Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Minggu, 29 Oktober 2017

Pendidikan Seni dan Permasalahannya Dalam Konteks Global

Oleh: Nasbahry Couto

(Revisi 30-11-2018)

Sejarah pendidikan seni pada anak dan sekolah pada umumnya di Indonesia, ditandai dengan adanya perubahan dan pergeseran dalam konsep (teori) dan praktik. Misalnya paradigma utama konsep pendidikan seni di sektor pendidikan anak usia dini (PAUD), telah berkembang ke arah pertentangan pengembangan individu dengan penekanan pada proses, pengarahan diri sendiri, dan peran guru yang pasif, hal ini terlihat dari tulisan-tulisan (Chapman, 1978; Gardner, 1990; Wright, 1991; Engel, 1995; Seefeldt, 1995; Gunn, 2000). Pendidikan anak pada usia dini, sebenarnya tidak banyak masalah. Saat ini terjadi pergeseran lambat menuju pendidikan seni dengan pendekatan yang lebih kognitif terjadi di bawah pengaruh Reggio Emilia dan teori sosial budaya Vygotsky. Namun, perkembangan, pendidikan progresif dan teori dan filsafat psiko-analitis masih dipraktikkan dan mendominasi kurikulum seni anak usia dini dengan dikotomi yang melekat padanya, dimana disuatu pihak masih mementingkan proses daripada produk, akademik versus non-akademik, integrasi terhadap pemisahan seni, bermain bebas versus arah dewasa, dan bermain versus bekerja (Wright, 1991; Ritchie, 1999; Gunn, 2000).

Yang menjadi masalah adalah pendidikan seni di peringkat sekolah dasar sampai pendidikan menengah, karena orientasi pelaksanaan maupun teori antara Pendidikan seni bisa berbeda-beda antara di Barat, di Asia maupun di Indonesia. Dimana  pembelajaran seni diperingkat ini di Eropah tidak terlepas dari isu-isu (1) tingkat pengambil keputusan kurikulum yang berbeda antara (pusat, daerah, lokal, sekolah) ini terjadi di Eropah dan Amerika, (2) tujuan pendidikan seni (ada 14 tujuan di Eropah) dan ada beberapa pilihan di Indonesia, (3) organisasi kurikulum seni (terpadu atau terpisah, terintegrasi atau tidak, Subyek Seni Wajib atau Opsional) butir 3 ini terjadi baik di Eropa maupun di Asia dan Indonesia.(4) alokasi waktu mengajar seni sama saja masalahnya secara global karena mengenyampingkan pendidikan seni.(5) hal ini juga berakibat kepada penyiapan guru, kualitas guru, pengadaan fasilitas mengajar, maupun sistem evaluasi.
Sebenarnya ada banyak mitos, miskonsepsi, banyak masalah dan isu-isu dalam pendidikan seni. Namun dari semua masalah, isu dan mitos dalam seni, yang terpenting adalah kreatifitas dalam seni, yang perlu dikembangkan dalam pendidikan seni.

Keywords: Isu pendidikaan seni, Eropah, Asia, Indonesia, dan kreatifitas 

Pendahuluan:

1.Tingkat Tanggung Jawab untuk kebijakan Kurikulum Pendidikan Seni di Sekolah secara global dan lokal

Seperti yang kita ketahui dunia pendidikan di Indonesia umumnya tunduk pada berbagai tuntutan misalnya kebijakan (politik, pemerintah, kementerian, organisasi dunia dan sebagainya).
Hal yang sama juga terjadi di Eropah dan Amerika serta di Asia umumnya. Pengaruh ini akan berakibat kepada bentuk organisasi, isi kurikulum, kebijakan penyediaan guru pendidik seni. Artinya pendidikan seni banyak dipengaruhi oleh berbagai hal di luar kepentingan pembelajaran dan pendidikan seni itu sendiri.Terutama kebijakan oleh pemerintah.

Kebijakan pendidikan seni di Eropah  dan Amerika berbeda, dengan di Asia, demikian juga dengan di Indonesia. Hal-hal seperti ini tentu dapat menjadi pertanyaan, apa penyebab adanya perbedaan-perbedaan seperti ini. Namun kalau ditilik lebih dalam, teori-teori dan atau konsep yang melatarbelakangi kebijakan tersebut, katakanlah hampir sama, kalau tidak dikatakan mirip, yaitu literatur dan konsep-konsep  para pemikir pendidikan dari Barat.

Disamping itu, pengaruh lain yang tidak kecil adalah terjadinya peningkatan komunikasi secara global juga berakibat kepada meningkatnya migrasi (perpindahan penduduk antar negara)  dan persaingan diberbagai bidang secara internasional. Terjadinya peningkatan teknologi dan pengembangan pengetahuan ekonomi yang meluas.

Dalam konteks ledakan penduduk dan persaingan pekerjaan  ini, berbagai negara dapat melihatnya  secara positif maupun secara negatif. Dan banyak negara melihat bahwa untuk mengatasi pengangguran maupun persaingan lapangan kerja di negaranya, maka salah satu jalan keluarnya  adalah dengan memperkuat landasan di bidang pendidikan. Dengan kata lain sistem pendidikan dapat dilihat sebagai sarana untuk mempersiapkan generasi muda untuk berperan dalam dunia yang semakin tidak menentu ini.

Sekolah dianggap memiliki bagian untuk bermain dalam membantu orang muda untuk mengembangkan rasa aman dari diri mereka sendiri, baik sebagai individu dan anggota berbagai kelompok dalam masyarakat.

2. Pengaruh Unesco

Minat kepada pendidikan seni oleh organisasi internasional menunjukkan peningkatan yang bermakna dalam beberapa tahun terakhir ini, hal ini mengakibatkan munculnya kebijakan  penting tentang hal ini. UNESCO misalnya telah menjadi kekuatan utama dalam pengembangan inisiatif kebijakan di bidang pendidikan dan kebudayaan dalam dekade terakhir.

Misalnya pada tahun 1999, Direktur Jenderal UNESCO mengadakan seruan kepada semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan seni dan budaya untuk memastikan bahwa pembelajaran seni  diberi perhatian khusus dan diuntungkan dalam pendidikan setiap anak, dan sekolah sampai dengan tahun terakhir sekolah menengah (UNESCO 1999). [1])

Seruan ini kemudian di tanggapi di Eropa dan hal ini diikuti dengan diadakannya konferensi dunia di Lisbon untuk menandai puncak dari sebuah kolaborasi internasional lima tahun antara UNESCO dan mitranya di bidang pendidikan seni. Konferensi ini menegaskan kebutuhan untuk menetapkan pentingnya pendidikan seni di semua lapisan masyarakat dan ini terbukti dorongan untuk meningkatkan penelitian global tentang dampak seni dalam pendidikan (Bamford 2006) dan Road Map UNESCO untuk meningkatkan Pendidikan Seni (UNESCO 2006).
Dalam hal ini UNESCO merumuskan sebagai berikut:

The Road Map aimed to provide advocacy and guidance for strengthening arts education. The document asserts that arts education helps to: uphold the human right to education and cultural participation; develop individual capabilities; improve the quality of education; and promote the expression of cultural diversity.[2]

Perkembangan kebijakan serupa telah terjadi di Eropa. Pada tahun 1995, Dewan Eropa meluncurkan proyek besar yang berfokus pada Kebudayaan, Kreativitas dan kaum muda. Hal ini terlihat dari perhatian dan peningkatan penyediaan yang ada untuk pendidikan seni di sekolah-sekolah di negara anggota Eropa serta keterlibatan seniman profesional dan ketersediaan kegiatan ekstra kurikuler di sekolah-sekolah di Eropa. Peningkatan juga terjadi pada  survei dan penelitian seni di Eropa berikut musyawarah Internasional.

Pada tahun 2005, Dewan Eropa meluncurkan Konvensi Kerangka Framework Convention untuk nilai warisan budaya bagi masyarakat (Council of Europe 2005), yang mengidentifikasi kebutuhan negara-negara Eropa untuk melestarikan sumber daya budaya, mempromosikan identitas budaya, menghormati keragaman budaya dan mendorong dialog antar-budaya.

Pasal 13 dari Framework Convention mengakui pentingnya warisan budaya dalam pendidikan seni dan menganjurkan mengembangkan hubungan kursus antar berbagai bidang studi. Pada saat yang sama, tiga badan-badan internasional yang mewakili pendidik seni drama / teater,  seni rupa dan musik bersama-sama untuk membentuk aliansi dunia (International Society for Education through Art 2006) (Masyarakat Internasional untuk Pendidikan melalui Seni 2006). Mereka dihimbau UNESCO untuk membuat pusat pendidikan seni untuk agenda dunia dan untuk  pengembangan diri manusia yang berkelanjutan serta transformasi sosial.

Pada tahun 2008 Dewan Eropa menerbitkan White Paper untuk dialog antarbudaya (Dewan Eropa 2008), yang menawarkan pendekatan antarbudaya untuk mengelola keragaman budaya. Termasuk juga untuk mengidentifikasi organisasi pendidikan (termasuk museum, situs warisan budaya, taman kanak-kanak dan sekolah) yang dapat dan memiliki potensi untuk mendukung pertukaran antarbudaya, dapat belajar dan berdialog melalui kegiatan seni dan budaya.

Pada bulan Maret 2009, Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi tentang Studi Artistik di Uni Eropa (Parlemen Eropa 2009). Rekomendasi utamanya termasuk: pendidikan seni harus wajib di semua tingkat sekolah; mengajar seni harus menggunakan informasi dan komunikasi teknologi terbaru; pengajaran sejarah seni harus melibatkan pertemuan dengan seniman dan kunjungan ke tempat-tempat budaya. Dalam rangka untuk membuat kemajuan pada isu-isu ini, resolusi menyerukan pengawasan yang lebih besar dan koordinasi pendidikan seni di tingkat Eropa, termasuk pemantauan atas dampak dari pengajaran seni dan kompetensi siswa di Uni Eropa (Figel, Jan, 2009).[3])

3. Tujuan Pendidikan Seni

Menurut Figel, Jan (2009) ada sejumlah kecil pertanyaan yang penting tentang pendidikan seni di Eropa. Dari pertanyaan ini dapat dilihat permasalahan dan tema-tema penting yang dapat dibandingkan dan dilihat perbedaannya dengan perkembangan yang ada di Indonesia.  Tentu saja dari persamaan dan perbedaan ini dapat dilihat masing-masing kelemahan dan dan kebaikannya. Beberapa pertanyaan itu adalah berikut ini.

Apakah semua negara di Eropa memiliki bobot kurikulum seni yang sama? Dan dimana tempat seni dalam kurikulum nasional mereka?

Hampir semua penelitian tentang kurikulum pendidikan  menegaskan bahwa adanya hirarki dalam kurikulum, yaitu dimana pelajaran membaca, menulis dan berhitung diprioritaskan. Dan terlihat pula bahwa prioritas pendidikan seni di sekolah-sekolah di Eropa  memprioritaskan terutama seni rupa dan musik, ketimbang  seni yang lain  (seperti drama dan tari). Hal ini dapat dimengerti karena seni rupa dan musik mewakili dua jenis seni yang menggunakan penglihatan dan pendengaran manusia (Figel, Jan, 2009).

 Sebuah survei dari pendidikan seni di Eropa (Robinson 1999) ([4]) berlangsung sebagai bagian dari inisiatif  Dewan Kebudayaan, Kreativitas dan Kaum Muda Eropa.[5] Studi ini menemukan bahwa semua pernyataan kebijakan nasional tentang pendidikan secara rutin menekankan pentingnya dimensi budaya dan kebutuhan untuk mempromosikan kemampuan artistik dan kreatif dari orang-orang muda. Dalam praktiknya, status dan penyediaan seni dalam pendidikan kurang menonjol. Disiplin utama yang diajarkan adalah seni rupa dan musik. Dalam sebagian besar sistem nasional, seni adalah wajib dalam pendidikan dasar dan selama dua atau tiga tahun pertama dari pendidikan menengah.

Di luar titik ini, hampir secara universal, seni adalah opsional (pilihan). Dalam semua kasus yang diperiksa, seni memiliki status lebih rendah dari matematika dan ilmu pengetahuan lainnya. Bahkan di beberapa negara, ada upaya untuk mengurangi ketentuan yang ada untuk seni dalam kurikulum, sebaliknya mendukung mata pelajaran yang dianggap lebih relevan dengan keberhasilan ekonomi atau akademis.  

Temuan serupa juga dilaporkan dalam studi internasional dari (Sharp dan Le Metais 2000; Taggart et al 2004.).[6])

Dua pendekatan utama untuk membingkai seni dalam dokumen  nasional negara-negara Eropa,  yang dapat di diidentifikasi:

(1) adalah domain seni generik (juga disebut 'kawasan terpadu') atau mata pelajaran yang terpisah. Salah satu kekhawatiran tentang pendekatan berbasis  mata pelajaran  adalah tempat drama dan tari, yang sering dimasukkan dalam bidang studi lainnya, misalnya pendidikan olah raga. Secara khusus, diakui bahwa mungkin sulit untuk mempromosikan adanya kualitas ekspresif tari dalam area  mata pelajaran  yang difokuskan pada latihan fisik dan olahraga.

(2) Taggart et al. (2004) menemukan bahwa pelajaran seni rupa dan musik adalah bagian pelajaran wajib di semua 21 negara Eropa yang disurvei. Sekitar setengah dari negara/negara yang disurvei di Eropah, dimana murid diminta untuk mempelajari satu atau lebih disiplin ilmu seni sampai usia 16 tahun. Negara-negara lainnya memerlukan agar muridnya mempelajari seni sampai usia 14, atau mengikuti mata pelajaran kesenian sebagai mata pelajaran pilihan atau sukarela terutama siswa yang lebih tua.

Status relatif rendah yang diberikan kepada subyek seni tercermin dalam relatif kurangnya perhatian, penilaian dan pemantauan standar dalam mengajar seni di Eropa (Bamford 2006; Taggart et al 2004.). Hasil penelitian juga menyorot dan khawatir tentang alokasi waktu yang resmi untuk pendidikan seni, demikian juga waktu yang disediakan di sekolah-sekolah, yang umumnya tidak cukup ruang untuk penyajian kurikulum seni yang luas dan seimbang (Robinson 1999; Sharp dan Le Metais 2000; Taggart et al 2004.). Kurangnya waktu, ruang dan sumber daya telah diidentifikasi sebagai faktor kunci menghambat keberhasilan pendidikan seni (Bamford, 2006).  

Apa tujuan dari pendidikan seni? Apakah semua tujuan telah diberi bobot yang sama?  
Adanya tekanan pendidikan seni untuk memenuhi berbagai tujuan, di samping mengajar tentang seni, namun demikian sistem pendidikan semakin menyadari pentingnya mengembangkan kreativitas anak-anak dan memberikan kontribusi untuk pendidikan budaya, tetapi belum dipahami benar  bagaimana sebenarnya seni yang diharapkan dapat memberikan kontribusi secara baik sebagai subyek individu atau dengan bekerja dengan bidang kurikulum lainnya.
Taggart et al. (2004) menemukan bahwa hampir semua dari 21 negara di Eropah dalam studi internasional mereka memiliki tujuan yang sama untuk kurikulum seni.

Dalam hal ini juga termasuk bagaimana: mengembangkan keterampilan artistik, pengetahuan dan pemahaman, serta keterlibatannya dengan berbagai-bentuk seni; peningkatan pemahaman budaya; berbagi pengalaman seni; dan membedakan konsumen seni dan kontributor. Disamping hasil artistik, ada juga hasil karakter pribadi dan sosial seperti kepercayaan, harga diri, ekspresi individu, kerja tim, pemahaman antar budaya serta partisipasi budaya yang diharapkan dari pendidikan seni di sebagian besar negara.

Secara khusus, perhatian pada aspek kreativitas ada kaitannya dengan aspek inovasi dan pendidikan budaya yaitu dalam kaitannya dengan identitas individu dan pemahaman antar budaya, jadi jelas ada kaitannya dengan tujuan pendidikan seni secara umum. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan dari kurikulum seni untuk memenuhi tujuan yang beragam dan luas tersebut.
Analisis tujuan dari seni dan kurikulum pendidikan budaya umumnya didasarkan pada studi internasional, yaitu mengenai  tujuan kurikuler seni dan pendidikan budaya (Sharp dan Le Metais 2000). Namun demikian, ada kategori baru yang ditambahkan dalam hal ini dalam rangka untuk lebih mencerminkan isi dari seni dan kurikulum pendidikan budaya di negara-negara Eropa yang bersangkutan [7]). Diantara tujuan itu adalah sebagai berikut:

1.      pengetahuan dan pemahaman keterampilan artistik
2.      apresiasi kritis (penilaian estetik)
3.      warisan budaya (identitas nasional, budaya lokal)
4.      keragaman budaya (identitas  eropa/ kesadaran dunia)
5.      ekspresi individu/identitas diri/ pengembangan diri
6.      kreativitas (imajinasi, pemecahan masalah, mengambil resiko)
7.      keterampilan sosial / kelompok kerja / sosialisasi / kerja sama
8.      keterampilan komunikasi
9.      kenikmatan / kesenangan / kepuasan / kebahagiaan
10.  ragam dan keragaman seni; terlibat dengan berbagai bentuk seni / media
11.  pagelaran/penyajian/pertunjukan (berbagi karya artistik antar teman sendiri)
12.  kesadaran lingkungan / konservasi / keberlanjutan / ekologi
13.  percaya diri / harga diri
14.  belajar seni dan seumur hidup/ soal interesting
15.   mengidentifikasi potensi seni (aptitude / bakat)

Hasil penelitian (Figel, Jan, 2009) memperlihatkan bahwa enam pertama  dari tujuan belajar seni sebagaimana dimaksud daftar di atas tercantum di hampir di semua kurikulum pendidikan seni dan budaya di Eropah. Yaitu tujuan pembelajaran seni yang cukup tegas terhubung dengan tujuan pendidikan seni umumnya. Semua kurikulum mengacu pada 'keterampilan artistik, pengetahuan dan pemahaman. Dari enam tujuan, setidaknya lima negara Uni Eropa menyebutkan ktreatifitas tidak termasuk dalam tujuan pembelajaran seni  mereka.

1. Keterampilan artistik, yaitu pengetahuan dan pemahaman, secara umum, dimana keterampilan membentuk dasar dari 'bahasa artistik' (seperti pemahaman warna, garis dan bentuk dalam  seni rupa atau, dalam musik, mendengarkan dan prestasi keterampilan menggunakan instrumen). Pengembangan keterampilan artistik cenderung mencakup belajar gaya artistik dan genre yang berbeda. Dalam hal itu, beberapa negara mengacu pada repertoar karya tertentu, khususnya untuk musik dan drama. Pemahaman tentang aspek artistik biasanya cenderung berfokus pada konsep artistik, seperti memahami karakteristik berbagai cara ekspresi seni atau ungkapan seni yang terkait dengan hubungan antara  seniman dengan lingkungan, fisik, karya, dan sosial budaya.

2. Apresiasi kritis adalah di antara enam tujuan yang paling sering disebut/dipakai. Hal yang terkait dengan meningkatkan kesadaran murid dari fitur penting dari suatu karya atau prestasi dan untuk mengembangkan kapasitas mereka untuk penilaian kritis dalam mengevaluasi pekerjaan mereka sendiri atau orang lain.

3. Warisan Budaya. Hampir semua negara mementingkan  pemahaman  warisan budaya. Dalam beberapa kasus, tujuan yang terhubung dengan penciptaan identitas budaya: belajar bentuk-bentuk budaya berupaya untuk mengembangkan pemahaman diri sebagai warga negara suatu negara atau anggota suatu kelompok budaya. Pemahaman warisan budaya dipromosikan melalui kontak dengan karya seni, serta melalui pembelajaran karakteristik karya seni yang dihasilkan dalam periode sejarah negara masing-masing yang berbeda dan seniman tertentu yang berbeda.

4. Pemahaman keanekaragaman budaya, bertujuan umum bagi sebagian besar tujuan kurikulum dan belajar seni dan budaya. Promosi keragaman budaya melalui seni juga berupaya untuk meningkatkan kesadaran warisan budaya dan genre modern yang spesifik untuk berbagai negara dan kelompok-kelompok budaya (kadang-kadang dengan referensi khusus untuk budaya Eropa).

5-6. Perkembangan ekspresi individu dan pengembangan kreativitas adalah dua tujuan yang sangat luas lainnya, meskipun yang terakhir ini disebut sangat sedikit di negara-negara Eropah. Perkembangan ekspresi individu anak-anak dengan cara seni berhubungan erat dengan ungkapan emosional mereka. Biasanya terhubung dengan semua bentuk seni tetapi khususnya dengan seni rupa mendapat perhatian lebih banyak. Pengembangan kreativitas dapat didefinisikan sebagai pengembangan kapasitas individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan imajinatif, produk yang akan ditandai dengan orisinalitas dan nilai (Robinson 1999). Meskipun hubungannya dengan perkembangan ekspresi individu itu jelas, pengembangan kreativitas cukup berbeda dan dianggap sebagai jenis yang terpisah dari tujuan artistik.

7. Ketrampilan sosial. Tujuan umum yang paling sering disebut adalah 'pengembangan keterampilan sosial': hal ini diidentifikasi oleh 26 kurikulum negara-negara di Eropa. Umumnya, bahwa tujuan lebih khusus terkait dengan seni pertunjukan, dalam drama tertentu.

8. Harga diri. Yang paling dikutip adalah pengembangan diri kepercayaan  atau harga diri' dengan cara berpartisipasi dalam kegiatan seni: hanya 15 kurikulum (negara Uni Eropa) menyebutnya. Perkembangan 'kesenangan /kepuasan' dan 'keterampilan komunikasi' adalah tujuan yang terkandung di hampir jumlah yang sama kurikulum (masing-masing di 23 dan 24, negara Uni Eropa). Yang pertama adalah umum untuk semua bentuk seni, sedangkan pengembangan kedua melalui seni terutama terkait dengan seni pertunjukan (musik, drama dan tari) serta seni media.

9. Kesadaran Sosial, 'meningkatkan murid' atas kesadaran lingkungan mereka'adalah tujuan yang ditemukan dalam 20 kurikulum seni Uni Eropa. Yaitu mencapai tujuan yang memerlukan apresiasi dari lingkungan fisik, pemahaman tentang asal-usul bahan yang digunakan dalam seni dan tanggung jawab untuk konservasi ekologi.
10. Pagelaran  Seni. Di antara tujuan pembelajaran / hasil yang tegas terhubung dengan seni yang cukup spesifik, paparan berbagai pengalaman dan berbagai sarana ekspresi seni dan keterampilan dalam melakukan atau menyajikan suatu karya adalah tujuan yang paling sering disebut dalam kurikulum (22) dan yang umum semua bentuk seni.

11. Pengembangan Bakat. Dalam kategori yang sama, dua tujuan yang yang paling sering disebut adalah 'mengembangkan minat seumur hidup dalam seni', dengan kata lain, mendorong siswa untuk berpartisipasi dalam kegiatan seni ekstrakurikuler dan mempertahankan bahwa minat sepanjang hidup mereka (15 negara merujuk untuk itu), dan terutama' mengidentifikasi potensi potensi /bakat', yang didefinisikan oleh hanya 6 kurikulum di Uni Eropa.

Selain tujuan belajar yang diidentifikasi sebagai bagian dari seni dan kurikulum budaya, ada juga tujuan belajar dalam kurikulum secara keseluruhan yang bisa dihubungkan dengan seni dan pendidikan budaya. Di satu sisi, beberapa kurikulum mengacu pada tujuan spesifik mendorong link lintas-kurikuler antara  mata pelajaran  seni dan mata pelajaran lain.

Di sisi lain, meski tidak harus menyebutkan link lintas-kurikuler, di sejumlah negara ada unsur kurikulum keseluruhan yang berhubungan dengan kreativitas serta seni dan pendidikan budaya. Ini juga indikator potensi lintas-kurikuler seni dan pendidikan budaya. Elemen seperti dari kurikulum keseluruhan meliputi referensi untuk kreativitas, warisan budaya, keragaman budaya, pengembangan ekspresi individu dan identitas, berbagai pengalaman artistik dan sarana ekspresi, keterampilan sosial, kerja kelompok dan kepentingan untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya.

Bagaimana guru dipersiapkan untuk mengajar seni ? Bagaimana sistem pendidikan memantau standar pengajaran dalam seni di Uni Eropah?

Sebagai hasil penelitian Bamford (2006) [8] menunjukkan, banyak sistem pendidikan bergantung pada guru generalis (guru umum) untuk mengajar mata pelajaran seni, terutama untuk anak-anak muda.

Mengajar seni untuk standar yang tinggi bagi guru umum sebenarnya cukup menantang, sehingga tidak mengherankan untuk menemukan bahwa ada guru utama seni dan kurangnya kepercayaan khususnya dalam mengajar uru umum gseni (Taggart et al. 2004).
Oleh karena itu akan muncul kebutuhan untuk mempertimbangkan baik persiapan awal guru untuk mengajar mata pelajaran seni dan pengaturan untuk pengembangan bagi profesional berkelanjutan, untuk memungkinkan guru seni untuk memperbarui pengetahuan dan mengembangkan keterampilan mereka.  

Pengaturan untuk kualitas pemantauan mengajar dalam seni telah mendapat sedikit perhatian dalam studi penelitian terbaru, meskipun ada sering referensi kekhawatiran tentang variabilitas standar dan kebutuhan untuk memberikan pengalaman belajar yang berkualitas tinggi di sekolah (Bamford 2006; Robinson 1999; Sharp dan Le Metais 2000; Taggart et al 2004).

Robinson (1999) menyoroti masalah struktural yang menghambat perkembangan pendidikan seni yang mengikat di sekolah-sekolah umum. Dimana tanggung jawab pemerintah untuk seni dan pendidikan sering dibagi antara dua atau lebih departemen yang terpisah dari pendidikan dan kebudayaan, dan kadang-kadang pemuda dan olahraga, yang dapat membuat sulit untuk mencapai pemahaman bersama tentang kebutuhan dan prioritas pendidikan seni di Uni Eropa.
Adanya kesempatan ekstra-kurikuler dalam pembelajaran seni dan budaya, tetapi bagaimanakah caranya?  

Akses anak-anak untuk seni dan pengalaman budaya seperti kunjungan ke museum di Eropa telah menjadi penting, terutama karena sekolah memiliki potensi untuk memperbaiki ketimpangan dengan menyediakan akses ke sumber daya budaya untuk anak-anak dari latar belakang yang kurang beruntung (lihat Robinson 1999; Sharp  dan Le Metais 2000).  Hal seperti ini jarang, dan boleh dikatakan tidak dapat dilakukan di Indonesia, karena museum-museum seni hanya ada di pusat pemerintahan seperti Jakarta.

Apakah seniman profesional yang terlibat dalam pendidikan seni, dan jika demikian, bagaimana?
Keterlibatan seniman profesional dalam pendidikan seni telah direkomendasikan dalam beberapa penelitian (Bamford 2006;  Robinson 1999;  Sharp dan Le Metais 2000). Alasan utama yang diberikan untuk ini adalah: untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajaran seni, mendorong kreativitas yang lebih besar, meningkatkan keterampilan dan kepercayaan diri guru, dan menyediakan akses ke jangkauan yang lebih luas dari sumber daya budaya. Bamford (2006) mengidentifikasi hubungan antara kualitas pendidikan seni dan keterlibatan seniman profesional: 'kualitas pendidikan seni cenderung ditandai dengan kemitraan yang kuat antara sekolah dan seni luar dan organisasi masyarakat. Untuk saat ini, kita tahu relatif sedikit tentang sifat dan tingkat sistem nasional untuk memungkinkan kemitraan semacam ini.

Bagaimana seharusnya kurikulum seni menanggapi perkembangan teknologi baru, media baru ?
Studi penelitian (Bamford 2006; Sharp dan Le Metais 2000;. Taggart et al 2004) telah menyoroti tekanan untuk pengembangan kurikulum dalam seni di1, abad ini untuk memasukkan studi media baru (termasuk film, fotografi dan seni digital) yang memungkinkan siswa untuk menggunakan Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai bagian dari proses kreatif. Ada juga tren yang muncul untuk bekerja  lintas-kurikuler, yang melibatkan seni dan pelajaran lainnya (non-seni) dimana beberapa bidang studi bekerja sama dalam tema kreatif dan/atau budaya. Perkembangan semua ini tentu akan memberikan tuntutan baru pada guru dan sekolah yang membutuhkan pengarahan dari pimpinan dan dukungan di tingkat kebijakan

4. Fokus pendidikan seni di Asia: Pendidikan Umum dan Budaya


Pandangan beberapa ahli seni di Asia agak berbeda dengan di Eropah (Shakti Maira, 2006 [9]; Kapila Vatsyayan (1996); Salah satu manfaat pendidikan seni di Asia adalah seni sebagai instrumen dalam pendidikan umum. Ini adalah salah satu tujuan dari seni dalam pendidikan umum, yaitu  pendekatan dimana seni digunakan sebagai alat untuk mendidik siswa melalui mata pelajaran tertentu.

Para ahli pendidikan Seni di Asia sepakat bahwa [10] belajar melalui budaya mereka sendiri itu penting, dan bagaimana budaya itu telah berubah dan bagaimana kaitannya dengan budaya lain. Dengan sistem belajar seni demikian dianggap siswa lebih mampu membangun identitas rasa pribadi mereka sendiri, dan meningkatkan kepercayaan diri dan rasa memiliki atas budaya mereka sendiri.
Mengingat pentingnya seni dalam meningkatkan kualitas pendidikan, dan dalam membina ikatan sosial, perdamaian dan kemakmuran, oleh karena itu ada upaya di seluruh dunia untuk menggabungkan seni dengan semua sistem pendidikan.

Selanjutnya banyak yang meyakini bahwa pengertian seni di Asia, dan di wilayah Asia-Pasifik pada umumnya, tidak begitu memahami “seni” seperti yang dipahami dalam pengertian seni Barat, dimana di Barat seni adalah produk kelas sosial tinggi dan disampaikan di lembaga-lembaga formal yang dibangun seperti sebagai museum, gedung konser, dan lain-lain. Seni bagi orang Asia merupakan bagian dari tradisi yang hidup, dan berakar pada masyarakat setempat, dan sering digelar dan dikonsumsi oleh kelas masyarakat miskin.

Secara tradisional, seni di sebagian besar budaya Asia dan Pasifik-- jika tidak semua -- merupakan bagian integral kehidupan mereka sendiri: dimana bentuk dan fungsi yang terkait dari seni  tidak di kontekstualisasikan. Sebagai contoh, secara tradisional, seni adalah objek biasa dalam kehidupan sehari-hari yang sering tidak hanya fungsional tapi indah dan bermakna.

Seni di kawasan Asia-Pasifik secara tradisional merupakan bagian integral dari kehidupan mereka sehari-hari, oleh karena itu di kawasan Asia-Pasifik seni adalah kendaraan pengetahuan dan metode pembelajaran semua mata pelajaran. Selain itu, guru seni di kawasan Asia-Pasifik secara tradisional dapat ditemukan dalam masyarakat. Pendidikan seni didasarkan pada tradisi magang atau sebagian besar adalah non-formal. Dalam beberapa tahun terakhir di sebagian besar, jika tidak semua, masyarakat Asia-Pasifik, telah memiliki pengalaman bersama internalisasi struktur seni dan pendidikan model Barat .

Di negara-negara Asia-Pasifik, seperti dalam kebanyakan masyarakat  masa kini, kegiatan seni telah sangat terbatas pada bagian kecil dari usaha manusia. Misalnya kegiatan seni di sekolah hanyalah bentuk kegiatan yang sangat sempit dari kegiatan kelas, biasanya terdiri dari bagian seni rupa seperti menggambar dan melukis. Penciptaan karya seni seakan tersendiri dan terpisah dari pengalaman hidup dan seni telah dipisahkan dari disiplin lain dan tidak memiliki peran utama dalam pendidikan.  Seharusnya masyarakat berpengetahuan di Asia Pasifik, memeriksa lagi sistem pendidikan agar dapat cara dan memiliki sarana untuk beradaptasi dengan seni dan budaya setempat. Proses adaptasi menyiratkan pemikiran ulang tentang peran dan memanfaatkan seni dalam pendidikan.

Disamping itu cara dan pendekatan Barat untuk instruksi seni juga tidak salah, sebab biasanya fokus pada pengajaran sejarah seni, estetika dan pembelajaran keterampilan artistik sehingga siswa mampu mereproduksi bentuk seni dengan cara yang kompeten. Namun sering terjadi penyimpangan, dimana seharusnya cara-cara Barat, juga memungkinkan masyarakat Asia-Pasifik untuk menarik sepenuhnya pengetahuan, keterampilan, kekayaan budayanya atau berkontribusi untuk menjaga dan melestarikan seni dan tradisi budaya daerah mereka sendiri.

Kesimpulan simposium ahli regional Asia 2004, dengan topik utama”Mengukur Dampak Seni dalam Pendidikan”, yang diselenggarakan oleh Kantor Regional Advisor UNESCO untuk Kebudayaan di Asia dan Pasifik bekerja sama dengan Hong Kong Institute of Contemporary Culture (HKICC), dan berlangsung di Hong Kong SAR, Cina, 9-11 Januari 2004. Menyimpulkan 3 topik utama yaitu:

a.     Bahwa seni Berkontribusi Untuk Pengembangan Intelektual dan Sosial Peserta Didik
b.     Meningkatkan Kualitas Pendidikan
c.     Bahwa seni dapat meningkatkan Kreativitas dan berkontribusi untuk Pengamanan Keragaman Budaya

a. Visi Seni Asia dalam Pendidikan: Belajar Melalui Seni

Jadi menurut pandangan ahli seni di Asia  percaya bahwa keragaman seni dalam antar-jalinan budaya di Asia, sebenarnya  mengandung filosofi kehidupan bersama mereka. Di Asia, secara tradisional tujuan seni bukanlah dalam rangka pembuatan 'seni' dalam pengertian sekarang, oleh karena itu berbeda dengan seni di Asia, dimana seni itu terintegrasi dengan fungsi kehidupan (Shakti  Maira,2005 [11])

Seni dalam pengertian sebenarnya terlibat dalam pengembangan dan pendidikan orang di semua tahap kehidupannya: misalnya untuk  pengembangan fisik, sensorik, emosional dan kognitif anak yang sedang tumbuh; sebagai cara menyalurkan nilai-nilai  keluarga dan masyarakat.

Bagi masyarakat Asia, seni adalah  jembatan antara dunia alam, manusia dan ilahi; dan sebagai alat untuk bermeditasi, pemahaman dan pengalaman transformatif. Penciptaan dan pembelajaran itu saling terkait: seni dan pengetahuan itu  hampir identik. Seni itu fungsional tetapi juga indah dan bermakna. Pada umumnya seni di Asia memiliki tujuan, baik untuk menyalurkan dan mentransformasi nilai kehidupan mereka; menyalurkan keterampilan dan nilai-nilai mereka dan dengan demikian mengubah rasa diri dan identitas seseorang, mendukung kohesi sosial. Ini adalah dasar kuno untuk visi “baru” seni dalam pendidikan: belajar melalui seni.

Dalam banyak masyarakat Asia, link dan kesinambungan antara seni dan pembelajaran, seni dan pengetahuan, seni dan sejarah sosial, seni dan nilai-nilai, dan seni dan  kepintaran  dalam dunia pendidikan masa sekarang seakan terputus. Pemutusan ini, awalnya dipengaruh penjajahan atau kolonialisme di Asia, di mana cara membangun seni yang berbeda dengan tradisi lokal dikembangkan dan diberlakukan.

Seperti yang kita ketahui di Barat, lahirnya industri, adalah salah satu pendekatan yang memisahkan seni dari kerajinan, dan munculnya “seni” dalam pengertian  khusus benda-seni  dan disiplin seni “khusus barat” yang berbeda.

b. Dikotomi Barat dan Timur

Dikotomi atau pertentangan cara Barat dan cara Timur terlihat dari dikotomi antara nilai individu (ekspresi) dan nilai sosial. Pengaruh Barat terhadap pendidikan seni di kelas  biasanya terdiri dari kegiatan seperti menggambar, melukiskan  objek-tertentu. Nilai utama dari penciptaan seni pada anak- dipandang sebagai pengembangan nilai ekspresi diri individu dan telah terjadi pengurangan nilai-nilai komunikatif dan sosial.

Oleh karena itu untuk tingkat tertentu, semua masyarakat Asia terjebak antara model: (1) “modern” dari pendidikan seni di satu sisi dan (2) pengetahuan adat dan lebih holistik dan terpadu tradisi seni di sisi lain -- dengan persepsi yang berbeda dari tempat seni dan budaya dalam kehidupan dan pendidikan mereka. Terjadinya penurunan yang berlanjut dari seni, dalam pendidikan, karena penekanan seni dan teknologi masyarakat modern, yang merampingkan kegiatan seni dari kurikulum sekolah.

Di samping itu kebanyakan masyarakat Asia selalu berpikir, bahwa pendidikan adalah sebagai sarana untuk meningkatkan status ekonomi dan sosial. Pendidik, orang tua dan anak-anak ingin bersekolah dan memfokus diri agar  anak-anaknya dapat  masuk ke perguruan tinggi, selanjutnya masuk ke pekerjaan dan profesi tertentu, yang dibayar lebih baik.

Sebagian besar pendidikan dipandang dapat memiliki nilai ekonomi dan untuk masa depan, sedangkan pekerjaan seni umumnya di nilai rendah dan dianggap hanya sebagai mata pelajaran teknis atau selingan dari pekerjaan terkait yang penting. Umumnya mereka memiliki kesadaran yang sangat kurang tentang bagaimana pendidikan seni dapat bernilai dalam kehidupan bermasyarakat.  
Oleh karena itu setiap arus besar pandangan umum pendidikan seni di sekolah-sekolah harus terkait dengan isu-isu kembar, yaitu bagaimana kaitan nilai guna seni dengan kebutuhan masyarakat, dan agar memanfaatkan seni di sekolah-sekolah sejalan dengan metode pendidikan seni dan akhirnya dipakai untuk pengembangan kurikulum.  

Ada kebutuhan untuk mengarahkan pendidikan secara berkelanjutan dan efektif untuk menciptakan kesadaran dan pemahaman di masyarakat Asia ke arah keterampilan yang dibutuhkan anak-anak misalnya rekayasa, komputer desain sistem, ilmu kedokteran yang canggih dan ilmu nuklir. Kemudian kemampuan berpikir seperti berpikir ruang, berpikir lateral, pemecahan masalah secara kreatif, pengenalan pola, kognisi, konsentrasi, persepsi, komunikasi dan kerja tim, secara unik dan hal ini dapat dikembangkan dan dipelihara melalui pendidikan seni. Adanya konsensus bahwa pendidikan seni perlu dibuat lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari dan praktik budaya lokal siswa, dan membawa perspektif seni dan bergerak menjauhi metode pembelajaran seni yang tidak efektif dan ketinggalan jaman.

c. Harapan ke  depan Pendidikan seni di Asia

Menurut  Vibeke Jensen dan George A. Attig [12], kualitas pendidikan saat ini di banyak sekolah pedesaan di Asia umumnya rendah dan situasi yang sering dihadapi oleh para guru dan siswa di sekolah tersebut ditandai dengan faktor-faktor berikut: (1) kurangnya minat dan antusiasme guru, (2) metode belajar-mengajar tidak efektif, (3) kurangnya partisipasi masyarakat dan sumber daya yang terbatas dalam mengajar dan belajar.

Penggabungan seni dalam pendidikan dapat dilihat sebagai sarana untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini dan meningkatkan kualitas pendidikan dasar.

“seni dalam pendidikan” atau peran seni dalam pendidikan dapat dilihat dalam dua cara, yaitu, “pendidikan seni” dan Pendekatan pendidikan seni adalah penghargaan di mana seni diajarkan sebagai bagian dari kurikulum. Siswa seharusnya memiliki  kelas “seni”  , dan proses belajar-mengajar berfokus pada pengembangan keterampilan artistik mereka dan apresiasi “seni,” biasanya sebagai bagian dihargai dari budaya mereka sendiri.

Di sisi lain seni dalam pendekatan pendidikan,  menggunakan seni sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas pendidikan, melalui: (1) meningkatkan motivasi guru / siswa, (2) meningkatkan pengajaran dan proses belajar, (3) mendorong teknik pembelajaran aktif, dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Selain itu, integrasi seni dalam pendidikan diyakini memiliki dampak positif pada hal-hal seperti harga diri siswa, kreativitas, keterampilan pemecahan masalah dan kemampuan untuk bekerja dalam tim.

d. Seni dalam Pendidikan, Howard Gardner

Untuk mendukung konsepsinya, Jensen dan Attig (2005) merujuk teori Gardner, menurutnya, seni dalam pendekatan pendidikan mengacu pada teori yang dikembangkan oleh Dr Howard Gardner: yaitu teori “kecerdasan ganda” (Gardner, 1983). ada modus yang berbeda dari belajar dan kecerdasan dan orang-orang cenderung “cerdas” dalam satu modus yang lain. Gardner juga berteori bahwa ketika anak-anak belajar mereka menggunakan berbagai mode kecerdasan.

Gardner mengidentifikasi delapan jenis kecerdasan: linguistik (kata); logis-matematis (nomor / penalaran); spasial (gambar); kinestetik-jasmani (tubuh); musik / berirama (musik); interpersonal (orang); intrapersonal (diri) dan naturalis (alam).

Sebagai contoh, sementara beberapa anak berpikir yang terbaik dan belajar dengan baik melalui lisan dan tertulis kata-kata (bahasa), orang lain belajar dengan baik melalui suara, sajak dan pengulangan (musik / berirama). Menurut Gardner, guru saat ini cenderung berfokus semata pada jenis kecerdasan linguistik dan logis-matematis, yang memiliki kecendrungan bahwa siswa dengan jenis  kecerdasan lain tentu dirugikan. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan semua potensi siswa, penting bagi guru untuk mengajar dengan cara yang menyentuh sebanyak mungkin mode kecerdasan.
Menurut seni dalam pendekatan pendidikan, seni dapat memungkinkan guru untuk melakukan hal ini. Kegiatan seni melibatkan berbagai keterampilan: (1) termasuk ketrampilan spasial (ruang), (2) kinestetik (gerak) dan musik.

Seni merangsang semua jenis kecerdasan dan menyediakan beberapa sarana untuk membantu anak-anak untuk belajar. Seni juga membuat pelajaran lebih menarik dan menyenangkan (baik untuk guru dan siswa). Misalnya, menggabungkan seni dalam pelajaran dapat membuat mata pelajaran seperti sains dan matematika lebih menyenangkan - dengan demikian meningkatkan minat siswa dan kemampuan belajar.

Dari berbagai faktor umum dalam studi kasus yang dijelaskan di atas yang penting adalah adanya komitmen, guru kreatif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah mereka dan men ingkatkan kemampuan belajar siswa mereka.
Melalui dedikasi dan penggunaan seni dalam pendekatan pendidikan, banyak kesulitan di sekolah dapat mereka atasi.

Pertama tentunya guru dapat meningkatkan sumber daya yang tersedia di sekolah mereka, mengembangkan kemampuan mengajar mereka dan metode belajar-mengajar, dan telah melibatkan masyarakat dalam kehidupan sekolah dan belajar anak-anak - dengan demikian meningkatkan kemampuan belajar anak-anak dan kualitas keseluruhan pendidikan di mereka sekolah. Prestasi tersebut dapat direplikasi di tempat lain jika guru diberi pelatihan yang tepat.

Pelatihan guru dalam seni dalam pendekatan pendidikan akan memungkinkan guru untuk melakukan perubahan dan mengatasi kesulitan dan juga akan meningkatkan kebanggaan profesional guru dan kepercayaan diri. Sebagai bagian dari pelatihan ini, guru harus disediakan dengan “toolkit” yang terdiri dari saran-saran praktis tentang bagaimana mereka dapat menggunakan seni, bahan murah, dan sumber daya yang ada untuk membuat belajar mengajar yang relevan, menarik, dan menyenangkan. Ada kebutuhan mendesak untuk toolkit seperti ini untuk dikembangkan.

Pelatihan dalam seni dalam pendekatan pendidikan juga akan memungkinkan para guru untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di sekolah-sekolah. Guru akan belajar seni yang dapat digunakan oleh guru untuk membawa sekolah dan masyarakat bersama-sama. Dengan mengundang tetua masyarakat (yang bisa menceritakan kisah-kisah dan cerita rakyat) dan pengrajin tradisional untuk berbagi pengetahuan dan kemampuan dengan siswa mereka, para guru dapat menekan manusia “Bank ide” dan memberikan para siswa dengan informasi menarik dan relevan dan keterampilan. Pendekatan seperti ini akan memiliki manfaat tambahan untuk meningkatkan kesadaran siswa tentang nilai adat istiadat setempat, keyakinan dan keterampilan, dan mendorong pelestarian pengetahuan tradisional dan kerajinan; sehingga berkontribusi untuk pengamanan keragaman budaya.

5. Pentingnya Kreatifitas

Menurut Janis Boyd, Pendidikan seni dibutuhkan untuk menumbuhkan kehidupan kreatif yang meluas yang mengimbangi kekuatan produksi massal dan konsumsi massa dalam masyarakat khususnya sangat materialistik dewasa ini. Pendidikan seni dibutuhkan sebagai dorongan untuk perubahan, menantang perspektif lama dari sudut pandang baru, atau menawarkan interpretasi asli tentang gagasan yang sudah dikenal. Ada kritik, umumnya pekerjaan yang dibayar dipandang sebagai tujuan oleh masyarakat, sementara kegiatan artistik tidak dianggap memiliki tujuan yang nyata.

Lebih jauh lagi, sementara masyarakat tampaknya tidak menghargai proses artistik dan kreatif, misalnya, sekolah pada umumnya, dan para pendidik seni khususnya, menyadari bahwa seni membantu pengembangan keterampilan tingkat tinggi seperti kemampuan siswa dalam menangani masalah kompleks dan ambigu, pemecahan masalah, keterampilan berkomunikasi, disiplin diri dan kerja tim.

Keterampilan ini diakui penting untuk kesuksesan dalam teknologi tinggi, dunia dengan informasi dan inklusif yang tinggi dimana kita hidup. Seni mengajarkan keterampilan hidup dari semangat tim, membangun karakter, manfaat budaya dan kesempatan untuk mengungkapkan perasaan, dan bergaul dengan orang lain.

Mereka memperkaya pengalaman pendidikan dan mendorong pengekspresian diri yang percaya diri - keinginan untuk memiliki kesempatan, dan mengembangkan kebiasaan untuk bersikap mandiri dan terlibat.

Ada banyak catatan yang rinci dan berharga dari kreativitas, misalnya tulisan Banaji, Burn dan Buckingham (2010); Boden, (1996); Craft, Jeffrey dan Leibling (2001), dan pengulangan uraian kreatifitas seperti yang mereka bahas dalam buku-bukunya rasanya tidak diperlukan.

Banyak tulisan tentang kreativitas yang dimulai dengan mencari definisi dengan asumsi tersembunyi bahwa arti yang benar dari kata ini atau konsepnya ada untuk ditemukan (Allen dan Turvey, 2001:5). Untuk keperluan memeriksa dan pencarian konsep kreativitas dalam pendidikan seni melalui definisi bukanlah titik awal yang paling membantu. Hal yang lebih berguna dan produktif adalah dengan melihat bagaimana istilah ini telah digunakan dan diinterpretasikan, dan apa pengertian kreatifitas seni dalam pendidikan.

Dalam banyak laporan awal kata 'kreativitas' sebagai kata benda tidak digunakan sama sekali, tetapi kata kreatifitas sebagai kata sifat juga tidak digunakan secara konsisten.
Mike Fleming (2010) dalam The Hadow Report (Board of Education, 1926) Inggris membuat referensi tentang pentingnya mempelajari 'karya besar dan kreatif' tapi dalam praktik pembelajaran subyek kata 'kreatif' sama sekali tidak digunakan. [13]

Selanjutnya laporan Spens (Board of Education, 1938) [14]) Inggris memiliki bagian yang berbeda karena sifat 'konservatif'nya, bertentangan dengan kegiatan 'kreatif' di masyarakat. Justru di dalamnya terdapat bentuk-bentuk kegiatan yang lebih rutin dan berfungsi untuk menjaga dan memelihara eksistensi masyarakat yang konservatif. Memang kegiatan kreatif dianggap sebagai model untuk semuanya, tetapi kegiatan ini khusus hanya untuk kegiatan penyair, dramawan, pelukis dan musisi.
Laporan Newsom (Central Advisory Council for England, 1963) [15] menulis tentang perlunya untuk mengarahkan 'semangat' remaja ke dalam 'saluran yang positif dan kreatif'.

Kata 'kreativitas sebagai kata benda' mulai lazim dipakai secara teratur dalam tulisan selanjutnya. Pandangan bahwa 'kreativitas' harus mengacu pada sesuatu yang tepat dan yang nyata mengarah ke pertanyaan-pertanyaan seperti 'dapatkah kreativitas diajarkan?' 'Bukankah kreativitas itu hanya sekedar atribut saja?' pertanyaan ini muncul karena ragam bentuk definisi bahasa. Pertanyaan tersebut tidak signifikan untuk kata kreatifitas dan hanya bermakna jika memiliki dasar, dan memiliki implikasi kontekstual dan pada praktik-praktik kreatif yang bermakna dan perlu dipelajari.

Salah satu tema yang muncul dalam pemeriksaan praktik ini adalah pengertian kreatif dalam pendidikan seni, terutama pada pengertian ekspresi diri yang kreatif dan dan atau membuat tampilan yang lebih masuk ke dalam pengertian mewujudkan, membuat, menanggapi, melakukan dan menilai seni.
Kreatifitas ternyata fokusnya lebih besar kepada kognisi, bukan hanya pada pengembangan perasaan (Eisner, 2002; Gardner, 1982). Pengertian ini akan lebih seimbang jika terdapat pandangan yang berasal dari bidang pendidikan seni dan berikutnya kreatifitas yang tercermin dalam berbagai mata pelajaran dan dibahas dalam versi yang berbeda dari kurikulum nasional.

Meskipun penjelasan ini dari perubahan pendekatan untuk seni dalam pendidikan sebagian besar adalah akurat, namun ada kecenderungan untuk membesar-besarkan perbedaan pengertian kreatif, dan bahayanya akan  meningkat jika diartikan hanya dalam konteks subyektif (atau digambarkan sebagai hal yang romantis dalam pendidikan seni) dengan demikian sebaiknya ada sifat objektif, dan pandangan yang steril seperti dibahas di atas. Eksplorasi konsep kreativitas dan pemahaman tentang penyampaian bahasa tentang ini dapat mengaburkan atau menipu informasi masalah ini.
Menurut Fleming, Mike (2010), kreativitas sering dianggap sebagai proses mental individu yang ditujukan pada produksi sesuatu yang baru. Dalam konteks pendidikan seni hal seperti ini dapat dilihat dan memiliki (dan masih memiliki) konsekuensi yang menyesatkan. Jika ini dipakai maka berarti bahwa tidak ada kriteria untuk hasil pertimbangan dan apa pun yang dianggap 'kreatif' bisa dihargai atau berharga.

Definisi kreativitas kemudian cenderung untuk menyertakan kata kesesuaian untuk melawan arti objektifnya (Boden, 1996). [16] Kata 'kreativitas' memiliki konotasi positif dan sering digunakan sebagai istilah untuk menyelimuti persetujuan untuk melegitimasi kegiatan apapun.

Melihat kreativitas sebagai 'proses mental yang' dengan asumsi implisit bahwa itu adalah sesuatu yang internal dan tersembunyi hal ini memerlukan perlindungan lebih lanjut dan pengawasan kritis. Pandangan berbeda dan atau dualisme tentang kreativitas sulit untuk dihindari, karena akal sehat menunjukkan bahwa kreativitas adalah dalam arti kapasitas internal, apalagi, adanya pandangan bahwa istilah ini beresiko untuk masuk ke bentuk perilaku manusia atau behaviorisme. [17] )

Namun penting untuk tidak mengambil pandangan yang kontras bahwa kata 'kreativitas' mengacu pada sesuatu yang misterius dan tersembunyi. Oleh karena perbedaan pengertian kreativitas sebagai proses atau produk – yang mendominasi banyak penulis tentang seni -- menjadi kurang penting dibandingkan dengan wawasan bahwa kreativitas dapat terwujud baik dalam produk atau proses tetapi perlu diidentifikasi secara konkret. Oleh karena itu keinginan untuk memprioritaskan aspek internal dan pribadi selama dipimpin aspek eksternal dan umum, dalam beberapa kasus, perlu untuk dikaitkan dengan masalah teknik atau cara dan dapat mengabaikan  aspek estetik (internal). 

a.Kegunaan 'Kreativitas'

Menurut Fleming, Mike (2010) adanya pengakuan dan resiko yang menyesatkan dari penggunaan pengertian 'kreativitas' dalam konteks sejarah tidak berarti bahwa konsep lama ini harus ditolak dari wacana pendidikan seni.

Sama seperti pendapat Smith (Smith dan Simpson, eds., 1991: 171) yang menyelidiki 'kegunaan' pendidikan estetik, pendekatan yang diambilnya adalah sama, yaitu  pendekatan kreativitas.

 Demikian juga dengan Elliot (1971: 70) yang mengatakan, konsep kreativitas dapat berfungsi sebagai 'ide regulatif' atau pranata dalam pendidikan, sebagai 'fokus harapan dan aspirasi manusia'. Memiliki kreativitas baginya adalah sebuah 'kekuatan inspirasional' dan merupakan pengingat bagi tujuan pendidikan yang berkaitan dengan ide-ide inovatif dan progresif: kreativitas 'itu adalah sebuah kekuatan dan semangat untuk memenuhi kebutuhan'.

Menurut Fleming, Mike (2010), untuk beberapa jenis retorika kuno tentang “kreativitas” mungkin akan terlihat ketinggalan zaman dan terlalu romantis, terutama di era yang nilai-nilai transparansi, efisiensi, logika dan kepastian lebih ambigu, dan sangat kompleks, adanya ketidakpastian dan adanya kekayaan pengalaman.

Menurut Fleming, Mike (2010), memang menulis tentang nilai seni dalam pendidikan kadang-kadang dapat terlihat  sulit dipahami dan tidak menentu.

Seni dalam pendidikan telah digambarkan sebagai ' penanda nilai ' (Broudy, 1991: 132), atau dapat diartikan sebagai 'sistem simbolik pemahaman manusia' (Goodman, 1976), bahkan juga berarti kekuatan untuk penciptaan kembali' (Elliot, 1991: 241), seni adalah sumber untuk 'meng-intensifikasi dan mengklarifikasi pengalaman manusia' (Smith dan Simpson, eds 1991:14) dan 'kognisi imajinatif' (Efland, 2004: 751). Namun, seni sering berurusan dalam bentuk pemahaman yang mendorong batas-batas bahasa dan upaya semacam ini untuk menangkap kedatangan semua pertimbangan yang layak.
Ide-ide inspirasi dan inovasi terkait dengan kreativitas dijelaskan oleh Elliot dapat diperluas kepada proses menanggapi seni (Elliott, 1966). Dalam banyak laporan tentang seni, seni pada awalnya sering bersekutu dengan kerajinan (craft)  dan kegiatan praktis lainnya karena sermuanya terkait dengan dengan pembuatan sesuatu.

Menurut Fleming, Mike (2010), jika kreativitas dipandang sebagai lebih dari dari sekedar hanya untuk membuat sesuatu dalam arti harfiah, adalah mungkin untuk melihat respon seni itu sendiri sebagai proses kreatif.

Ini memiliki konsekuensi penting untuk mengajar seni sebab penting untuk menghindari dualisme antara subjektif/ objektif yang dapat menyebabkan pandangan bahwa menanggapi seni sebagian besar merupakan proses pasif, dengan konsekuensi negatif di dalam kelas seni. Menanggapi seni adalah proses kreatif juga untuk menciptakan kata-kata, bukan proses yang pasif.

Hal ini juga penting agar guru dapat berperan lebih signifikan, yang secara progresif dapat berjuang untuk menemukan ketika pendekatan didaktik otoritatif  ditolak. Penting agar murid terkait dalam disiplin  mata pelajaran, guru memiliki peran penting dalam membantu siswa terlibat dengan produk seni dengan membuat koneksi dengan pengalaman pribadinya dan memahami bagaimana menghubungkan bentuk dan isi yang terkait dengan mereka.

Menurut Fleming, Mike (2010), ini adalah proses yang aktif, dan konstruktif dan pandangan ini dapat dilihat sebagai proses kreatif dan sangat erat kaitannya dengan teori-teori tanggapan pembaca dalam sastra dan teori resepsi (penerimaan) (Iser, 1988; Rosenblatt, 1986).

Menyadari adanya masukan logika analitik dari konsep kreativitas dalam kaitannya dengan seni dalam pendidikan tidak berarti menutup diskusi dan kritik, juga tidak berarti mengabaikan penelitian di bidang ini (Craft, Jeffrey dan Liebling, 2001; Sternberg dan Lubart 1999 ).

Turner-Bisset (2007) berpendapat bahwa adanya inisiatif baru pada konsep kreativitas tidak berarti adanya perubahan  dalam pendidikan dasar. Dia menganalisa dua inisiatif khususnya: Excellence and Enjoyment website dan QCA website pada kreativitas, dengan alasan adanya wacana 'tindakan verbal [18]) di negara ini, yang juga efektif untuk wacana pembajakan kreativitas' (ibid: 201).

Craft (2006), telah mempertanyakan bagaimana meningkatnya minat untuk memahami kreativitas di bidang pendidikan yang lebih luas telah dikembangkan, namun tidak ada referensi yang cukup untuk kerangka nilai-nilainya.

Salah satu gagasan tentang kreativitas yang telah dominan adalah terkait dengan individualitas dan yang juga 'nilai-nilai keterlibatan yang sangat inovatif dengan ekonomi baik sebagai produsen dan konsumen' (ibid: 340).

Dia menekankan perlunya untuk menghubungkan' kepintaran' dengan memelihara kreativitas sehingga inovasi tidak menjadi tujuan itu sendiri tetapi itu harus diredam oleh adanya kekhawatiran tentang nilai-nilai yang menyertainya. Kualitas dan atribut yang terkandung dalam gagasan  kepintaran, misalnya mengambil berbagai perspektif, mampu menangani ketidakpastian, dengan ini justru orang yang terlibat dalam seni bisa dikatakan dapat berkembang.

Ward (2007) telah menunjukkan bagaimana konstruksi yang berbeda dari kreativitas telah dipakai dan menjadi ada melalui metode penelitian dan berpendapat bahwa sebaiknya terkait dengan pengertian penciptaan yang benar. Hal ini juga perlu mempertimbangkan bahwa kreativitas yang dimaksud dalam pendidikan harus berpusat pada anak. Ini berarti mengakui kekuatan energi dari konsep kreativitas dalam pendidikan seni tetapi juga menjadi siap untuk membongkar istilah dan mengartikulasikan apa yang berharga dalam hal ini.

Seperti yang disarankan, polarisasi antara konsep subjektivitas dan objektivitas sering menghambat dialog yang bermakna dan ini dapat meluas ke artikulasi tujuan dan alasan. Ada kesejajaran pengertian tanggapan dan penilaian seni. Bagaimana kita mengatasi perbedaan pendapat tentang apa yang diakui dan dianggap sebagai seni? Apakah pendapat-pendapat itu tidak bisa jatuh ke opini yang subjektif?

Iyas (1997:128) mengemukakan bahwa istilah subjektivitas dan objektivitas dapat menyesatkan orang. Untuk membuat komentar tentang apakah orang menyukai sebuah karya seni atau tidak bukanlah akhir dari materi tapi awal.

Menurut Fleming, Mike (2010), hal ini adalah untuk 'menjangkau dalam upaya untuk membangun masyarakat, untuk mengundang diskusi, untuk mendapatkan orang-orang untuk melihat hal-hal seperti yang kita lakukan. Dengan cara yang sama, menggambarkan suatu kegiatan sebagai 'kreatif', harus dilihat sebagai awal dan bukan akhir dari dialog, diskusi dan pembenaran.

Dalam banyak tulisan awal tentang seni diasumsikan bahwa ada daerah kurikulum kreatif yang eksklusif. Pesan dari Pengamat dan perkembangan nasional lainnya yang terkait, adalah membebaskannya: tidak hanya untuk kurikulum secara keseluruhan, tetapi juga untuk seni dalam pendidikan (NACCCE, 1999). Ini menyoroti pentingnya kreativitas di semua mata pelajaran, tetapi juga menandakan bahwa seni adalah lebih dari sekedar kreativitas.

Terlihat bahwa pada waktu yang berbeda dalam sejarah seni, dan yang telah  telah dibenarkan dengan cara yang berbeda, dan kadang-kadang kreativitas terlihat sangat sempit perngertiannya sebagai berikut ini. Yaitu sebagai warisan budaya, pertumbuhan pribadi, pelatihan keterampilan fungsional, pengembangan kreativitas dan imajinasi, pemahaman tentang kondisi manusia, pemecahan masalah, dan pengembangan empati. Dalam antusiasme untuk mempertahankan seni dalam pendidikan, terhadap apa yang sering dibangun sebagai memiliki konteks sosial yang bertentangan, para pendukung kontemporer kadang-kadang melebih-lebihkan kasusnya.

Sebagai contoh, ada banyak upaya untuk menunjukkan efek positif dari seni di semua kawasan asing, meskipun tidak selalu berhasil, seperti beberapa penelitian yang diperlihatkan (Eisner, 1998; Harland et al, 2000; Winner dan Hetland, 2000; Comerford Boyes dan Reid, 2005).

 Meskipun demikian bisa juga diakui bahwa bentuk-bentuk seni yang berbeda, bahkan pekerjaan yang berbeda sering memiliki niat dan efek yang berbeda pula; Mereka bisa memikat, menggerakkan, mencerahkan, menginformasikan, menginspirasi, menawar hati, menantang, menghibur atau memprovokasi

Tetapi, berbicara tentang dampak dari seni secara keseluruhan, sebagai konsep generik kadang-kadang bisa menyesatkan. Ada sebuah pendapat baik di dalam teori estetika dan secara khusus dalam pendidikan seni yang menolak setiap upaya untuk membenarkan seni pada ekstrinsik, alasan instrumental.

Gingell (2000) telah menunjukkan, misalnya, bahwa jika seni dinilai terutama dalam hal kontribusi itu membuat kehidupan moral dan intelektual kita kita kehilangan daya tarik bentuk seni tertentu: khawatir tentang 'pesan' dari vas Ming 'adalah untuk kehilangan titik estetika'. Dari perspektif ini, kesalahan terletak pada mengenai seni secara umum sebagai instrumental yang berharga, melihat mereka sebagai alat untuk beberapa ujung lain bukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri.

Pandangan intrinsik ini diwujudkan dalam 'seni untuk seni demi' gerakan memiliki beberapa banding. Ini menggarisbawahi kekuatan seni tetapi kadang-kadang juga dibesar-besarkan dan tidak duduk dengan mudah dalam iklim pendidikan yang menempatkan premi pada hasil strktur, akuntabilitas dan nilai uang. Suatu bentuk pembenaran intrinsik yang melihat seni sebagai cara mereka yang berbeda bentuk penting dari pengayaan manusia adalah menarik dan belum tentu sesuai dengan menggambarkan nilai dan dampak dari bentuk seni tertentu dan karya dalam konteks pendidikan.

Dalam kajian mereka tentang 'retorika' kreativitas, Banaji, Burn dan Buckingham (2010), menyoroti perbedaan pendapat diantara penulis yang mengakui 'sifat demokratis kreativitas' dan mereka yang bersikukuh dengan pandangan yang lebih elitis berasal dari konsep kreativitas berdasarkan pada  konsep “romantik kejeniusan”. Mereka juga tertarik untuk berdebat apakah  creativ ditulis dengan huruf 'c kecil' atau C 'besar' (Craft, 2001) yang juga sesuai dengan konsep demokratis dan elitis. Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan sejauh mana kurikulum seni di sekolah-sekolah harus merangkul konsep 'seni rendah' atau seni 'tinggi'.

b.Kreatifitas seni berdasarkan budaya

Menurut Nasbahry Couto (2015)[19] Semua ahli pendidikan akan setuju bahwa ketika anak-anak membuat seni, mereka sebenarnya sedang mengeksplorasi, menemukan, dan berpikir. Seni mendorong orisinalitas anak dan mengungkapkan (berekspresi) secara unik dengan hasil yang tidak bisa di ramalkan (diprediksi) sebagai berikut.

"....dalam proses penciptaan seni, ada ciri khas yang membedakan antara seni, kriya dan desain. Seniman seperti penyair (bidang sastra, pembuat lirik lagu), dan kadang juga pada seni lukis, seniman tidak tahu apa yang akan dia ungkapkan sampai ia menetapkan ungkapan itu" Dia tidak dapat mengungkapkan sebelumnya pekerjaan seni selesai seperti: penyair tidak bisa mengatakan kata-kata apapun sebelum puisi selesai."
Kerajinan, di sisi lain, adalah sebuah kegiatan yang melibatkan anak untuk mereproduksi gagasan orang dewasa, yaitu mengikuti petunjuk tertentu  untuk membuat sesuatu hal tertentu yang – hasilnya  sudah dikenal, sudah diketahui seperti kerajinan tradisional (dimanapun) atau karya seni rupa dimanapun. Relevan dengan hal ini dijelaskan dalam blog. nasbahry galleri sebagai berikut ini.
"Sebaliknya Pengrajin tahu di awal proses kerja, apa persisnya jenis produk diakhir kerja yang diinginkan: misalnya, kursi dari dimensi tertentu yang terbuat dari bahan tertentu. Dia tahu sejak awal berapa banyak bahan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan, alat, dan sebagainya, dan jika dia tidak tahu hal-hal seperti ini, dia bukanlah pengrajin yang efisien dan baik".

Pembelajaran kerajinan adalah membuat kerajinan yang sudah ada, sudah dikenal. Inti dari pembelajaran ini adalah meniru apa yang telah dilakukan oleh orang dewasa atau profesional dalam hal  kerajinan, dan dengan demikian, tidak memerlukan pemikiran asli (seperti halnya dalam seni). Hal inilah yang membedakan pembelajaran seni dengan pembelajaran kerajinan.

Disamping itu, kerajinan dimaksudkan untuk membuat sesuatu berguna atau tujuan praktis. Dengan demikian pembelajaran  apresiasi sebenarnya adalah memperkuat pemahaman murid tentang  fakta kegunaan, keterpakaian kerajinan melalui pembelajaran tema-tema kerajinan yang ada.
Bagaimana dengan musik, tari dan teater tradisional?

Sama saja dengan seni kerajinan (craft as art), yaitu medium-medium itu dibawa ke seni moderen dan kontemporer. Tetapi harus ada pemisahan yang tegas antara ilmu seni dengan pemakaian medium seni dalam pembelajaran[20]

c. 'Seni Rendah' dan Seni'Tinggi'

Seperti yang kita ketahui seni Barat yang dipelajari dalam dunia pendidikan sebenarnya adalah “seni tinggi”, seperti musik klassik, dan tari balet. Perbedaan antara seni tinggi dan rendah awalnya mudah untuk dikenali  tetapi sulit untuk dipertahankan dan Fisher (2001) mengatakan, relatif mudah untuk menetapkan Shakespeare dan musik klasik sebagai seni tinggi untuk satu kategori dan musik pop dan opera sabun yang lain sebagai “seni rendah”, tetapi kriteria dan perbedaan ini sangat menantang.

(Savile, 1982) membedakan seni dengan beberapa cara dengan kriteria yang menentukan,  tetapi tidak memasukkan karya modernis dan avant garde yang sering dilihat sebagai arketipe seni tinggi. Dalam praktiknya, kategori seperti pop art, seni massa, seni rakyat dapat digabungkan tetapi jika diteliti lebih lanjut akan menjadi masalah.

Carroll (1998) telah berargumen dan bersikukuh bahwa  seni massa bukanlah seni asli. Sebuah film drama Shakespeare dapat dilihat sebagai bentuk seni massa. Sebaliknya Carey (2005) telah menunjukkan (dari penelitian) bagaimana yang disebut seni rendah dapat memperkaya kehidupan masyarakat. Masalah timbul  karena penggunaan secara generik konsep 'seni' dan asumsi bahwa penilaian kualitas memiliki dasar yang sama. Sebuah karya fiksi mungkin memiliki lebih banyak konten dan jelas mendalam dari sebuah lukisan abstrak tapi itu tidak membuatnya menjadi  unggul.
Shusterman (2003) telah menunjukkan bahwa mendasari dikotomi antara seni tinggi dan populer adalah kontras antara seni versus hiburan. Alasan untuk mengajar seni sering terkandung di dalamnya sesuatu hal yang berbeda dengan hiburan 'belaka'.

Tapi untuk menolak konsep hiburan dan konsep terkait terlalu mudah, dan  mungkin juga sebuah kesalahan. Istilah 'hiburan' berasal dari kata kerja 'muse' yang arti awalnya 'diserap dalam pemikiran'. Shusterman menunjukkan bahwa kita dapat mengasosiasikan konsep hiburan dengan gagasan tentang 'mempertahankan, menyegarkan dan memperdalam konsentrasi'.  Secara paradoks, manusia memang dapat menjaga dirinya dengan keperluan melupakan sesuatu dan mencari ketenangan dengan “pengalihannya” ke tempat atau imajinasi lain.

Tilghman (1991) telah menarik perhatian pada hubungan antara estetika dan etika, seni dan kehidupan yang disorot oleh sebuah studi tentang Wittgenstein[21]. Tentang Art (Seni), dia menyarankan, 'memilih objek, pemandangan, dan “situasi”, dan membuat objek itu masih harus dipikirkan' (ibid: 40). Dan ini adlah sebuah gagasan kontemplasi.

Gagasan kontemplasi di sini dekat dengan catatan Shusterman. Dimensi etis itu ada kaitannya dengan estetika tetapi tidak begitu banyak kandungan moral spesifiknya (walaupun itu tentu saja sering menjadi bagian dari kepentingannya) atau dalam hal peraturan-peraturan tapi juga dalam penegakan dan pengungkapan kemanusiaan (Fleming, 2006).

Banyak teori budaya menunjukkan evolusi berlanjut ke arah pandangan yang lebih inklusif dan jauh dari apa  yang digambar Eaton (2001: 57) sebagai  'perbedaan' seni dengan asal-usulnya dalam estetika Kantian: lihat misalnya Willis (1990) dan Carey (2005 ).

Hal yang kontras misalnya: perbedaan pandangan yang menekankan seni untuk seni, sebagai ujung intrinsik, formalisme estetika, dan otonomi budaya; sebagai ujung yang lainnya  sebagai (inklusif) menyoroti konteks sosio-budaya seni, konvensionalisme dan penerimaan (resepsi) bahwa seni dapat menjadi sarana untuk tujuan ekstrinsik.

Pandangan inklusif dikaitkan dengan John Dewey, Leo Tolstoy serta teori yang lebih kontemporer seperti Pierre Bourdieu, Marcia Eaton, Colin Lyas dan Richard Shusterman. Lebih lanjut, mencakup seni sebagai bentuk pendidikan antarbudaya yang menjadi semakin signifikan (Fleming, 2006).
Namun, berbagai sekolah masih menyisakan pandangan dan menantang karena banyak komentator berpendapat dan meyakinkan bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk mengajar  hal-hal yang yang terbaik (Gingell dan Brandon, 2000).

Masalah ini tidak mudah diselesaikan tetapi menerima pandangan inklusif belum tentu untuk merangkul posisi relativis dan meninggalkan pentingnya membuat penilaian. Sekali lagi, perdebatan ini tidak eksklusif untuk pendidikan seni. Pandangan terpolarisasi semacam ini telah didukung banyak perdebatan tentang sastra kanon [22] (Bloom, 1995; Benton, 2000; Gorak, 2001; Guillory, 1993; Altieri, 1990).
Kanon tradisional sebagian besar terpusat pada isu-isu kualitas dan dikaitkan dengan melestarikan apa yang dianggap 'yang terbaik'. Pemikiran kontemporer banyak menantang penilaian mutlak ini tetapi, di sisi lain posisi relativis yang melihat penilaian tentang kualitas sebagai masalah pribadi murni hampir tidak membantu dalam konteks merancang kurikulum.

Sebuah pemecahan atas ketegangan ini mungkin telah berbohong dengan istilah dan gagasan 'konsensus'. Yaitu nilai seni sebagai sebuah kesepakatan (konsensus). Namun, ini bertentangan dengan gagasan otoriter tradisional kanon (Fleming, 2007). Pandangan inklusif seni, sebenarnya tidak perlu untuk merangkul pandangan relatif apapun, tapi berarti juga mengakui pendapat Lyas (1997) bahwa cara kita dalam memenuhi  kriteria estetis sangat luar biasa luas dan beragam. 

Sebuah masa depan yang dinamis dan sukses untuk seni dalam pendidikan harus terletak sebagian dalam dukungan yang efektif dari politisi dan pembuat kebijakan, tetapi juga dalam mengembangkan pemahaman dan  praktik melalui debat dan dialog terus menerus.

Pandangan singkat dari sejarah pendidikan seni dan kreativitas disorot agar terjadi perubahan pendekatan, namun sering terjadi perbedaan pendapat dan saling bertentangan terutama dalam hal tujuan dan prioritasnya. Itulah sebagaimana seharusnya, sebuah masa depan yang dinamis dan sukses untuk seni dalam pendidikan harus terletak sebagian dalam dukungan yang efektif dari politisi dan pembuat kebijakan, tetapi juga dalam mengembangkan pemahaman dan  praktik melalui debat dan dialog terus-menerus.

Penutup

Sampai saat ini tetap ada pertanyaan, jika masalah dalam pedagogi telah diatasi. Apakah beragam seni dan budaya itu dapat diintegrasikan untuk mengambil manfaatnya meskipun ada anggapan bahwa kebanyakan  guru tidak mengetahui arti sebenarnya dari 'integrasi'?

Apakah pembelajaran materi seni yang (berlainan) itu sesuai dengan tujuan kurikulum nasional? Penentuan jenis seni yang dipelajari akhirnya bisa jatuh pada keputusan berbasis sekolah, tapi adakah persamaan antara lima bentuk kesenian? Sifat Seni menunjukkan bahwa mereka tidak dapat menyatu menjadi hasil yang terukur tanpa membuat mereka menjadi serangkaian hasil generik 'melengkung' yang berasal dari sumber asal seni mereka.

Kesimpulannya pendidikan dipandang penting jika ada manfaat sosial, budaya dan ekonomi dari Seni harus sepenuhnya terwujud. Seni dan pendidikan dapat dilihat dalam tiga konteks –(1)  sebagai sarana untuk membangun pemirsa yang apresiatif dan terinformasi, (2) sebagai sarana untuk mengembangkan praktisi seni profesional dan (3) untuk mempersiapkan siswa untuk terlibat dalam kehidupan budaya dan kreatif.

Literatur

Acland, R. (1967) A move to the integrated curriculum. Themes in Education. No. 7. Great Britain: University of Exeter, Institute of Education.
Beane, J.A. (1995) Curriculum integration and the disciplines of knowledge. Phi Delta Kappan. 76 (8). pp. 616-622.
Bernstein, B. (1967) Open schools, open society, New Society. 14 September.
Bernstein, B. (1971) On the classification and framing of educational knowledge. In Young, M.F.D. (Ed.) Knowledge and Control. London: Routledge and Kegan Paul.
Blum. A. (1973) Towards a rationale for integrated Science teaching. In Richmond, P. (Ed.)
New Trends in Integrated Science Teaching, Vol. II. Paris: Unesco.
Bolam, D. W. (1970) Integrating the Curriculum- a case study in Humanities. Paedagogic Europaea 6, pp.157-171.
Boyd, J. (1989) Integration - A Process Structure in Visual Arts. (Unpublished Masters Thesis), Armidale: University of New England.
Boyd, J. (1994) in Edwards, J. (Ed.) Thinking: International Interdisciplinary Perspectives.
Brophy, J. and Alleman, J. (1997) A caveat: Curriculum integration isn't always a good idea. Educational Leadership. Theme: Integrating the Curriculum. p. 66.
Brown, N. (1995) in The Report by the Senate Environment, Recreation, Communications and the Arts References Committee: Arts Education (October 1995). p.l85. Parliament of the Commonwealth of Australia.
Calouste Gulbenkian Foundation Report: The Arts in Schools: Principles, Practice and Provision. London: 1982.
Collier, S. and Nolan, K. (1996) Elementary Teachers’ Perceptions of Integration. Paper presented at the Annual Meeting of the Mid-South Educational Research Association. Tuscaloosa, AL, November 7, 1996.
Creative Nation - Commonwealth Cultural Policy, October. 1994. p.85. Parliament of the Commonwealth of Australia
Deverell, J. (1995) in The Report by the Senate Environment, Recreation, Communications and the Arts References Committee: Arts Education (October 1995, p.l8). Parliament of the Commonwealth of Australia.
Education Queensland P-10 Arts Framework (1990). Brisbane: Goprint.
Education Queensland Submission in The Report by the Senate Environment, Recreation, Communications and the Arts References Committee: Arts Education (October 1995, p.l368). Parliament of the Commonwealth of Australia.
Eisner, E. (1981) The Role of Arts - Cognition and Curriculum. Phi Delta Kappan, September. 1981.
Gardner, H. (1982) Art, Mind & Brain: A Cognitive Approach to Creativity. U.S.A. Basic Books.
Gwynn, J.M. & Chase, J.B. (1969) Curriculum Principles and Social Trends. New York: Macmillan.
Hirst, P.H. and Peters, R. S. (1973) The Logic of Education. London: Routledge and Kegan Paul.
Hughes, M. (1991) Curriculum integration in the primary grades: A framework for excellence. Alexandria. VA. Association for Supervision and Curriculum Development.
Lawton, D. (1975) Class, Culture and the Curriculum. London: Routledge and Kegan Paul.
Ministerial Council on Employment, Education, Training and Youth Affairs. The National Report on Schooling in Australia 1993, Curriculum Corporation 1993.
Moulez, G. J. (1973) Psychology of Effective Teaching. New York: Holt, Rhinehart and Winston. Morris, J. Ut. (1970) Towards a balanced curriculum. Trends in Education, 18, pp.10-17.





[1] http://www.unesco.org/fileadmin/multimedia/HQ/CLT/CLT/pdf/Arts_Edu_RoadMap_en.pdf
[2] ). Lihat pada UNESCO( United Nations Educational, Scientific  and Cultural Organization): Road Map for Arts Education, The World Conference on Arts Education:  Building Creative Capacities for the 21st Century Lisbon, 6-9 March 2006, hal. 2.
[3] Figel, Ján. (2007). School Autonomy in Europe Policies and Measures. EURYDICE. Sumber dari http://eacea.ec.europa.eu/education/eurydice/documents/thematic_reports/090EN. pdf
[4] Lihat Robinson, K., 1999. Culture, Creativity and the Young: Developing Public Policy. Cultural Policies Research and Development Unit Policy Note No. 2. Strasbourg: Council of Europe.
[5] Lihat juga: https://ec.europa.eu/youth/policy/youth-strategy/creativity-culture_en
[6] Lihat Taggart, G., Whitby, K. & Sharp, C., 2004. Curriculum and Progression in the Arts: An International Study. Final report (International Review of Curriculum and Assessment Frameworks Project). London: Qualifications and Curriculum Authority.

[7] Kategori tambahan ini adalah sebagai berikut: keterampilan sosial, keterampilan komunikasi, prestasi / presentasi, ekspresi individu, kesadaran lingkungan dan identifikasi potensi artistik. Sebuah kategori umum yang berkaitan dengan 'pemahaman budaya', yang diidentifikasi dalam konteks studi sebelumnya, telah dibagi menjadi dua elemen: warisan budaya dan keragaman budaya.


[8]  Bamford, A., 2009. An Introduction to Arts and Cultural Education Evaluation. Unpublished paper commissioned by Creativity, Culture and Education (CCE). The report formed the basis of the recommendations adopted by the EU’s Open Method of Co-ordination group on the synergies between culture and education in June 2009.
[9] Lihat bukunya, 2006, Towards Ananda: Rethinking Indian Art and Aesthetics
[10] Lihat tulisan Shakti Maira (2005),: Simposium tentang Seni dalam Pendidikan Asia, Transmisi dan Transformasi: Belajar Melalui Seni di Asia, adalah upaya bersama antara Kantor Regional Advisor UNESCO untuk Kebudayaan di Asia dan Pasifik, dan India International Center - Asia Project (IIC - Asia Project).
[11] Shakti Maira adalah seorang seniman dan penulis “Menuju Ananda: Rethinking Seni dan Estetika di India”, yang diterbitkan oleh Penguin. Mr Maira membantu dalam organisasi “Transmisi dan Transformasi: Belajar Melalui Seni di Asia” simposium di New Delhi, India 21-24 Maret 2005.
[12] Vibeke Jensen adalah mantan Spesialis Program di Biro Regional UNESCO untuk Pendidikan, Bangkok, Thailand. George A. Attig adalah konsultan untuk Institute of Nutrition, Universitas Mahidol di Salaya, Thailand.
Catatan: Artikel ini mengacu pada informasi dan studi kasus yang dikembangkan dalam “Perangkat untuk Menciptakan Inklusif Ramah Pembelajaran Lingkungan” yang diterbitkan oleh UNESCO Asia Pasifik untuk Pendidikan, Bangkok, Thailand, 2004. Pembaca dianjurkan untuk merujuk Toolkit untuk informasi lebih lanjut. Hal ini dapat didownload dari www.unescobkk.org/gender.

[16] Boden, Margaret A., (Ed),1996, Dimensions of Creativity , MIT Press, Cambridge
[17] Berbagai versi behaviorisme telah maju sejak abad ke-19 namun dalam istilah yang paling sederhana, teori ini hanya berfokus pada perilaku yang dapat diamati dan bukan kapasitas dan keadaan mental, terutama saat menjelaskan pembelajaran.
[18] Istilah 'performativity' diadopsi oleh Turner-Bisset dari Lyotard (1994) dan mengacu pada fokus eksklusif pada nilai efisiensi dan kinerja.
[19] Lihat di: http://nasbahrygalleryedu.blogspot.my/2015/04/seni-lawan-kerajinan-seni-lawan-budaya.html
[20] Lihat di http://visualheritageblog.blogspot.com/2011/11/seni-berbasiskan-budaya-reproduksi-dari.html
[21] hakekat dunia menurut Wittgenstein adalah semua hal yang hakekatnya merupakan suatu kasus, dunia adalah keseluruhan dari fakta-fakta dan bukan dari benda-benda. Dunia itu terbagi menjadi fakta-fakta serta apa yang merupkan kemyataan yang sedemikian itu, sebuah fakta adalah merupakan keberadaan suatu peristiwa. Dengan demikian dunia sebagai suatu realitas sebagaimana kita lihat dan kita alami. Dunia itu adalah keseluruhan dari fakta-fakta dan bukannya totalitas dari benda-benda. Dunia itu bukanlah terdiri dari benda-benda yang hanya merupakan penjumlahaan atau benda-benda itu bukanlah bahan dunia melainkan obyek-obyek yang merupakan substansi dunia. Yang dimaksud dengan fakta menurut Witgenstein adalah suatu keberadaan peristiwa, bagaimana objek-objek itu terhubungkan satu dengan lainya.
[22] Istilah kanon, adalah sesuatu yang standar, atau hebat, sesuai dengan aturan, "Kanon" berasal dari kata Yunani 'kanon', artinya "buluh". Karena pemakaian buluh dalam kehidupan sehari-hari jaman itu adalah untuk mengukur, maka kata "kanon" dipastikan memiliki arti harafiah sebagai batang tongkat/kayu pengukur atau penggaris. “Sastra kanon adalah sastra yang dikanonkan karena kehebatannya dan diharapkan kedudukannya tidak dapat diganggu gugat lagi”. Lihat di. http://www.gentaandalas.com/budi-darma-sastra-kanon-adalah-sastra-yang-dikanonkan-karena-kehebatannya

Tidak ada komentar:

Sering dilihat, yang lain mungkin penting