
tempat-tempat budaya. Dalam rangka untuk membuat kemajuan pada isu-isu ini,
resolusi menyerukan pengawasan yang lebih besar dan koordinasi pendidikan seni
di tingkat Eropa, termasuk pemantauan atas dampak dari pengajaran seni dan
kompetensi siswa di Uni Eropa (Figel, Jan, 2009).[3])
3. Tujuan Pendidikan Seni
Menurut Figel, Jan (2009) ada sejumlah kecil pertanyaan yang
penting tentang pendidikan seni di Eropa. Dari pertanyaan ini dapat dilihat
permasalahan dan tema-tema penting yang dapat dibandingkan dan dilihat
perbedaannya dengan perkembangan yang ada di Indonesia. Tentu saja dari persamaan dan perbedaan ini
dapat dilihat masing-masing kelemahan dan dan kebaikannya. Beberapa pertanyaan
itu adalah berikut ini.
Apakah semua negara di Eropa memiliki bobot kurikulum seni yang
sama? Dan dimana tempat seni dalam kurikulum nasional mereka?
Hampir semua penelitian tentang kurikulum pendidikan menegaskan bahwa adanya hirarki dalam
kurikulum, yaitu dimana pelajaran membaca, menulis dan berhitung
diprioritaskan. Dan terlihat pula bahwa prioritas pendidikan seni di
sekolah-sekolah di Eropa memprioritaskan
terutama seni rupa dan musik, ketimbang seni yang lain (seperti drama dan tari). Hal ini dapat
dimengerti karena seni rupa dan musik mewakili dua jenis seni yang menggunakan
penglihatan dan pendengaran manusia (Figel, Jan, 2009).
Sebuah survei dari
pendidikan seni di Eropa (Robinson 1999) ([4])
berlangsung sebagai bagian dari inisiatif Dewan Kebudayaan, Kreativitas dan Kaum Muda
Eropa.[5] Studi
ini menemukan bahwa semua pernyataan kebijakan nasional tentang pendidikan
secara rutin menekankan pentingnya dimensi budaya dan kebutuhan untuk
mempromosikan kemampuan artistik dan kreatif dari orang-orang muda. Dalam praktiknya,
status dan penyediaan seni dalam pendidikan kurang menonjol. Disiplin utama
yang diajarkan adalah seni rupa dan musik. Dalam sebagian besar sistem
nasional, seni adalah wajib dalam pendidikan dasar dan selama dua atau tiga
tahun pertama dari pendidikan menengah.
Di luar titik ini, hampir secara universal, seni adalah opsional
(pilihan). Dalam semua kasus yang diperiksa, seni memiliki status lebih rendah
dari matematika dan ilmu pengetahuan lainnya. Bahkan di beberapa negara, ada upaya
untuk mengurangi ketentuan yang ada untuk seni dalam kurikulum, sebaliknya mendukung
mata pelajaran yang dianggap lebih relevan dengan keberhasilan ekonomi atau
akademis.
Temuan serupa juga dilaporkan dalam studi internasional dari
(Sharp dan Le Metais 2000; Taggart et al 2004.).[6])
Dua pendekatan utama untuk membingkai seni dalam dokumen nasional negara-negara Eropa, yang dapat di diidentifikasi:
(1) adalah domain seni generik (juga disebut 'kawasan terpadu') atau mata pelajaran yang terpisah. Salah satu kekhawatiran tentang pendekatan berbasis mata pelajaran adalah tempat drama dan tari, yang sering dimasukkan dalam bidang studi lainnya, misalnya pendidikan olah raga. Secara khusus, diakui bahwa mungkin sulit untuk mempromosikan adanya kualitas ekspresif tari dalam area mata pelajaran yang difokuskan pada latihan fisik dan olahraga.
(2) Taggart et al. (2004) menemukan bahwa pelajaran seni rupa dan musik adalah bagian pelajaran wajib di semua 21 negara Eropa yang disurvei. Sekitar setengah dari negara/negara yang disurvei di Eropah, dimana murid diminta untuk mempelajari satu atau lebih disiplin ilmu seni sampai usia 16 tahun. Negara-negara lainnya memerlukan agar muridnya mempelajari seni sampai usia 14, atau mengikuti mata pelajaran kesenian sebagai mata pelajaran pilihan atau sukarela terutama siswa yang lebih tua.
Status relatif rendah yang diberikan kepada subyek seni tercermin
dalam relatif kurangnya perhatian, penilaian dan pemantauan standar dalam mengajar
seni di Eropa (Bamford 2006; Taggart et al 2004.). Hasil penelitian juga
menyorot dan khawatir tentang alokasi waktu yang resmi untuk pendidikan seni, demikian
juga waktu yang disediakan di sekolah-sekolah, yang umumnya tidak cukup ruang
untuk penyajian kurikulum seni yang luas dan seimbang (Robinson 1999; Sharp dan
Le Metais 2000; Taggart et al 2004.). Kurangnya waktu, ruang dan sumber daya
telah diidentifikasi sebagai faktor kunci menghambat keberhasilan pendidikan
seni (Bamford, 2006).
Apa tujuan dari pendidikan seni? Apakah semua tujuan telah diberi
bobot yang sama?
Adanya tekanan pendidikan seni untuk memenuhi berbagai tujuan, di
samping mengajar tentang seni, namun demikian sistem pendidikan semakin
menyadari pentingnya mengembangkan kreativitas anak-anak dan memberikan
kontribusi untuk pendidikan budaya, tetapi belum dipahami benar bagaimana sebenarnya seni yang diharapkan
dapat memberikan kontribusi secara baik sebagai subyek individu atau dengan
bekerja dengan bidang kurikulum lainnya.
Taggart et al. (2004) menemukan bahwa hampir semua dari 21 negara
di Eropah dalam studi internasional mereka memiliki tujuan yang sama untuk
kurikulum seni.
Dalam hal ini juga termasuk bagaimana: mengembangkan keterampilan
artistik, pengetahuan dan pemahaman, serta keterlibatannya dengan
berbagai-bentuk seni; peningkatan pemahaman budaya; berbagi pengalaman seni;
dan membedakan konsumen seni dan kontributor. Disamping hasil artistik, ada
juga hasil karakter pribadi dan sosial seperti kepercayaan, harga diri,
ekspresi individu, kerja tim, pemahaman antar budaya serta partisipasi budaya
yang diharapkan dari pendidikan seni di sebagian besar negara.
Secara khusus, perhatian pada aspek kreativitas ada kaitannya
dengan aspek inovasi dan pendidikan budaya yaitu dalam kaitannya dengan identitas
individu dan pemahaman antar budaya, jadi jelas ada kaitannya dengan tujuan
pendidikan seni secara umum. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan
dari kurikulum seni untuk memenuhi tujuan yang beragam dan luas tersebut.
Analisis tujuan dari seni dan kurikulum pendidikan budaya umumnya
didasarkan pada studi internasional, yaitu mengenai tujuan kurikuler seni dan pendidikan budaya
(Sharp dan Le Metais 2000). Namun demikian, ada kategori baru yang ditambahkan
dalam hal ini dalam rangka untuk lebih mencerminkan isi dari seni dan kurikulum
pendidikan budaya di negara-negara Eropa yang bersangkutan [7]).
Diantara tujuan itu adalah sebagai berikut:
1.
pengetahuan
dan pemahaman keterampilan artistik
2.
apresiasi
kritis (penilaian estetik)
3.
warisan
budaya (identitas nasional, budaya lokal)
4.
keragaman
budaya (identitas eropa/ kesadaran
dunia)
5.
ekspresi
individu/identitas diri/ pengembangan diri
6.
kreativitas (imajinasi,
pemecahan masalah, mengambil resiko)
7.
keterampilan
sosial / kelompok kerja / sosialisasi / kerja sama
8.
keterampilan
komunikasi
9.
kenikmatan
/ kesenangan / kepuasan / kebahagiaan
10.
ragam
dan keragaman seni; terlibat dengan berbagai bentuk seni / media
11.
pagelaran/penyajian/pertunjukan
(berbagi karya artistik antar teman sendiri)
12.
kesadaran
lingkungan / konservasi / keberlanjutan / ekologi
13.
percaya
diri / harga diri
14.
belajar
seni dan seumur hidup/ soal interesting
15.
mengidentifikasi
potensi seni (aptitude / bakat)
Hasil penelitian (Figel, Jan, 2009) memperlihatkan bahwa enam
pertama dari tujuan belajar seni
sebagaimana dimaksud daftar di atas tercantum di hampir di semua kurikulum
pendidikan seni dan budaya di Eropah. Yaitu tujuan pembelajaran seni yang cukup
tegas terhubung dengan tujuan pendidikan seni umumnya. Semua kurikulum mengacu
pada 'keterampilan artistik, pengetahuan dan pemahaman. Dari enam tujuan,
setidaknya lima negara Uni Eropa menyebutkan ktreatifitas tidak termasuk dalam
tujuan pembelajaran seni mereka.
1. Keterampilan artistik,
yaitu pengetahuan dan pemahaman, secara umum, dimana keterampilan membentuk
dasar dari 'bahasa artistik' (seperti pemahaman warna, garis dan bentuk
dalam seni rupa atau, dalam musik,
mendengarkan dan prestasi keterampilan menggunakan instrumen). Pengembangan
keterampilan artistik cenderung mencakup belajar gaya artistik dan genre yang
berbeda. Dalam hal itu, beberapa negara mengacu pada repertoar karya tertentu,
khususnya untuk musik dan drama. Pemahaman tentang aspek artistik biasanya
cenderung berfokus pada konsep artistik, seperti memahami karakteristik
berbagai cara ekspresi seni atau ungkapan seni yang terkait dengan hubungan
antara seniman dengan lingkungan, fisik,
karya, dan sosial budaya.
2. Apresiasi kritis
adalah di antara enam tujuan yang paling sering disebut/dipakai. Hal yang
terkait dengan meningkatkan kesadaran murid dari fitur penting dari suatu karya
atau prestasi dan untuk mengembangkan kapasitas mereka untuk penilaian kritis
dalam mengevaluasi pekerjaan mereka sendiri atau orang lain.
3. Warisan Budaya.
Hampir semua negara mementingkan
pemahaman warisan budaya. Dalam
beberapa kasus, tujuan yang terhubung dengan penciptaan identitas budaya:
belajar bentuk-bentuk budaya berupaya untuk mengembangkan pemahaman diri
sebagai warga negara suatu negara atau anggota suatu kelompok budaya. Pemahaman
warisan budaya dipromosikan melalui kontak dengan karya seni, serta melalui
pembelajaran karakteristik karya seni yang dihasilkan dalam periode sejarah
negara masing-masing yang berbeda dan seniman
tertentu yang berbeda.
4. Pemahaman
keanekaragaman budaya, bertujuan umum bagi sebagian besar tujuan kurikulum
dan belajar seni dan budaya. Promosi keragaman budaya melalui seni juga
berupaya untuk meningkatkan kesadaran warisan budaya dan genre modern yang
spesifik untuk berbagai negara dan kelompok-kelompok budaya (kadang-kadang
dengan referensi khusus untuk budaya Eropa).
5-6. Perkembangan ekspresi
individu dan pengembangan kreativitas adalah dua tujuan yang sangat luas
lainnya, meskipun yang terakhir ini disebut sangat sedikit di negara-negara Eropah.
Perkembangan ekspresi individu anak-anak dengan cara seni berhubungan erat
dengan ungkapan emosional mereka. Biasanya terhubung dengan semua bentuk seni
tetapi khususnya dengan seni rupa mendapat perhatian lebih banyak. Pengembangan kreativitas dapat
didefinisikan sebagai pengembangan kapasitas individu untuk berpartisipasi
dalam kegiatan imajinatif, produk yang akan ditandai dengan orisinalitas dan
nilai (Robinson 1999). Meskipun hubungannya dengan perkembangan ekspresi
individu itu jelas, pengembangan kreativitas cukup berbeda dan dianggap sebagai
jenis yang terpisah dari tujuan artistik.
7. Ketrampilan sosial.
Tujuan umum yang paling sering disebut adalah 'pengembangan keterampilan
sosial': hal ini diidentifikasi oleh 26 kurikulum negara-negara di Eropa.
Umumnya, bahwa tujuan lebih khusus terkait dengan seni pertunjukan, dalam drama
tertentu.
8. Harga diri. Yang
paling dikutip adalah pengembangan diri kepercayaan atau harga diri' dengan cara berpartisipasi
dalam kegiatan seni: hanya 15 kurikulum (negara Uni Eropa) menyebutnya.
Perkembangan 'kesenangan /kepuasan' dan 'keterampilan komunikasi' adalah tujuan
yang terkandung di hampir jumlah yang sama kurikulum (masing-masing di 23 dan
24, negara Uni Eropa). Yang pertama adalah umum untuk semua bentuk seni,
sedangkan pengembangan kedua melalui seni terutama terkait dengan seni
pertunjukan (musik, drama dan tari) serta seni media.
9. Kesadaran Sosial, 'meningkatkan
murid' atas kesadaran lingkungan mereka'adalah tujuan yang ditemukan dalam 20
kurikulum seni Uni Eropa. Yaitu mencapai tujuan yang memerlukan apresiasi dari
lingkungan fisik, pemahaman tentang asal-usul bahan yang digunakan dalam seni
dan tanggung jawab untuk konservasi ekologi.
10. Pagelaran Seni. Di antara tujuan pembelajaran /
hasil yang tegas terhubung dengan seni yang cukup spesifik, paparan berbagai
pengalaman dan berbagai sarana ekspresi seni dan keterampilan dalam melakukan
atau menyajikan suatu karya adalah tujuan yang paling sering disebut dalam
kurikulum (22) dan yang umum semua bentuk seni.
11. Pengembangan Bakat.
Dalam kategori yang sama, dua tujuan yang yang paling sering disebut adalah
'mengembangkan minat seumur hidup dalam seni', dengan kata lain, mendorong
siswa untuk berpartisipasi dalam kegiatan seni ekstrakurikuler dan
mempertahankan bahwa minat sepanjang hidup mereka (15 negara merujuk untuk
itu), dan terutama' mengidentifikasi potensi potensi /bakat', yang
didefinisikan oleh hanya 6 kurikulum di Uni Eropa.
Selain tujuan belajar yang diidentifikasi sebagai bagian dari
seni dan kurikulum budaya, ada juga tujuan belajar dalam kurikulum secara
keseluruhan yang bisa dihubungkan dengan seni dan pendidikan budaya. Di satu
sisi, beberapa kurikulum mengacu pada tujuan spesifik mendorong link
lintas-kurikuler antara mata
pelajaran seni dan mata pelajaran lain.
Di sisi lain, meski tidak harus menyebutkan link
lintas-kurikuler, di sejumlah negara ada unsur kurikulum keseluruhan yang
berhubungan dengan kreativitas serta seni dan pendidikan budaya. Ini juga indikator
potensi lintas-kurikuler seni dan pendidikan budaya. Elemen seperti dari
kurikulum keseluruhan meliputi referensi untuk kreativitas, warisan budaya,
keragaman budaya, pengembangan ekspresi individu dan identitas, berbagai
pengalaman artistik dan sarana ekspresi, keterampilan sosial, kerja kelompok
dan kepentingan untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya.
Bagaimana guru dipersiapkan untuk mengajar seni ? Bagaimana
sistem pendidikan memantau standar pengajaran dalam seni di Uni Eropah?
Sebagai hasil penelitian Bamford (2006) [8] menunjukkan,
banyak sistem pendidikan bergantung pada guru generalis (guru umum) untuk
mengajar mata pelajaran seni, terutama untuk anak-anak muda.
Mengajar seni untuk standar yang tinggi bagi guru umum sebenarnya
cukup menantang, sehingga tidak mengherankan untuk menemukan bahwa ada guru
utama seni dan kurangnya kepercayaan khususnya dalam mengajar uru umum gseni
(Taggart et al. 2004).
Oleh karena itu akan muncul kebutuhan untuk mempertimbangkan baik
persiapan awal guru untuk mengajar mata pelajaran seni dan pengaturan untuk
pengembangan bagi profesional berkelanjutan, untuk memungkinkan guru seni untuk
memperbarui pengetahuan dan mengembangkan keterampilan mereka.
Pengaturan untuk kualitas pemantauan mengajar dalam seni telah
mendapat sedikit perhatian dalam studi penelitian terbaru, meskipun ada sering
referensi kekhawatiran tentang variabilitas standar dan kebutuhan untuk
memberikan pengalaman belajar yang berkualitas tinggi di sekolah (Bamford 2006;
Robinson 1999; Sharp dan Le Metais 2000; Taggart et al 2004).
Robinson (1999) menyoroti masalah
struktural yang menghambat perkembangan pendidikan seni yang mengikat di
sekolah-sekolah umum. Dimana tanggung jawab pemerintah untuk seni dan
pendidikan sering dibagi antara dua atau lebih departemen yang terpisah dari
pendidikan dan kebudayaan, dan kadang-kadang pemuda dan olahraga, yang dapat
membuat sulit untuk mencapai pemahaman bersama tentang kebutuhan dan prioritas
pendidikan seni di Uni Eropa.
Adanya kesempatan ekstra-kurikuler dalam pembelajaran seni dan
budaya, tetapi bagaimanakah caranya?
Akses anak-anak untuk seni dan pengalaman budaya seperti
kunjungan ke museum di Eropa telah menjadi penting, terutama karena sekolah
memiliki potensi untuk memperbaiki ketimpangan dengan menyediakan akses ke
sumber daya budaya untuk anak-anak dari latar belakang yang kurang beruntung
(lihat Robinson 1999; Sharp dan Le
Metais 2000). Hal seperti ini jarang, dan boleh dikatakan tidak dapat
dilakukan di Indonesia, karena museum-museum seni hanya ada di pusat
pemerintahan seperti Jakarta.
Apakah seniman profesional yang terlibat dalam pendidikan seni,
dan jika demikian, bagaimana?
Keterlibatan seniman profesional dalam pendidikan seni telah
direkomendasikan dalam beberapa penelitian (Bamford 2006; Robinson 1999; Sharp dan Le Metais 2000). Alasan utama yang
diberikan untuk ini adalah: untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan
pembelajaran seni, mendorong kreativitas yang lebih besar, meningkatkan
keterampilan dan kepercayaan diri guru, dan menyediakan akses ke jangkauan yang
lebih luas dari sumber daya budaya. Bamford (2006) mengidentifikasi hubungan
antara kualitas pendidikan seni dan keterlibatan seniman profesional: 'kualitas
pendidikan seni cenderung ditandai dengan kemitraan yang kuat antara sekolah
dan seni luar dan organisasi masyarakat. Untuk saat ini, kita tahu relatif
sedikit tentang sifat dan tingkat sistem nasional untuk memungkinkan kemitraan
semacam ini.
Bagaimana seharusnya kurikulum seni menanggapi perkembangan
teknologi baru, media baru ?
Studi penelitian (Bamford 2006; Sharp dan Le Metais 2000;.
Taggart et al 2004) telah menyoroti tekanan untuk pengembangan kurikulum dalam
seni di1, abad ini untuk
memasukkan studi media baru (termasuk
film, fotografi dan seni digital) yang memungkinkan siswa untuk menggunakan
Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai bagian dari proses kreatif.
Ada juga tren yang muncul untuk bekerja
lintas-kurikuler, yang melibatkan seni dan pelajaran lainnya (non-seni) dimana
beberapa bidang studi bekerja sama dalam tema kreatif dan/atau budaya.
Perkembangan semua ini tentu akan memberikan tuntutan baru pada guru dan
sekolah yang membutuhkan pengarahan dari pimpinan dan dukungan di tingkat
kebijakan
4. Fokus pendidikan seni di Asia: Pendidikan Umum dan Budaya
Pandangan beberapa ahli seni di Asia agak berbeda dengan di
Eropah (Shakti Maira, 2006 [9]; Kapila
Vatsyayan (1996); Salah satu manfaat pendidikan seni di Asia adalah seni
sebagai instrumen dalam pendidikan umum. Ini adalah salah satu tujuan dari seni
dalam pendidikan umum, yaitu pendekatan
dimana seni digunakan sebagai alat untuk mendidik siswa melalui mata pelajaran tertentu.
Para ahli pendidikan Seni di Asia sepakat bahwa [10] belajar
melalui budaya mereka sendiri itu penting, dan bagaimana budaya itu telah
berubah dan bagaimana kaitannya dengan budaya lain. Dengan sistem belajar seni
demikian dianggap siswa lebih mampu membangun identitas rasa pribadi mereka sendiri,
dan meningkatkan kepercayaan diri dan rasa memiliki atas budaya mereka sendiri.
Mengingat pentingnya seni dalam meningkatkan kualitas pendidikan,
dan dalam membina ikatan sosial, perdamaian dan kemakmuran, oleh karena itu ada
upaya di seluruh dunia untuk menggabungkan seni dengan semua sistem pendidikan.
Selanjutnya banyak yang meyakini bahwa pengertian seni di Asia,
dan di wilayah Asia-Pasifik pada umumnya, tidak begitu memahami “seni” seperti
yang dipahami dalam pengertian seni Barat, dimana di Barat seni adalah produk
kelas sosial tinggi dan disampaikan di lembaga-lembaga formal yang dibangun seperti
sebagai museum, gedung konser, dan lain-lain. Seni bagi orang Asia merupakan
bagian dari tradisi yang hidup, dan berakar pada masyarakat setempat, dan
sering digelar dan dikonsumsi oleh kelas masyarakat miskin.
Secara tradisional, seni di sebagian besar budaya Asia dan
Pasifik-- jika tidak semua -- merupakan bagian integral kehidupan mereka
sendiri: dimana bentuk dan fungsi yang terkait dari seni tidak di kontekstualisasikan. Sebagai contoh,
secara tradisional, seni adalah objek biasa dalam kehidupan sehari-hari yang sering
tidak hanya fungsional tapi indah dan bermakna.
Seni di kawasan Asia-Pasifik secara tradisional merupakan bagian
integral dari kehidupan mereka sehari-hari, oleh karena itu di kawasan
Asia-Pasifik seni adalah kendaraan pengetahuan dan metode pembelajaran semua
mata pelajaran. Selain itu, guru seni di kawasan Asia-Pasifik secara
tradisional dapat ditemukan dalam masyarakat. Pendidikan seni didasarkan pada
tradisi magang atau sebagian besar adalah non-formal. Dalam beberapa tahun
terakhir di sebagian besar, jika tidak semua, masyarakat Asia-Pasifik, telah memiliki
pengalaman bersama internalisasi struktur seni dan pendidikan model Barat .
Di negara-negara Asia-Pasifik, seperti dalam kebanyakan
masyarakat masa kini, kegiatan seni
telah sangat terbatas pada bagian kecil dari usaha manusia. Misalnya kegiatan seni
di sekolah hanyalah bentuk kegiatan yang sangat sempit dari kegiatan kelas,
biasanya terdiri dari bagian seni rupa seperti menggambar dan melukis. Penciptaan
karya seni seakan tersendiri dan terpisah dari pengalaman hidup dan seni telah
dipisahkan dari disiplin lain dan tidak memiliki peran utama dalam pendidikan.
Seharusnya masyarakat berpengetahuan di Asia Pasifik, memeriksa lagi
sistem pendidikan agar dapat cara dan memiliki sarana untuk beradaptasi dengan
seni dan budaya setempat. Proses adaptasi menyiratkan pemikiran ulang tentang
peran dan memanfaatkan seni dalam pendidikan.
Disamping itu cara dan pendekatan Barat untuk instruksi seni juga
tidak salah, sebab biasanya fokus pada pengajaran sejarah seni, estetika dan
pembelajaran keterampilan artistik sehingga siswa mampu mereproduksi bentuk
seni dengan cara yang kompeten. Namun sering terjadi penyimpangan, dimana
seharusnya cara-cara Barat, juga memungkinkan masyarakat Asia-Pasifik untuk
menarik sepenuhnya pengetahuan, keterampilan, kekayaan budayanya atau
berkontribusi untuk menjaga dan melestarikan seni dan tradisi budaya daerah
mereka sendiri.
Kesimpulan simposium ahli regional Asia 2004, dengan topik utama”Mengukur
Dampak Seni dalam Pendidikan”, yang diselenggarakan oleh Kantor Regional
Advisor UNESCO untuk Kebudayaan di Asia dan Pasifik bekerja sama dengan Hong
Kong Institute of Contemporary Culture (HKICC), dan berlangsung di Hong Kong
SAR, Cina, 9-11 Januari 2004. Menyimpulkan 3 topik utama yaitu:
a. Bahwa
seni Berkontribusi Untuk Pengembangan Intelektual dan Sosial Peserta Didik
b. Meningkatkan
Kualitas Pendidikan
c. Bahwa
seni dapat meningkatkan Kreativitas dan berkontribusi untuk Pengamanan
Keragaman Budaya
a. Visi Seni Asia dalam Pendidikan: Belajar Melalui Seni
Jadi menurut pandangan ahli seni di Asia percaya bahwa keragaman seni dalam antar-jalinan
budaya di Asia, sebenarnya mengandung filosofi
kehidupan bersama mereka. Di Asia, secara tradisional tujuan seni bukanlah dalam
rangka pembuatan 'seni' dalam pengertian sekarang, oleh karena itu berbeda
dengan seni di Asia, dimana seni itu terintegrasi dengan fungsi kehidupan (Shakti
Maira,2005 [11])
Seni dalam pengertian sebenarnya terlibat dalam pengembangan dan
pendidikan orang di semua tahap kehidupannya: misalnya untuk pengembangan fisik, sensorik, emosional dan
kognitif anak yang sedang tumbuh; sebagai cara menyalurkan nilai-nilai keluarga dan masyarakat.
Bagi masyarakat Asia, seni adalah jembatan antara dunia alam, manusia dan ilahi;
dan sebagai alat untuk bermeditasi, pemahaman dan pengalaman transformatif.
Penciptaan dan pembelajaran itu saling terkait: seni dan pengetahuan itu hampir identik. Seni itu fungsional tetapi
juga indah dan bermakna. Pada umumnya seni di Asia memiliki tujuan, baik untuk
menyalurkan dan mentransformasi nilai kehidupan mereka; menyalurkan keterampilan
dan nilai-nilai mereka dan dengan demikian mengubah rasa diri dan identitas
seseorang, mendukung kohesi sosial. Ini adalah dasar kuno untuk visi “baru”
seni dalam pendidikan: belajar melalui
seni.
Dalam banyak masyarakat Asia, link dan kesinambungan antara seni
dan pembelajaran, seni dan pengetahuan, seni dan sejarah sosial, seni dan
nilai-nilai, dan seni dan kepintaran dalam dunia pendidikan masa sekarang seakan
terputus. Pemutusan ini, awalnya dipengaruh penjajahan atau kolonialisme di
Asia, di mana cara membangun seni yang berbeda dengan tradisi lokal dikembangkan
dan diberlakukan.
Seperti yang kita ketahui di Barat, lahirnya industri, adalah
salah satu pendekatan yang memisahkan seni dari kerajinan, dan munculnya “seni”
dalam pengertian khusus benda-seni dan disiplin seni “khusus barat” yang berbeda.
b. Dikotomi Barat dan Timur
Dikotomi atau pertentangan cara Barat dan cara Timur terlihat
dari dikotomi antara nilai individu (ekspresi) dan nilai sosial. Pengaruh Barat
terhadap pendidikan seni di kelas biasanya terdiri dari kegiatan seperti
menggambar, melukiskan objek-tertentu. Nilai
utama dari penciptaan seni pada anak- dipandang sebagai pengembangan nilai ekspresi
diri individu dan telah terjadi pengurangan nilai-nilai komunikatif dan sosial.
Oleh karena itu untuk tingkat tertentu, semua masyarakat Asia
terjebak antara model: (1) “modern” dari pendidikan seni di satu sisi dan (2) pengetahuan
adat dan lebih holistik dan terpadu tradisi seni di sisi lain -- dengan
persepsi yang berbeda dari tempat seni dan budaya dalam kehidupan dan
pendidikan mereka. Terjadinya penurunan yang berlanjut dari seni, dalam
pendidikan, karena penekanan seni dan teknologi masyarakat modern, yang merampingkan
kegiatan seni dari kurikulum sekolah.
Di samping itu kebanyakan masyarakat Asia selalu berpikir, bahwa pendidikan
adalah sebagai sarana untuk meningkatkan status ekonomi dan sosial. Pendidik,
orang tua dan anak-anak ingin bersekolah dan memfokus diri agar anak-anaknya dapat masuk ke perguruan tinggi, selanjutnya masuk
ke pekerjaan dan profesi tertentu, yang dibayar lebih baik.
Sebagian besar pendidikan dipandang dapat memiliki nilai ekonomi dan
untuk masa depan, sedangkan pekerjaan seni umumnya di nilai rendah dan dianggap
hanya sebagai mata pelajaran teknis atau selingan dari pekerjaan terkait yang
penting. Umumnya mereka memiliki kesadaran yang sangat kurang tentang bagaimana
pendidikan seni dapat bernilai dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu setiap arus besar pandangan umum pendidikan seni
di sekolah-sekolah harus terkait dengan isu-isu kembar, yaitu bagaimana kaitan
nilai guna seni dengan kebutuhan masyarakat, dan agar memanfaatkan seni di
sekolah-sekolah sejalan dengan metode pendidikan seni dan akhirnya dipakai
untuk pengembangan kurikulum.
Ada kebutuhan untuk mengarahkan pendidikan secara berkelanjutan dan
efektif untuk menciptakan kesadaran dan pemahaman di masyarakat Asia ke arah
keterampilan yang dibutuhkan anak-anak misalnya rekayasa, komputer desain
sistem, ilmu kedokteran yang canggih dan ilmu nuklir. Kemudian kemampuan
berpikir seperti berpikir ruang, berpikir lateral, pemecahan masalah secara
kreatif, pengenalan pola, kognisi, konsentrasi, persepsi, komunikasi dan kerja
tim, secara unik dan hal ini dapat dikembangkan dan dipelihara melalui pendidikan
seni. Adanya konsensus bahwa pendidikan seni perlu dibuat lebih relevan dengan
kehidupan sehari-hari dan praktik budaya lokal siswa, dan membawa perspektif
seni dan bergerak menjauhi metode pembelajaran seni yang tidak efektif dan ketinggalan
jaman.
c. Harapan ke depan Pendidikan seni di Asia
Menurut Vibeke Jensen dan
George A. Attig [12], kualitas
pendidikan saat ini di banyak sekolah pedesaan di Asia umumnya rendah dan
situasi yang sering dihadapi oleh para guru dan siswa di sekolah tersebut
ditandai dengan faktor-faktor berikut: (1) kurangnya minat dan antusiasme guru,
(2) metode belajar-mengajar tidak efektif, (3) kurangnya partisipasi masyarakat
dan sumber daya yang terbatas dalam mengajar dan belajar.
Penggabungan seni dalam pendidikan dapat dilihat sebagai sarana
untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini dan meningkatkan kualitas pendidikan
dasar.
“seni dalam pendidikan” atau peran seni dalam pendidikan dapat
dilihat dalam dua cara, yaitu, “pendidikan seni” dan Pendekatan pendidikan seni
adalah penghargaan di mana seni diajarkan sebagai bagian dari kurikulum. Siswa seharusnya
memiliki kelas “seni” , dan proses belajar-mengajar berfokus pada
pengembangan keterampilan artistik mereka dan apresiasi “seni,” biasanya
sebagai bagian dihargai dari budaya mereka sendiri.
Di sisi lain seni dalam pendekatan pendidikan, menggunakan seni sebagai sarana untuk
meningkatkan kualitas pendidikan, melalui: (1) meningkatkan motivasi guru /
siswa, (2) meningkatkan pengajaran dan proses belajar, (3) mendorong teknik
pembelajaran aktif, dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Selain itu,
integrasi seni dalam pendidikan diyakini memiliki dampak positif pada hal-hal
seperti harga diri siswa, kreativitas, keterampilan pemecahan masalah dan
kemampuan untuk bekerja dalam tim.
d. Seni dalam Pendidikan, Howard Gardner
Untuk mendukung konsepsinya, Jensen dan Attig (2005) merujuk
teori Gardner, menurutnya, seni dalam pendekatan pendidikan mengacu pada teori
yang dikembangkan oleh Dr Howard Gardner: yaitu teori “kecerdasan ganda”
(Gardner, 1983). ada modus yang berbeda dari belajar dan kecerdasan dan
orang-orang cenderung “cerdas” dalam satu modus yang lain. Gardner juga
berteori bahwa ketika anak-anak belajar mereka menggunakan berbagai mode
kecerdasan.
Gardner mengidentifikasi delapan jenis kecerdasan: linguistik
(kata); logis-matematis (nomor / penalaran); spasial (gambar);
kinestetik-jasmani (tubuh); musik / berirama (musik); interpersonal (orang);
intrapersonal (diri) dan naturalis (alam).
Sebagai contoh, sementara beberapa anak berpikir yang terbaik dan
belajar dengan baik melalui lisan dan tertulis kata-kata (bahasa), orang lain
belajar dengan baik melalui suara, sajak dan pengulangan (musik / berirama).
Menurut Gardner, guru saat ini cenderung berfokus semata pada jenis kecerdasan linguistik
dan logis-matematis, yang memiliki kecendrungan bahwa siswa dengan jenis kecerdasan lain tentu dirugikan. Oleh karena
itu, untuk memaksimalkan semua potensi siswa, penting bagi guru untuk mengajar
dengan cara yang menyentuh sebanyak mungkin mode kecerdasan.
Menurut seni dalam pendekatan pendidikan, seni dapat memungkinkan
guru untuk melakukan hal ini. Kegiatan seni melibatkan berbagai keterampilan: (1)
termasuk ketrampilan spasial (ruang), (2) kinestetik (gerak) dan musik.
Seni merangsang semua jenis kecerdasan dan menyediakan beberapa
sarana untuk membantu anak-anak untuk belajar. Seni juga membuat pelajaran
lebih menarik dan menyenangkan (baik untuk guru dan siswa). Misalnya,
menggabungkan seni dalam pelajaran dapat membuat mata pelajaran seperti sains
dan matematika lebih menyenangkan - dengan demikian meningkatkan minat siswa
dan kemampuan belajar.
Dari berbagai faktor umum dalam studi kasus yang dijelaskan di
atas yang penting adalah adanya komitmen, guru kreatif yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah mereka dan men ingkatkan kemampuan
belajar siswa mereka.
Melalui dedikasi dan penggunaan seni dalam pendekatan pendidikan,
banyak kesulitan di sekolah dapat mereka atasi.
Pertama tentunya guru dapat meningkatkan sumber daya yang
tersedia di sekolah mereka, mengembangkan kemampuan mengajar mereka dan metode
belajar-mengajar, dan telah melibatkan masyarakat dalam kehidupan sekolah dan
belajar anak-anak - dengan demikian meningkatkan kemampuan belajar anak-anak
dan kualitas keseluruhan pendidikan di mereka sekolah. Prestasi tersebut dapat
direplikasi di tempat lain jika guru diberi pelatihan yang tepat.
Pelatihan guru dalam seni
dalam pendekatan pendidikan akan memungkinkan guru untuk melakukan
perubahan dan mengatasi kesulitan dan juga akan meningkatkan kebanggaan
profesional guru dan kepercayaan diri. Sebagai bagian dari pelatihan ini, guru
harus disediakan dengan “toolkit” yang terdiri dari saran-saran praktis tentang
bagaimana mereka dapat menggunakan seni, bahan murah, dan sumber daya yang ada
untuk membuat belajar mengajar yang relevan, menarik, dan menyenangkan. Ada
kebutuhan mendesak untuk toolkit seperti ini untuk dikembangkan.
Pelatihan dalam seni dalam pendekatan pendidikan juga akan
memungkinkan para guru untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di
sekolah-sekolah. Guru akan belajar seni yang dapat digunakan oleh guru untuk
membawa sekolah dan masyarakat bersama-sama. Dengan mengundang tetua masyarakat
(yang bisa menceritakan kisah-kisah dan cerita rakyat) dan pengrajin
tradisional untuk berbagi pengetahuan dan kemampuan dengan siswa mereka, para
guru dapat menekan manusia “Bank ide” dan memberikan para siswa dengan
informasi menarik dan relevan dan keterampilan. Pendekatan seperti ini akan
memiliki manfaat tambahan untuk meningkatkan kesadaran siswa tentang nilai adat
istiadat setempat, keyakinan dan keterampilan, dan mendorong pelestarian
pengetahuan tradisional dan kerajinan; sehingga berkontribusi untuk pengamanan
keragaman budaya.
5. Pentingnya Kreatifitas
Menurut Janis
Boyd, Pendidikan seni dibutuhkan untuk menumbuhkan kehidupan kreatif yang
meluas yang mengimbangi kekuatan produksi massal dan konsumsi massa dalam
masyarakat khususnya sangat materialistik dewasa ini. Pendidikan seni
dibutuhkan sebagai dorongan untuk perubahan, menantang perspektif lama dari
sudut pandang baru, atau menawarkan interpretasi asli tentang gagasan yang
sudah dikenal. Ada kritik, umumnya pekerjaan yang dibayar dipandang sebagai
tujuan oleh masyarakat, sementara kegiatan artistik tidak dianggap memiliki
tujuan yang nyata.
Lebih jauh lagi, sementara masyarakat tampaknya tidak menghargai
proses artistik dan kreatif, misalnya, sekolah pada umumnya, dan para pendidik
seni khususnya, menyadari bahwa seni membantu pengembangan keterampilan tingkat
tinggi seperti kemampuan siswa dalam menangani masalah kompleks dan ambigu, pemecahan
masalah, keterampilan berkomunikasi, disiplin diri dan kerja tim.
Keterampilan ini diakui penting untuk kesuksesan dalam teknologi
tinggi, dunia dengan informasi dan inklusif yang tinggi dimana kita hidup. Seni
mengajarkan keterampilan hidup dari semangat tim, membangun karakter, manfaat
budaya dan kesempatan untuk mengungkapkan perasaan, dan bergaul dengan orang
lain.
Mereka memperkaya pengalaman pendidikan dan mendorong
pengekspresian diri yang percaya diri - keinginan untuk memiliki kesempatan,
dan mengembangkan kebiasaan untuk bersikap mandiri dan terlibat.
Ada banyak catatan yang rinci dan berharga dari kreativitas,
misalnya tulisan Banaji, Burn dan Buckingham (2010); Boden, (1996); Craft,
Jeffrey dan Leibling (2001), dan pengulangan uraian kreatifitas seperti yang
mereka bahas dalam buku-bukunya rasanya tidak diperlukan.
Banyak tulisan tentang kreativitas yang dimulai dengan mencari
definisi dengan asumsi tersembunyi bahwa arti yang benar dari kata ini atau
konsepnya ada untuk ditemukan (Allen dan Turvey, 2001:5). Untuk keperluan
memeriksa dan pencarian konsep kreativitas dalam pendidikan seni melalui
definisi bukanlah titik awal yang paling membantu. Hal yang lebih berguna dan
produktif adalah dengan melihat bagaimana istilah ini telah digunakan dan
diinterpretasikan, dan apa pengertian kreatifitas seni dalam pendidikan.
Dalam banyak laporan awal kata 'kreativitas' sebagai kata benda
tidak digunakan sama sekali, tetapi kata kreatifitas sebagai kata sifat juga
tidak digunakan secara konsisten.
Mike Fleming (2010) dalam The Hadow Report (Board of Education,
1926) Inggris membuat referensi tentang pentingnya mempelajari 'karya besar dan
kreatif' tapi dalam praktik pembelajaran subyek kata 'kreatif' sama sekali
tidak digunakan. [13]
Selanjutnya laporan Spens (Board of Education, 1938) [14])
Inggris memiliki bagian yang berbeda karena sifat 'konservatif'nya,
bertentangan dengan kegiatan 'kreatif' di masyarakat. Justru di dalamnya
terdapat bentuk-bentuk kegiatan yang lebih rutin dan berfungsi untuk menjaga
dan memelihara eksistensi masyarakat yang konservatif. Memang kegiatan kreatif
dianggap sebagai model untuk semuanya, tetapi kegiatan ini khusus hanya untuk
kegiatan penyair, dramawan, pelukis dan musisi.
Laporan Newsom (Central Advisory Council for England, 1963) [15]
menulis tentang perlunya untuk mengarahkan 'semangat' remaja ke dalam 'saluran
yang positif dan kreatif'.
Kata 'kreativitas sebagai kata benda' mulai lazim dipakai secara
teratur dalam tulisan selanjutnya. Pandangan bahwa 'kreativitas' harus mengacu
pada sesuatu yang tepat dan yang nyata mengarah ke pertanyaan-pertanyaan
seperti 'dapatkah kreativitas diajarkan?' 'Bukankah kreativitas itu hanya
sekedar atribut saja?' pertanyaan ini muncul karena ragam bentuk definisi
bahasa. Pertanyaan tersebut tidak signifikan untuk kata kreatifitas dan hanya
bermakna jika memiliki dasar, dan memiliki implikasi kontekstual dan pada
praktik-praktik kreatif yang bermakna dan perlu dipelajari.
Salah satu tema yang muncul dalam pemeriksaan praktik ini adalah
pengertian kreatif dalam pendidikan seni, terutama pada pengertian ekspresi diri yang kreatif dan dan atau
membuat tampilan yang lebih masuk ke dalam pengertian mewujudkan, membuat,
menanggapi, melakukan dan menilai seni.
Kreatifitas ternyata fokusnya lebih besar kepada kognisi, bukan hanya pada pengembangan
perasaan (Eisner, 2002; Gardner,
1982). Pengertian ini akan lebih seimbang jika terdapat pandangan yang berasal
dari bidang pendidikan seni dan berikutnya kreatifitas yang tercermin dalam
berbagai mata pelajaran dan dibahas dalam versi yang berbeda dari kurikulum
nasional.
Meskipun penjelasan ini dari perubahan pendekatan untuk seni
dalam pendidikan sebagian besar adalah akurat, namun ada kecenderungan untuk
membesar-besarkan perbedaan pengertian kreatif, dan bahayanya akan meningkat jika diartikan hanya dalam konteks
subyektif (atau digambarkan sebagai hal yang romantis dalam pendidikan seni)
dengan demikian sebaiknya ada sifat objektif, dan pandangan yang steril seperti
dibahas di atas. Eksplorasi konsep kreativitas dan pemahaman tentang
penyampaian bahasa tentang ini dapat mengaburkan atau menipu informasi masalah
ini.
Menurut Fleming, Mike (2010), kreativitas sering dianggap sebagai
proses mental individu yang ditujukan pada produksi sesuatu yang baru. Dalam
konteks pendidikan seni hal seperti ini dapat dilihat dan memiliki (dan masih
memiliki) konsekuensi yang menyesatkan. Jika ini dipakai maka berarti bahwa
tidak ada kriteria untuk hasil pertimbangan dan apa pun yang dianggap 'kreatif'
bisa dihargai atau berharga.
Definisi kreativitas kemudian cenderung untuk menyertakan kata
kesesuaian untuk melawan arti objektifnya (Boden, 1996). [16] Kata
'kreativitas' memiliki konotasi positif dan sering digunakan sebagai istilah
untuk menyelimuti persetujuan untuk melegitimasi kegiatan apapun.
Melihat kreativitas sebagai 'proses mental yang' dengan asumsi
implisit bahwa itu adalah sesuatu yang internal dan tersembunyi hal ini
memerlukan perlindungan lebih lanjut dan pengawasan kritis. Pandangan berbeda
dan atau dualisme tentang kreativitas sulit untuk dihindari, karena akal sehat
menunjukkan bahwa kreativitas adalah dalam arti kapasitas internal, apalagi,
adanya pandangan bahwa istilah ini beresiko untuk masuk ke bentuk perilaku
manusia atau behaviorisme. [17] )
Namun penting untuk tidak mengambil pandangan yang kontras bahwa
kata 'kreativitas' mengacu pada sesuatu yang misterius dan tersembunyi. Oleh
karena perbedaan pengertian kreativitas sebagai proses atau produk – yang mendominasi banyak penulis tentang seni
-- menjadi kurang penting dibandingkan dengan wawasan bahwa kreativitas dapat
terwujud baik dalam produk atau proses tetapi perlu diidentifikasi secara
konkret. Oleh karena itu keinginan untuk memprioritaskan aspek internal dan
pribadi selama dipimpin aspek eksternal dan umum, dalam beberapa kasus, perlu
untuk dikaitkan dengan masalah teknik atau cara dan dapat mengabaikan aspek estetik (internal).
a.Kegunaan 'Kreativitas'
Menurut Fleming, Mike (2010) adanya pengakuan dan resiko yang
menyesatkan dari penggunaan pengertian 'kreativitas' dalam konteks sejarah
tidak berarti bahwa konsep lama ini harus ditolak dari wacana pendidikan seni.
Sama seperti pendapat Smith (Smith dan Simpson, eds., 1991: 171)
yang menyelidiki 'kegunaan' pendidikan estetik, pendekatan yang diambilnya adalah
sama, yaitu pendekatan kreativitas.
Demikian juga dengan
Elliot (1971: 70) yang mengatakan, konsep kreativitas dapat berfungsi sebagai
'ide regulatif' atau pranata dalam pendidikan, sebagai 'fokus harapan dan
aspirasi manusia'. Memiliki kreativitas baginya adalah sebuah 'kekuatan inspirasional' dan merupakan
pengingat bagi tujuan pendidikan yang berkaitan dengan ide-ide inovatif dan
progresif: kreativitas 'itu adalah sebuah kekuatan dan semangat untuk memenuhi
kebutuhan'.
Menurut Fleming, Mike (2010), untuk beberapa jenis retorika kuno
tentang “kreativitas” mungkin akan terlihat ketinggalan zaman dan terlalu romantis, terutama di era yang
nilai-nilai transparansi, efisiensi, logika dan kepastian lebih ambigu, dan
sangat kompleks, adanya ketidakpastian dan adanya kekayaan pengalaman.
Menurut Fleming, Mike (2010), memang menulis tentang nilai seni
dalam pendidikan kadang-kadang dapat terlihat
sulit dipahami dan tidak menentu.
Seni dalam pendidikan telah digambarkan sebagai ' penanda nilai '
(Broudy, 1991: 132), atau dapat diartikan sebagai 'sistem simbolik pemahaman
manusia' (Goodman, 1976), bahkan juga berarti kekuatan untuk penciptaan
kembali' (Elliot, 1991: 241), seni adalah sumber untuk 'meng-intensifikasi dan
mengklarifikasi pengalaman manusia' (Smith dan Simpson, eds 1991:14) dan
'kognisi imajinatif' (Efland, 2004: 751). Namun, seni sering berurusan dalam
bentuk pemahaman yang mendorong batas-batas bahasa dan upaya semacam ini untuk
menangkap kedatangan semua pertimbangan yang layak.
Ide-ide inspirasi dan inovasi terkait dengan kreativitas
dijelaskan oleh Elliot dapat diperluas kepada proses menanggapi seni (Elliott,
1966). Dalam banyak laporan tentang seni, seni pada awalnya sering bersekutu
dengan kerajinan (craft) dan kegiatan
praktis lainnya karena sermuanya terkait dengan dengan pembuatan sesuatu.
Menurut Fleming, Mike (2010), jika kreativitas dipandang sebagai
lebih dari dari sekedar hanya untuk membuat sesuatu dalam arti harfiah, adalah
mungkin untuk melihat respon seni itu sendiri sebagai proses kreatif.
Ini memiliki konsekuensi penting untuk mengajar seni sebab
penting untuk menghindari dualisme antara subjektif/ objektif yang dapat
menyebabkan pandangan bahwa menanggapi seni sebagian besar merupakan proses
pasif, dengan konsekuensi negatif di dalam kelas seni. Menanggapi seni adalah
proses kreatif juga untuk menciptakan kata-kata, bukan proses yang pasif.
Hal ini juga penting agar guru dapat berperan lebih signifikan,
yang secara progresif dapat berjuang untuk menemukan ketika pendekatan didaktik
otoritatif ditolak. Penting agar murid
terkait dalam disiplin mata pelajaran,
guru memiliki peran penting dalam membantu siswa terlibat dengan produk seni
dengan membuat koneksi dengan pengalaman pribadinya dan memahami bagaimana
menghubungkan bentuk dan isi yang terkait dengan mereka.
Menurut Fleming, Mike (2010), ini adalah proses yang aktif, dan
konstruktif dan pandangan ini dapat dilihat sebagai proses kreatif dan sangat
erat kaitannya dengan teori-teori tanggapan pembaca dalam sastra dan teori
resepsi (penerimaan) (Iser, 1988; Rosenblatt, 1986).
Menyadari adanya masukan logika analitik dari konsep kreativitas
dalam kaitannya dengan seni dalam pendidikan tidak berarti menutup diskusi dan
kritik, juga tidak berarti mengabaikan penelitian di bidang ini (Craft, Jeffrey
dan Liebling, 2001; Sternberg dan Lubart 1999 ).
Turner-Bisset (2007) berpendapat bahwa adanya inisiatif baru pada
konsep kreativitas tidak berarti adanya perubahan dalam pendidikan dasar. Dia menganalisa dua
inisiatif khususnya: Excellence and
Enjoyment website dan QCA website pada kreativitas, dengan alasan adanya
wacana 'tindakan verbal [18]) di negara ini, yang juga efektif untuk wacana
pembajakan kreativitas' (ibid: 201).
Craft (2006), telah mempertanyakan bagaimana meningkatnya minat
untuk memahami kreativitas di bidang pendidikan yang lebih luas telah
dikembangkan, namun tidak ada referensi yang cukup untuk kerangka
nilai-nilainya.
Salah satu gagasan tentang kreativitas yang telah dominan adalah
terkait dengan individualitas dan yang juga 'nilai-nilai keterlibatan yang
sangat inovatif dengan ekonomi baik sebagai produsen dan konsumen' (ibid: 340).
Dia menekankan perlunya untuk menghubungkan' kepintaran' dengan
memelihara kreativitas sehingga inovasi tidak menjadi tujuan itu sendiri tetapi
itu harus diredam oleh adanya kekhawatiran tentang nilai-nilai yang
menyertainya. Kualitas dan atribut yang terkandung dalam gagasan kepintaran, misalnya mengambil berbagai perspektif,
mampu menangani ketidakpastian, dengan ini justru orang yang terlibat dalam
seni bisa dikatakan dapat berkembang.
Ward (2007) telah menunjukkan bagaimana konstruksi yang berbeda
dari kreativitas telah dipakai dan menjadi ada melalui metode penelitian dan
berpendapat bahwa sebaiknya terkait dengan pengertian penciptaan yang benar.
Hal ini juga perlu mempertimbangkan bahwa kreativitas yang dimaksud dalam
pendidikan harus berpusat pada anak. Ini berarti mengakui kekuatan energi dari
konsep kreativitas dalam pendidikan seni tetapi juga menjadi siap untuk
membongkar istilah dan mengartikulasikan apa yang berharga dalam hal ini.
Seperti yang disarankan, polarisasi antara konsep subjektivitas
dan objektivitas sering menghambat dialog yang bermakna dan ini dapat meluas ke
artikulasi tujuan dan alasan. Ada kesejajaran pengertian tanggapan dan
penilaian seni. Bagaimana kita mengatasi perbedaan pendapat tentang apa yang
diakui dan dianggap sebagai seni? Apakah pendapat-pendapat itu tidak bisa jatuh
ke opini yang subjektif?
Iyas (1997:128) mengemukakan bahwa istilah subjektivitas dan
objektivitas dapat menyesatkan orang. Untuk membuat komentar tentang apakah
orang menyukai sebuah karya seni atau tidak bukanlah akhir dari materi tapi
awal.
Menurut Fleming, Mike (2010), hal ini adalah untuk 'menjangkau
dalam upaya untuk membangun masyarakat, untuk mengundang diskusi, untuk
mendapatkan orang-orang untuk melihat hal-hal seperti yang kita lakukan. Dengan
cara yang sama, menggambarkan suatu kegiatan sebagai 'kreatif', harus dilihat
sebagai awal dan bukan akhir dari dialog, diskusi dan pembenaran.
Dalam banyak tulisan awal tentang seni diasumsikan bahwa ada
daerah kurikulum kreatif yang eksklusif. Pesan dari Pengamat dan perkembangan
nasional lainnya yang terkait, adalah membebaskannya: tidak hanya untuk
kurikulum secara keseluruhan, tetapi juga untuk seni dalam pendidikan (NACCCE,
1999). Ini menyoroti pentingnya kreativitas di semua mata pelajaran, tetapi
juga menandakan bahwa seni adalah lebih dari sekedar kreativitas.
Terlihat bahwa pada waktu yang berbeda dalam sejarah seni, dan
yang telah telah dibenarkan dengan cara
yang berbeda, dan kadang-kadang kreativitas terlihat sangat sempit
perngertiannya sebagai berikut ini. Yaitu sebagai warisan budaya, pertumbuhan pribadi,
pelatihan keterampilan fungsional, pengembangan kreativitas dan imajinasi,
pemahaman tentang kondisi manusia, pemecahan masalah, dan pengembangan empati.
Dalam antusiasme untuk mempertahankan seni dalam pendidikan, terhadap apa yang
sering dibangun sebagai memiliki konteks sosial yang bertentangan, para
pendukung kontemporer kadang-kadang melebih-lebihkan kasusnya.
Sebagai contoh, ada banyak upaya untuk menunjukkan efek positif
dari seni di semua kawasan asing, meskipun tidak selalu berhasil, seperti
beberapa penelitian yang diperlihatkan (Eisner, 1998; Harland et al, 2000;
Winner dan Hetland, 2000; Comerford Boyes dan Reid, 2005).
Meskipun demikian bisa
juga diakui bahwa bentuk-bentuk seni yang berbeda, bahkan pekerjaan yang
berbeda sering memiliki niat dan efek yang berbeda pula; Mereka bisa memikat,
menggerakkan, mencerahkan, menginformasikan, menginspirasi, menawar hati,
menantang, menghibur atau memprovokasi
Tetapi, berbicara tentang dampak dari seni secara keseluruhan,
sebagai konsep generik kadang-kadang bisa menyesatkan. Ada sebuah pendapat baik di dalam teori estetika dan
secara khusus dalam pendidikan seni yang menolak setiap upaya untuk membenarkan
seni pada ekstrinsik, alasan instrumental.
Gingell (2000) telah menunjukkan, misalnya, bahwa jika seni
dinilai terutama dalam hal kontribusi itu membuat kehidupan moral dan
intelektual kita kita kehilangan daya tarik bentuk seni tertentu: khawatir
tentang 'pesan' dari vas Ming 'adalah untuk kehilangan titik estetika'. Dari
perspektif ini, kesalahan terletak pada mengenai seni secara umum sebagai
instrumental yang berharga, melihat mereka sebagai alat untuk beberapa ujung
lain bukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri.
Pandangan intrinsik ini diwujudkan dalam 'seni untuk seni demi'
gerakan memiliki beberapa banding. Ini menggarisbawahi kekuatan seni tetapi
kadang-kadang juga dibesar-besarkan dan tidak duduk dengan mudah dalam iklim
pendidikan yang menempatkan premi pada hasil strktur, akuntabilitas dan nilai
uang. Suatu bentuk pembenaran intrinsik yang melihat seni sebagai cara mereka yang
berbeda bentuk penting dari pengayaan manusia adalah menarik dan belum tentu
sesuai dengan menggambarkan nilai dan dampak dari bentuk seni tertentu dan
karya dalam konteks pendidikan.
Dalam kajian mereka tentang 'retorika' kreativitas, Banaji, Burn
dan Buckingham (2010), menyoroti perbedaan pendapat diantara penulis yang
mengakui 'sifat demokratis kreativitas' dan mereka yang bersikukuh dengan
pandangan yang lebih elitis berasal dari konsep kreativitas berdasarkan pada konsep “romantik kejeniusan”. Mereka juga
tertarik untuk berdebat apakah creativ ditulis dengan huruf 'c kecil'
atau C 'besar' (Craft, 2001) yang juga sesuai dengan konsep demokratis dan
elitis. Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan sejauh mana kurikulum seni di
sekolah-sekolah harus merangkul konsep 'seni rendah' atau seni 'tinggi'.
b.Kreatifitas seni berdasarkan budaya
Menurut Nasbahry Couto
(2015)[19] Semua ahli pendidikan akan setuju bahwa
ketika anak-anak membuat seni, mereka sebenarnya sedang mengeksplorasi,
menemukan, dan berpikir. Seni mendorong orisinalitas anak dan mengungkapkan
(berekspresi) secara unik dengan hasil yang tidak bisa di ramalkan (diprediksi)
sebagai berikut.
"....dalam proses penciptaan seni, ada ciri khas yang membedakan antara seni, kriya dan desain. Seniman seperti penyair (bidang sastra, pembuat lirik lagu), dan kadang juga pada seni lukis, seniman tidak tahu apa yang akan dia ungkapkan sampai ia menetapkan ungkapan itu" Dia tidak dapat mengungkapkan sebelumnya pekerjaan seni selesai seperti: penyair tidak bisa mengatakan kata-kata apapun sebelum puisi selesai."
Kerajinan, di sisi lain,
adalah sebuah kegiatan yang melibatkan anak untuk mereproduksi gagasan orang
dewasa, yaitu mengikuti petunjuk tertentu
untuk membuat sesuatu hal tertentu yang – hasilnya sudah dikenal, sudah diketahui seperti
kerajinan tradisional (dimanapun) atau karya seni rupa dimanapun. Relevan
dengan hal ini dijelaskan dalam blog. nasbahry galleri sebagai berikut ini.
"Sebaliknya
Pengrajin tahu di awal proses kerja, apa persisnya jenis produk diakhir kerja
yang diinginkan: misalnya, kursi dari dimensi tertentu yang terbuat dari bahan
tertentu. Dia tahu sejak awal berapa banyak bahan yang dibutuhkan untuk
melakukan pekerjaan, alat, dan sebagainya, dan jika dia tidak tahu hal-hal
seperti ini, dia bukanlah pengrajin yang efisien dan baik".
Pembelajaran kerajinan
adalah membuat kerajinan yang sudah ada, sudah dikenal. Inti dari pembelajaran
ini adalah meniru apa yang telah dilakukan oleh orang dewasa atau profesional
dalam hal kerajinan, dan dengan
demikian, tidak memerlukan pemikiran asli (seperti halnya dalam seni). Hal
inilah yang membedakan pembelajaran seni dengan pembelajaran kerajinan.
Disamping itu, kerajinan
dimaksudkan untuk membuat sesuatu berguna atau tujuan praktis. Dengan demikian
pembelajaran apresiasi sebenarnya adalah
memperkuat pemahaman murid tentang fakta
kegunaan, keterpakaian kerajinan melalui pembelajaran tema-tema kerajinan yang
ada.
Bagaimana dengan musik,
tari dan teater tradisional?
Sama saja dengan seni
kerajinan (craft as art), yaitu medium-medium itu dibawa ke seni moderen dan
kontemporer. Tetapi harus ada pemisahan yang tegas antara ilmu seni dengan
pemakaian medium seni dalam pembelajaran[20]
c. 'Seni Rendah' dan Seni'Tinggi'
Seperti yang kita ketahui seni Barat yang dipelajari dalam dunia
pendidikan sebenarnya adalah “seni tinggi”, seperti musik klassik, dan tari
balet. Perbedaan antara seni tinggi dan rendah awalnya mudah untuk
dikenali tetapi sulit untuk
dipertahankan dan Fisher (2001) mengatakan, relatif mudah untuk menetapkan
Shakespeare dan musik klasik sebagai seni tinggi untuk satu kategori dan musik
pop dan opera sabun yang lain sebagai “seni rendah”, tetapi kriteria dan
perbedaan ini sangat menantang.
(Savile, 1982) membedakan seni dengan beberapa cara dengan
kriteria yang menentukan, tetapi tidak
memasukkan karya modernis dan avant garde yang sering dilihat sebagai arketipe
seni tinggi. Dalam praktiknya, kategori seperti pop art, seni massa, seni
rakyat dapat digabungkan tetapi jika diteliti lebih lanjut akan menjadi
masalah.
Carroll (1998) telah berargumen dan bersikukuh bahwa seni massa bukanlah seni asli. Sebuah film
drama Shakespeare dapat dilihat sebagai bentuk seni massa. Sebaliknya Carey
(2005) telah menunjukkan (dari penelitian) bagaimana yang disebut seni rendah
dapat memperkaya kehidupan masyarakat. Masalah timbul karena penggunaan secara generik konsep
'seni' dan asumsi bahwa penilaian kualitas memiliki dasar yang sama. Sebuah
karya fiksi mungkin memiliki lebih banyak konten dan jelas mendalam dari sebuah
lukisan abstrak tapi itu tidak membuatnya menjadi unggul.
Shusterman (2003) telah menunjukkan bahwa mendasari dikotomi
antara seni tinggi dan populer adalah kontras antara seni versus hiburan.
Alasan untuk mengajar seni sering terkandung di dalamnya sesuatu hal yang
berbeda dengan hiburan 'belaka'.
Tapi untuk menolak konsep hiburan dan konsep terkait terlalu
mudah, dan mungkin juga sebuah
kesalahan. Istilah 'hiburan' berasal dari kata kerja 'muse' yang arti awalnya
'diserap dalam pemikiran'. Shusterman menunjukkan bahwa kita dapat
mengasosiasikan konsep hiburan dengan gagasan tentang 'mempertahankan, menyegarkan dan memperdalam konsentrasi'. Secara paradoks, manusia memang dapat menjaga
dirinya dengan keperluan melupakan
sesuatu dan mencari ketenangan dengan “pengalihannya” ke tempat atau
imajinasi lain.
Tilghman (1991) telah menarik perhatian pada hubungan antara
estetika dan etika, seni dan kehidupan yang disorot oleh sebuah studi tentang
Wittgenstein[21]. Tentang Art (Seni), dia
menyarankan, 'memilih objek, pemandangan, dan “situasi”, dan membuat objek itu
masih harus dipikirkan' (ibid: 40). Dan ini adlah sebuah gagasan kontemplasi.
Gagasan kontemplasi di sini dekat dengan catatan Shusterman.
Dimensi etis itu ada kaitannya dengan estetika tetapi tidak begitu banyak
kandungan moral spesifiknya (walaupun itu tentu saja sering menjadi bagian dari
kepentingannya) atau dalam hal peraturan-peraturan tapi juga dalam penegakan
dan pengungkapan kemanusiaan (Fleming, 2006).
Banyak teori budaya menunjukkan evolusi berlanjut ke arah
pandangan yang lebih inklusif dan jauh dari apa
yang digambar Eaton (2001: 57) sebagai
'perbedaan' seni dengan asal-usulnya dalam estetika Kantian: lihat
misalnya Willis (1990) dan Carey (2005 ).
Hal yang kontras misalnya: perbedaan pandangan yang menekankan seni untuk seni, sebagai ujung
intrinsik, formalisme estetika, dan otonomi budaya; sebagai ujung yang
lainnya sebagai (inklusif) menyoroti
konteks sosio-budaya seni, konvensionalisme dan penerimaan (resepsi) bahwa seni
dapat menjadi sarana untuk tujuan ekstrinsik.
Pandangan inklusif dikaitkan dengan John Dewey, Leo Tolstoy serta
teori yang lebih kontemporer seperti Pierre Bourdieu, Marcia Eaton, Colin Lyas
dan Richard Shusterman. Lebih lanjut, mencakup seni sebagai bentuk pendidikan
antarbudaya yang menjadi semakin signifikan (Fleming, 2006).
Namun, berbagai sekolah masih menyisakan pandangan dan menantang
karena banyak komentator berpendapat dan meyakinkan bahwa mereka memiliki
tanggung jawab untuk mengajar hal-hal
yang yang terbaik (Gingell dan Brandon, 2000).
Masalah ini tidak mudah diselesaikan tetapi menerima pandangan
inklusif belum tentu untuk merangkul posisi relativis dan meninggalkan
pentingnya membuat penilaian. Sekali lagi, perdebatan ini tidak eksklusif untuk
pendidikan seni. Pandangan terpolarisasi semacam ini telah didukung banyak
perdebatan tentang sastra kanon [22]
(Bloom, 1995; Benton, 2000; Gorak, 2001; Guillory, 1993; Altieri, 1990).
Kanon tradisional sebagian besar terpusat pada isu-isu kualitas
dan dikaitkan dengan melestarikan apa yang dianggap 'yang terbaik'. Pemikiran
kontemporer banyak menantang penilaian mutlak ini tetapi, di sisi lain posisi
relativis yang melihat penilaian tentang kualitas sebagai masalah pribadi murni
hampir tidak membantu dalam konteks merancang kurikulum.
Sebuah pemecahan atas ketegangan ini mungkin telah berbohong
dengan istilah dan gagasan 'konsensus'. Yaitu nilai seni sebagai sebuah
kesepakatan (konsensus). Namun, ini bertentangan dengan gagasan otoriter tradisional
kanon (Fleming, 2007). Pandangan inklusif seni, sebenarnya tidak perlu untuk
merangkul pandangan relatif apapun, tapi berarti juga mengakui pendapat Lyas
(1997) bahwa cara kita dalam memenuhi
kriteria estetis sangat luar biasa luas dan beragam.
Sebuah masa depan yang dinamis dan sukses untuk seni dalam
pendidikan harus terletak sebagian dalam dukungan yang efektif dari politisi
dan pembuat kebijakan, tetapi juga dalam mengembangkan pemahaman dan praktik melalui debat dan dialog terus
menerus.
Pandangan singkat dari sejarah pendidikan seni dan kreativitas
disorot agar terjadi perubahan pendekatan, namun sering terjadi perbedaan
pendapat dan saling bertentangan terutama dalam hal tujuan dan prioritasnya.
Itulah sebagaimana seharusnya, sebuah masa depan yang dinamis dan sukses untuk
seni dalam pendidikan harus terletak sebagian dalam dukungan yang efektif dari
politisi dan pembuat kebijakan, tetapi juga dalam mengembangkan pemahaman
dan praktik melalui debat dan dialog terus-menerus.
Penutup
Sampai saat ini tetap ada pertanyaan, jika masalah dalam pedagogi
telah diatasi. Apakah beragam seni dan budaya itu dapat diintegrasikan untuk mengambil
manfaatnya meskipun ada anggapan bahwa kebanyakan guru tidak mengetahui arti sebenarnya dari
'integrasi'?
Apakah pembelajaran materi seni yang (berlainan) itu sesuai
dengan tujuan kurikulum nasional? Penentuan jenis seni yang dipelajari akhirnya
bisa jatuh pada keputusan berbasis sekolah, tapi adakah persamaan antara lima
bentuk kesenian? Sifat Seni menunjukkan bahwa mereka tidak dapat menyatu
menjadi hasil yang terukur tanpa membuat mereka menjadi serangkaian hasil
generik 'melengkung' yang berasal dari sumber asal seni mereka.
Kesimpulannya pendidikan dipandang penting jika ada manfaat
sosial, budaya dan ekonomi dari Seni harus sepenuhnya terwujud. Seni dan
pendidikan dapat dilihat dalam tiga konteks –(1) sebagai sarana untuk membangun pemirsa yang
apresiatif dan terinformasi, (2) sebagai sarana untuk mengembangkan praktisi
seni profesional dan (3) untuk mempersiapkan siswa untuk terlibat dalam
kehidupan budaya dan kreatif.
Literatur
Acland, R. (1967) A move to the integrated
curriculum. Themes in Education. No. 7. Great Britain: University of Exeter,
Institute of Education.
Beane, J.A. (1995) Curriculum integration and
the disciplines of knowledge. Phi Delta Kappan. 76 (8). pp. 616-622.
Bernstein, B. (1967) Open schools, open
society, New Society. 14 September.
Bernstein, B. (1971) On the classification
and framing of educational knowledge. In Young, M.F.D. (Ed.) Knowledge and
Control. London: Routledge and Kegan Paul.
Blum. A. (1973) Towards a rationale for
integrated Science teaching. In Richmond, P. (Ed.)
New Trends in Integrated Science Teaching,
Vol. II. Paris: Unesco.
Bolam, D. W. (1970) Integrating the
Curriculum- a case study in Humanities. Paedagogic Europaea 6, pp.157-171.
Boyd, J. (1989) Integration - A Process
Structure in Visual Arts. (Unpublished Masters Thesis), Armidale: University of
New England.
Boyd, J. (1994) in Edwards, J. (Ed.) Thinking:
International Interdisciplinary Perspectives.
Brophy, J. and Alleman, J. (1997) A caveat:
Curriculum integration isn't always a good idea. Educational Leadership. Theme:
Integrating the Curriculum. p. 66.
Brown, N. (1995) in The Report by the Senate
Environment, Recreation, Communications and the Arts References Committee: Arts
Education (October 1995). p.l85. Parliament of the Commonwealth of Australia.
Calouste Gulbenkian Foundation Report: The
Arts in Schools: Principles, Practice and Provision. London: 1982.
Collier, S. and Nolan, K. (1996)
Elementary Teachers’ Perceptions of Integration. Paper presented at the Annual
Meeting of the Mid-South Educational Research Association. Tuscaloosa, AL,
November 7, 1996.
Creative Nation - Commonwealth
Cultural Policy, October. 1994. p.85. Parliament of the Commonwealth of
Australia
Deverell, J. (1995) in The Report
by the Senate Environment, Recreation, Communications and the Arts References
Committee: Arts Education (October 1995, p.l8). Parliament of the Commonwealth
of Australia.
Education Queensland P-10 Arts
Framework (1990). Brisbane: Goprint.
Education Queensland Submission
in The Report by the Senate Environment, Recreation, Communications and the
Arts References Committee: Arts Education (October 1995, p.l368). Parliament of
the Commonwealth of Australia.
Eisner, E. (1981) The Role of
Arts - Cognition and Curriculum. Phi Delta Kappan, September. 1981.
Gardner, H. (1982) Art, Mind
& Brain: A Cognitive Approach to Creativity. U.S.A. Basic Books.
Gwynn, J.M. & Chase, J.B.
(1969) Curriculum Principles and Social Trends. New York: Macmillan.
Hirst, P.H. and Peters, R. S.
(1973) The Logic of Education. London: Routledge and Kegan Paul.
Hughes, M. (1991) Curriculum
integration in the primary grades: A framework for excellence. Alexandria. VA.
Association for Supervision and Curriculum Development.
Lawton, D. (1975) Class, Culture
and the Curriculum. London: Routledge and Kegan Paul.
Ministerial Council on
Employment, Education, Training and Youth Affairs. The National Report on
Schooling in Australia 1993, Curriculum Corporation 1993.
Moulez, G. J. (1973) Psychology
of Effective Teaching. New York: Holt, Rhinehart and Winston. Morris, J. Ut.
(1970) Towards a balanced curriculum. Trends in Education, 18, pp.10-17.
[1]
http://www.unesco.org/fileadmin/multimedia/HQ/CLT/CLT/pdf/Arts_Edu_RoadMap_en.pdf
[2]
). Lihat pada UNESCO( United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization): Road Map for Arts
Education, The World Conference on Arts Education: Building Creative Capacities for the 21st
Century Lisbon, 6-9 March 2006, hal. 2.
[3] Figel, Ján. (2007). School Autonomy in Europe Policies and
Measures. EURYDICE. Sumber dari
http://eacea.ec.europa.eu/education/eurydice/documents/thematic_reports/090EN.
pdf
[4] Lihat Robinson, K., 1999. Culture, Creativity and the Young:
Developing Public Policy. Cultural Policies Research and Development Unit
Policy Note No. 2. Strasbourg: Council of Europe.
[5]
Lihat juga:
https://ec.europa.eu/youth/policy/youth-strategy/creativity-culture_en
[6] Lihat Taggart, G., Whitby, K. & Sharp, C., 2004. Curriculum
and Progression in the Arts: An International Study. Final report
(International Review of Curriculum and Assessment Frameworks Project). London:
Qualifications and Curriculum Authority.
[7]
Kategori tambahan ini adalah sebagai berikut: keterampilan sosial, keterampilan
komunikasi, prestasi / presentasi, ekspresi individu, kesadaran lingkungan dan
identifikasi potensi artistik. Sebuah kategori umum yang berkaitan dengan
'pemahaman budaya', yang diidentifikasi dalam konteks studi sebelumnya, telah
dibagi menjadi dua elemen: warisan budaya dan keragaman budaya.
[8] Bamford, A., 2009. An
Introduction to Arts and Cultural Education Evaluation. Unpublished paper
commissioned by Creativity, Culture and Education (CCE). The report formed the
basis of the recommendations adopted by the EU’s Open Method of Co-ordination
group on the synergies between culture and education in June 2009.
[9]
Lihat bukunya, 2006, Towards Ananda: Rethinking Indian Art and Aesthetics
[10]
Lihat tulisan Shakti Maira (2005),: Simposium tentang Seni dalam Pendidikan
Asia, Transmisi dan Transformasi: Belajar Melalui Seni di Asia, adalah upaya bersama
antara Kantor Regional Advisor UNESCO untuk Kebudayaan di Asia dan Pasifik, dan
India International Center - Asia Project (IIC - Asia Project).
[11] Shakti Maira adalah seorang seniman dan penulis “Menuju Ananda:
Rethinking Seni dan Estetika di India”, yang diterbitkan oleh Penguin. Mr Maira
membantu dalam organisasi “Transmisi dan Transformasi: Belajar Melalui Seni di
Asia” simposium di New Delhi, India 21-24 Maret 2005.
[12] Vibeke Jensen adalah mantan Spesialis Program di Biro
Regional UNESCO untuk Pendidikan, Bangkok, Thailand. George A. Attig adalah
konsultan untuk Institute of Nutrition, Universitas Mahidol di Salaya,
Thailand.
Catatan: Artikel ini mengacu pada informasi dan studi kasus yang
dikembangkan dalam “Perangkat untuk Menciptakan Inklusif Ramah Pembelajaran
Lingkungan” yang diterbitkan oleh UNESCO Asia Pasifik untuk Pendidikan,
Bangkok, Thailand, 2004. Pembaca dianjurkan untuk merujuk Toolkit untuk
informasi lebih lanjut. Hal ini dapat didownload dari www.unescobkk.org/gender.
[16]
Boden, Margaret A., (Ed),1996, Dimensions of Creativity , MIT Press, Cambridge
[17]
Berbagai versi behaviorisme telah maju sejak abad ke-19 namun dalam istilah
yang paling sederhana, teori ini hanya berfokus pada perilaku yang dapat
diamati dan bukan kapasitas dan keadaan mental, terutama saat menjelaskan
pembelajaran.
[18]
Istilah 'performativity' diadopsi oleh Turner-Bisset dari Lyotard (1994) dan
mengacu pada fokus eksklusif pada nilai efisiensi dan kinerja.
[19] Lihat di:
http://nasbahrygalleryedu.blogspot.my/2015/04/seni-lawan-kerajinan-seni-lawan-budaya.html
[20] Lihat di http://visualheritageblog.blogspot.com/2011/11/seni-berbasiskan-budaya-reproduksi-dari.html
[21]
hakekat dunia menurut Wittgenstein adalah semua hal yang hakekatnya merupakan
suatu kasus, dunia adalah keseluruhan dari fakta-fakta dan bukan dari
benda-benda. Dunia itu terbagi menjadi fakta-fakta serta apa yang merupkan
kemyataan yang sedemikian itu, sebuah fakta adalah merupakan keberadaan suatu
peristiwa. Dengan demikian dunia sebagai suatu realitas sebagaimana kita lihat
dan kita alami. Dunia itu adalah keseluruhan dari fakta-fakta dan bukannya
totalitas dari benda-benda. Dunia itu bukanlah terdiri dari benda-benda yang
hanya merupakan penjumlahaan atau benda-benda itu bukanlah bahan dunia
melainkan obyek-obyek yang merupakan substansi dunia. Yang dimaksud dengan
fakta menurut Witgenstein adalah suatu keberadaan peristiwa, bagaimana
objek-objek itu terhubungkan satu dengan lainya.
[22]
Istilah kanon, adalah sesuatu yang standar, atau hebat, sesuai dengan aturan,
"Kanon" berasal dari kata Yunani 'kanon', artinya "buluh".
Karena pemakaian buluh dalam kehidupan sehari-hari jaman itu adalah untuk
mengukur, maka kata "kanon" dipastikan memiliki arti harafiah sebagai
batang tongkat/kayu pengukur atau penggaris. “Sastra kanon adalah sastra yang
dikanonkan karena kehebatannya dan diharapkan kedudukannya tidak dapat diganggu
gugat lagi”. Lihat di. http://www.gentaandalas.com/budi-darma-sastra-kanon-adalah-sastra-yang-dikanonkan-karena-kehebatannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar